NOIR

By renitanozaria

15.9M 1.4M 314K

Book One - Noir [Completed] Book Two - Noir : Tale of Black and White [Completed] More

prolog
satu
dua
tiga
empat
lima
enam
tujuh
delapan
sembilan
sepuluh
sebelas
dua belas
empat belas
lima belas
enam belas
tujuh belas
delapan belas
sembilan belas
dua puluh
dua puluh satu
dua puluh dua
dua puluh tiga
dua puluh empat
dua puluh lima
mozaic
dua puluh enam
dua puluh tujuh
dua puluh delapan
dua puluh sembilan
tiga puluh
tiga puluh satu
tiga puluh dua
tiga puluh tiga
tiga puluh empat
tiga puluh lima
tiga puluh enam
tiga puluh tujuh
tiga puluh delapan
tiga puluh sembilan
empat puluh
empat puluh satu
empat puluh dua
NOIR - TALE OF BLACK AND WHITE
#01
#02
#03
#04
#05
#06
#07
#08
#09
#10
#11
#12
#13
#14
#15
#16
#17
#18
#19
#20
#21
#22
#23
#24
#25
#26
#27
#28
29 - Story of Red Moon
appetizer
#29
#30
#31
Extra: Gadis Kulit Jeruk
#32
#33
#34
#35
#36
#37
#38
#39
ES CENDOL
EPILOG
EXTRA - PINDAHAN
EXTRA - DONGENG
EXTRA - PERANG SAUDARA
EXTRA

tiga belas

198K 20.2K 4.6K
By renitanozaria

"Pi, kayaknya untuk perjalanan bisnis Papi yang berikutnya, Mami nggak ikut." Mami berkata tiba-tiba saat mereka sedang duduk untuk makan malam bersama. Ucapan Mami yang tidak terduga menuai respon yang beragam. Papi mengangkat alis. Sergio berhenti mengunyah. Sebastian sampai terbatuk-batuk keras.

"Maksud Mami?" Papi bertanya.

"Mami mau tinggal di rumah aja," Mami menjawab sembari menyendok tumis tahu dan sawi putih, lalu meletakkan makanan tersebut di atas piringnya. "Kalau dipikir-pikir, Mami udah terlalu sering ikut Papi. Kasihan anak-anak sendiri di rumah."

"Mam," Sebastian menyela dengan wajah tidak enak. "jangan bilang ini karena Suri. Selama ini, kita berdua baik-baik aja, kok. Gio belajar dengan baik. Aku juga nggak ada masalah apa-apa di tempat kerja. Jadi plis jangan jadiin aku sama Gio sebagai alasan."

Mami nyengir. "Hehehe. Ketahuan banget ya?"

"Duh, Mam," Sebastian bertopang dahi, menghembuskan napas frustrasi. "jangan deket-deket sama Suri. Aku nggak masalah Mami mau tinggal di rumah atau nggak ngikut Papi lagi atau apalah itu, tapi tolong, alasannya jangan cewek itu."

"Loh, emang kenapa?"

Sergio yang menjawab. "Suri suka sama Kak Bas, Mi."

"Gio!"

Sergio mencibir, lantas kembali menyuap sesendok nasi ke mulutnya. "Apa? Emang faktanya begitu, kan?"

"Wah, beneran Gio?!" Mami malah tampak girang.

"Beneran, Mam. Sumpah, deh." Sergio mengacungkan dua jarinya ke udara, lantas terkekeh jahil. "awalnya, Suri suka sama aku. Tapi waktu ngeliat Kak Bas, beuhhhh langsung beralih, Mam! Kak Bas tuh emnag lovable banget. Suri aja bisa langsung suka sama Kak Bas hanya dengan sekali lihat."

Sebastian melotot, yang kemudian Sergio balas dengan cibiran.

"Bagus, dong."

"Bagus apanya sih, Mam?!" Sebastian jadi gusar.

"Mami suka anak itu."

"Hah?! Aku nggak salah dengar kan?!" Sebastian dibuat makin gusar.

"Kamu kok kesannya anti banget sih sama Suri? Dia sudah rela ngebantu keluarga kita, loh. Tanpa pamrih. Anaknya tulus sekali, Mami bisa lihat itu dari matanya. Kasihan, dia pasti sering dipandang aneh sama orang-orang karena dia bisa lihat hantu."

"Nggak usah pake kemampuannya yang bisa lihat hantu, dia juga udah aneh."

