LANDON (seri-1) No Rose Witho...

By Luluxrivandy

324K 16.4K 704

Ariana Faith terpaksa harus menenuhi keinginan terakhir orang tuanya untuk menikahi seorang dokter ahli bedah... More

Sinopsis
Prolog
Bab 1
Bab 2
Bab 3
Bab 4
Bab 5
Bab 6
Bab 7
Bab 8
Bab 9
Bab 10
Bab 11
Bab 12
Bab 13
Bab 14
Bab 15
Bab 16
Bab 17
Bab 18
Bab 19
Bab 20
Bab 21
Bab 22
Bab 23
Bab 24
Bab 25
Bab 26
Epilog
Catatan Pengarang
Tentang Penulis
Koleksi ceritaku lainnya

Bab 27

10.9K 546 8
By Luluxrivandy


Ian merasa usahanya sia-sia. Sepanjang malam ia berpikir untuk menyusun tesis ilmiahnya, namun tidak satupun kalimat yang benar-benar berhasil ditulis. Pikiran Ian hanya terfokus pada Faith, perasaannya tidak bisa berhenti mengkhawatirkan wanita itu dan hanya Tuhan yang tahu betapa ia merindukan wanita itu.

Malam Ian terjaga dari tidurnya. Ingatan akan Faith mengusik pikirannya, kemudian pagi ketika ia kembali memulai aktivitasnya di klinik, Ian menjadi lebih pasif dan membiarkan bawahannya yang menangani pasien. Ian tidak bisa menangani para pasien ketika pikirannya terbagi di dua tempat.

Malamnya, Ian menghabiskan waktu dengan duduk bersandar di sofa sembari meneteskan alkohol pada lukanya sementara Luke berdiri di hadapannya, mondar-mandir dengan resah dan tidak pernah berhenti berceloteh.

"Aku mempertanyakan kewarasanmu, Kit," ujar Luke. Jika pernyataan itu dihanturkan oleh orang lain, mungkin Ian akan tersinggung, tapi beruntung Ian sudah terbiasa dengan sarkame Luke sehingga Ian tidak begitu mengacuhkannya.

"Bagaimana kau bisa membiarkan kakak ipar pergi begitu saja?" Luke menghela napas sembari memijat keningnya, satu kebiasaan yang Ian tahu selalu dilakukan Luke. "Ian, Ian, Ian.. Buka matamu! Apa kau benar-benar sadar akan apa yang kau lakukan?"

Ian membalut lukanya dengan perban sebelum menatap lurus ke arah Luke. Tatapannya kosong, tidak ada emosi yang melintas disana.

"Kalau kau masih ingin berdiri disana dan menanyakan pertanyaan yang sama, sebaiknya kau pergi saja."

Luke tertawa, tawanya terdengar merendahkan. "Aku akan kembali, saat kakak ipar sudah disini. Dengar, Kit. Aku sudah cukup melihatmu berkeliaran di malam hari seperti orang gila, duduk menghadapi tulisan yang tidak pernah berkembang dan duduk di depan televisi dan melamun seakan kau tengah menunggu seseorang menjatuhkan bom hingga membuat kita semua mati sia-sia. Semua itu sudah cukup. Sekarang pikirkan ini baik-baik, kau membutuhkan kakak ipar. Lihatlah dirimu! Kau kacau."

Ian memejamkan mata, menghela napas sembari menjernihkan pikirannya. Tekadang sikap Luke membuat Ian kacau, namun kali ini berbeda, Ian tidak mampu menyalahkan pria itu karena ia juga menemukan suatu kebenaran dari apa yang dikatakan Luke: bahwa Ian membutuhkan Faith. Hanya saja, Ian tidak mau dikalahkan oleh godaan untuk menemui Faith. Faith sudah membuat keputusan untuk meninggalkannya dan Ian harus menghargai keputusan itu.

"Aku memberinya pilihan dan dia sudah memutuskan untuk meninggalkan rumah ini. Aku tidak bisa mencegahnya."

Kelihatannya bukan hanya Ian dan Faith yang akan menjadi gila, tetapi Luke juga. Wajah Luke mengatakan demikian.

