VaNa(ON GOING)

By Heldainaa

57.5K 2.7K 1K

"Capek boleh, nyerah jangan. Cobalah istirahat sejenak, terkadang berjuang juga butuh tenaga". Itulah prinsip... More

1. Pertemuan Pertama
2. EVAN SAPUTRA
3. Pendekatan
4. Maju terus
5. Kesempatan
6. Berkunjung
7. Definisi Jodoh datang sendiri
8. Peningkatan?
9. Bad day and Good day
10. Sakit
11. pendekatan Nafi
12. Membujuk
13. Sleep Call
14. Undangan Hari minggu
15. Restu dari mama
16. Membingungkan
17. Ada yang Salah
18. Mengungkapkan
19. Sulit dimengerti
20. Waktunya untuk Berhenti
21. Cukup Paham
22. Asing
23. Camping
24. Nyusahin
25. Tanda tanya
26. Mimpi Buruk
27. Stuck
28. Baik
29. Apa lagi
30. Biasa, manusia
31. Gosip lagi
32. 1/2 kebenaran?
33. Alasan
34. Bohong tapi jujur
35. Berulah
36. Speechless
37. Diluar Ekspektasi
38. Hampir
39. H-1
40. Penjelasan Billa
41. Sudah Tau
42. Silent But Care
43. Hari H
44. Gengsi vs GR
45. Ina Joules
46. Titik terendah
47. Tempat Ternyaman
48. Evan Buaya
49. Ina kenapa
51. Kita bikin Romantis
52. orang bilang
53. Terlupakan
54. Tanpa effort
55. Sakit
56. Tentang Ina
57. Kehilangan?
58. Sama Tapi Beda

50. Ungkapan Dari Hati

809 44 15
By Heldainaa

"Aku Dibuat Jatuh Cinta Berkali-Kali Kepadanya
Dia Pemilik Sifat Cuek, Yang Selalu Tenang Menghadapi Kacaunya Aku"

*

*

*

*

*

Untuk chap kali ini Aku rekomen playlist

Bunga Terakhir - Afgan

_________________________________

Evan mendongakkan kepalanya menatap Ina yang menatapnya dalam dan penuh keseriusan. Gadis itu menggerakkan jari menyuruh Evan mendekat. Melihat itu Evan mengerutkan dahi namun tak ayal mengikuti apa yang gadis itu inginkan.

"Kamu tau sebenarnya aku mau bilang kalau aku _". Bisik Ina menggantung kan ucapan nya.

Menunggu beberapa menit namun Ina belum juga melanjutkan ucapannya.

"Ck lu kelamaan". Baru saja hendak menjauh, Ina sudah memotong deluan.

"Aku tuh saayaang bangettt sama kamu, makasih udah baik sama aku". Potong Ina tanpa aba-aba memeluk Evan dari samping.

Evan sedikit terkejut mendapat perlakuan seperti ini, hampir terjengkal kebelakang tapi untungnya ia dapat menahan dengan menyeimbangkan kakinya.

"Apaan, modus lu ya". Kesal Evan melepaskan pelukan Ina, pasalnya ia sudah sesering itu mendengar perkataan Ina perihal perasaannya.

"Hehehe Habisnya kamu serius banget bersihin darah nya". Nyengir Ina tak bersalah.

"Gak berfaedah, lu udah sering bilang".

"Lagian, kamu gak pernah ungkapin perasaan kamu ke aku, tiba-tiba udah confess pacaran aja, jadinya aku inisiatif buat ngungkapin terus, takut nya kamu lupa kalau ada orang yang selalu bersyukur atas kehadiran kamu didunia ini". Oceh Ina mengutarakan apa yang ia fikirkan.

"Nyokap gue? Bokap gue? Atau adik gue?". Tanya Evan dengan tampang datarnya.

"Nah benar, tapi aku juga termasuk".

"Oh kalau itu gue lupa, gak penting soalnya". Iseng Evan, bukannya kesal Ina malah tersenyum lalu mengangguk.

"Oke aku bakal selalu ingatin kamu kalau gitu, apa perlu aku ungkapin perasaan aku setiap saat biar kalau perlu dalam keadaan mimpi pun yang kamu ingat cuma aku". Yakin Ina pelan yang masih didengar Evan. Evan memutar matanya malas.

"Sesimpel ngungkapin sayang, Sulit banget yah bagi seorang Evan Saputra, gak jentel banget, bohongan juga gak papa loh padahal". Lanjut Ina, Evan beralih menatap Ina tajam.