"Sebastian!" Mami melotot, membuat mata Sebastian turut terbeliak. Astaga. Dia tidak salah dengar, kan? Seumur-umur, Mami tidak pernah berbicara dengan nada setinggi itu padanya kecuali Sebastian melakukan kesalahan fatal. Apa peduli Mami kalau Sebastian menjelek-jelekkan—oke, ralat. Sebastian tidak perlu menjelek-jelekkan Suri karena pada dasarnya Suri memang sudah jelek. Bukan dari fisiknya, melainkan tingkah lakunya yang tidak pernah berhenti membuat Sebastian melipat dahi.

"Kenapa, Mam?"

"Jangan ngomong begitu soal Suri. Kamu itu masih sama aja kayak dulu. Hobi menilai orang meski nggak kenal baik sama orang itu." Mami mendengus. "Suri itu anak baik. Dia anak yang manis. Cantik juga. Bagian mana yang nggak kamu suka?"

"Duh. Mami belum tahu aja karakter aslinya dia gimana?"

"Emangnya gimana?"

Sebastian mendengus pelan. "Parah deh, pokoknya. Abstrak banget. Nggak kebayang."

"Abstrak gimana?"

"Begitulah. Super pecicilan."

"Malah bagus, dong. Kan jadi melengkapi kamu yang hobinya diam kayak arca batu."

"Mam,"

"Apa lagi, Bas?"

"Jangan deket-deket sama Suri."

"Ih, apaan sih. Mami nggak larang mau kamu nggak suka sama Suri. Meskipun Mami kasihan sama Suri, kok anak sebaik dan semanis dia bisa suka sama kamu yang jahatnya macam ibu tiri kayak gini. Jadi kamu juga nggak berhak larang Mami dekat sama Suri," Mami mendelik. "Lagian, kamu dengar kan cerita kakaknya Suri tadi? Suri tuh sering sendirian di rumah, karena kakak-kakaknya suka pada sibuk. Apalagi Bundanya juga udah nggak ada. Pas banget, Mami juga sering sendirian di rumah karena kalian udah sibuk dengan urusan sendiri-sendiri. Kamu kerja lima hari seminggu, 9 to 5. Papi pulang paling sering juga sebulan dua kali. Gio sibuk ngurusin masalah kampus. Wajar kan kalau Mami jadi pengen main ke rumahnya Suri, atau ngundang Suri main kesini?"

"Mi,"

Namun Mami sudah mengabaikan Sebastian dan mengalihkan pandangannya pada Sergio. "Gio, kamu udah catat nomor Suri tadi, kan? Tolong masukin juga ke daftar kontak di HP Mami. Nanti habis makan malam, Mami mau telepon Suri."

"Mi,"

"Apa sih, Bas?"

Sebastian langsung bungkam. Cowok itu menghela napas, berusaha mati-matian menahan diri supaya tidak menepuk dahinya keras-keras. Astaga. Harusnya dia tahu mempertemukan Mami yang selalu menginginkan anak perempuan dan Suri yang telah lama kehilangan ibunya adalah sebuah kesalahan besar. Bodohnya Sebastian. Kenapa dia tidak sekalian saja mengundang paranormal betulan, bukannya malah meminta bantuan cewek SMA yang aneh itu?

Sebastian melirik lagi pada Mami, berharap bisa membujuk wanita itu agar tidak terlalu dekat dengan Suri. Namun tatkala melihat bagaimana Mami tampak senang dan sibuk menanyai Sergio tentang peristiwa di kedai es krim dekat SMA 44, Sebastian tahu usahanya hanya akan sia-sia. Sekali lagi, cowok itu melontarkan gerutuan dalam hati.

Dia punya firasat, disinilah semua ketidakberuntungannya bermula.

n  o  i  r

"Yaelah tong, udah jaman modern kayak gini, masih aja hobi nonton Ultraman," Calvin sedang serius melihat aksi Ultraman Cosmos melawan Chaos Header ketika Chandra datang entah darimana dan langsung menjitak kepalanya begitu saja dari belakang. Kesal, Calvin langsung memutar arah tubuh. Tangannya terkepal, hendak meninju Chandra untuk membalas, namun dengan cerdik Chandra berkelit. Cowok itu masih cengengesan saat dia meraih kotak DVD berlabelkan tulisan ULTRAMAN COSMOS dari atas meja, yang sontak membuat Calvin melotot murka.

"Ultraman Cosmos? Buset deh, kayak merek rice cooker aja!"

"Balikin nggak?!"

