NOIR

由 renitanozaria

15.9M 1.4M 314K

Book One - Noir [Completed] Book Two - Noir : Tale of Black and White [Completed] 更多

prolog
satu
dua
tiga
empat
lima
enam
tujuh
delapan
sembilan
sepuluh
dua belas
tiga belas
empat belas
lima belas
enam belas
tujuh belas
delapan belas
sembilan belas
dua puluh
dua puluh satu
dua puluh dua
dua puluh tiga
dua puluh empat
dua puluh lima
mozaic
dua puluh enam
dua puluh tujuh
dua puluh delapan
dua puluh sembilan
tiga puluh
tiga puluh satu
tiga puluh dua
tiga puluh tiga
tiga puluh empat
tiga puluh lima
tiga puluh enam
tiga puluh tujuh
tiga puluh delapan
tiga puluh sembilan
empat puluh
empat puluh satu
empat puluh dua
NOIR - TALE OF BLACK AND WHITE
#01
#02
#03
#04
#05
#06
#07
#08
#09
#10
#11
#12
#13
#14
#15
#16
#17
#18
#19
#20
#21
#22
#23
#24
#25
#26
#27
#28
29 - Story of Red Moon
appetizer
#29
#30
#31
Extra: Gadis Kulit Jeruk
#32
#33
#34
#35
#36
#37
#38
#39
ES CENDOL
EPILOG
EXTRA - PINDAHAN
EXTRA - DONGENG
EXTRA - PERANG SAUDARA
EXTRA

sebelas

184K 22K 1.3K
由 renitanozaria

Sebastian sedang duduk meringkuk di atas sofa ruang tengah sembari menyelimuti dirinya sendiri dengan sehelai selimut tartan ketika Suri dan Calvin sampai disana. Sontak, dahi Calvin langsung dibuat berlipat melihatnya. Dia tidak menyangka, cowok tinggi dengan wajah sedingin Sebastian bisa terlihat begitu terguncang serupa Bokir yang habis dijahili oleh hantu Suzanna. Melihat reaksi yang tampak di wajah Calvin, untuk kesekian kalinya Sergio kembali menggaruk pelipisnya yang tidak gatal diiringi sebuah ringisan.

"Kakak lo kenapa?" Calvin bertanya, seperti Suri melambaikan tangannya di depan wajah Sebastian yang kini menatap pada tembok kuning gading rumahnya dengan pandangan kosong.

"Sawan."

"Buset, kayak balita baru ketemu setan aja."

"Kenyataannya emang dia digangguin semalaman sama..." Sergio melirik sekilas pada Sebastian yang masih membisu macam arca batu, kemudian merendahkan suaranya hingga hampir terdengar seperti bisikan. "...hantu rumah ini."

"Gue belum pernah lihat orang yang sampai sekaget ini gara-gara digangguin hantu," Suri masih melambaikan tangannya di depan wajah Sebastian, "padahal hantunya juga belum selevel Valak yang di film The Conjuring."

Mendadak, Sebastian menolehkan kepalanya pada Suri. Matanya memicing, lalu ujarnya dengan tajam. "Ini semua gara-gara lo!"

"Hah?" Suri hampir tersentak mundur. "maksud kamu apa?"

"Lo udah bikin hantu di rumah gue marah!"

"Loh, aku kan nggak ngapa-ngapain." Suri cemberut, tapi lantas wajahnya berubah penasaran. "Emang kamu setakut itu sama hantu, ya?"

Harga diri Sebastian serasa tertohok. Sebastian tidak bisa menerimanya. Apalagi jika yang melakukannya adalah gadis berusia delapan belas tahun yang belum lagi lulus SMA.

"Gue nggak takut hantu!"

"Terus kenapa kamu kayak gini?" Suri mengernyit pada selimut yang membalut tubuh Sebastian sampai kepala.

"Karena gue kedinginan."

"Tapi di luar cuacanya panas."