"Capek gue ngomong sama lu, yang dibahas perasaan Mulu".

"Biarin, lagian emang gak boleh ya, pacaran cuma diam-diaman aja, rugi dong".

Evan memilih diam tak menanggapi ocehan Ina yang tak ada habisnya. Setelah selesai membersihkan tangan Ina dari cairan merah itu, Evan berdiri tegak menatap lurus kearah Ina yang juga menatapnya bingung.

"Kenapa?". Tanya Ina memecah keheningan.

"Lu belum jawab pertanyaan gue yang tadi".

"Hah? Yang mana?". Bingung Ina.

"Lu udah sering mimisan, udah pernah periksa kedokter?". Tanya Evan.

"Udah kok, tapi ini udah biasa, udah dari dulu kayaknya". Jawab Ina santai.

Evan hanya diam dan terus menatap Ina dengan tatapan yang sulit diartikan.

"Haha, mukanya biasa aja kali van, kentara banget khawatirnya". Iseng Ina agar keadaan tak awkard.

"Siap yang khawatir, gue cuma gak mau lu nambah beban gue kedepannya". Acuh Evan lalu kembali duduk ditempat. Ina menatap Evan intens.

"Van setelah aku perhatikan kamu mirip ayah kalau lagi khawatir gitu". Celetuk Ina tiba-tiba. Ina menghembuskan nafasnya panjang beralih menatap lurus kedepan.

"Udah hampir 3 bulan semenjak tragedi kecelakaan itu". Gumam Ina pelan yang masih didengar Evan. Mendengar itu Evan memilih diam dan menjadi pendengar yang baik membiarkan gadis itu berbicara.

"Kecelakaan yang merenggut dua nyawa, karna kecelakaan itu tuhan ambil ayah dan bunda". Kekeh Ina hambar, semenjak tragedi 3 bulan lalu baru kali ini Ina mengungkit kembali garis takdir yang sangat ingin ia lupakan.

"Semenjak kepergian ayah dan bunda, hidup aku dan kak kia berubah drastis, terlihat sama tapi kenyataannya jauh dari kata baik-baik aja, berusaha menjadi kuat untuk diri sendiri, yang dulunya bergantung sama ayah dan bunda sekarang harus berusaha berdiri di kaki sendiri". Jeda Ina menarik nafas sejenak.

"Aku kangen ayah yang selalu khawatir kalau aku kenapa-napa, kangen masakan bunda juga, tapi gak bisa bilang sama kak kia, takutnya kak kia malah sedih, makanya pas liat kamu selalu khawatirin aku,rasa senang nya tuh kek nembus langit ketujuh tau gak". Ina kemudian beralih menatap kearah Evan.

"Aku gak punya siapa-siapa selain kak kia, jadi boleh gak aku berharap sama kamu, aku tau dunia kamu bukan cuma aku, tapi bisa gak aku jadi salah satu prioritas kamu, aku tau kamu emang belum suka sama aku, tapi kalau itu kamu aku gak masalah di kasihani".

Evan menatap Ina sejenak, lalu menghembuskan nafasnya gusar.
"Jangan nambah beban gue na, gue juga punya batas empati". Kata Evan. Ina mengangguk mengerti.

"Berarti kamu beneran cuma kasian sama aku?". Tanya Ina memukul lengan Evan pelan berpura-pura marah.

"Maybe". Singkat evan datar, tapi sebenarnya dia juga bingung, atas dasar apa hubungan ini, yang ia tau dirinya hanya refleks mengatakan hal tersebut saat melihat Ina dalam kesusahan karena dirinya, rasa kasian?Iba? Atau tanggung jawab dan amanah dari ayah Ina, ntahlah Evan juga tidak mengerti, semua rasa berkumpul dititik yang sama, susah sekali menjadi orang baik, memenuhi segala ekspektasi manusia.

Mungkin jika bukan pesan terakhir dari ayah Ina dan permintaan dari kia yang terkesan memohon Evan tidak akan mempedulikan Ina mengingat sifatnya yang tidak mudah Iba jika sesuatu tersebut tidak ada hubungan dengan dirinya.

"aku gak expect kamu jawab jujur loh Van, bohong aja gak papa kok". Kekeh Ina pelan, rasa kasian ya, terlalu buruk, tapi tidak masalah.

"eh ini kok jadi mellow gini sih". Ina mengembalikan keadaan.

"Gara-gara lu".

"Hehe, maaf-maaf gak lagi, tadi kelepasan curhat".

Evan memilih berdiri dan beranjak dari sana menuju panggung.