"Selow, cuy. Cuma kotak DVD gocengan doang!"

"Jangan sentuh barang-barang gue!" Calvin menyipitkan mata pada kakaknya dengan jengah sesaat setelah berhasil mengamankan kotak DVD tersebut dari jangkauan tangan jahil Chandra.

Chandra berdecak sembari kini pandangannya jatuh pada layar televisi yang menayangkan bagaimana manusia super ultra sedang berkelahi dengan monster. Rumah-rumah berukuran mini dibuat runtuh saat mereka bergulingan di tanah, sementara color timer di dada Ultraman mulai berkedip-kedip tanda waktu Ultraman untuk bertempur akan segera habis.

"Apaan coba? Mana ada pahlawan super cuma bisa berantem maksimal tiga menit?" Chandra berkacak pinggang, mengabaikan pandangan menusuk yang Calvin anugerahkan padanya. "Duh, kalau aja gue kenal sama si Mikasa, udah gue kasih obat kuat kali tuh orang biar tahan lama."

"Mikasa?"

"Buset deh, Vin, lo udah sering nonton ini film sampai mabok masih nggak tau juga nama tokoh utamanya?"

"Nama tokoh utamanya Haruno Musashi. Mu-sa-shi. Bukan Mikasa. Lo kira merek bola voli?!"

"Oh. Sori deh kalau gitu. Gue memang penikmat film Jepang, tapi bukan film macam Ultraman atau kartun yang hobi lo tonton sambil begadang saban malam."

"Iya, lo mah demennya sama yang esek-esek."

"Mulusan paha Miyabi daripada paha Ultraman, Vin."

Calvin bermuka masam, memilih mendengus keras dan mengabaikan semua tingkah laku Chandra yang tidak berfaedah, termasuk ketika Chandra meraih mangkuk popcornnya yang hampir kosong. Dalam hati, Calvin tertawa. Untung saja dia sudah menghabiskan tumpukan popcorn karamel tersebut sebelum Chandra datang. Apa yang tersisa hanya tinggal serpihan jagung gagal yang keras, hingga Calvin berani taruhan, burung beo pun bakal ogah memakannya.

"Cetta mana ya?"

"Lagi jalan sama Rana. Mereka langsung cabut nonton habis Cetta kelar photoshoot buat endorse gelang sama jaket bomber tadi sore."

"Kok lo tahu?"

"Menurut lo kenapa?" Calvin memutar bola mata. "Karena Cetta ngasih tau gue."

"Dih, curang!" Chandra mengerucutkan bibir. "Kok dia nggak ngasih tau gue, sih?"

"Kalau nggak salah, karena minggu-minggu ini dia lagi nge-block Line lo."

"HAH?!!" Chandra langsung bertingkah dramatis. "Teganya! Lama-lama gue setelin lagu Meggy Z juga tuh bocah!"

"Lagian lo. Makanya, jangan keseringan nge-spam Line-nya Cetta pakai gambar nggak penting."

"Sumpah, gambar yang gue kirim itu sangat penting untuk kehidupan berbangsa dan bernegara, Calvin Raskara."

"Lo kira nasib negara lo tergantung sama foto selfie lo dan foto random pantat babi?!" nada suara Calvin meninggi, namun sebelum Chandra bisa membalas, Calvin sudah lebih dulu menyambung ucapannya. "Stop. Gue lagi nggak mau ngomong, apalagi sama lo. Jadi mending lo diem, oke?"

Chandra memasang wajah memelas. "Calvin..." katanya dengan nada manja bak gadis SMA tengah merajuk. Calvin langsung dibuat bergidik mendengarnya.

"Sekali lagi lo ngomong, gue bikin lo babak-belur pakai remot tv!"

Chandra masih cemberut, tapi tidak bicara lagi. Cowok itu membuang napas keras-keras dari mulut, lantas menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa hingga dia nyaris berbaring. Matanya menatap pada langit-langit rumahnya yang tinggi.

"Bosen banget."

"Biasanya lo sibuk clubbing. Terus pulangnya mampir bentar di hotel sama cewek random yang lo temui di dance floor." Calvin menyindir.

"Gue lagi bosen. Nggak selera."

"Alah, bacot. Paling besok juga udah sibuk ajep-ajep lagi. Terus update Snapgram sambil minum-minum dan ngerokok cantik. Dasar perusak moral bangsa."

