Rage in Cage (Complete)

By marianimarzz

349K 17.4K 695

(Belum Revisi) Pernahkah merasakan amarah dan dendam yang kian mendalam namun tidak mampu diutarakan dan hany... More

Prolog Part 1
Prolog Part 2
Prolog Part 3
Prolog Part 4
Chapter 1 Part 1
Chapter 1 Part 2
Chapter 1 Part 3
Chapter 2 Part 1
Chapter 2 Part 2
Chapter 2 Part 3
Chapter 2 Part 4
Chapter 2 Part 5
Chapter 2 Part 6
Chapter 2 Part 7
Chapter 3 Part 1
Chapter 3 Part 2
Chapter 3 Part 3
Chapter 3 Part 4
Chapter 3 Part 5
Chapter 4 Part 1
Chapter 4 Part 2
Chapter 4 Part 3
Chapter 4 Part 4
Chapter 4 Part 5
Chapter 5 Part 1
Chapter 5 Part 2
Chapter 5 Part 3
Chapter 5 Part 4
Chapter 5 Part 5
Chapter 6 Part 1
Chapter 6 Part 2
Chapter 6 Part 3
Chapter 7 Part 1
Chapter 7 Part 2
Chapter 7 Part 3
Chapter 7 Part 4
Chapter 8 Part 1
Chapter 8 Part 2
Chapter 9 Part 1
Chapter 9 Part 2
Chapter 10 Part 1
Chapter 10 Part 2
Chapter 11 Part 1
Chapter 12 Part 1
Chapter 12 Part 2
Chapter 13 Part 1
Chapter 13 Part 2
Chapter 14 Part 1
Chapter 14 part 2
Chapter 15 Part 1
Chapter 15 Part 2
Chapter 16 Part 1
Chapter 16 Part 2
Chapter 17 Part 1
Chapter 17 Part 2
Chapter 18 Part 1
Chapter 18 Part 2
Chapter 19 Part 1
Chapter 19 Part 2
Chapter 20 Part 1
Chapter 20 Part 2
Chapter 21 Part 1
Chapter 21 Part 2
Chapter 22 Part 1
Chapter 22 Part 2
Chapter 23 part 1
Chapter 23 Part 2
Chapter 23 Part 3
Chapter 24 Part 1
Chapter 24 Part 2
Chapter 24 Part 3
Chapter 25
Epiloq
Review

Chapter 11 Part 2

3.2K 178 9
By marianimarzz

TRRAAKK !!

Terdengar suara hentakan dokumen yang terhempas kuat ke meja berlapis kaca. Orang yang berdiri di hadapan pelaku lemparan itu terkejut karena suara tersebut tapi berusaha menutupinya dengan menunduk, sedangkan pelakunya itu sekarang sedang menatap bawahannya dengan murka.

"Tulisan apaan itu? Kertas berisi cakar ayam tidak berguna itu kau sebut dengan dokumen? Jangan bercanda! Ulang semuanya dari awal! Jangan coba-coba untuk pulang sebelum berkas itu selesai, keluar!"

"Ba, baik, Pak," ucap karyawati itu pelan dan rada takut-takut dengan amukan bossnya, sampai tangannya yang terulur untuk memungut kertas-kertas dokumen itu bergetar hebat. Setelah menyelesaikan pemungutan kertasnya dengan cepat, ia segera memohon diri keluar dari ruangan bossnya secepat mungkin. Ia memang sempat ketakutan, tapi begitu tiba di luar, karyawati itu langsung merubah rautnya, bahkan mulutnya sudah mulai berkomat-kamit menjelekkan atasannya. Hal yang biasa terjadi itu tertangkap oleh Erdi.

Setelah insiden semalam di mana cucunya ... anak lelakinya itu melarikan diri, meninggalkan Ibunya menangis semalaman dan dirinya emosi habis-habisan, Erdi benar-benar lesuh hari ini. Meski ia masih penuh dengan amarah tertahan, ia merasa dirinya sangat lemah karena kekurangan tidur juga karena kebanyakan berteriak. Ingin rasanya ia cepat-cepat pulang dan tidur, melupakan segala masalah yang terjadi itu. Sayangnya, bukan lagi marah, Erdi yang sekarang justru merasa sangat takut. Bossnya, lain tak lain adalah Rion, si mempelai pria yang kehilangan mempelai wanitanya, sedang melampiaskan kekesalannya kepada karyawan-karyawannya.

