Perfect Family

By badgalzia

8.9K 306 52

Temui Zia Mcfoy. Gadis 16 tahun, pencinta punk-idola gadis-gadis lesbian dan bi di sekolahnya. Tapi hey, dia... More

Chapter 1 | Call Me Zia
Chapter 2 | Meet Luke
Chapter 3 | The Boys
Chapter 4 | Tree House
Chapter 5 | Flour Fight
Chapter 6 | The Rumour
Chapter 8 | Just Dreaming
Chapter 9 | Meet Cece
Chapter 10 | Lunch With Calvin
Chapter 11 | Meet Rory
Chapter 12 | Rock It Out!
Chapter 13 | Ignore
Chapter 14 | Be Mine?
Chapter 15 | Under The Moonlight
Chapter 16 | Mad Rick's Cafe
Chapter 17 | Drowning
Chapter 18 | Nightmare
Chapter 19 | Fool Fight
Chapter 20 | Apologizes
Chapter 21 | Local Dish Resto
Chapter 22 | Confirmations
Chapter 23 | Cory's Top Secret
Chapter 24 | Carolina Place
Chapter 25 | Meet Avery
Chapter 26 | Singing Zach
Chapter 27 | A Dream Comes True

Chapter 7 | UFO Freak

351 15 2
By badgalzia

"Fuck if I can't melt down. I just keep looking cool."

Mulutku terbuka lebar saat kami memasuki kawasan perumahan elit. Rumah-rumah bergaya mediteranian berjejer rapi, dengan pagar-pagar menjulang tinggi. Pepohonan besar nan rimbun yang menghiasi bahu jalan, membuat udara sejuk dan sinar matahari yang terik tidak terekspos saat kami melintas dibawahnya.

"Luke, kita mau kemana?" Aku sedikit memajukan kepala, membuat daguku menyentuh bahu Luke.

"Studio. Bandku latihan hari ini." Luke sedikit menolehkan kepalanya ke sisi.

"Aku kira kita akan pergi ke-" Ucapanku terpotong dengan tawa kecil Luke.

"Ya, nanti kita kesana setelah aku selesai latihan, ya?" Aku tersenyum, tidak bisa menyembunyikan rasa senang. "Baiklah."

Luke memarkirkan motor putihnya di pekarangan yang cukup luas. Rumah bergaya minimalis, bercat putih, berdiri megah dihadapan mataku. Ini bukanlah rumah terbagus disini, tapi bagiku cukup mewah dan elegan. Simpel dan tidak berlebihan.

"Ini rumahku." Ujar Luke setelah membuka helmnya. Aku tidak begitu memperhatikan Luke yang sedang menata rambutnya dengan jari-jarinya, langsung beranjak dari motor dan berdiri mengamati sekeliling. Pepohonan rimbun dan asri, bunga-bunga petunia berbagai warna-juga bunga-bunga kecil lainnya yang tidak kuketahui namanya-tertata rapi, terawat dengan sangat baik.

"Kuharap kau tidak keberatan menontonku latihan. Sudah kukatakan pada mereka untuk memindahkan harinya, tapi mereka bersikeras. Karena minggu ini kami belum latihan sama sekali jadi-"

"Tidak apa-apa." Kataku menginterupsi. "Tentu saja aku tidak keberatan." Aku tersenyum, Luke membalas senyumku.

"Baiklah, ayo masuk." Luke berjalan di depanku, aku mengekor di belakangnya. Tidak bisa mengalihkan pandanganku dari punggungnya yang lebar, membayangkan bagaimana rasanya jika kupeluk dia dari belakang. Zia, jangan mulai.

"Lagipula aku belum sempat mengenalkanmu pada teman-temanku, bukan?" Ia menolehkan kepalanya sekilas dan aku mengangguk.

"Sepi sekali? Kemana orang tuamu?" tanyaku seraya mengamati lukisan bunga yang ada di ruang tamu. "Ayahku bekerja. Ibuku sepertinya sedang berbelanja." Ia berdiri tidak jauh dariku, memasukkan kedua tangannya ke saku celana seraya ikut mengamati lukisan. Tak lama kemudian ia melangkah. "Ayo, Zee."