"Gue kan nggak pernah mengkampanyekan minum dan clubbing untuk kehidupan yang lebih baik, Vin," Chandra menyahut enteng. "Gue melakukan itu simply karena emang branding gue disitu. Gue dapet duit dari situ. Sama aja kayak artis film bokep, kan. Emang mereka menggalakkan gerakan 'woy, ayo ena-ena rame-rame dengan beragam gaya'? Kan enggak. Cuma karena mereka emang dapet duit dari situ. Yaudah."

"Nggak usah khotbah atau mencari simpati. Gue nggak punya stok."

"Everything is easy for you. You're smart, lil bro."

"Chan," Calvin menyipitkan matanya dengan ngeri pada Chandra. "Lo sebetulnya kenapa sih? Lo bikin gue takut, tau nggak? Lo sehat kan?"

"Seperti yang gue bilang tadi, gue lagi bosen. Bosen sama kehidupan malam. Hasek dah bahasa gue. Tapi serius, deh. Mendadak, cewek-cewek berperut rata dan berambut dicat aneka warna yang sering gue temui di klab nggak lagi menarik." Chandra diam sejenak. "gue... entah kenapa gue jadi kepingin banget punya pacar yang normal. Lo tahu... good girl. Cewek biasa. Bukan cewek yang hobi minum, atau udah lancar megang rokok."

"Ngimpi."

Chandra mendesis. "Mimpi apanya?"

"Lo ngimpi. Mana ada good girl mau sama cowok belangsak kayak lo."

"Waduh, lo kurang piknik kayaknya. Lo nggak liat film-film yang lagi nge-tren di bioskop sekarang? Semuanya pasti muter-muter diantara bad boy yang jatuh cinta sama good girl. Tau Fifty Shades of Grey nggak? Sebelas-dua belas tuh. Cowoknya bad boy abis. Untung aja dia ganteng dan kaya. Kalau nggak sih kayaknya udah dilaporin ke polisi duluan sama si Anastasia."

"Bodo, Chan. Bodo."

"Dasar adik laknat. Lo bener-bener nggak bisa diajak curhat, ya?"

"Emang gue bilang gue mau ngedengerin curhatan lo?" Calvin balik bertanya dengan sarkastik.

Chandra membuka mulut, berniat menjawab, namun batal ketika dia melihat sosok Suri yang menuruni tangga dan berjalan menuju mereka. Ada selembar kertas HVS putih-bersih di tangannya. Gadis itu berjalan dengan tegap dan serupa robot, bak anggota pasukan pengibar bendera pusaka di istana negara. Praktis, Chandra dan Calvin langsung dibuat terperangah oleh tingkah lakunya.

Suri baru berhenti berjalan ketika tiba di dekat mereka. Kemudian, gadis itu melakukan gerakan hadap kanan dengan sempurna. Tangannya bergerak sigap membuka gulungan kertas HVS di tangannya, lantas mulai membaca dengan lantang layaknya petugas upacara sedang membacakan isi Pembukaan Undang-undang Dasar.

"Pengumuman! Sehubungan dengan jadwalku besok, aku membuat pengumuman ini biar abang-abang tidak bingung. Poin pertama adalah, besok setelah pulang sekolah sampai malam, Siena bakal datang ke rumah untuk ngerjain tugas kelompok. Abang-abang, terutama Abang Chandra tidak diizinkan ngedeketin kamar aku kurang dari radius tiga meter. Semua ini demi kemaslahatan umat dan agar Siena terhindar dari ancaman fakboi. Diharapkan juga minimal satu abang ada di rumah untuk mengerjakan tugas negara, dengan rincian tugas sebagai berikut; yaitu untuk menyediakan camilan selama kerja kelompok dan ngebikinin makan malam buat aku juga Siena."

Suri berhenti sejenak, menatap pada kedua abangnya dengan syahdu sebelum meneruskan kembali pengumumannya. Dia masih menggunakan nada resmi yang berhasil membuat bukan hanya Calvin, melainkan juga Chandra terbius di tempat mereka duduk, layaknya peserta upacara bendera yang tengah berhadapan dengan kepala negara.