"Suka-suka gue, dong! Badan-badan gue. Selimut-selimut gue!" Sebastian beranjak dari sofa, melemparkan selimutnya ke sembarang arah dan berkacak pinggang di depan Suri. Sejenak, gadis itu seperti lupa bagaimana caranya berbicara.

Dia sudah pernah melihat Sebastian dalam balutan pakaian tidur, namun Sebastian versi hari ini jauh lebih seksi daripada Sebastian versi kemarin. Hari ini, Sebastian mengenakan celana panjang berwarna gelap dan kaus polos warna cokelat pudar yang banyak memiliki bekas luntur warna pakaian lain disana-sini. Kombinasi dari kantung mata, wajah pucat dan rambutnya yang berantakan membuatnya jadi terlihat seperti pangeran vampir dari kisah fantasi yang tayang di televisi.

"Kenapa lo malah diam?!"

"Heh, lo kira lo siapa bisa bentak-bentak adik gue?!" Calvin menyela cepat, membuat Sebastian memutar bola mata sambil berdecak. "Ngomongnya yang halus, dong. Lo nggak tau kan gimana adik gue bela-belain datang kesini cuma buat ngurusin masalah nggak penting di rumah lo."

"Nggak penting kata lo?!" suara Sebastian meninggi. "Wah, lo nggak tahu aja gimana gangguan sepanjang malam yang terjadi hampir merusak kemaslahatan umat!"

"Umat yang mana?" Calvin mencibir. "Badan lo boleh aja gede, tapi lo takut sama hantu. Cih."

Sebastian melotot. "Gue sudah bilang kalau gue nggak takut hantu!!"

"Oh ya?"

"Stop!" Suri memotong sebelum perdebatan antara kakaknya dan calon cinta sehidup-sematinya berkembang menjadi perseteruan yang lebih serius. Hubungan diantara kakak-kakaknya dan keluarga Dawala, terutama Sebastian harus tetap baik. Dengan demikian, tidak akan sulit buat Suri nantinya menapaki jalan menuju jenjang berikutnya. "kenapa sih cowok tuh hobi banget berantem? Capek, deh!"

"Dia ngebentak kamu, Suri. Abang nggak bisa biarin siapapun ngebentak kamu." Calvin membela diri, sementara Sebastian mencebikkan bibir, balas mengejek tanpa suara yang membuat Calvin lagi-lagi tak bisa menahan diri untuk melotot padanya.

"Yaudah. Aku ke dapur dulu sebentar. Kayaknya hantunya masih ada disana," Suri berujar seraya menurunkan tasnya dari bahu, meletakkan tas tersebut ke atas sofa, lantas melangkah menuju dapur rumah Sebastian tanpa peduli pada tatapan tiga pasang mata yang terus saja melekat di punggungnya.

"Hantu di rumah lo..." Calvin berujat tidak yakin setelah sosok Suri benar-benar tidak terlihat lagi. "... dia nggak berbahaya, kan?"

"Lo lihat kantung mata gue nggak? Menurut lo, hantu itu berbahaya apa nggak?" Sebastian balik bertanya dengan sarkastik.

"Kalau gitu kenapa lo pada ngebiarin Suri sendirian kesana?!"

Sebastian dan Sergio berpandangan.

"Hng... karena..." Sebastian memutar otak, mencari alasan. "karena hantunya perempuan!"

"Yaelah, apa hubungannya?"

"Perempuan tuh lebih nyaman curhat ke sesama perempuan. Jadi sebaiknya jangan diganggu. Kalau hantunya malah jadi marah karena kita ikut-ikutan gimana?"

"Alasan macam apa itu?"

"Terserah lo, sih," Sebastian memungut selimutnya yang tergeletak di atas karpet, lantas kembali merebahkan tubuh di sofa. "kalau lo mau kesana, yaudah kesana aja."

Calvin menghela napas. Dia tidak takut pada hantu—setidaknya, tak seperti Sebastian yang wajahnya langsung memucat setiap kali ada yang menyinggung tentang alam tak kasat mata di depannya. Namun membayangkan berada pada jarak dekat dengan makhluk yang kehadirannya disangkal oleh sains membuat cowok itu merasa tidak nyaman. Calvin tidak pernah memandang Suri aneh karena punya kemampuan melihat apa yang tidak bisa semua orang lihat, tapi dia juga bukan penggemar hal-hal yang seperti itu.