Aku masih tidak mau beranjak, mataku kini beralih ke sisi lain dinding yang bercat abu-abu terang, yang mendominasi ruang tamu ini. Mengamati foto keluarga berbingkai kayu yang ukurannya sedikit lebih besar dari lukisan. Dua orang dewasa yang kuyakini sebagai orang tua Luke, berdiri di tengah dengan dua orang anak laki-laki berumur sekitar dua dan tiga belasan tahun disamping kanan dan kiri mereka. Ayah Luke memiliki mata hazel dan rambut pirang emas, memakai tuxedo dan dasi hitam. Ibu Luke terlihat begitu cantik, dengan rambut panjang berwarna cokelat pekat dan iris mata biru, ia terlihat menawan dengan memakai dress satin panjang, berwarna putih tulang. Disamping kanan wanita yang masih terlihat muda itu berdiri Luke yang sedang tersenyum lebar, memakai tuxedo hitam dan dasi biru tua. Ia terlihat lucu dengan poni yang menutupi hampir seluruh dahinya. Namun mau bagaimanapun gaya rambutnya, Luke selalu terlihat sama, tetap tampan. Anak laki-laki yang berdiri disamping kiri ayah Luke memiliki rambut juga iris mata cokelat terang, memakai tuxedo hitam dan dasi merah. Tunggu, ia terlihat begitu familiar. Rasanya aku pernah melihatnya sebelumnya.

"Zia." Panggilan Luke membuyarkan lamunanku, arah mataku sontak tertuju padanya. "Sudah cukup melihat-lihat?" Ia menaikkan alisnya seraya menyeringai. "Ayo."

Aku mengangguk, mengikuti Luke lagi. "Studionya di belakang." Ia memberi tahu.

"Rumahmu sangat nyaman." Kataku tidak menyadari ucapan yang keluar begitu saja, hell Zia.

"Thanks." Luke tersenyum, dan membukakan pintu untukku. "Ladies first."

Aku terkekeh seraya menampar lengannya.

Pemandangan yang pertama terlihat adalah kolam renang, dengan tiga pohon palm di sisi kanan, dan dua kursi berjemur di bawahnya, lengkap dengan payung besar berwarna oranye dan pink dan meja kecil berwarna putih. Kami berjalan ke arah bangunan yang tidak terlalu kecil ataupun besar, di pojok kiri, catnya berdasar warna abu-abu, dengan aksen ungu dan hijau neon dari gambar grafitti yang bertemakan... alien? Aku tidak yakin.

Aku sedang memperhatikan betapa dalam kolam renang itu, lalu bergidik ngeri, membayangkan betapa menakutkannya jika aku tenggelam disana. Saat Luke membuka pintu, suara teriakan seseorang membuatku terperanjat.

"Hey! Darimana saja kau!" Itu si pirang, yang sedang memainkan jari-jarinya pada sebuah bass merah. Duduk di sofa putih dekat pintu masuk, si pria berambut merah burgundy sedang asyik bermain dengan telepon genggamnya. Saat aku menginjakkan kaki ke dalam studio, ia mendongak dan tersenyum padaku. Aku mengangguk seraya tersenyum balik. Ia anak laki-laki yang sama yang bertukar senyum denganku di kafetaria, pipinya masih sama merah seperti saat terakhir kali aku melihatnya. Satu orang lagi memakai singlet hitam, duduk di belakang drum. Aku memberinya senyum, dan ia membalasnya seraya mengangguk. Hey, ia mirip anak laki-laki dalam foto keluarga di ruang tamu tadi. Apa aku tidak salah lihat?

"Aku mengantar dia pulang ke rumahnya dulu." Luke mengarahkan tatapannya padaku seraya menelusupkan jari-jarinya di antara rambutnya. Ia terlihat cool saat melakukan itu. Kutambahkan itu dalam daftar hal yang kusukai dari Luke.

"Ini Zia." Ia mendaratkan telapak tangannya sesaat pada bahuku, mengenalkanku pada teman-temannya. Ku abaikan rasa menggelitik yang terasa di permukaan kulit, lantas tersenyum ramah pada mereka semua.

"Itu Ash." Luke menunjuk si pirang dengan jari telunjuknya. Ash mengangguk, dengan seringai dibibirnya. Ia terlihat flirty.

"Dwayne. Ashton Dwayne." Ia mengoreksi Luke, lalu mengedipkan sebelah matanya padaku. Flirty!

"Terserah." Luke menggumam pelan, tapi karena jarakku dengannya yang berdekatan, tentu aku masih bisa mendengarnya.

"Ini Cal." Luke menepuk bahu si rambut merah, lalu mengacak-acak rambutnya. Cal berdiri, untuk membalas Luke, tapi Luke dengan cepat menghindar darinya. Mereka berdua tertawa-tawa seperti anak kecil.