"Poin kedua adalah, lusa, setelah pulang sekolah sampai jam yang tidak ditentukan, aku bakal main ke rumahnya Sergio. Jangan khawatir atau berprasangka buruk dulu, oke?! Aku main ke rumahnya Sergio karena diundang sama Maminya Sergio. Demikian, abang, akan jadi sangat tidak sopan kalau aku menolak ajakannya Mami Sergio. Lagian, katanya Mami Sergio juga mau bikin cookies enak. Selama ini, semenjak Bunda meninggal, aku nggak pernah makan homemade cookies yang enak. Buatan Abang Chandra nggak berbentuk cookies, tapi lebih mirip batere gosong. Buatan Abang Calvin apek kayak kerupuk lempem. Buatan Abang Cetta kerasnya ngalah-ngalahin kerikil. Jadi, diharapkan ketiga abang memaklumi dan nggak melarangku untuk main ke rumah Sergio. Dengan demikian, pengumuman ini selesai. Protes tidak diterima, dan semua ketentuan harus dijalankan sebagaimana mestinya. Tertanda, Oriana Suri Laksita yang jauh lebih cantik daripada Chelsea Olivia Wijaya."

"Suri, tunggu, maksud kamu—"

Calvin tidak berkesempatan bicara sampai selesai karena Suri sudah lebih dahulu memotong. "Protes tidak diterima. Oke, abang? Sekian. Aku mau tidur, takut besok kesiangan. Oh ya, Abang Cetta memang nggak ada disini, tapi aku juga udah merekam pengumuman ini, jadi nanti tinggal aku kirim ke Abang Cetta. Nggak ada alasan kalian nggak tau. Oke? Selamat malam."

Suri memutar tubuh dengan gerakan balik kanan, namun berhenti bergerak ketika dia menyadari sesuatu. Sekali lagi, Suri memutar tubuhnya. Matanya jatuh pada Chandra yang langsung gelagapan. "Ah ya, Abang Chandra,"

"I-iya, Suri?"

"Jangan kebanyakan mimpi, oke? Pacaran sama good girl? HAHAHAHAHA." Suri melakukan impersonasi respon seorang bintang iklan shampo ketika ditanya kesediaannya menjadi bintang iklan produk shampo lain. "Jangan gila, abang. Abang harus tahu diri. Mana ada good girl mau jadi pacar lelaki kotor yang hobi main sabun kayak abang? Mending abang tobat dulu. Rizky Nazar aja harus masuk pesantren dulu baru bisa direstui sama Dinda Kirana. Apalagi abang yang berlumur dosa ini."

Chandra ternganga, sementara perut Calvin sudah mulas karena menahan tawa.

"Oke, sekian. Selamat malam!"

Suri berbalik, kembali melangkah tegap dan menapaki tangga. Calvin dan Chandra masih terdiam, bahkan hingga setengah menit setelah Suri menghilang di balik pintu kamarnya yang sudah ditutup. Calvin adalah yang tersadar lebih dulu. Dia mengerutkan alisnya pada Chandra yang masih bengong, lantas melambaikan tangannya di depan wajah cowok itu dengan khawatir.

"Chan? Masih hidup nggak?"

"Gue heran."

"Heran kenapa?"

"Adik kita itu... apa dia emang selalu seperti itu?"

"Kan lo yang ngajarin." Calvin menimpali, membuat Chandra membuang napas. Duh. Dia sudah biasa dihakimi oleh netizen atas sepak terjangnya di jagat raya dunia maya hingga aksinya sebagai disk jokey terkenal ibukota, namun entah kenapa mendengar Suri yang bicara seperti itu padanya membuat Chandra merasa tertohok. Apa dia seburuk itu?

Namun kemudian, sebuah lampu mendadak menyala dalam otaknya. Jika dia tidak salah dengar, tadi Suri sempat menyebut nama Siena. Siena yang disebut Suri jelas sama dengan Siena yang beberapa hari lalu Chandra temui dalam acara jumpa penggemarnya, kan? Sontak, senyum langsung terkembang di wajah Chandra yang semula muram.

Benar kepercayaannya selama ini. Selalu ada hikmah dalam sebuah cobaan. Chandra mengeluarkan ponselnya, mengecek ulang jadwalnya besok untuk memastikan dia bisa tinggal di rumah seharian.

Tentu saja, hanya untuk satu alasan; Siena.

n  o  i  r

"Apa kata abang-abang kamu?"

Suri baru saja menutup pintu kamarnya ketika Wati yang sedang duduk santai di atas meja belajarnya tiba-tiba bertanya. Gadis itu tersentak, tidak menduga keberadaan Wati sama sekali—meskipun hantu itu memang kerap datang tak dijemput pulang tak diantar macam jelangkung. Rambutnya masih tergerai sampai bahu, dan wajahnya masih pucat seperti biasanya. Namun ada yang berbeda. Wati kelihatan murung hari ini.