Sudah sekitar 5 jam Erdi duduk di meja kantornya, dan sekiranya sudah ada empat puluhan karyawan yang dipanggil dan dimarahi habis-habisan dan alasannya bermacam-macam, sampai Erdi pun bingung darimana ia bisa mencari masalah sebanyak itu. Dan yang Erdi takutkan, ia masih belum dipanggil. Ia takut ia akan dipanggil beberapa saat la—

Tiba-tiba telepon yang terletak di atas mejanya itu berdering kuat mengagetkannya, juga menakutkannya. Bagaimana tidak, sedangkan itu adalah telepon khusus dari seorang Direktur untuk memanggil bawahannya berbunyi? Mau tidak mau, Erdi harus mengangkatnya dengan hati terberat. "H, halo?"

"Datang ke ruanganku sekarang juga," ucap Rion singkat, jelas, dingin, dan ditutuplah sudah telepon itu. Erdi menghela napas rendah. Ia tidak tahu ia akan dihadapi dengan masalah apa. Meski keberatan, Erdi akhirnya bangkit juga dari kursi kantor berodanya dan melangkah menuju ruangan bossnya yang hanya di sebelahnya.

Erdi membuka pintu setelah mengetuknya pelan. "Anda memanggil saya, P—"

"Singkat kata, mulai hari ini saya memecat Anda, Pak Erdianto."

Erdi membeku. Belum juga ia masuk ke dalam ruangan tersebut, kata-kata yang paling ia takutkan untuk didengar langsung dengan mudah keluar dari mulut bossnya. Tidak, tidak. Ia pasti salah dengar. Ini tidak mungkin. Dengan langkah yang sigap Erdi berjalan ke hadapan bossnya itu. "Boleh Anda ulangi?"

Rion yang tadinya sedang membaca berkas pun menengadah kepalanya sejenak dan melepaskan kacamatanya. "Seperti yang saya katakan tadi, mulai hari ini Anda saya pecat."

Tepat setelah Rion siap berkata, Erdi langsung membanting meja dengan keras dan kuat. Lelucon apa-apaan ini? Seenak saja memecat, Erdi tidak terima! Ia melebarkan matanya melotot tajam bossnya yang sekarang terlihat agak terusik karena bantingan tersebut. "Apa maksud Anda memecat saya dengan mendadak begitu? Apa salah saya?"

"Mudah saja." Rion meletakkan kacamatanya dengan pelan di samping mouse komputernya. "Anda sering telat, sering memarahi karyawan tanpa sebab, sering istirahat lebih dari jam yang ditentuka—"

"Apa itu bisa dijadikan alasan untuk memecatku?!" serunya keras disertai dengan bantingan yang kuat lagi ke meja. Ini benar-benar lelucon! "Saya jauh lebih tua dari Anda, Pak. Sudah tentu gerak saya melambat seiring bertambahnya usia! Lagipula karyawan kita banyak yang kurang ajar dan tidak tahu sopan santun, harusnya Bapak sendiri juga menyadarinya setelah memarahi karyawan sebanyak itu! Kalau Anda memang ingin memecatku, pecat saja langsung! Jangan masuki juga masalah pribadi Anda ke kantor dan memecatku karena anakku menolakmu!"

"Saya sedang serius, Pak, jangan anggap ini main-main!" balas Rion tidak kalah keras juga dengan bantingan meja yang kuat. Sial, moodnya sudah jelek, tambah lagi Erdi yang melawan-lawannya, Ayahnya Elizia lagi! Rion benar-benar memanas! Dilemparnya berkas-berkas lama tepat di hadapan Erdi.

"Saya sudah mengeceknya, Pak, dan ini adalah hasil kerja Anda yang dulu sebelum saya dipindahkan ke perusahaan ini. Ini adalah catatan kegagalan Anda bekerjasama dengan pihak sponsor dan perusahaan lainnya, membuat perusahaan kita mengalami kerugian yang banyak!"