"Calvin Henry." Calvin kini berdiri di hadapanku, mengulurkan tangannya seraya menggelengkan kepalanya. Entah bagaimana caranya, rambutnya yang sewarna ceri itu kembali rapi seperti semula.

"Zia McFoy." Aku menjabat tangannya, menggoyangkan tanganku. Ia melakukan hal yang sama. Kami saling menggoyangkan tangan seraya terkekeh. Sikapnya yang menyenangkan mencairkan suasana yang tadinya sedikit canggung disini. Kami melepaskan jabat tangan setelah mendengar Luke berdehem pelan. Aku segera memindahkan perhatianku padanya.

"Kau lihat pria jelek yang memakai behel dibelakang drum? Itu Don." Luke menunjuk Don dengan dagunya, wajahnya terlihat malas.

"Jika kau bertanya-tanya, ya dia adik Luke. Tapi jangan harap Luke mau mengenalkannya pada orang-orang. Dia tidak pernah mau mengakuinya." Ujar Ashton, tertawa.

"Bukan hanya aku, tapi aku jamin tidak akan ada orang yang mau mengakui drummer payah seperti dia sebagai adik." Luke memutar matanya.

Menanggapi Luke, Don tertawa mengejek. "Payah? Katakan itu saat suaramu tidak pernah berhasil mencapai nada tinggi, Lucas. Terakhir kali mencoba, kau terdengar seperti tikus yang lehernya terjepit."

"Tutup mulutmu, Sheldon." Luke menatap Don tajam.

"Tutup mulutmu Sheldon." Ulang Don dengan nada mengejek, lalu menjulurkan lidahnya.

Calvin terlihat berusaha menahan tawanya, sementara Ashton menatapku yang sedang tertawa kecil dengan seringai lebar, dan tentu saja, aku mengacuhkannya.

"Baiklah, itu cukup. Berhenti bertengkar, Minions." Celetukku, menatap Luke dan Don secara bergantian.

Detik selanjutnya, ruangan dipenuhi dengan tawa. Semua orang tertawa, termasuk Luke dan Don. Melihat fakta bahwa begitu mudahnya aku bergaul dengan mereka, dan aku yang membuat mereka tertawa seperti ini membuatku sudah merasa seperti teman mereka. Hanya satu hal kecil yang mengganggu, Ashton terus saja memperhatikanku. Ia tidak berhenti menyeringai dan mengedipkan mata padaku, namun akhirnya ia berhenti saat Luke menatapnya dengan tatapan tajam, seolah mata hazel itu berkata, "She's mine." Tunggu, apa?

"Ayo mulai latihan, jangan buat Zia menunggu terlalu lama." Luke mengalungkan tali gitarnya ke leher, dan mengetes mikrofon yang berdiri dengan stand di depannya.

"Aku kira kalian akan tinggal lama disini?" tanya Calvin seraya mengecek gitar hitamnya.

"Luke punya rencana tersendiri bersama Zia, Cal. Kita tidak boleh mengganggu mereka." Cara Don mengganggu Luke mengingatkanku pada Toby, menggangguku adalah salah satu hobinya. Hanya saja disini kasusnya adik yang lebih suka mengganggu kakaknya. Cara mereka berdua bertengkar membuatku tidak bisa menahan diri untuk tertawa.

"Oh well, terkadang kau bisa menjadi adik yang pengertian juga." Ujar Luke sarkastik.

"Aku merasa bahagia, pada akhirnya kau mengakuiku juga sebagai adik." Balas Don terdengar tidak kalah sarkastik.

"Aww. You're so sweet, lil brotha." Ujar Luke dengan bibir dimajukan dan raut wajah yang dibuat seperti ibu-ibu yang sedang berbicara pada bayinya, lalu kemudian memutar matanya.

Aku tertawa geli melihatnya, begitu juga dengan Calvin. Sementara Ashton tidak melepaskan kontak matanya padaku. Perpaduan antara tatapan tajam dan seringai membuatnya terlihat seperti perampok yang melihat setumpuk uang. Merasa risih ditatap dengan cara seperti itu, aku melihat ke arah lain dengan jengah. Ia sangat flirty. Aku harus waspada padanya.

"Ufo Freak? Really?" Ucapku tiba-tiba, membuat keempat pasang mata terarah padaku. Kata-kata yang dibarengi dengan tawa kecil itu keluar begitu saja, saat aku melihat ke arah drum. Diatas benda bulat itu terpampang jelas nama dari band mereka yang memang sangat unik dan aneh, dengan maskot piring terbang berwarna hijau neon dan ungu yang memiliki sepasang bola mata dan bibir mungil yang sedang tersenyum. Di samping tulisan 'Ufo Freak' tepatnya pada huruf U, terdapat satu alien yang sedang bersandar dengan tangan terlipat di depan dada dengan ekspresi wajah angkuh. Sepintas alien hijau neon itu terlihat seperti boneka Planet Pizza dalam film Toy Story.

