Rage in Cage (Complete)

By marianimarzz

349K 17.4K 695

(Belum Revisi) Pernahkah merasakan amarah dan dendam yang kian mendalam namun tidak mampu diutarakan dan hany... More

Prolog Part 1
Prolog Part 2
Prolog Part 3
Prolog Part 4
Chapter 1 Part 1
Chapter 1 Part 2
Chapter 1 Part 3
Chapter 2 Part 1
Chapter 2 Part 2
Chapter 2 Part 3
Chapter 2 Part 4
Chapter 2 Part 5
Chapter 2 Part 6
Chapter 2 Part 7
Chapter 3 Part 1
Chapter 3 Part 2
Chapter 3 Part 3
Chapter 3 Part 4
Chapter 3 Part 5
Chapter 4 Part 1
Chapter 4 Part 2
Chapter 4 Part 3
Chapter 4 Part 4
Chapter 4 Part 5
Chapter 5 Part 1
Chapter 5 Part 2
Chapter 5 Part 3
Chapter 5 Part 4
Chapter 5 Part 5
Chapter 6 Part 1
Chapter 6 Part 2
Chapter 6 Part 3
Chapter 7 Part 1
Chapter 7 Part 2
Chapter 7 Part 3
Chapter 7 Part 4
Chapter 8 Part 1
Chapter 8 Part 2
Chapter 9 Part 1
Chapter 9 Part 2
Chapter 10 Part 1
Chapter 10 Part 2
Chapter 11 Part 1
Chapter 11 Part 2
Chapter 12 Part 1
Chapter 12 Part 2
Chapter 13 Part 1
Chapter 13 Part 2
Chapter 14 Part 1
Chapter 14 part 2
Chapter 15 Part 1
Chapter 15 Part 2
Chapter 16 Part 1
Chapter 16 Part 2
Chapter 17 Part 1
Chapter 17 Part 2
Chapter 18 Part 1
Chapter 18 Part 2
Chapter 19 Part 1
Chapter 19 Part 2
Chapter 20 Part 1
Chapter 20 Part 2
Chapter 21 Part 1
Chapter 21 Part 2
Chapter 22 Part 1
Chapter 22 Part 2
Chapter 23 Part 2
Chapter 23 Part 3
Chapter 24 Part 1
Chapter 24 Part 2
Chapter 24 Part 3
Chapter 25
Epiloq
Review

Chapter 23 part 1

2.2K 108 6
By marianimarzz

"Ini lelucon!"

Tertawa. Setelah lama tidak, dan setelah susah payah berusaha menahannya tapi tetap tidak bisa, Kei tertawa sangat terlepas sambil mengendarai mobilnya. Ini pertama kalinya ia tertawa karena kejengkelan Nona mudanya. Ini terlalu menggemaskan.

"Jangan tertawa, Kei!" seru Sylva dengan wajah yang sangat memerah, kesal.

"Maafkan saya, Nona muda," ucap Kei perlahan sembari berdeham. Membuat Nona Mudanya kesal adalah salah satu kesalahan yang tidak boleh dilakukan seenaknya. Sopir tua itu hanya bisa tersenyum tertahan.

Memang tidak ada lagi suara tawa dari depan, namun Sylva dapat mendengar sebuah suara lain dari orang yang duduk di sebelahnya. "Kamu juga jangan tertawa, Raven!" lanjutnya lagi seraya memukul lengannya kesal.

Raven menyeringai menanggapi pukulannya sembari menghentikan cengengesannya. Ini memang memalukan, tapi tetap saja lucu. "Aku tidak punya cara lain, Va. Hanya cara itu yang terpikir olehku agar mereka percaya pada kita."

"Tapi tetap saja, ha ... mi ... itu terlalu memalukan, Ven!" seru Sylva benar-benar keras dan nyaring. Wajahnya semakin merah padam tanpa bisa membedung rasa malunya sekarang. "Harus taruh di mana mukaku nanti?"

Raven diam. Ia tidak tersenyum lagi, hanya menampilkan wajahnya yang datar lalu kemudian menggenggam tangan Sylva, tidak lupa menatapnya cukup serius. "Aku minta maaf atas kelancanganku yang tadi, tapi bagaimanapun kamu harus menerimanya, Va. Kamu yang memintaku untuk menyelamatkanmu, dengan cara apa pun."

Alis Sylva berkerut dalam. Ingin rasanya ia menangis, antara terharu dan sedih. Ini dilema. Yang bisa Sylva lakukan hanyalah menunduk. "Raven ...."