"Astaga, Kit! Bagaimana aku harus mengatakannya padamu? Apa kau benar-benar yakin ini semua yang diinginkannya? Berpisah denganmu?"

Ian tidak yakin, tapi logikanya menjawab secara spontan. "Jika dia tidak menginginkannya, dia bisa tetap tinggal."

"Di tengah pikiran gilamu yang mengusulkan perceraian?" Luke mendengus. "Wanita mana yang akan merasa nyaman tinggal bersama seorang suami yang menawarkan perceraian?"

Retoris itu terasa bagai tamparan keras bagi Ian. Luke benar. Seandainya Ian tidak mengusik Faith dengan iming-iming perceraian, mungkin semuanya akan baik-baik saja, terlepas dari kesepakatan yang mereka buat.

"Kit, kau tidak bisa menghindar selamanya. Faktanya kau membuthkan dia dan kau bisa mencegah semuanya sebelum terlambat."

"Bagaimana jika dia menolakku?"

"Kau tidak perlu menyesal karena itu yang kau inginkan, bukan? Dalam situasi ini, aku tidak mengenalimu sebagai Ian. Ian tidak pernah melepas sesuatu dengan begitu mudah."

Luke menyampirkan jasnya kemudian beranjak ke ambang pintu. Ia membuka pintu, berhenti untuk menatap Ian dari atas bahunya dan menyampaikan sebuah pesan, "aku harap kau tidak mengecewakan semua orang. Pikirkan sekali lagi, kau mungkin akan menghancurkannya, dan bukan hanya dia, tetapi juga keluargamu, orang-orang yang mengharapkan kalian dapat hidup bahagia." Kemudian Luke melangkah keluar, menutup pintu di belakangnya dan beranjak pergi menjauh mengendari sedan putih miliknya.

Suasana menjadi senyap setelah suara gemuruh dari mesin mobil yang menyala mulai menjauh dan hilang dalam hitungan detik. Sementara siaran televisi masih menyala di ruang utama, Ian hanya duduk termangun disana, memikirkan semua yang dikatakan Luke dan merasa semakin kacau dalam setiap detiknya.

Siaran televisi memampangkan kondisi berbagai tempat wisata di penjuru dunia. Seorang pemandu tour yang muncul di layar mulai menjelaskan semua wahana rekreasi yang begitu indah. Kemudian layar berganti hitam dan dengan cepat memampangkan sebuah surga alam di Benua Asia sebelum berganti pada sensasi putih dari es yang membeku di utara. Amsterdam, Dubai, India, Mesir, kemudian beralih ke China dan berakhir di Prancis.

Ungkapan Faith ketika wanita itu memaparkan keinginannya untuk berkeliling dunia dan mengunjungi tempat bersejarah masih terasa segar dalam ingatan. Ian ingat betul ketika Faith mengatakan bahwa wanita itu berharap dapat mengunjungi wisata dunia yang terkenal. Di luar kehendaknya senyum Ian merekah.

Dalam sekejap Ian merasakan keinginan kuat untuk mendekap Faith erat-erat. Mengatakan betapa ia mencintai Faith dan membisikan semua rencananya untuk berkeliling dunia. Ian merindukan Faith, merindukan setiap jengkal tubuh Faith dan merindukan tawanya. Entah apa yang dirasakan oleh Faith, yang pasti Ian sangat mencintainya. Ian telah merasa jatuh cinta saat pertama kali ia menatap Faith. Ketertarikannya bukan sekadar ketertarikan fisik, namun hal yang lebih dari itu. Dan setelah sekian lama berkaier dialam spesialisnya sebagai seorang dokter Ian baru percaya bahwa ada sebuah emosi yang begitu kuat, semacam kontak yang dapat dirasakan oleh manusia, yang mampu memengaruhi seluruh kerja organ di tubuhnya bahkan sampai mengendalikannya. Dan emosi itu dirasakan Ian terhadap Faith. Ian merasa sangat sakit, terpuruk lebih dari yang sudah-sudah tanpa Faith, namun ketika memikirkan wanita itu, merasakan keberadaannya, Ian akan merasa jauh lebih sehat. Tidak ada campur tangan yang bersifat ilmiah dalam hal ini.