Erdi membelalak kedua matanya terkesiap. Darimana ia dapatkan lagi berkas-berkas lama itu? Bukankah ia sudah memusnahkan semua bukti, bahkan Direktur lama pun tidak menyadarinya? Apa bossnya sengaja ingin menyudutkannya? Dengan tangan yang agak bergetar, Erdi meraih salah satu berkas tersebut dan membacanya. Memang benar itu adalah data tentang kerjasama yang dulu pernah ditanganinya. Harusnya ia merasa sangat ketakutan dan menyerah, namun Erdi malahan tersenyum sinis. Ia menghempaskan berkas tersebut ke meja.

"Lalu? Anda ingin memecatku dengan berkas-berkas ini? Ini adalah berkas dulu, Pak. Berkas yang sudah tidak ada gunanya lagi dibahas sekarang, sudah ketinggalan zaman!"

"Mau itu ketinggalan zaman atau tidak, merugikan pihak perusahaan sampai empat kali itu adalah masalah yang sangat besar, Pak! Kita bisa melupakannya karena ini adalah masalah dulu yang sudah terselesaikan, tapi bagaimana dengan masa depan? Kemungkinan Anda untuk melakukan kesalahan yang sama seperti ini sangat banyak, Pak!"

"Jadi maksud Anda, saya adalah karyawan yang tidak becus?" Erdi emosi. Ini benar-benar menginjak nama baik dirinya! "Saya ngaku itu adalah kesalahan yang tak sengaja, bukan keinginan saya. Tapi bagaimana pun, saya juga manusia, kesalahan pasti akan terjadi. Tapi selain itu, kenapa Bapak hanya melihat sisi buruk saya saja? Demi perusahaan ini, saya sudah berbakti berpuluh-puluh tahun lamanya, Pak, melebihi Anda! Dan sekarang Anda ingin memecat saya begitu saja? Saya tidak terima!"

Erdi mengira dengan ucapan kartu asnya itu, Rion akan kalah telak, namun ia salah. Bukannya menyerah, Rion justru tersenyum. "Bukan hanya itu saja, Pak."

Rion menghempaskan lagi sesuatu ke hadapan Erdi, kali ini adalah kumpulan CD. Erdi mengambil salah satu dan mengamatinya, itu adalah CD yang terekam dari CCTV perusahaannya. "Asal Anda tahu saja, banyak perbuatan buruk yang Anda lakukan terekam di CCTV perusahaan kita, Pak. Anda melakukan pelecehan seksual tidak hanya pada satu karyawati, tapi banyak dan rata-rata berhenti karena Anda. Anda membuat penipuan dan fitnah terhadap rekan-rekan lain dan mereka juga dipecat karena Anda. Selain itu, sampai saat ini, banyak karyawan mengeluh semua dokumen juga berkas-berkas yang berisi data yang salah adalah hasil perbuatan Anda, Pak Erdianto. Anda tidak hanya sengaja merubah, Anda juga asal-asalan memberi instruksi yang tidak ada kaitannya dengan perusahaan. Itu adalah perbuatan yang tidak terpuji, dan saya berhak memecat Anda dengan alasan-alasan ini!"

Erdi membeku. Apa-apaan ini? Kenapa keadaan sekarang malah berbalik? Kenapa dia pula yang kehabisan kata-kata? Ia tidak melakukan kesalahan! Semua itu berhak mereka dapatkan atas apa yang telah mereka lakukan terhadapnya. Tidak menghormatinya berarti berhenti. Ya, itu kenyataan, Erdi tidak berbuat salah!

"Kenapa bengong? Sekarang juga Anda keluar dari perusahaan ini, Pak Erdianto!"

Erdi melototi Rion dengan tajam. Dengusannya bertambah ganas sekarang. Tidak. Erdi tidak boleh menyerah. Dia masih punya cara. Ya, dia masih punya cara itu. "Pak Direktur. Apa Bapak masih ingat? Anda menjanjikan untuk menaikkan jabatan saya, bukan? Sebagai ganti menikahkah putri saya, Anda janji akan memb—"

"Mohon maaf sebelumnya. Tapi apa Bapak sadar kalau saya tidak jadi menikah dengan putri Anda?" tanyanya seraya tersenyum lebar, tidak lupa menekan dengan kuat pada kata 'menikah'. "Jadi sebaiknya Anda jangan mempermalukan diri lagi dan dalam detik ini juga mohon keluar dari perusahaan ini. Terima kasih atas kerjasama Anda selama ini."