"Ntar lagi pulang, lu siap-siap, tunggu gue diparkiran". Titah evan. Tidak ada balasan dari Ina, tapi ia langsung melaksanakan apa yang Evan perintahkan.

*****

Setelah menempuh perjalanan sekitar 15 menit, motor Evan berhenti tepat didepan pekarangan rumah Ina. Tidak seperti biasa saat Ini ina lebih banyak diam, bahkan selama diperjalanan tidak ada satu kata pun yang gadis itu ucapkan.

"Ini helmnya". Kata Ina setelah turun dari motor. "Makasih udah mau jagain dan antar aku dengan selamat loh ya". Ucap lalu memberi senyuman terbaiknya kepada evan.

Melihat itu Evan tidak langsung meninggalkan pekarangan rumah Ina, ia mematikan motor, lalu bersedekap dada menatap Ina datar. Baru saja Ina hendak melangkah masuk, namun tangannya sudah lebih dulu dicekal Evan.

"Kenapa?".

"Apanya?". Tanya Ina bingung.

"Ck, kenapa diam aja".

"Hah? Diam aja? Bukannya tadi aku ngomong ya". Heran Ina. "Maksud kamu apa sih Van, kalau nanya tolong dong pake kisi-kisinya, kan aku bingung mau jawab apa". Kata Ina sedikit menghembuskan nafas frustasi karena tidak paham dengan yang evan fikirkan. Evan menatap Ina dalam, lalu melepaskan tangan Ina.

"Gak jadi". Kata Evan lalu memasang helmnya.

"Eh tunggu Van". Cegah Ina sebelum Evan menyalakan motor. Evan menaikan satu alisnya seolah bertanya.

"Emm, kamu beneran gak bisa ya kasi Waktu kamu buat aku Minggu depan". Tanya Ina ragu.

"Gak bisa na, Minggu depan gue sama anak osis ikut andil dalam persiapan ujian".

"Kali ini aja, setelah itu gak lagi deh, bentaran aja kok". Mohon Ina memelas.

"Gue usahain, tapi gak janji".Putus Evan mengalah.

"Kamu gak mau nanya gitu, aku minta waktu kamu buat apa?".

"Gak perlu, ntar juga tau sendiri" Kata Evan santai. "Masuk sana, gue pulang". Lanjut Evan menyalakan motor, sebelum melesat pergi, Evan memberi klakson kepada Ina yang tengah melambaikan tangan kearahnya setelah itu Evan melajukan motornya meninggalkan pekarangan rumah Ina.

Setelah kepergian Evan barulah Ina beranjak masuk kedalam rumah. Seperti biasa, Ina mengedarkan matanya ke setiap sudut rumah, berharap sambutan hangat yang sudah lama tak terdengar menerpanya, tapi harus tertampar dengan keadaan yang sudah tak sejalan dengan keinginan. Menghembuskan nafasnya sejenak barulah Ina menaiki tangga menuju kamarnya.

*

*

*

*

*

"Stopp!! Pak gerbang nya jangan ditutup dulu!".

Teriak Ina dari kejauhan, berlari tersengal-sengal menuju pintu gerbang setelah mematikan motor nya. Ina berhenti tepat didepan pintu gerbang yang sudah tertutup. Tidak ada waktu untuk menarik nafas, Ina beralih berjalan menuju pak satpam yang berdiri di bagian dalam sisi gerbang.

Baru saja hendak berbicara, seseorang tanpa aba-aba, berdiri tepat didepan gadis itu dengan wajah datarnya, yah siapa lagi kalau bukan Evan.

"Evan!". Kaget Ina,

"Nah kebetulan ada kamu, Van bukain dong pintanya, aku harus masuk, kamu tau kan hari ini kita ada ulangan". Kata Ina melihat Evan yang hendak berlalu begitu saja, Evan hanya diam, namun tetap membuka gerbang tersebut.

"Makasih ya Evan, kamu yang terbaik". Kata Ina lalu beralih menatap motor nya sejenak untuk memastikan sudah aman diparkiran, baru saja hendak melangkah pergi suara Evan mengintruksi membuat langkah Ina terhenti.

"Siapa yang ngizinin lu pergi". Kata Evan tajam, "Berdiri di lapangan, hukuman buat lu". Mata Ina membola, ia berbalik menatap Evan.

"Gak ada toleransi ya, aku kan pacar kamu, lagian baru kali ini juga aku telat"

"Gak ada kaitannya, mau lu pacar gue, mau lu istri gue, mau lu anak presiden pun gue gak peduli, aturan tetap aturan".