"Dan aku harap, kamu bisa menepati janjimu, Va."

Diam. Kali ini giliran Sylva yang terdiam. Ia melupakannya. Janjinya dengan Raven waktu itu, Sylva kembali mengingatnya. Itu janji yang sama sekali tidak pernah bisa ia penuhi dengan setulus hati. Sylva melepaskan genggaman tangan Raven dan kembali menunduk dengan lesu.

Tidak ada lagi percakapan yang terjadi setelah itu. Mobil berjalan dengan mulus tanpa hambatan, menuju ke kediaman Raven. Sylva yang sedaritadi melirik ke luar jendela pun dengan tanpa sadar menatap telapak kanannya. Ada sebuah cincin emas.

Setelah dibawa kabur Raven dari rumahnya sendiri, Sylva melepaskan cincin pertunangannya barusan dan terus menggenggamnya erat hingga saat ini. Sylva tersenyum kecil melihatnya. Ia ingat, sewaktu tangan kanannya ini sedang dipasangkan cincin, tangan kirinya yang bebas di belakang saat itu terus menggenggam erat sesuatu.

Ia menggenggam pisau kecil.

Saat gilirannya untuk mengenakan cincin pada Jackson, Sylva ingin mulai beraksi dengan mengancam bunuh diri menggunakan pisau tersebut. Semua orang pastinya tahu, apa yang Sylva katakan pasti akan ia lakukan, semua orang pasti akan percaya kalau dirinya akan bunuh diri kalau tetap saja dipertunangkan. Sylva mengira rencananya akan berhasil tanpa bantuan siapa pun. Namun siapa sangka, Raven mendadak muncul.

Ia yang jelas-jelas menolaknya hari itu muncul hari ini, memaksa ingin meminang dirinya dengan alasan telah menghamili Sylva. Ucapan itu memang sangat memalukan, tapi berhasil mengecoh seluruh orang. Setelah itu Sylva pasti akan dipandang rendah, bahkan mungkin dibenci oleh Ayahnya sendiri, tapi dengan begini Sylva bebas. Ia mengira Raven telah membulatkan tekadnya untuk menjadi suami Sylva seumur hidup. Tapi nyatanya ....

Raven datang untuk menagih janji waktu itu.

Sylva melirik Raven yang sedang menatap ke luar jendela itu. Wajahnya terlihat tenang, tidak ada tanda-tanda ingin melirik Sylva sama sekali. Sylva hanya menghela napas lalu kembali menatap ke luar jendela lagi. Ia tidak ingin memikirkan apa-apa lagi.

Hampir setengah jam setelah itu–ternyata terhambat sejenak–mereka tiba juga di depan rumah Raven. Tak ingin mengulur banyak waktu, Raven pun turun dari mobil tersebut tanpa sepatah kata pun. Kejadian hari ini tidak pernah terlintas di benaknya, lantas ia malah bertingkah di luar dugaannya dan itu sangat melelahkan. Raven butuh ketenan—

"Tunggu, Raven!"

Raven tersentak. Ia bisa merasa tangannya ditarik oleh seseorang, dan itu tentu adalah Sylva. Entah kenapa, Raven terlihat sangat panik mendapati kehadiran Sylva di sebelahnya. "A, apa yang kamu lakukan di sini?"

Seolah tidak mengerti sama sekali dengan kepanikannya, Sylva hanya menatapnya dengan wajah yang polos. "Aku? Bertamu dong. Bagaimanapun juga kita akan menikah meski itu pal—"

"Tidak, jangan!" potong Raven dengan tiba-tiba, juga dengan suara yang kuat mengagetkan Sylva hingga membelalak.

"Kenapa tidak? Apa aku dilarang untuk memasuki rumah calon suamiku sendiri? Itu lelucon, Ven," ucap Sylva.

Raven tidak mengatakan apa-apa, hanya bisa mendesah panjang sembari mengacak-acak rambutnya, sesuatu yang jarang ia lakukan tapi mampu membuktikan kegugupannya. Ia hanya bisa salah tingkah.

"Bu, bukan begitu maksudku, tapi sekarang sepertinya bukan waktu yang tepat. Aku belum sempat mel—"

"Apa kamu menyembunyikan sesuatu dariku?"

Raven diam. Sepertinya ucapan Sylva tepat sasaran, buktinya Raven bukannya melawan melainkan membuang mukanya. Sylva memang tidak pernah diragukan untuk hal seperti ini. "Kamu benar-benar menyembunyikan sesuatu?"