Setelah dia berkata dengan sopan namun tegas, Rion pun tidak lagi menggubris kehadiran Erdi di hadapannya dan lanjut membaca berkas yang tadi. Ruangan menjadi sunyi, sebab tidak hanya Rion, bahkan Erdi pun diam saking kosongnya pikiran dia. Ia membeku di tempat untuk waktu yang sangat lama, sampai mendadak ia bergerak dengan cepat keluar dari ruangan bossnya itu tanpa bersuara lagi.

Erdi menghampiri meja kantornya dan tanpa banyak cincong lagi, ia langsung mengeluarkan sebuah kotak dan mengemasi seluruh barangnya ke dalam kotak tersebut. Semua berkas, dokumen, alat tulis, dan lain-lain sebagainya ia kemasi semua hingga tidak bersisa dan langsung juga dengan langkah yang lebar berjalan keluar kantornya itu. Banyak karyawan-karyawan yang berpapasan dengannya pada meliriknya dengan tatapan yang penasaran, tapi Erdi masa bodoh. Mau lihat kek, mau ngejek kek, mau marah kek, terserah, karena mulai hari ini ia tidak berhubungan lagi dengan perusahaan sialan ini!

Sekitar 5 menit ia melangkah dengan cepat, Erdi sudah keluar dari perusahaannya. Sebelum bus yang biasa ia tumpangi tiba di halte, dengan wajah yang penuh murka Erdi menghempas sekotak penuh barang-barang miliknya itu telak ke dalam tong sampah samping halte, menarik perhatian seluruh orang yang berada di sana. Sekali lagi, Erdi tentu masa bodoh dengan mereka. Ia ingin memperlihatkan kepada semua orang.

Ia sudah pengangguran.

***

Jam 12 siang.

Elizia menatap pintu depan rumahnya dengan lesu. Tidak ada. Tidak ada sosoknya. Anaknya, Raven, dia masih belum pulang. Elizia menatap pantulan kecil dirinya di kaca jendela, matanya sembab, memerah, kantung mata juga bertambah. Sejak Raven keluar hingga sekarang, air matanya baru saja berhenti. Ternyata ini yang menyebabkan matanya terasa sangat sakit dan perih. Ia kelelahan menangis. Namun selelah apapun, ia masih merasa sedih dan khawatir terhadap Rave—

Aku mencintainya.

Elizia membeku. Pikirannya kosong. Setiap mengingat Raven, ia mengingat lagi dirinya yang mengatakan kalimat itu lalu menciu— Elizia menyentuh bibirnya. Kenapa? Kenapa bisa Raven berkata seperti itu? Kenapa ia bisa merasakan seperti itu? Mereka itu anak dan Ibu, tapi Raven ... Kenapa? Yang lebih anehnya lagi, kenapa begitu mengetahui anaknya mencintainya dan menciumnya, kenapa Elizia merasa ... senang?

Air mata yang baru sejenak berhenti kembali mengalir lagi. Tidak. Ini tidak boleh. Hal seperti ini tidak boleh terjadi. Mereka satu keluarga. Dalam keluarga tidak ada yang boleh mencintai, terutama anak dan Ibu. Tidak. Hal seperti itu benar-benar tidak boleh terjadi! Maka dengan sendirinya, ia kembali menangis lagi untuk ke delapan belas kalinya hari ini.

Entah berapa lama berlalu, dengan mata yang memerah Elizia berdiri di hadapan cermin dalam kamarnya. Dia meraih sesuatu dan menempelkan ke tubuhnya, T-shirt couple dan melihat pantulan dirinya di cermin. Baju itu terlihat pas di badannya, bertulisan 'I Love Him' dan bertanda panah ke arah kanannya, arah pasangannya, arah Raven. Sial, air matanya mengalir lagi tanpa ia sadari. Pikirannya penuh dengan sosok putranya. Padahal baru sehari ia kabur, tapi kenapa rasa khawatirnya bisa sedahsyat ini? Elizia tidak mengerti.