"Hey, jangan begitu. Itu nama yang keren!" Luke menanggapiku seperti aku baru saja menghina nama bandnya. Padahal maksudku tidak begitu.

"Dengar sendiri Luke? Itu nama yang sangat jelek. Sudah kubilang untuk menggantinya, tapi kau sangat keras kepala." Ujar Don dengan kedua alis terangkat. Aku ingin berkata jika aku tidak bermaksud mengejek nama itu, tapi pertengkaran mereka tidak ada jeda, benar-benar tidak bisa dihentikan.

"Haha lucu sekali, Don." Luke berpura-pura tertawa. "Aku mendapat dua suara untuk nama itu, ingat? Hanya kau sendiri yang menganggap nama itu jelek. Well selamat, sekarang kau mendapat satu dukungan dari Zia. Tapi kau tahu, itu tidak akan mengubah apa pun." Kata Luke lalu memicingkan matanya. Ia ternyata cerewet juga.

"Terserah, Matthew." Ujar Don memutar matanya.

"Tutup mulutmu, Sheldon Marshall Bentley. Hanya karena nama tengahmu sama dengan nama asli Eminem, bukan berarti kau lebih keren dariku."

Aku yang sedang duduk di sofa, melirik Ashton dan Calvin, bertanya dalam pikiranku apakah mereka akan menengahi Bentley bersaudara atau apa. Tapi dari ekspresi wajah mereka yang seolah terhibur dengan pertengkaran dua kakak beradik itu, memberiku jawaban dengan sendirinya.

"Jadi, sebenarnya tujuanku kemari adalah untuk menonton band kalian bermain atau menonton kalian bertengkar?" Kataku dengan senyuman miring, menyilangkan kakiku di atas paha dan melipat tangan di depan dada.

Dengan tawa kecil, Luke berujar. "Baiklah honey, konsernya akan segera di mulai." Ia mengedipkan sebelah mata.

Jantungku langsung berdetak tidak karuan. Apa dia baru saja memanggilku, honey?

What the hell is that.

"Don't call me like that, Bentley." Kataku, dengan wajah serius.

"Well, sorry babe." Luke menyeringai. Aku memutar mata jengah, seolah tidak peduli dengan sebutan-sebutan yang ia berikan padaku. Tetapi rona merah di pipiku berkata lain. Sial. Untung saja aku langsung memalingkan wajah sehingga Luke tidak bisa sempat melihatnya.

Dan akhirnya, atmosfer dalam studio ini mulai hidup dengan musik yang mereka mainkan. Meskipun aku tahu permainan musik Zillion sangat jauh lebih baik dibandingkan UF, (bukan karena itu bandku, tapi memang faktanya seperti itu.) aku memasang senyuman terbaikku saat menonton mereka. Aku berusaha menghargai keempat pria dihadapanku, terutama si pria yang sedang bernyanyi sambil menyeringai dengan tatapan yang membuat gadis-gadis bisa meleleh seperti salju yang terkena sinar matahari. Ya, tentu saja tatapan itu tertuju padaku. Fuck if I can't melt down. I just keep looking cool.

Waktu terasa begitu cepat berlalu, tidak terasa UF sudah selesai menyanyikan tujuh atau delapan lagu. Band bentukan Luke ini ternyata sangat jauh berbeda dari yang kuduga. Aliran mereka cenderung ke arah Pop dan R'nB, dengan beat bertempo cepat gaya remaja masa kini. Aku akui lagu mereka cukup asyik dan membuatku ingin menggoyangkan tubuh sesuai irama musik, meskipun jenis musik mereka sama sekali bukan favoritku. Ada satu lagu yang kusuka dari UF, judulnya "As Long As You Love Me". Dalam lagu itu Luke menjadi penyanyi sekaligus rapper. Aku merasa seperti ikan mas yang tidak sengaja melompat keluar dari akuarium bulat, mendarat di lantai lalu menggelepar kesana-kemari, ketika mata Luke tidak mau lepas dariku saat menyanyikan lagu itu.

"Bye, Zia. Kau selalu diterima disini." Calvin memelukku seperti seorang ibu yang melepas kepergian anaknya selama satu tahun. Aku kaget dengan perlakuan pria berambut merah itu, tapi membalas pelukannya.