"Nggak tau sih reaksi mereka apa. Tapi bodo amat lah, ya. Kan gue udah bilang juga kalau gue nggak terima protes," Suri melangkah mendekati tepi ranjang, lalu duduk disana. "Lo kenapa? Kok murung amat?"

"Ini semua karena my baby."

"Oh. Soal dia yang lagi jalan sama Kak Rana?"

Wati mengerucutkan bibirnya. "Buat saya, Rana itu nggak ada!"

"Tapi lo takut sama dia."

"Saya nggak takut!" Wati cemberut. "Kalau perlu, saya panggil satu kuburan buat ngelawan dia."

"Terus kenapa nggak lo lakuin?"

"Karena..." Jeda sejenak, Wati tampak ragu-ragu meneruskan ucapannya. "... karena my baby kelihatannya senang waktu lagi sama cewek itu."

"Bukannya lo sayang ama Abang Cetta?"

"Iya, sih. Tapi gimana ya, kalau kata anak-anak muda jaman sekarang yang suka kejebak friendzone mah, sayang itu nggak cukup. Saya emang hobi ngelonin my baby tiap malam, tapi sentuhan yang kerasa nyata buat dia ya sentuhan cewek itu."

"Hm. Begitu." Suri manggut-manggut. "Kan udah gue bilang, cinta beda alam tuh emang berat. Kenapa lo nggak cari pacar sesama hantu aja, sih?"

"Kalau di dunia hantu ada kloningnya my baby sih udah dari kapan tahun saya bawa tuh kloningnya ke kantor urusan nikah para hantu. Sayangnya, belum nemu sih. Mungkin karena para malaikat juga nggak tega kali ya sama yang cakep-cakep, jadi yang cakep-cakep langsung mereka jemput setelah mati."

"Berarti lo nggak cakep, dong?"

"Weits, enteng amat itu rahang!" Wati berseru tidak terima. "Jangan salah, kalau saya masih hidup, Yoona SNSD udah jadi pengangguran dari jaman baheula!"

"Kenapa?"

"Karena posisinya di SNSD direbut sama saya."

"Ih, najis. Kepedean banget lo."

"Serius." Wati melotot. "Bukan berarti saya nggak cakep. Tapi konon katanya dari infotaiment para hantu, kebanyakan malaikat itu perempuan. Beda sama iblis yang kebanyakan laki-laki. Malaikatnya takut kesaing sama saya, makanya saya nggak dijemput."

"Alah," Suri mencibir, tapi kemudian dia malah jadi penasaran. "tapi gue jadi kepo, deh. Emang malaikat dan iblis beneran ada? Bukannya mereka cuma mitos?"

"Kamu mikir gitu karena kamu nggak pernah benar-benar ketemu mereka. Paling berpapasan doang, itu juga mungkin kamu nggak nyadar. Buat sebagian orang yang nggak percaya takhayul, hantu juga cuma mitos, kan?"

"Iya juga, sih."

"Begitu deh."

"Terus kalau nggak dijemput, apa itu artinya orang yang meninggal bakal gentayangan jadi hantu?"

"Harusnya sih begitu. Soalnya kan tadinya para hantu tuh manusia. Mereka nggak tahu jalan ke atas, makanya harus dijemput dan dibimbing sampai sana. Sayangnya, nggak semua orang beruntung langsung dijemput setelah mati. Entah karena mereka ada urusan yang belum selesai, atau karena ada keluarga yang belum merelakan."

"Dijemputnya langsung? Tapi kok gue nggak lihat ada yang ngejemput Bunda pas beliau meninggal?"

"Setahu saya sih nggak. Roh baru ketemu penjemputnya pada tempat diantara langit dan bumi."

Suri pusing, karena ternyata dunia tak kasat mata tidak sesederhana yang dia bayangkan.

"Terus gimana dengan lo? Kok lo belum dijemput?"

"Saya kecakepan. Malaikatnya takut kesaing."

Suri melotot. "Gue serius."

"Hm. Soal itu saya nggak tahu. Kalaupun ada urusan saya yang belum selesai di dunia ini, saya juga nggak tau. Udah lama banget soalnya. Saya juga kan udah nggak inget apa-apa lagi soal kehidupan saya sebelum mati. Makanya udah susah." Wati mengedikkan bahu. "Hantu yang kemarin tuh terhitung beruntung, karena dia bisa ketemu kamu nggak lama setelah dia mati. Dia juga masih inget namanya."

"Hm, gitu."

"Iya. Yang saya inget ya saya udah lama tinggal disini. Itu aja."