Menyerah, Calvin akhirnya berhenti berdebat dan memilih duduk di sebelah Sergio.

n  o  i  r

Dia masih sama seperti kemarin saat pertama kali Suri melihatnya. Sosoknya masih duduk di lantai, memainkan pintu dalam gerak lambat sehingga pintu tersebut tampak seperti tengah diembus oleh angin. Suri menghentikan langkah sejenak, sempat menatap sosok itu dengan ragu. Jika saja matanya tak tampak seperti rongga dan wajahnya tidak semuram itu, dia akan jadi bocah perempuan yang sangat lucu. Biasanya, jika bertemu dengan hantu pendiam yang sendu dan menyeramkan semacam itu, Suri akan langsung menjauh. Namun tentu saja kini dia tidak bisa melakukannya. Sergio butuh bantuannya—dan entah kenapa, Suri juga berpikir kalau makhluk itu pun butuh bantuannya.

Suri berjalan mendekat dengan perlahan, lalu berhenti dan berjongkok di dekat sosok tersebut. Tangannya terulur, membuat bocah asing itu menolehkan kepala. Wajahnya pucat, dan rongga matanya serupa blackhole yang mampu membangkitkan setiap jengkal rasa ngeri di tubuh Suri.

"Kamu... siapa?"

Sosok itu tidak menjawab, tapi dia berhenti menggerakkan pintu.

"Kamu... bisa ngomong?"

Sosok itu diam sebentar, lantas dia menggeleng perlahan.

"Oh, begitu." Suri menghela napas. "Kamu udah lama ada disini?"

Ragu sejenak, sosok itu mengangguk pelan.

"Kalau gitu, kenapa kemarin kamu ngegangguin Gio dan Tian? Kamu benci mereka? Atau mereka bikin salah sama kamu?"

Cepat, sosok itu menggelengkan kepalanya berkali-kali, seperti ingin menegaskan jika apa yang dipikirkan oleh Suri itu salah.

"Terus kenapa kamu gangguin mereka?"

Hening lagi. Suri masih menatap sosok itu, menunggu jawabannya. Namun, dia tidak pernah mendapatkan jawaban, karena pada detik berikutny bocah kecil berkuncir dua itu telah lenyap. Dia melebur bersama udara, pergi entah kemana meski Suri yakin jika dia masih ada disana. Kesha bilang, dia tertahan di dunia orang hidup karena ada urusannya yang belum selesai. Bisa saja, itu juga berlaku ini hantu di rumah Sergio kan? Karena tidak ada satu jiwa pun yang ingin berada berlama-lama di tempat yang membuat mereka jadi sesuatu yang asing. Mereka kesepian, tidak punya teman apalagi keluarga. Mereka tidak punya alasan untuk tertahan di dunia secara sukarela.

"Suri?"

Suara Calvin dari ambang pintu dapur membuat Suri langsung bangkit dan memutar tubuh. Gadis itu menatap pada kakak laki-lakinya, juga Sergio dan Sebastian yang berdiri hanya beberapa langkah di belakang Calvin. Lantas Suri menghela napas, perlahan kepalanya tergeleng. Ekspresi yang dia tunjukkan membuat mata Sebastian langsung melotot.

"Kenapa? Lo gagal ngusir hantunya?!"

"Ye, lo kira adik gue pemburu hantu?!" Calvin menukas ucapan Sebastian dengan sewot, lalu berpaling pada adik bungsunya. "Kenapa, Suri? Kamu baik-baik aja, kan?"

"Aku nggak apa-apa."

"Terus kenapa kamu kelihatan sedih kayak gitu?"

"Karena hantunya bikin aku sedih."

"Haduh, nggak usah diperjelas, deh!" Sebastian berseru. "Yang penting tuh, hantunya udah lo usir atau belum? Kalau belum, bisa gila gue dibuatnya! Besok gue udah harus ngantor. Gue nggak sanggup kalau harus begadang lagi kayak semalam!"