"Ya, terima kasih untuk live show nya." Aku menunjukkan deretan gigiku setelah Calvin melepas pelukannya.

"Bukan masalah." Calvin membalas senyumanku.

"Lain kali kau harus tinggal lebih lama, Zee." Don tersenyum canggung, lalu membawaku dalam peluknya. What the fuck is this? Perkumpulan Teletubbies? Biasanya aku dengan the boys, bahkan dengan Toby sekalipun hanya akan mengucapkan selamat tinggal sambil melambaikan tangan saat berpamitan. Berpeluk-pelukan seperti ini terlalu berlebihan bagiku.

"Sering-sering datang, ya?" Ashton baru akan memelukku, saat Luke menarik tanganku untuk menjauh dari si pirang.

"Baiklah, itu cukup." Luke mendesah kesal, lalu memutar matanya. Ashton terlihat sedikit kecewa, meski seringai tetap tidak mau lepas dari bibirnya.

"Haha, baiklah, pergi sana." Ashton menepuk pundakku.

Aku mengangguk untuk yang terakhir kalinya, dan melambaikan tangan. "Bye, guys." Mereka semua melambaikan tangan seraya tersenyum padaku sebelum pintu rumah Luke tertutup.

Sejak Luke menjauhkanku dari Ashton, ternyata ia masih terus menggenggam tanganku. Aku baru menyadarinya saat ia melepaskannya sebelum menaiki motor. Luke mengambil tanganku untuk dilingkarkan ketubuhnya sebelum menyalakan mesin. Meski kepalanya tertutup helm, aku bisa mendengar jika ia terkekeh.

Caranya memperlakukanku membuat kupu-kupu diperutku menggelitik nakal. Sepanjang perjalanan, aku merasa jika pelukan ini terasa lebih hangat dari biasanya. Aku merasakan betapa nyaman dan damai saat diriku berada disampingnya. Padahal seminggu yang lalu, Luke hanyalah orang yang asing sama sekali bagiku. Tetapi entah mengapa, jauh di dalam hatiku yang paling dalam, di saat-saat seperti ini, hadir sebuah rasa ingin memeluk Luke Bentley seperti ini sepanjang hari dalam hidupku selamanya. Meskipun itu terdengar luar biasa konyol untuk gadis pencinta punk sepertiku, aku tidak peduli. Sepertinya duniaku menjadi jungkir balik saat pertama kali kutatap mata hazel itu untuk pertama kalinya. Ini gila. Aku mulai gila. Ralat, sudah benar-benar gila.

***

Saat akan berbelok, memasuki padang rumput, aku menepuk pundak Luke agar menghentikan motornya. Kulihat seseorang yang turun dari sedan hitam baru saja menaruh kardus di tepi jalan. "Aku akan melihat isinya." Kataku sebelum turun dari motor.

"Jangan, Zia. Mungkin itu bom." Tarikan Luke pada pergelangan tanganku menghentikan langkahku. Aku menepisnya.

"Jangan konyol, Luke. Atas dasar apa seseorang menaruh bom ditempat sepi seperti ini? Ingin menghancurkan rumah pohonmu?" Aku menertawakan Luke, tapi ia hanya mengangkat kedua bahunya seakan berkata, "Siapa yang tahu?"

Aku berlari menghampiri kardus berwarna cokelat muda itu, berjongkok saat tiba dihadapannya. Membagi pandanganku dengan kardus itu dan Luke. Luke terlihat penasaran. Wajah penasarannya itu terlihat lucu sekali. Terdengar suara sesuatu yang bergerak didalam benda kotak dihadapanku. Tanpa ragu, aku membukanya. Mataku membulat saat melihat seekor kucing berbulu panjang didalamnya.

"Hai, manis." Aku mengelus kepalanya, dan ia memejamkan mata sesaat lalu mengeong senang. Aku menggendongnya dan menghadapkannya pada Luke, dengan senyuman lebar dibibirku. Luke terlihat sedikit terkejut, lalu tertawa seraya memegang keningnya, seolah berkata, "Bodohnya aku, ternyata itu hanya kucing."

Masih dengan senyuman lebar, aku membawa kardus berisi kucing kepada Luke. "Isinya bukan bom, kan?" Aku menjulurkan lidahku dan Luke hanya tertawa. Luke menyalakan mesin motornya saat aku dan si kucing sudah berada di belakangnya, bersama-sama menuju rumah pohon.