"Lo nggak ngerasa tersiksa gitu? Nggak pengen pergi ke akhirat?"

Wati menggeleng.

"Kenapa?"

"Soalnya di akhirat belum tentu ada yang secakep my baby."

Suri mendengus. "Yeee, ganjen!"

Wati justru sibuk cengengesan hingga senyumnya melebar serupa Joker. Suri mengabaikannya. Gadis itu memilih bergeser lebih jauh ke tempat tidur, kemudian berbaring dan menarik selimut. Dia menggumamkan kalimat selamat malam dalam bisikan pada Wati, dan bersiap untuk tidur. Suri pasti sudah tertidur, jika saja sebuah suara berisik dari jendela yang masih tertutup rapat tidak membuatnya langsung terlonjak.

"Astaga!? Wati!" Suri berseru dengan suara pelan, khawatir menarik perhatian kedua abangnya yang masih duduk di ruang tengah lantai bawah.

"Bukan saya, kok!" Wati berseru membela diri, membuat mata Suri memicing. Gadis itu mengedarkan pandang ke sekeliling ruangan. Benar saja. Suara itu berisik itu bukan datang dari Wati, melainkan dari sesosok makhluk astral lain yang kini nangkring di jendela kamarnya serupa Spiderman jadi-jadian. Sosok itu adalah sosok wanita setengah baya berusia sekitar empat puluh hingga lima puluh tahun. Rambutnya digelung berantakan, dan dia mengenakan daster kembang-kembang berwarna merah. Wajahnya memelas, dan ketika Suri nekat membuka jendela, sosok itu langsung menggelinding di lantai kamar serupa trenggiling.

"Mpok Jess!?" Wati melotot, sementara Suri menyipitkan mata.

"Wati, kamu kenal hantu ini?"

"Siapa sih di komplek ini yang nggak kenal Mpok Jessica, hantu paling eksis sejagad raya?!" Wati menatap pada Suri seakan Suri baru saja melakukan dosa besar.

"Ye, mana gue tau. Artis Indonesia yang gue kenal aja cuma Rizky Nazar sama Dinda Kirana. Oh ya, sama Stefan William deng, soalnya dulu pernah tubir ama Abang Cetta dan Abang Chandra di Instagram. Masa lo ngeharapin gue tau artis dunia hantu?!"

"Oh iya, ya. Sayang banget ya nggak ada Ghostagram. Coba kalau ada, beuh mungkin Mpok Jessica Gibson udah hits ngalah-ngalahin my baby,"

Wati bego, batin Suri dalam hati.

"Tapi emang bener namanya Jessica?'

"Mpok Jessica juga udah lama mati. Udah nggak inget nama aslinya. Berhubung nggak ada yang ngasih dia nama, dia nyari nama sendiri. Pas heboh kasus kopi sianida, Mpok Jessica dapet ide. Emangnya kamu. Ngasih nama ke saya kok 'Wati'. Nggak berkelas banget."

Suri berdecak. "Terus ngapain Mpok Jessica disini?"

"Enjes mau ngungsi disini sementara waktu. Boleh nggak?" Mpok Jessica menimpali dengan raut manja layaknya Princess Syahrini yang sedang maju-mundur cantik di depan Menara Eiffel.

Enjes. Fak. Suri mau muntah.

"Hah? Emang ada apa, Mpok?!" Malah Wati yang heboh.

"Pos satpam rusak tempat Enjes berdiam syantiek mau difungsikan lagi sama bapak-bapak berkumis khatulistiwa jadi pos ronda. Jadi Enjes nggak mungkin kan tinggal disitu lagi, harus ciaobella gitu dari sana. Lagian bukan level Enjes banget gitu kan tinggal diantara bapak-bapak berbau seperti ikan teri diasinin. Nggak level lah yawww,"

"Jadi Mpok mau tinggal disini?"

"Yoi."

"Waduh, Mpok," Wati manggut-manggut takzim. "Suatu kehormatan tinggal bersama Mpok Jessica sang sosialita dunia hantu abad ini."

"Nah kan bener. Kamu beruntung rumah ini Enjes pilih sebagai tempat berdiam syantiek berikutnya.

"NGGAK!!!" Suri berseru galak tiba-tiba, hanya untuk mendapat respon yang tidak dia duga.

"Eeee—nggak—eee—nggak... eee—iya—ee iya enggak—eeeee...."

Suri melotot. "Mpok Jessica—"

"Duh, kamu nggak boleh teriak tiba-tiba di dekat Mpok Jessica!" Wati berseru. "Mpok Jessica tuh latah!"