"Hantunya nggak bisa ngomong. Jadi aku nggak tau kenapa dia ada disitu dan apa yang bikin dia tertahan di rumah ini," Suri menyahut penuh penyesalan. "tapi kalau kamu mau, kamu bisa tidur di rumahku! Bisa pake kamarnya Abang Calvin, biar Abang Calvin ngungsi ke kamarnya Abang Cetta atau Abang Chandra. Atau kalau mau... di kamarku juga nggak apa-apa. Hehehe." Suri langsung tersipu ketika dia mengucapkan kalimat terakhir.

Calvin melotot. "Hah? Kok kamu tega gitu sih sama abang?!"

"Abang, ini tuh situasi darurat."

Calvin mendengus.

"Dih, mendingan gue cabut ke hotel sekalian daripada harus ngungsi ke rumah lo dan kakak-kakak lo yang nggak beres itu."

"Apa lo bilang?!"

"Stop." Suri mendesis, memutus bibit-bibit perdebatan antara Calvin dan Sebastian sebelum perdebatan itu semakin memanas. "hantunya nggak bisa diajak komunikasi, tapi aku perlu nanya sesuatu sama kalian," ujarnya menyambung, seraya memandang pada Sergio dan Sebastian yang langsung terkesiap.

"Apa?" Sergio bereaksi.

"Kalian udah lama tinggal di rumah ini? Maksudnya, mungkin ada riwayat penghuni sebelumnya atau gimana."

"Rumah ini dibangun sama orang tua gue nggak lama setelah mereka menikah," Sebastian menjawab. "Nggak ada penghuni sebelumnya atau apalah itu, karena sejak awal rumah ini memang milik keluarga gue."

"Hm. Oke. Kalau gitu, pernah ada anak perempuan yang tinggal dan meninggal disini nggak? Masih kecil. Perkiraan umurnya antara enam bulan sampai satu tahun. Dia belum bisa jalan dan belum bisa ngomong. Kulitnya pucat dan rambutnya dikuncir dua." Suri tampak ragu sebelum meneruskan, "aku nggak begitu yakin, tapi kelihatannya hantu-hantu itu nggak pernah berada jauh-jauh dari tempat mereka meninggal. Contohnya kayak Asmi yang nongkong di kamar mandi sekolahku, atau Kesha yang mengalami kecelakaan nggak jauh dari SMA Rajawali. Mungkin saja, hantu itu dulunya pernah hidup di rumah ini."

"Anak perempuan? Setahu gue engg—"

"Ada."

Jawaban Sebastian membuat mata Sergio terbeliak. "Maksud lo apa, kak?"

Sebastian menghela napas, namun tidak segera menjawab. Alih-alih mengobati rasa penasaran Sergio—juga Suri dan Calvin—cowok itu justru beranjak ke ruangan lain rumah yang berfungsi sebagai kamar kedua orang tua mereka. Kamar itu selalu terkunci ketika Papi-Mami Sebastian tidak berada di rumah karena perjalanan bisnis mereka. Baik Sebastian maupun Sergio hampir tidak pernah masuk kesana, karenanya, rasa penasaran Sergio semakin bertumbuh tatkala dia melihat Sebastian membuka kunci dan menguak pintu tersebut hingga mereka bisa melihat sebuah kamar luas dengan interior yang didominasi oleh warna putih dan krem.

Kamar tidur itu berbau seperti campuran pengharum ruangan dan kapur barus. Baunya bukan tipe bau yang menyenangkan, tapi juga bukan aroma yang mencekik indera pernapasan. Mereka mengikuti Sebastian masuk ke rumah itu, hanya diam menonton saat Sebastian menarik laci terbawah lemari milik kedua orang tuanya yang besar dan mengeluarkan sebuah kardus berukuran sedang. Di dalamnya, ada banyak bingkai foto, pernak-pernik dan baju anak perempuan yang tersimpan. Kebanyakan dari benda itu sudah berdebu, dan berbau seperti kenangan.