Aku langsung mengajak kucing itu bermain saat tiba di atas rumah pohon. Kucing itu terus berlari kesana-kemari, dan menggaruk lantai juga dinding yang kesemuanya terbuat dari kayu dengan kuku-kuku mungilnya. Aku tidak bisa menahan senyumku saat melihat kucing itu terlihat begitu bahagia, begitu bebas. Tanpa diduga-duga, ia menaiki dada Luke, yang sedang duduk bersandar dengan kedua tangan membentuk garis lurus, yang menopang dibelakang tubuhnya. Luke sedikit meringis, mungkin kesakitan dengan aksi kucing itu yang secara tidak langsung mencakar kulitnya. Tapi Luke tidak menyingkirkannya, membiarkan kucing itu bermain dengan kalung yang ia pakai. Luke tertawa melihatnya, begitu pun aku.

Aku menggendong kucing itu, menyingkirkannya dari atas tubuh Luke. Saat kukira ia akan meronta dan lari, ia menatapku, tepat di mata. Aku dibuat terpukau dengan mata birunya yang besar. Sorotnya menyiratkan rasa sayang, entahlah memang benar seperti itu atau hanya kesoktahuanku saja. Luke terkekeh saat aku mendaratkan hidungku pada hidung si kucing, menggosok-gosokkan kulitku pada permukaan basah hidung si kucing. Ia begitu lucu.

"Mau kau namai apa dia?" pertanyaan Luke membuatku mendongak padanya. Melihat ia tersenyum, aku membalas senyumnya. Kualihkan mataku kembali pada si kucing, kuperhatikan ia dengan seksama. Gosh, ia begitu menggemaskan! Mata birunya sewarna lautan disiang hari, sangat serasi dengan bulu berwarna cokelat tua dibagian wajah, daun telinga, kaki dan ekor, sedangkan sebagian besar bulu ditubuhnya yang lain sewarna pasir pantai. Pantai! Itu dia! Aku akan menamainya dengan nama pantai. Um, bora-bora? Tidak. Hawaii? Tidak. Sunny beach? Beach? Jelek. Aduh, aku tidak begitu tahu banyak nama-nama pantai. Bali? Florida? Senyumku melebar dengan spontan.

Luke menatapku penuh tanya, menunggu sebuah jawaban.

"Flo." Kataku dengan senyum bangga. "Namanya Flo." Ulangku dengan senyuman lebih lebar dari sebelumnya. Aku mencium puncak kepala kucing yang baru saja kunamai, dan ia mengeong senang.

"Kau suka nama itu, ya?" Luke mengelus puncak kepala Flo.

"Nama yang bagus. Apa kepanjangannya? Florenzia?" Luke menyeringai. Ya, ampun ia jahil.

"Astaga, bukan. Itu hanya namaku yang ditambah huruf F!" Aku cemberut, membuat Luke tertawa. Melihat Luke tertawa aku jadi ikut tertawa.

"Lalu apa?" tanyanya lagi.

"Tidak tahu, tadi aku hanya memikirkan beberapa nama pantai, lalu aku suka Florida." Jelasku.

"Kurasa Florida nama sebuah daerah tropis?" Luke terkekeh.

Menutupi rasa malu, aku memutar mata. "Whatever."

"Bagaimana kalau Florentina?" Luke mengusulkan.

"Gee, bagus sekali. Dia hanya seekor kucing." Aku terkekeh. Luke ikut terkekeh.

Apa ini? Berargumen tentang nama kucing? Seperti sedang mencari nama untuk seorang bayi saja. Bayangan tentang aku dan Luke bertengkar kecil saat menamai bayi tiba-tiba melintas begitu saja, membuat perutku tergelitik. Tapi dengan cepat kutepis khayalan konyol itu. Aku dan dia bahkan tidak berpacaran.

Tawa Luke membuyarkan lamunanku. "Okay, only Flo then." Ucapnya.

Aku tersenyum. "Yea, only Flo."

***

Aku meminta Luke untuk pulang sebelum hari belum begitu gelap, walaupun sepertinya ia masih ingin tinggal lebih lama. Luke berbaik hati menungguku di pet shop, saat salah seorang pegawai memandikan Flo. Aku menyuruhnya untuk pulang, tetapi ia lebih memilih untuk menungguku, dengan alasan Toby mengetahui jika aku pergi bersamanya, maka aku juga harus pulang bersamanya. Pada awalnya aku menganggap bahwa itu adalah alasan yang sangat konyol, tetapi sesaat kemudian aku menyadari jika perilakunya mencerminkan seorang gentleman.