Ian bangkit berdiri, memandang lurus ke arah layar televisi dan mulai merencanakan segalanya. Tiba ketika keyakinannya telah berkumpul, Ian mengambil langkah maju. Ia akan mencari Faith dan mengatakan semua yang ditahan sampai sejauh ini, entah dimanapun wanita itu berada.

***

Faith baru saja menuntaskan rasa mualnya ketika seseorang dari luar mengtuk pintu motelnya. Awalnya Faith berpikir bahwa yang mengetuk pintunya tidak lain seorang petugas kebersihan yang bertugas di waktu malam, jadi ia mengenakan baju hangatnya sebelum beranjak untuk membuka pintu.

Senyum Faith pudar ketika ia menyadari bahwa dugaannya tentang petugas kebersihan salah besar, karena yang berdiri disana adalah Ian yang mengenakan setelan jaket berwarna coklat dan jeans hitamnya.

Ian kelihatan kacau. Lingkaran hitam terbentuk di bawah matanya dan cambangnya belum dicukur selama beberapa hari sejak terakhir Faith meninggalkannya.

Faith tidak benar-benar berharap akan berbicara dengan Ian. Tidak malam itu. Ia tidak siap dengan kemungkinan buruk apapun. Seandainya Ian datang untuk membicarakan perceraian, maka malam Faith akan berakhir dengan panjang. Belum lagi kontraksi perutnya yang membuat ia tersiksa karena harus mondar-mandir ke kamar kecil di setiap jam.

Atas pemikiran buruk yang menjadi prasangka utamanya, Faith tergoda untuk menutup pintu di depan wajah Ian, sayangnya lelaki itu menahan agar pintu tetap terbuka dan mulai berujar.

"Biarkan aku masuk."

Tidak butuh banyak waktu bagi Faith untuk membuat pertimbangan. Ia membuka pintu kamarnya lebar-lebar dan memberi akses bagi Ian untuk masuk ke dalam. Lagipula, Faith punya banyak pertanyaan untuk lelaki itu. Salah satunya segera ia hanturkan ketika pintu tertutup di belakang Ian.

"Bagaimana kau bisa tahu tempat ini?"

Singkat kata, "kudengar kau tidak ada di rumahmu, jadi aku menghubungi Gorgie."

Faith mengangguk penuh pemahaman, pertanyaan kedua menyusul. "Dan untuk apa kau kemari?"

Ian kelihatan bimbang, tetapi Faith juga mampu membaca usaha keras pria itu untuk bicara, jadi Faith diam dan memberi Ian waktu untuk memikirkan segalanya. Sampai Ian menatapnya, Faith melihat sebuah harapan besar di mata gelap itu.

"Faith, maafkan aku. Ini kesalahanku.."

Rasa pening menyerang Faith secara tiba-tiba. Organ-organ dalam tubuhnya seakan bekerja begitu lamban dan perlahan pandangannya mulai kabur. Faith berusaha keras membagi fokus agar ia tetap mendengarkan Ian. Selagi pria itu bicara, Faith merasa wajah Ian jadi semakin buram.

"Aku tahu sudah sangat terlambat untuk meminta maaf. Tapi ku harap kau bisa memaafkanku. Malam ini Luke datang dan mencarimu. Aku mengatakan semua padanya dan dia segera membenciku. Kau tahu hal pertama yang kubenci saat kau putuskan untuk meninggalkanku adalah diriku sendiri. Aku tidak pernah merasa seperti ini. Aku tidak tahu apa yang harus ku katakan dan aku tidak tahu apa yang meski ku lakukan. Aku terus memikirkanmu dan itu saja sudah mengusik hidupku. Aku tidak tahu pilihan mana yang lebih buruk: hidup tanpamu atau membiarkanmu tinggal bersamaku. Aku tidak berniat memaksamu, tapi aku juga tahu bahwa aku tidak bisa melewati semuanya tanpamu."

Ian mengumpat kasar, lelaki itu tampak sangat kikuk dengan semua ucapannya, Ian tampak seperti remaja kasmaran yang takut menerima penolakan atas ungkapan cintanya.