"Itu dia," Suri bergumam saat dia mengenali bocah berkuncir dua dalam foto buram yang terbingkai.

Sebastian mengernyit, menatap sejenak pada foto itu sebelum mengalihkan tatapannya pada Suri. "Lo serius, kan?"

"Kapan aku nggak serius sama kamu?"

"Plis."

"Beneran."

"Dia hantunya?" Sebastian merasa harus memastikan sekali lagi.

"Wujudnya sama."

"Kak, gue nggak ngerti," Sergio menyela. "Dia siapa?"

Sebastian terdiam lagi, seperti tengah terlibat dalam pergulatan yang tercipta dalam batinnya. Lantas, untuk yang kesekian kalinya cowok itu kembali menghela napas panjang. Matanya memandang pada benda-benda berdebu yang telah lama Mami simpan dalam lemari—bahkan setelah bertahun-tahun, wanita itu tidak pernah terpikirkan untuk membuangnya. Sebastian penasaran, apa Mami masih suka terdiam sendiri di malam hari, memperhatikan sosok gadis kecil dalam foto itu sambil meneteskan air mata penyesalan.

"Kak?"

"Dia... kakak lo. Dan adik gue."

"Hah?"

Sebuah cerita akhirnya meluncur dari mulut Sebastian. Kisah tentang adik perempuan yang pernah dia miliki, beberapa tahun sebelum Sergio lahir. Perbedaan usia antara Sebastian dengan bocah perempuan itu hanya dua tahun. Namanya Sarah. Mami benar-benar menyayangi Sarah ketika itu, tidak pernah absen mendandaninya setiap hari dengan baju berenda dan aksesoris rambut aneka warna. Pernah, Sebastian merasa agak cemburu, tapi dia juga belajar bagaimana caranya menjadi kakak yang bertanggung-jawab. Hingga suatu hari, peristiwa itu terjadi. Sarah lepas dari pengawasan, dan tanpa sengaja memainkan stop kontak di dekat pintu dapur dengan jarinya. Arus listrik yang mengalir merambat hingga membakar jari-jarinya. Sarah tidak terselamatkan, dan sesaat, Mami tenggelam dalam duka.

Sebastian masih terlalu kecil untuk mengerti ketika itu. Dia baru berusia tiga tahun. Terlalu muda untuk mengerti apa itu kematian dan kesedihan yang kerap menyertainya. Meski kemudian Sebastian mendapatkan Sergio sebagai adik barunya, namun diam-diam cowok itu tahu Mami tidak pernah benar-benar melupakan Sarah. Mami selalu berandai-andai jika Sarah masih ada, maka dia tidak perlu menjadi satu-satunya perempuan di rumah yang penuh laki-laki. Sebastian yakin, salah satu penyebab mengapa Mami memilih menyertai Papi dalam perjalanan bisnisnya setelah anak-anaknya mampu mandiri tidak lain adalah karena rumah mereka memiliki terlalu banyak kenangan tentang Sarah.

"Sekarang lo tahu," Sebastian mengakhiri ceritanya. "Jangan marah sama Mami. Mengingat Sarah selalu membuatnya sedih. Makanya dia nggak pernah cerita apa-apa ke lo. Papi juga nggak mau mengungkit-ungkit tentang Sarah karena khawatir itu cuma bikin Mami sedih," ujar Sebastian lagi, kali ini pada Sergio.

Sergio diam sejenak. "Gue ngerti, kak."

"Gue udah kasih tahu lo, jadi sekarang gimana?" Sebastian beralih pada Suri yang masih membisu.

"Maksudnya?"

"Gue nggak peduli sekalipun hantu yang hobi mainin pintu itu adalah roh mendiang adik perempuan gue. Gue tetap nggak mau tinggal di rumah bareng hantu!"

"Kalau bareng aku mau nggak?"

"Oriana Suri Laksita," Sebastian menghela napas, "Plis."

