Rage in Cage (Complete)

By marianimarzz

349K 17.4K 695

(Belum Revisi) Pernahkah merasakan amarah dan dendam yang kian mendalam namun tidak mampu diutarakan dan hany... More

Prolog Part 1
Prolog Part 2
Prolog Part 3
Prolog Part 4
Chapter 1 Part 1
Chapter 1 Part 2
Chapter 1 Part 3
Chapter 2 Part 1
Chapter 2 Part 2
Chapter 2 Part 3
Chapter 2 Part 4
Chapter 2 Part 5
Chapter 2 Part 6
Chapter 2 Part 7
Chapter 3 Part 1
Chapter 3 Part 2
Chapter 3 Part 3
Chapter 3 Part 4
Chapter 3 Part 5
Chapter 4 Part 1
Chapter 4 Part 2
Chapter 4 Part 3
Chapter 4 Part 4
Chapter 4 Part 5
Chapter 5 Part 1
Chapter 5 Part 2
Chapter 5 Part 3
Chapter 5 Part 4
Chapter 5 Part 5
Chapter 6 Part 1
Chapter 6 Part 2
Chapter 6 Part 3
Chapter 7 Part 1
Chapter 7 Part 2
Chapter 7 Part 3
Chapter 7 Part 4
Chapter 8 Part 1
Chapter 8 Part 2
Chapter 9 Part 1
Chapter 9 Part 2
Chapter 10 Part 1
Chapter 10 Part 2
Chapter 11 Part 1
Chapter 11 Part 2
Chapter 12 Part 1
Chapter 12 Part 2
Chapter 13 Part 1
Chapter 13 Part 2
Chapter 14 Part 1
Chapter 14 part 2
Chapter 15 Part 1
Chapter 15 Part 2
Chapter 16 Part 1
Chapter 16 Part 2
Chapter 17 Part 1
Chapter 17 Part 2
Chapter 18 Part 1
Chapter 18 Part 2
Chapter 19 Part 1
Chapter 19 Part 2
Chapter 20 Part 1
Chapter 20 Part 2
Chapter 21 Part 1
Chapter 21 Part 2
Chapter 22 Part 1
Chapter 22 Part 2
Chapter 23 part 1
Chapter 23 Part 2
Chapter 23 Part 3
Chapter 24 Part 1
Chapter 24 Part 2
Chapter 25
Epiloq
Review

Chapter 24 Part 3

3.3K 142 34
By marianimarzz

"Anda tampak sangat cantik, Nona Muda."

Sylva tersenyum kecil. Kei yang membukakan pintu mobil itu pun tersenyum membalasnya lalu menuntun Sylva yang mengenakan pakaian pengantin itu masuk ke dalam dengan hati-hati. Mereka sekarang akan menuju ke gereja, tempat pergelaran pernikahan. Hanya dalam hitungan menit, Sylva akan menjadi istri Raven.

Sylva tersenyum sedih. Ia merasa sangat bersalah. Sudah berhari-hari Raven berusaha meminta Sylva untuk membantunya mencari Ibunya. Tapi bukannya membantu, Sylva yang memang sudah tahu persis dimana Tante Eliz hanya diam dan menggeleng. Ia takut. Kalau saja ia ketahuan memberitahu Raven perihal keberadaan Ibunya, Raven akan dibawa ke dalam kurungan atas tuntutan Ayahnya. Karena itu Sylva hanya bisa diam seolah tidak tahu. Perasaan Sylva sangat sakit, ia tidak merasa bahagia sama sekali walaupun hari ini ia telah tampil dalam sosok paling sempurna. Ia merasa rapuh.

"Maafkan aku," gumam Sylva sungguh rendah dan meneteskan setetes air mata dari kelopak matanya.

Mobil berjalan cepat. Tak sampai setengah jam ia sudah tiba di tempat tujuan, dan begitu ia mendaratkan kakinya persis di karpet merah, jam berdetak 12 kali dengan keras.

Alunan musik terdengar. Atas permintaan Sylva, Kei berdiri di sampingnya, memberikan lengannya dan Sylva melingkari lengan tersebut. Kei mendampingi Sylva berjalan menelusuri karpet tersebut, menuju ke ujung, menuju ke Raven yang tersenyum lebar padanya. Tak lama mereka berjalan di atas karpet merah, tibalah mereka di ujung pelaminan. Kei tersenyum lebar.