Raven mendesah lagi dengan panjang. "Baiklah, aku mengalah. Aku tidak akan melarang apa-apa, kamu bebas memasuki rumahku, tapi," Raven menatap Sylva dengan lekat, "siapkan mentalmu."

"Apa?"

Raven tidak lagi menggubrisnya, lantas ia mulai melangkah mendekati pintu rumahnya, seolah-olah tidak mendengar suaranya. Sylva yang sedikit penasaran hanya bisa mengikutinya dalam diam.

"Aku pul—"

"KKYYAAAAA!!!!"

Sesuai dugaan. Sebelum Sylva berteriak lebih keras dari itu, Raven buru-buru menutup mulutnya dengan erat tidak lupa menutupi juga kedua matanya dengan tangan yang satu lagi. ternyata Raven tidak pernah salah dengan firasatnya.

Elizia berdiri di hadapan mereka.

***

5 jam.

Sudah lewat 5 jam sejak Raven keluar dari rumah ini, dan seperti biasanya, Elizia merasa kebosanan. Di hari-hari biasanya Elizia harus menunggu Raven sekitar 3-4 jam lagi hingga ia muncul di hadapannya dengan ekspresi raut wajah yang tidak pernah sama tergantung banyaknya penghasilan yang ia dapatkan. Tapi hari ini berbeda. Raven tidak mengenakan pakaian amburadulnya dan juga tidak membawa gitarnya, ia keluar dengan gagahnya.

Elizia jadi ragu. Kemanakah Raven pergi? Semakin dipikirkan, Elizia semakin gelisah. Ia tidak pernah bisa lagi tenang seperti dulunya. Ia ingin mengetahui segala hal tentang Raven, segalanya, apapun itu. Akhirnya, setiap perasaannya mulai kacau, kedua tangannya mulai bergetar. Elizia mulai mempunyai tabiat menggigit-gigit kuku telunjuknya yang bergetar itu. Tatapannya kosong.

"Dia tidak selingkuh, bukan?"

PRANNGG.

Terkejut. Merasa suara tersebut berasal dari arah taman, Elizia pun bergerak penuh waspada menuju halaman rumahnya. Tidak ada apa-apa di sana, hanya ada pot kosong sebelah Morning Glory yang terjatuh dan pecah, dan entah bagaimana, bagian pecahan yang paling besar menimpa seekor burung merpati putih–entah datang darimana, mengunci gerakan dan sayapnya.

Pertahanan Elizia mengendur. Tatapan kini fokus pada burung tersebut, tatapan yang kosong tapi dalam. Perlahan Elizia melangkah mendekatinya yang masih terperangkap dalam tindihan pot itu. Perlahan, perlahan, dan cengkram.

Tubuh Elizia terasa hangat seketika. Matanya tidak berkedip, masih terlihat kosong, menatap lekat pada burung yang berada dalam genggamannya sekarang, burung yang sudah tidak bergerak itu. Cengkramannya semakin erat.

"Jangan merusak milik Raven."

"Tunggu, Raven!"

Sekali lagi, Elizia terkejut. Suara. Raven. Elizia mendengarnya, ada yang memanggil nama Raven, suara seorang perempuan, di depan rumah mereka. Elizia melangkah dengan cepat memasuki rumah, menuju ke depan pintu.

Siapa perempuan itu?

"Aku pul—"

"KKYYAAAAA!!!!"

Lagi-lagi, Elizia kembali membelalak kedua matanya. Ia bisa melihat Raven, pulang dengan seorang perempuan dan memeluknya sekarang. Memeluknya dan menatap Elizia dengan mata yang kesal.

Siapa perempuan itu?

***************************************************************************

Continue Reading

You'll Also Like

2.5K 245 16
Lanjutan perjalanan cinta Mas Liam si Bucin 😘
525K 28K 41
[COMPLETED] Highest Rank #1 -Luka Highest Rank #1 - Perpisahan Highest Rank #1 - Kehilangan Semenjak kejadian malam itu, kehidupan Rosaline berubah 1...
1.2M 87.8K 31
Abel tidak pernah menyukai Garry... Sejak Garry berpacaran dengan Risty-- kakak Abel, pria itu tidak pernah menutupi ketertarikannya pada Abel. Dan k...
195K 17.6K 33
"Peperangan diantara para belalang adalah pesta bagi kelompok burung gagak." Kematian anggota klub renang bernama Danu yang dinyatakan polisi sebagai...