"Hehe, cuma bercanda, kok. Habis suasananya jadi dramatis dan tegang banget. Tenang aja, sebenarnya nggak ada juga hantu yang pengen ketahan lama-lama di dunia manusia. Apalagi Sarah, dengan kondisinya yang belum bisa jalan dan belum bisa ngomong. Dia tertahan disini bertahun-tahun, dan kalian nggak pernah ngerti tanda yang dia kasih."

"Tanda apa? Pintu dapur?"

"Iya. Karena dia nggak bisa ngomong. Kalau aku boleh berteori, dia baru dapet ide setelah tahu aku bisa berkomunikasi sama Kesha. Makanya dia bikin ulah di kamar kamu semalam. Apalagi setelah dia sadar kamu setakut itu sama hantu."

"Gue nggak takut hantu!" Sebastian membantah.

Suri manggut-manggut. "Iya, deh."

"Terus kita harus ngapain sekarang?" Sergio menyela.

"Hm, kayaknya Sarah nggak punya urusan yang belum selesai dengan Gio, atau dengan kamu. Karena kamu masih terlalu kecil waktu itu, dan Gio juga belum lahir. Jadi mungkin masalahnya ada di Papi-Mami kamu. Kapan mereka pulang?"

"Minggu depan."

"Oke, kalau gitu mungkin masalahnya baru bisa kelar minggu depan."

Sebastian melotot. "SERIUS?"

"Hehehe," Suri nyengir. "Nggak usah takut bakal diganggu lagi sama Sarah. Nanti aku akan ngomong ke dia, bilang kalau aku bakal bantu dia pergi ke atas, dengan syarat dia tetap tenang sampai Papi-Mami kamu pulang. Gimana?"

Tetap saja, membayangkan serumah bersama makhluk yang sangat dibencinya bukan sesuatu yang melegakan bagi Sebastian. Namun dia sadar, dia tidak punya pilihan lain. Akhirnya dengan sangat terpaksa, Sebastian menganggukkan kepala.

n  o  i  r

Malam hampir berakhir ketika sosok berselubung cahaya putih itu melangkah di atas aspal perempatan yang sepi. Meski hampir tidak ada kendaraan yang lewat, lampu lalu-lintas tetap bersetia menayangkan tiga warnanya secara bergantian. Udara terasa begitu dingin, sisa hujan yang turun sepanjang sore. Jalanan basah, namun sosok itu bergerak tanpa merasa terganggu. Batas dunia fana tidak berlaku untuknya, dan dia tidak perlu mengkhawatirkan apapun. Tidak ada pada udara, tidak ada trotoar yang tepiannya rompal disana-sini atau kemungkinan manusia bisa melihatnya. Manusia tidak akan bisa melihat makhluk sebangsanya, meski beberapa dari mereka memiliki sedikit keistimewaan untuk mengintip dunia tak kasat mata.

Seperti gadis itu.

"Dia hampir melakukannya lagi," ketika berpapasan dengan sosok terselubung cita kelam tepat di tengah zebra cross, sosok bercahaya itu bicara.

"Oh. Hai, Luce. Kukira kita sudah sepakat untuk pura-pura tidak kenal jika kebetulan bertemu?"

Diluce memutar bola matanya. Dia tidak suka jika ada yang memotong namanya begitu saja. Sang Pencipta yang memberikan nama itu padanya. Diluce, yang menunjukkan dia tercipta dari sesuatu mahaagung; cahaya.

"Reaksimu membuatku berpikir ulang mengajak bicara makhluk-makhluk sekaummu." Diluce memiringkan wajah. "kalian para iblis memang tidak tahu diuntung."

"Karena kami tidak seperti kaummu, yang menghamba pada Sang Pencipta hanya agar tetap mendapat tempat di atas." Nwa, nama iblis itu, membalas.

"Anak-anak Lucifer memang selalu penuh kesombongan."

Nwa menyeringai. "Aku tidak berminat mendebatmu. Maaf. Apa katamu tadi?"

"Gadis itu melakukannya lagi."

"Siapa?"

"Manusia itu." Diluce berujar. "Salah satu penghuni kota ini, gadis yang bisa mengintip dunia tidak terlihat. Dia hampir membantu jiwa yang tersesat untuk kembali ke atas. Lagi."