"Hamba menyerahkan Nona Muda pada Anda, Tuan Muda. Hamba berharap Anda akan membahagiakannya selalu," pesan Kei lembut seraya menyerahkan tangan Sylva kepada Raven.

Raven menyambutnya dengan senyuman. "Saya berjanji, Paman."

Singkat kata, kedua mempelai pun berdiri menghadap ke Tuhan Yesus, menghadap sang Pastor yang memulai ayat-ayat pernikahan. Semua hadirin yang ada juga mempelai diam tidak bersuara, yang terdengar hanyalah saut-saut sang Pastor membaca doa. Segalanya berlalu dengan cepat, dan setelah kedua mempelai selesai membacakan ayat perjanjian, tiba saatnya untuk menukar cincin pengikat janji.

Kedua buah cincin sudah tersiapkan tepat di hadapan mereka. Kedua mempelai mengulurkan masing-masing tangan kanan dan kiri. Yang pertama memulai adalah Sylva. Ia mengulurkan tangannya dan meraih salah sa—


"DDUUUARRRRRR!!!"


Semua orang terkesiap. Tanpa ada aba-aba sama sekali, dengan tiba-tibanya suara ledakan yang sangat keras terdengar didalam seisi gereja. Retakan-retakan dinding depan yang menjadi sasaran ledakan kini mulai membesar hingga ke langit-langit, membuat gedung ini mulai goyah.yang dalam detik berikutnya juga disertai oleh api yang melahap. Serasa tidak sabaran, apinya pun kini mengamuk dan saat disadari, hampir setengah dari gereja besar ini telah dilalap api. 

Tak ingin mengulurkan waktu, seluruhnya yang masih sayang pada nyawa mereka pun langsung melarikan diri keluar dari gereja tersebut, saling berebutan dan berlombaan mengejar gerbang di ujung belakang sana. Semuanya bergerak berusaha menyelamatkan diri mereka, namun ada yang tidak. Hanya satu yang diam, dan Sylva menyadarinya.

"Ada apa, Raven? Kenapa diam saja? Ayo kita keluar!" seru Sylva menarik Raven berusaha mengajaknya untuk kabur dari ruangan berapi ini. Sayangnya Raven bergeming, hanya tersenyum padanya.

"Kamu keluarlah dulu, Sylva. Ada hal penting yang harus kulakukan terlebih dahulu," sahutnya pelan seraya melepaskan cengkraman tangan Sylva.

Sylva panik serta kebingungan. "Apa lagi yang mau kamu lakukan di sini? Ayo cepat kita kabur sebelum terlambat!!" seru Sylva tidak ingin menyerah.

Raven menggeleng. "Tidak. Dia ada di sini, Va. Aku harus menemuinya."

Air mata Sylva menetes. "Siapa? Siapa, Ven? Siapa yang ingin kamu temui?!"


"Nona Muda, Tuan Muda!"

"Raven, Sylva!"


Seolah mendengar aba-aba, sosok Tio dan Kei secara bersamaan berlari mendekat dan menghampiri kedua mempelai yang masih diam di tempat merasakan api. Kedua sosok tersebut terlihat sangat panik.

"Ayo cepat kita keluar, Nona dan Tuan!" seru Kei cepat lalu menarik Sylva. Sayangnya Sylva menepiskan tangan tersebut. "Aku tidak akan keluar sebelum Raven keluar!" serunya keras kepala.

Beda dengan Kei yang bertambah panik, Tio yang bertemu tatap dengan Raven hanya diam. Ia melihat Raven tersenyum padanya dan Tio sudah mengerti. Ia mendesah, tak pernah menyangka firasat Raven akan setepat ini.

"Aku harap kamu bisa menepati janji kita, Yo," ucap Raven masih dengan tenangnya seolah api yang membara di belakang mereka itu tidaklah nyata.

Tio membuang muka. "Tak perlu kamu ingatkan pun aku pasti akan melakukannya," sahutnya dan ia pun menarik Sylva untuk keluar. "Ayo kita keluar."

Sylva panik. Ia berusaha melawan tarikan Tio yang kuat. "Tidak, lepaskan aku, Yo! Aku tidak akan keluar kalau Raven juga tidak mau keluar!"

Tio menggigit bibirnya. "Jangan keras kepala, V—"

Tio terdiam, Sylva juga terdiam, sebab dengan mendadaknya Raven menarik wajah Sylva yang mulai beraliran mata lalu menciumnya dengan cepat. Ia tersenyum ramah lalu membelai wajah Sylva setelah melepaskan ciumannya. 