BRRAKKK!!

Jantung Elizia berdetak keras seiring dengan terkejutnya ia mendengar suara bantingan pintu tersebut. Air matanya berhenti mengalir, lantas wajahnya terlihat sangat syok. Tanpa banyak pikir, Elizia langsung mengeluarkan dirinya dari kamar menuju ke luar. Ia pasti tidak akan salah. Pasti dia, Elizia tidak mungkin salah!

"Raven!"

Sekali lagi kedua mata Elizia terbelalak lebar, namun jantungnya serasa berhenti berdetak. Tidak ada. Orang yang ditunggu-tunggu tidak ada. Raven belum pulang, melainkan ...

"Ayah?"

Kedua kaki Elizia bergetar dengan sendirinya. Ia memiliki firasat buruk. Dengan pelan-pelan ia melangkah menghampirinya. "Bu, bukannya Ayah masih kerja? Kenapa jam segini sudah pul—"

PLAAAKK!!

Belum juga Elizia sempat mendekati Ayahnya, ia sudah terhempas menjauh dan jatuh karena pukulan itu. Kedua mata Elizia langsung berkaca-kaca seraya tangannya menyentuh bekas tamparan di pipinya.

Kenapa ini? Hari ini ... bukan hari Jumat, bukan? Pikirnya. "Kenapa Ayah memukulku? Aku salah apa?"

"Diam!!" bentak Erdi keras seraya mendorong Elizia yang baru saja berdiri itu hingga terjatuh lagi. Kurang puas, setelah mendorongnya ia menamparnya lagi dengan sangat kuat hingga Elizia terlempar membentur sofa ruang tengahnya itu. "Dasar wanita pembawa sial!" lanjutnya masih dengan tekanan yang keras.

Elizia yang kali ini sudah tidak berani untuk berdiri lagi hanya bisa menatapnya dengan mata yang penuh dengan air mata tergantung di kelopaknya. "Apa salahku, Yah? Kenapa Ayah tiba-tiba pulang dan memarahiku?"

Bukannya menjawab dengan mulut, Erdi justru menjawab pertanyaannya dengan tamparan lagi, kali ini lebih ganas hingga Elizia membentur tembok, bukan sofa. Darah segar mulai mengalir dari sudut bibirnya.

"Kalau tahu begini, harusnya dulu aku membiarkanmu ikut dengan Ibumu saja, dengan begitu kalian berdua akan sama-sama mati dan hidupku akan lebih tenang!"

"Ayah! Apa salahKU?!!" pekiknya keras tidak terima ia menjelek-jelekkan Ibunya yang menyedihkan itu. "Mohon jelaskan padaku, apa salahku? Jangan teriak-teriak sa—"

"Aku dipecat! Kau dengar? Aku dipecat, dan itu gara-gara kau!" Dengan keras Erdi mencampakkan tas kantornya ke lantai menciptakan suara hentakan yang sangat keras juga. "Gara-gara kau,  aku kehilangan pekerjaanku. Jadi sudah jelas ini adalah salahmu!"

Merasa aneh dan janggal, Elizia yang berusaha menyanggah pun berdiri kembali dengan tatapan berani meski masih menggantung air mata. "Apa yang telah kuperbuat sampai kamu kehilangan pekerjaanmu, Ayah? Apa yang telah kulaku—"

"Karena kau tidak jadi menikah dengan Direktur, dia melampiaskan kekesalan padaku dan memecatku! Kau melarikan diri, pergi main dan akhirnya yang kena sial adalah aku! Aku!"

Elizia mendelik lebar. Air mata yang tergantung itu akhirnya menitik juga seiring dengan tangannya yang terangkat menutup mulutnya yang menganga. Apa yang dikatakan Ayahnya tadi? Ia dipecat? Gara-gara ia kabur dan Ayahnya dipecat? "Ke, kenapa bisa?" tanyanya diluar dugaan.