Suri hampir membenturkan kepalanya ke tembok, sementara Mpok Jessica terlihat masih saja percaya diri.

"Jadi gimana, Enjes boleh kan berdiam syantiek di rumah ini?"

Duh, Tuhan. Tolong Suri. Dosa apa hingga dia harus terjebak di situasi seperti ini?




bersambung. 

******************************************

****************************************** 

a.n : muehehehehe xD 

Btw gaes, kayaknya our lovely Keandra Artha Ganesha bakal punya cerita sendiri deh hm dan genre-nya bakal chicklit. 

Gue belum pernah ngetik chicklit sebelumnya, jadi gue meniatkan ngejadiin cerita Keandra dan Cleo dalam genre ChickLit (doain semoga berhasil) karena kalian kayaknya demen sama Devan - Keandra dan lagi gue juga pengen nulis cerita dimana ceweknya lebih tua. Apalagi iblis macam Keandra kan mirip-mirip Baek In Ha gitu. 

Tapi gatau sih. Gue pengen publish at least kalau gue sudah mengetik lumayan banyak. 

Ah ya, maaf kalau gue kesannya impulsif dengan membuat cerita banyak. Gue juga stress sendiri, makanya suka labil masuk-keluarin cerita ke Draft Mode. Pengennya tuh rapi gitu kayak cuma punya satu cerita on going dan yang di publish udah selesai semua

Tapi ada pepatah yang bilang,  kalau pikiran kreatif itu nggak pernah rapi. creative minds are often chaotic. wonderfully, wildly and passionately chaotic. gue menulis karena gue ingin menulis, dan gue menulis apa yang mau gue tulis. Haha gue mau minta maaf kalau misalnya kalian greget merasa digantungin atau apa (percaya deh, gue juga greget digantungin Sherlock BBC dua tahun cuma buat season 4 dan plissssss.... cuma empat episode lyke???????? moga aja gue masih idup pas season 5 nya keluar ya?????? btw eurus holmes is a bae, somehow gue mengerti dan malah sedih liat karakternya :''''3)

Oh ya, maaf juga kalau malam ini gue belum bisa post JINX. Niatnya udah mau ngetik tapi gue sakit punggung jir efek revisi 330 halaman dalam waktu kurang dari 24 jam. Gue bukan deadliner, bahkan pas tugas sekalipun. Jadi ya merasa keganjal aja kalau ga diselesaikan haha dan 'mencicipi' proses penerbitan bikin gue berpikir gue agak kehilangan kebebasan karena karya yang diterbitkan biasa didesain untuk dinikmati semua orang dengan nyaman, sementara gue sendiri menulis bukan untuk membuat orang 'nyaman' wkwkwk jadi ya begitulah

Makasih untuk support kalian dari awal sampai sekarang. Kesibukan dunia nyata dan lain-lain mungkin bentar lagi bakal balik, tapi seperti yang selalu gue bilang ke semua pembaca gue sejak era Facebook, gue nggak akan pernah berhenti menulis. So if someday I happen to be disappear without words, mungkin gue telah ada dalam state yang memungkinkan gue untuk tidak bisa menulis apapun lagi sama sekali (you name it, vegetative state, coma, dead) lol bukan berarti gue berpikir gue bakal mati atau kenapa-napa, tapi lo tau, ada banyak orang yang pergi dari dunia ini tanpa sempat berpamitan dan perpisahan yang tidak pernah diniatkan itu yang justru paling menyakitkan. Ceileh. 

Oke deh, daripada gue kebanyakan curhat, mending kita stop sampai disini. 

Sampai ketemu di JINX besok ;) 

Luvvvv, Renoz 

Ciao

Continue Reading

You'll Also Like

621 96 27
[ter·beng·ka·lai] Rank: #1 in Kata (dari 15,6 rb) 14/01/24 #40 in Puisi (dari 75,6 rb) 14/01/24
2.2K 202 180
Mari ceritakan tentang hari ini.Mari tersenyum hari ini,hari esok dan seterusnya.Sampai suatu saat waktu mengusaikan.
24.3K 2.6K 56
Cukup. Hanya itu. Cukup bahagia, cukup tertawa. Hingga kecewa dan sedihpun tak akan terlalu terasa dalam dan menyakitkan. ''Harusnya dulu, gue ga mem...
21.5K 2.2K 68
Hanya kata sederhana ☺ Cover by : @Delta_Y