"Aku mencintaimu, Va," ucapnya. 


"Aku tidak tahu sejak kapan, tapi aku tahu, aku sangat mencintaimu, Sylva. Kalau aku bisa memilih, aku pasti akan memilih bersamamu, Va. Sayangnya, aku tidak memiliki pilihan. Aku hanya bisa menerima nasibku. Kalau aku beruntung, aku akan keluar, kalau tidak, mungkin ini akan menjadi pertemuan terakhir kita."

Menetes. Melawan keringat yang keluar karena hawa panas, air mata Sylva pun tidak berhenti berlomba mengalir. Ia menggeleng. "Tidak, jangan berkata seperti itu, Ven. Kita akan bertemu setiap hari, Ven, pasti! Karena itu, ayo kita keluar!"

Raven diam. Ia hanya tersenyum lalu mundur dengan perlahan. "Aku harap kamu akan menjadi koki yang hebat," ucapnya pelan lalu mengalihkan pandangannya ke Tio dan langsung mengangguk. Sambil membuang muka, Tio pun dengan sekuat tenaga menarik Sylva yang terisak itu keluar dari luapan api ini. Ya, keluar dari tempat pertemuan terakhir ini. Saut-saut terdengar teriakan Sylva dari jauh dan tak lama suaranya pun tenggelam ditelan api. Keringat Raven bertambah banyak, ia pernah merasa demikian. Ia sudah mengingatnya.


Ini sama dengan mimpinya.


Sylva adalah cahaya masa depan. Dengan mengikutinya keluar, ia akan melewati hari-hari bersama Sylva yang penuh kebahagiaan dalam tanda kutip. Ia tidak pernah merasa akan bahagia. Raven tahu, ia punya banyak musuh di luar. Ia tidak akan dibiarkan bahagia, tidak akan pernah. Ini adalah akibat yang ia ciptakan sendiri. Raven tidak ingin Sylva hidup menderita bersamanya, karena itu Raven memutuskan meninggalkan pintu gerbang penuh cahaya itu dan memilih rantai api.


Elizia.


Raven melangkah mendekati pelaminan. "Keluarlah. Aku tahu kamu di sana."

Hening. Yang terdengar hanyalah suara api yang membakar perlahan gedung ini dan seseorang dengan mendadaknya muncul dari balik meja sana. Elizia, dengan pisau yang terancung ke depan. Raven berjalan maju selangkah.

"Jangan mendekat!" seru Elizia keras dengan wajah yang emosi. "Jangan mendekatiku!"

Raven tersenyum sedih. "Kenapa? Kita sudah seminggu tidak bertemu, apa kamu tidak merindukanku? Aku sangat merindukanm—"

"Bohong! Kamu bohong!" Setetes air mata mengalir dari kelopak Elizianya. "Kamu menduakanku! Kamu membenciku! Kamu tidak mencintaiku! Kamu mencintai wanita itu, menciumnya, meninggalkanku!!"

Raven menghela napas seraya maju selangkah. "Ngawur. Kata siapa aku membencimu? Kamu satu-satunya yang kucintai hingga ke seluk-beluk tulangku. Aku mencium wanita tadi hanya untuk mengusirnya, dia keras kepala, apa kau tidak tahu itu?"

"Bohong!" seru Elizia tidak percaya. "Kamu mencintainya! Kamu tidak mencintaiku! Kamu membenc—"


"AWAASSS!!!!"


Api yang semakin membara telah melumpuhkan kayu penyanggah gedung ini dan jatuh dari langit-langit, tepat di atas Elizia. Raven yang menyadarinya pun meloncat sekuat tenaga mendorong Elizia lalu terhempas pergi dari jatuhan kayu kobaran api itu.

"RAVEN!" pekik Elizia ngeri. Ia yang sejak tadi terus mengulurkan tangannya yang memeluk erat pisau itu pun tidak sengaja menggoresi wajah juga lengan kiri Raven. Kini wajah juga lengan Raven penuh dengan aliran darah, belum lagi kedua kakinya yang terjepit persis di jatuhan bongkahan kayu besar tadi.

"Gawat, aku terjepit," gumam Raven rendah tapi masih tersenyum. Elizia yang terduduk di sebelahnya sudah mengalirkan air mata. Raven kembali tersenyum lembut lalu membelai wajah Elizia yang bergetar. "Syukurlah kamu baik-baik saja."