"Bagaimana aku harus mengatakannya? Aku peduli padamu. Tidak, bukan hanya peduli padamu. Aku.. sial. Aku seharusnya tidak melakukan ini. Lupakan semua yang ku katakan. Maaf jika aku mengganggu malammu."

Lelaki itu berlalu ke luar dengan cepat sementara Faith masih berusaha mengendalikan rasa pening yang menghunjam kepalanya bagian ribuan jarum. Pandangan Faith semakin buram ketika melihat Ian menghilang dari balik pintunya. Faith merasa perutnya berkontraksi lagi dan ia mau muntah, tapi Faith memaksakan dirinya untuk bergerak, mengikuti kemana langkah Ian membawanya.

Langkah Ian begitu cepat hingga Faith tergopoh-gopoh ketika berusaha mengejar lelaki itu dari belakang. Faith tahu kemana Ian menuju, jadi ia mencari jalan pintas agar pergerakannya lebih cepat dan Faith bisa mencegah kepergian lelaki itu.

Dengan bertelanjang kaki, Faith menuruni tangga besi. Tangannya mencengram kuat susuran tangga dan hawa dingin yang ditimbulkan oleh besi menusuk ke dalam kulitnya. Sampai di anak tangga terakhir, Faith segera bergegas menuju halaman parkir. Langkahnya sempoyongan ketika ia mendapati Ian beberapa langkah lebih dekat dengan SUV-nya dan sebelum Ian masuk ke dalam mobil itu, Faith menyerukan namanya dari belakang.

"Ian!"

Perhatian Ian teralih sepenuhnya. Wajahnya segera berpaling ke tempat dimana sumber suara itu berasal. Senyum Ian merekah ketika ia mendapati Faith disana.

Menjauhi mobilnya, Ian segera bergegas menghampiri Faith.
Wajah Faith pucat namun senyumnya mampu meluluhkan hati Ian. Kedua tangan Ian menangkup rahang Faith, menepis helai rambut Faith dan menyampirkannya ke balik telinga. Faith menjatuhkan tubuhnya dan mendekap Ian erat-erat, mencium aroma yang disukainya dan menyerahkan diri sepenuhnya pada Ian.

"Oh, Ian," bisik Faith. "Apa yang kau katakan?"

Ian melepas Faith, merasakan air mata bahagianya hampir jatuh, namun ia segera menggantinya dengan tawa rendah. "Persetan dengan semuanya! Aku mencintaimu, querida. Hanya itu yang ingin ku katakan. Aku mencintaimu."

Ian menarik Faith dan mendekapnya lagi. Langit gelap menyelubungi mereka dan keheningan mencekam suasana. Melepas Faith, Ian merunduk dan mencium Faith dengan menggebu. Penerimaan Faith membuat kegelisahan Ian sirna dalam sekejab mata. Ia menempelkan keningnya pada kening Faith sebelum mencium puncak kepala Faith dan mendekapnya lagi.

Semenit ketika Ian mendekap tubuh Faith, Ian tidak merasakan tanda-tanda pergerakan yang diunjukan Faith dan dengan prasangka negatif, Ian melepas Faith, merasa tersentak ketika menyadari bahwa wanita itu tak sadarkan diri.

"Querida!"

Dimohon.. Bagi para pembaca, komentar anda sangat berarti bagi saya.

Continue Reading

You'll Also Like

1.6M 83.1K 43
Setelah dua tahun menduda, secara tak sengaja Abizar malah bertemu dengan Syakira si gadis agresif yang selalu berusaha untuk meluluhkan hatinya. Lam...
3.6M 53K 32
Mature Content || 21+ Varo sudah berhenti memikirkan pernikahan saat usianya memasuki kepala 4, karena ia selalu merasa cintanya sudah habis oleh per...
17M 754K 43
GENRE : ROMANCE [Story 3] Bagas cowok baik-baik, hidupnya lurus dan berambisi pada nilai bagus di sekolah. Saras gadis kampung yang merantau ke kota...
332K 20.8K 44
21+ Fransesca Miller, 28 tahun dan semua orang memanggilnya Fe. Ia sering disangka laki-laki karena perawakan tubuhnya yang tampak seperti lelaki na...