Dari kaca bening aku bisa melihat cara si pegawai memandikan Flo di sebuah tempat yang mirip bak cuci piring. Sepertinya aku bisa melakukannya sendiri di rumah. Memandikan kucing sepertinya menyenangkan. Apalagi Flo terlihat sangat menikmatinya. Kukira semua kucing takut air.

"Apa kau yakin Toby akan mengijinkanmu memelihara Flo?" Perhatianku langsung terarah pada pria yang duduk disampingku.

"Entahlah. Aku harap, iya." Desahku. Luke hanya mengangguk mengerti.

***

"Toby, aku pulaaang." Kataku dengan nada yang terdengar sangat ceria. Aku memberi kode pada Luke untuk masuk.

"Hey, kenapa begitu ceria? Apa yang kau bawa?" Toby yang sedang memotong lasagna mengalihkan perhatiannya padaku. Baunya yang enak, menguar di dalam rumah, membuat perutku berbunyi.

"Hey, Luke. Makan malam?" Tawar Toby saat melihat Luke bersamaku.

"Baunya harum. Terima kasih tawarannya, tapi sepertinya ibuku sudah menungguku untuk makan malam di rumah." Tolak Luke sopan.

"Yah, sayang sekali." Toby terlihat kecewa. Sialan, ia sangat pintar berakting. Ia pasti sedang menggodaku, apa lagi? Tujuannya mengundang Luke makan malam pastilah hanya untuk membuat lelucon tentangku dihadapannya, ya itu sangat Toby.

"Mungkin lain kali, Toby. Terima kasih. Aku pamit." Luke tersenyum ramah dan Toby mengangguk.

"Ya, hati-hati di jalan." Toby balas tersenyum. Luke menjawab dengan anggukan, lalu berjalan ke arah pintu.

Aku berpaling pada Toby, "Hati-hati dijalan." Kataku mengejek, sebelum menaruh kardus di tanganku lalu menyusul Luke. Toby menjulurkan lidahnya lalu tertawa. Ia memang kakak yang menyebalkan.

"Terima kasih Luke." Aku tersenyum semanis yang kubisa, karena aku yakin, ia akan membalasnya dengan senyuman yang lebih manis daripada madu. Baiklah, tadi itu terdengar menjijikkan.

"Sama-sama." Ia membalas senyumku. Sebelum aku menyadari betapa manis senyumnya itu, aku menemukan diriku dalam dekapan Luke. Wangi parfumnya memanjakan indera penciumanku, sepertinya malam ini aku akan sulit tidur.

Luke melepas pelukannya dengan canggung, bahkan aku belum sempat untuk membalas pelukannya. Aku menggaruk keningku, dan Luke mengusap belakang lehernya. "Kalau begitu, aku pulang dulu." katanya, hampir tergagap.

"Ya." Jawabku. Untuk sekarang hanya itu yang bisa keluar dari mulutku.

"Bye." Luke mengacak rambutku. Aku memajukan bibir, lalu tertawa bersama Luke.

"Bye." Aku melambaikan tangan. Luke membalas lambaian tanganku saat sudah berada diatas kendaraan roda duanya.

Entah berapa lama aku akan berdiri mematung di depan pintu rumahku, memandangi motor Luke yang sudah menghilang di kegelapan, andai saja Toby tidak mengagetkanku dengan teriakannya yang terdengar seperti suara seorang waria. Cepat-cepat aku berlari ke dalam rumah.

"Ada apa?!" tanyaku panik. Pemandangan yang pertama kulihat adalah kardus yang sudah kosong-err, tidak sepenuhnya kosong, hanya tinggal satu pak makanan kucing, sebotol shampo dan sisir khusus kucing yang tadi kubeli di pet shop, tanpa si kucing di dalamnya.

"KUCING SIAPA ITU YANG KAU BAWA?!" Toby terdengar lebih panik. Ia berdiri di kursi meja makan, berusaha menghindari seekor kucing siam betina yang ada di bawahnya, seolah-olah Flo adalah mesin pembunuh.

"Gee, chill. Orang membuangnya di tepi jalan. Karena kasihan, aku membawanya pulang." Kataku.

"Kemari, Flo." Aku berjongkok dengan satu lutut bertumpu dilantai, mengulurkan kadua tanganku. Dengan segera Flo berlari ke arahku. Ia sangat pintar rupanya.

"Apa tadi? Flo? Kau menamainya? Tidak, Zee. Kau tidak bisa memelihara kucing di rumah ini." Toby menggeleng-gelengkan kepalanya. Ekspresinya tidak bisa lebih horor lagi.