"Raven!" Tidak ingin peduli apa-apa lagi, Elizia yang sudah terisak langsung melempar pisaunya sembarang arah lalu memeluk Raven erat. Tangisannya benar-benar tumpah setelah itu. "Maafkan aku, Ven. Maafkan aku, maafkan aku sudah melukaimu. Maafkan aku, maafkan aku..."

"Sudah, sudah," gumam Raven pelan berusaha menenanginya. "Kamu tidak bersalah kok. Aku yang bersalah sudah membuatmu marah. Maafkan aku."

"Tidak! Aku tidak marah, Ven, aku yang salah, maafkan aku. Aku berjanji tidak akan mengarahkan pisau padamu lagi, aku janji!" Tangan Elizia yang bergetar dengan perlahan mendekati pipi Raven yang tergores. "Pasti sangat sakit, k—"

Elizia terdiam. Dengan mendadak tangannya dicengkram oleh Raven dan detik itu juga Raven menariknya hingga terbaring lalu memeluk lebih erat. Ia sungguh merindukan kehangatan tubuh Ibunya, melebihi kehangatan panas api yang membara di ruangan ini. Ia melepaskan pelukannya tak lama setelah itu lalu saling bertatapan lembut.


"Maukah kau menikahiku?"


Elizia terkejut. Ia tidak salah dengar, bukan? Tapi dia... "Tapi kita ini anak dan Ibu, Ven," ucapnya pelan dengan ragu.

Raven menggeleng pelan. "Aku tidak peduli. Mau kita Ibu-anak, nenek-cucu, atau lain sebagainya aku tidak peduli. Aku tidak peduli hukum alam ataupun hukum politik yang melarang. Aku hanya peduli padamu. Aku hanya ingin menikah padamu."

Elizia menggigit bibirnya. "Tapi aku sangat jelek, Ven. Aku tidak mengenakan pakaian pengantin, aku penuh darah, aku compang-camping, aku bau, aku—"

"Aku tidak butuh apapun. Aku hanya butuh dirimu."

Elizia terdiam. Ia tidak menyahut, hanya aliran air mata dan anggukan yang menjawab. Raven tersenyum pulas. Dengan tangan sedikit bergetar, Raven mengeluarkan dua cincin lalu menyematkan salah satu yang lebih kecil di jari manis kiri Elizia. Elizia pun melakukan yang sama di sebelah kanan jari manis Raven. Kedua tangan yang mengenakan cincin itu menggenggam kuat.

"Dengan ini, kita resmi suami istri, sayang."

Air mata Elizia kembali mengalir lagi, air mata kebahagiaan. "Aku tidak pernah bermimpi sekalipun akan menikah denganmu, Raven. Aku mencintaimu."

Raven tersenyum kecil. Ia bisa merasakan napasnya mulai memelan seiring waktu, tapi ia menghiraukannya dan terus tersenyum.


"Aku juga mencintaimu, Elizia."


Mereka mengeratkan tubuh mereka, saling memeluk dan kedua bibir pun saling bertemu. Mereka terus berciuman, menikmati masa-masa terakhir ini, mengabaikan rasa panas yang sudah menjalarkan ke pakaian mereka, ke tubuh mereka. Mereka hanya mengerti tentang mereka. Api maupun dunia sudah tidak penting lagi. Yang mereka perlu hanya kebersamaan, cinta, berdua, hingga api yang menjadi bukti cinta mereka membawa mereka ke dunia lain.


Ya, hal itu sudah cukup bagi mereka berdua.

********************************************************************************************

TBC

Continue Reading

You'll Also Like

1.6M 105K 33
"Daripada gue susah-susah cari calon suami yang oke, mending nikah sama lo aja, Ren. Yuk!" Ucapan Sybil dibalas semburan kopi yang langsung membasahi...
4.4K 569 35
"Aku.. membenci atasanku.. Kim Ssib**!!!!!!!" - Jung Seorin, Asisten kepala Agent Rahasia NIS dengan bakat utamanya yaitu bersumpah serapah, hampir s...
1.2M 87.8K 31
Abel tidak pernah menyukai Garry... Sejak Garry berpacaran dengan Risty-- kakak Abel, pria itu tidak pernah menutupi ketertarikannya pada Abel. Dan k...
5.2K 276 20
Andrian Lee, the best fashion director in town. Orientasi seksualnya sih gay tapi sialnya dia jatuh cinta pada seorang pria straight, yang kecanduan...