"Dan mengapa itu jadi masalah?"

"Dia mendahului kehendak Sang Pencipta." Diluce membalas sengit. "Dia tidak seharusnya melakukan itu. Manusia adalah makhluk mortal. Mereka tidak berhak ikut campur urusan dunia tak terlihat."

"Kamu tidak berhak melakukan apapun. Tidak ketika Sang Pencipta yang kamu puja setengah mati itu memilih untuk diam dan tidak melakukan apa-apa," Nwa tersenyum miring, lalu matanya mengarah pada sesosok manusia yang kini berjalan tertatih, tidak jauh dari mereka. Manusia itu paling tidak tengah berada di pertengahan usia tiga puluhan. Wajahnya sangar dan penuh dengan kumis yang tidak terawat. Ada botol minuman keras di tangan kanannya. Dia terhuyung khas orang mabuk, lalu mendadak tersungkur di atas trotoar dan tidak bangun lagi. "apa kamu datang kesini untuk menjemput jiwa itu?"

Diluce mendengus. "Aku bukan penjemput jiwa. Dan aku juga tidak akan menjemput jiwa kotor sepertinya."

"Lalu siapa yang akan menjemputnya?"

"Tidak ada. Tidak ada yang akan menjemputnya. Dia akan terus tertahan di dunia orang hidup, bergabung dengan jiwa-jiwa yang tersesat." Diluce menyahut acuh. "Sama seperti jiwa yang gadis itu bantu untuk terlepas dari masalah yang mereka tinggalkan di dunia. Gadis itu telah membantu jiwa-jiwa tersesat menyalahi takdir mereka."

"Kamu malaikat. Tapi kalau dipikir-pikir, kamu lebih jahat dari iblis manapun yang pernah kukenal. Bagaimana bisa kamu tega melihat jiwa-jiwa yang tersesat terlunta-lunta di dunia yang bahkan tidak lagi menerima mereka?"

"Karena mereka pantas mendapatkannya."

"Kita jelas punya cara menghakimi yang berbeda."

"Terserah," Diluce mendengus lagi, lantas menyambung. "Tapi gadis itu tidak sadar jika dia tengah melakukan kesalahan besar."

"Selama Sang Pencipta memilih tidak melakukan apa-apa, kita bukan siapa-siapa selain penonton, benar kan?"    





Bersambung. 

*******************************************

******************************************* 

a.n : Well, cerita ini nggak dikasih judul Noir tanpa Noir. Wkwkwk. 

Gue nggak tau apakah cerita ini akan berakhir di chapter 30 sesuai rencana atau justru tambah panjang beberapa chapter, karena gue mencoba mengeksplor dunia para malaikat dan iblis agak lebih dalam di pertengahan dan akhir. Tapi tenang aja, gue masih membuat cerita ini seringan mungkin dan mencoba menyatukan tiap-tiap karakternya dalam satu benang wkwk 

Vote dan komen sangat diapresiasi! 

Makasih yah udah baca. 

Oke deh. Sekian. 

Sampai ketemu di chapter berikutnya. 

Ciao. 

继续阅读

You'll Also Like

349 54 11
'Bibliosmia', aroma khas kertas. Aroma buku baru pada kumpulan cerita, kisah, dan legenda yang belum pernah kalian baca sebelumnya. Maka, jangan rag...
1.5M 15.9K 2
21 sampai ending diprivate Nerissa Aprodita menganggap dirinya hanya boneka sang Mama yang harus tetap tersenyum walau mengalami segala kepahitan d...
9.8M 1.2M 60
"Sumpah?! Demi apa?! Gue transmigrasi cuma gara-gara jatuh dari pohon mangga?!" Araya Chalista harus mengalami kejadian yang menurutnya tidak masuk a...
169K 14K 36
Ketika persahabatan mereka diuji, apa yang harus mereka lalukan? akankah mereka akan kembali bersama? atau memilih Jalannya masing-masing? dimanakah...