"Kenapa? Bukankah ia sangat manis?" Aku berjalan ke arah Toby dengan Flo dalam gendonganku. Toby mengulurkan satu tangannya saat jarakku tinggal satu meter darinya.

"Jangan, Zee. Bawa dia pergi." Toby berusaha menyembunyikan rasa takutnya, tapi itu terlihat sangat jelas.

"Kenapa? Kau takut?" Aku maju satu langkah, dan ia hampir berteriak, itu membuatku terkekeh. Aku baru tahu jika Toby takut kucing. Sungguh, seumur hidupku mengenalnya, aku tidak pernah melihat Toby setakut ini pada hewan.

"Aku tidak takut. Hanya jijik." Akunya.

Aku memicingkan mata. "Flo tidak menjijikkan, ia sudah di mandikan di pet shop."

"Kau tetap tidak bisa memeliharanya, Zia. Mi hermosa hermana. (saudariku yang cantik -Spanish)" Ujar Toby lembut. "Kau tidak tahu apa-apa tentang memelihara kucing. Yang ada nanti kau malah menyiksanya, meskipun kau tidak bermaksud begitu."

"Tapi kasihan dia, Toby. Ia baru saja dibuang oleh pemiliknya. Ia tidak punya siapa-siapa." kataku mendramatisir, seraya mengelus kepala Flo.

"Sebaiknya kita titipkan saja ia di penampungan hewan, ya?" Bujuk Toby.

Jujur saja, kenyataan bahwa Toby tidak mengijinkanku memelihara Flo membuatku ingin menangis. Aku sudah sangat menyayangi Flo, dan sejak kutatap mata birunya aku yakin jika Flo juga menyayangiku.

"Aku sayang dia, Toby." Ucapku dengan wajah muram. Aku tidak mau melepaskan pandanganku dari kucing dalam gendonganku, takut ini akan menjadi terakhir kalinya ia bersamaku. Aku mengecup kepala Flo, lalu mendaratkan hidungku pada hidungnya. Sesuatu yang sepertinya akan menjadi hal favorit untuk kulakukan pada Flo andai Toby mengijinkan ia untuk tinggal.

"Please, Toby. I beg you." Aku memberanikan diri untuk menatap Toby, dengan tatapan penuh pengharapan.

Toby menatapku lalu menatap Flo, kemudian kembali menatapku lagi. Ia mendesah. "Baiklah, baiklah. Tapi jauhkan ia dariku, oke?"

Aku menurunkan Flo ke lantai lalu berlari memeluk Toby. "Thanks! Thanks so much! I love you, brotha." 

Tubuh Toby terasa menegang, tetapi ia membalas pelukanku dan mengecup puncak kepalaku. "Anything for you, sist. And I love you, more."

"Holyfuck!" Toby berteriak saat Flo menggosok-gosok tubuhnya pada kakinya.

Aku langsung menggendongnya, dan seketika Toby mundur satu langkah. "Aku akan menaruhnya di kamar." Kataku terkekeh.

Aku menghentikan langkahku saat teringat satu hal. Toby mundur saat aku berlari kecil ke arahnya, tapi ia terpojok oleh cabinet di belakangnya. Aku melakukan hal yang sudah lama tidak aku lakukan pada Toby. Ini gila, tapi aku tidak bisa menahan diri untuk tidak melakukannya.

"Gracias mucho." Bisikku, mendaratkan bibir pada permukaan kulit kakakku. Toby terlihat kaget saat aku mencium pipinya dan tertawa saat aku berlari ke arah tangga, tidak berani melihat ke belakang.

"Glad you're back, sist!"

A/N: The first comment on this chapter get a dedication! A 'next' or similar thing to that do not allowed :)

Pic of Flo on the right side! Aww isn't she cute? :3

Please comment and vote! It'll mean a lot to me. Thankyou xo

Continue Reading

You'll Also Like

3.3M 207K 45
Hanya Aira Aletta yang mampu menghadapi keras kepala, keegoisan dan kegalakkan Mahesa Cassius Mogens. "Enak banget kayanya sampai gak mau bagi ke gu...
157K 121 27
warning! Cerita khusus 21+ bocil dilarang mendekat!! Akun kedua dari vpussyy Sekumpulan tentang one shoot yang langsung tamat! Gak suka skip! Jangan...
1M 32K 45
-please be wise in reading- ∆ FOLLOW SEBELUM MEMBACA ∆ Tentang Vanila yang memiliki luka di masalalu dan tentang Vanila yang menjadi korban pelecehan...
4.3M 97.8K 48
Klik lalu scroolllll baca. 18+ 21+