"Tentu saja bisa, karena Direktur itu adalah Rion! Bukannya kau juga sudah tahu soal itu?" seru Erdi kesal dengan lototan yang lebar. Sejak kapan putrinya menjadi belagu seperti ini?

Elizia menggeleng. Tentu dia tahu, tapi bukan itu yang dia permasalahkan. Kenapa bisa Rion menggunakan alasan pribadi dengan dirinya itu dan memecat Ayahnya? Ayahnya tidak bersalah! "Tapi Ayah, bukannya itu adalah masalah prib—"

"Padahal dia sudah berjanji akan menaikkan jabatanku. Tapi gara-gara kau yang melarikan diri, dia bukannya menaikkan jabatanku, ia malah memecatku seenak udelnya! Kau harus bertanggung jawab, Eliz!"

Seusai selaannya yang cepat itu, tanpa memberi kesempatan Elizia melanjutkan kembali, Erdi kembali menghajar lagi anak perempuannya itu. Kali ini Elizia berteriak karena rambutnya ditarik hingga ia berdiri dengan paksa. Maka ditariklah dia ke dalam kamar Erdi, tempat penghukuman. Ia terdorong membentur lagi sudut kasur. Secara sendirinya, kedua kaki Elizia bergetar, sampai dengan cepatnya seluruh tubuhnya sudah gemetaran. Ini adalah tempat yang paling ditakutinya, dia tidak mau!

"Ayah, aku mohon, Yah. Jangan, jangan memukulku. Engkau boleh melakukan apapun, tapi aku mohon, jangan yang ini, jangan sekarang. Aku mohon, Ayah!"

"Diam!" suara hentakan tali pinggang yang tersentak ke udara itu sudah terdengar, dan refleks tubuh Elizia juga ikut tersentak takut. Tubuhnya semakin bergetar hebat. "Kau yang membuatku menjadi begini. Kau yang membuatku menjadi hancur. Kau harus menanggung resikonya!"

Dalam hentakan yang berikutnya, tali pinggang tersebut telah mendarat sudah di tubuh Elizia. Meski ia mengenakan pakaian yang panjang dan tertutup, tetap saja rasa sakit itu menembus ke kulit dan ia berteriak keras memberi reaksi atas pukulannya.

Namun sebelum Ayahnya memberi pukulan yang lain, Elizia buru-buru menimpali meski serak, "Tidak, Ayah, tidak! Jangan pukul aku! Aku akan melakukan apapun, jadi aku mohon berhenti!"

"Kau tidak akan bisa melakukan apa-apa. Kau tidak bisa menikah lagi, yang artinya kamu tidak bisa mengembalikan pekerjaanku lagi! Kau harus menerima hukuman ini!"

Tanpa ingin memberi ampun lagi, tanpa berhenti Erdi terus-menerus mencambuk Elizia dengan cepat, kuat dan kejam. Ia tidak peduli seberapa keras teriakan dan pekikan anaknya itu, karena di dalam pikirannya, ia hanya ingin melampiaskan kekesalannya. Beruntungnya lagi, Raven sialan yang selalu menganggunya juga tidak ada. Ini adalah saat yang sungguh tepat baginya mengeluarkan seluruh kekesalan dan kemarahan yang selalu ia tahan-tahan ini.

****************************************************************************

Continue Reading

You'll Also Like

525K 28K 41
[COMPLETED] Highest Rank #1 -Luka Highest Rank #1 - Perpisahan Highest Rank #1 - Kehilangan Semenjak kejadian malam itu, kehidupan Rosaline berubah 1...
226K 21.8K 70
Menikah itu tidak mudah. Menikah dimaksudkan agar hidup kedua pasangan menjadi teratur dan terarah dengan baik, tapi tak jarang sebuah pernikahan han...
1.3M 59.8K 33
(TRAPPED SERIES) "Dia hanya seorang gadis SMA yang suka sekali menggoda salah satu teman laki-lakinya. Lelaki itu pendiam dan pemalu. "Hai ganteng. C...
195K 17.6K 33
"Peperangan diantara para belalang adalah pesta bagi kelompok burung gagak." Kematian anggota klub renang bernama Danu yang dinyatakan polisi sebagai...