Ina menghembus nafasnya pasrah, akan mengeluarkan energi yang banyak untuk membujuk Evan, itu pun belum tentu hasilnya memuaskan, lebih baik ia menuruti perintah yang Evan berikan.

"Oke". Kata Ina lalu melangkah.

Ina cukup merasa lega, karena ia tidak sendiri, ada beberapa orang yang juga berdiri dilapangan tersebut.
Dan yang paling ia syukuri karena langit tidak menampakkan mataharinya. Ina berdiri dibarisan paling belakang sembari menatap langit.

Terlalu fokus menatap langit membuat Ina tidak mendengar saat namanya dipanggil. Mendapat sentakan dari teman didepannya membuat Ina seketika tersadar.

"Itu yang dibelakang, maju kedepan".
Kata gigi selaku ketua OSIS. Tanpa basa-basi Ina langsung maju kebarisan paling depan.

"Alasan telat?".

"Jalan macet".Jawab Ina acuh.

"Lain kali bangun lebih pagi". Kata gigi yang hanya dibalas anggukan oleh Ina. Lalu beralih menuju ke murid yang lain.

Ina mengedarkan matanya, mencari Evan. Namun sepertinya Evan tidak disini fikir Ina. Yang ia dapat malah tatapan sinis dari siswa yang lalu lalang dan bisikan-bisikan yang menyatakan ketidak sukaan kepada dirinya, aneh fikir Ina.

Setelah mendapat arahan bahwa hukuman mereka berlaku sampai istirahat pertama, Ina kembali fokus menatap langit mengabaikan para pembenci tersebut.

Setengah jam berlalu, keluhan-keluhan mulai terdengar, bahkan ada yang sudah mengabaikan hukuman tersebut memilih pergi menuju kantin. Terkecuali Ina posisinya masih sama seperti setengah jam yang lalu. Mata Ina tertutup seketika merasakan tetesan air dari langit jatuh mengenai wajahnya.

Disaat yang lain berlari untuk berteduh, Ina memilih berdiam diri menikmati cintanya Langit untuk bumi berbentuk rintikan air ini. Hanya orang terpilih yang dapat memahami seni cinta tersebut.

Lamunan Ina buyar, saat seseorang menyentak tangannya. Ya Evan, Evan berdiri mensejajarkan posisinya didepan Ina memegang payung.

"Evan coba liat keatas, langitnya indah ya".

"Kenapa lu selalu nyusahin gue". Suara Evan dingin, mengabaikan perkataan Ina. Ina menatap Evan sejenak, kemudian kembali menatap langit tersebut.

"Gak ada yang suruh kamu kesini, lagian aku kan udah pernah bilang kalau kamu gak mau disusahin, tinggal abaikan aja". Lirih Ina pelan.

"Jangan kaya anak kecil, ke UKS sekarang".

"Gak mau, aku lagi jalanin hukuman".

"Udah selesai". Kata Evan lalu menarik tangan Ina tanpa permisi. Ina hanya pasrah mengikuti langkah Evan. Evan menarik nya menuju UKS.

Memberikan Hoodienya, Evan menyuruh Ina berganti pakaian.
Setelah berganti pakaian, Evan kembali masuk menghampiri Ina yang tengah duduk dikursi UKS.

"Evan aku gak ikut ulangan". Adu Ina sedih.

"Ulangannya diundur setelah istirahat". Kata Evan yang membuat Ina sedikit lega, tumben sekali buk meti baik

"Kenapa telat?". Tanya Evan datar.

"Macet tadi".

"Jawab jujur".

"Beneran tadi itu macet banget".

Mengabaikan perkataan Ina, Evan berjongkok mengambil sebelah tangan Ina yang tampak lecet.

"Jatuh dimana?". Tanya Evan yang membuat Ina sedikit terkejut.

"Kamu kok tau?". Tanya Ina polos.

"Lu yang gak pinter bohong".

"Hehe Di simpang tadi, gak parah kok". Ina kembali menarik tangannya, namun ditahan Evan. Kemudian menatap Ina tajam, Untuk kesekian kali Evan mengobati luka Ina, mudah sekali gadis ini terluka fikir Evan.

"Evan jangan kayak gini, nanti aku susah lupanya". Lirih Ina pelan.

____________________________

Tbc.

Continue Reading

You'll Also Like

97K 3.2K 74
Di balik kaiven Lwerfhy yang dikenal sebagai cowok dingin, kejam dan tak kenal takut. Tapi, tidak Berlaku jika bersama dengan ponakan yang disayangin...
ALZELVIN By Diazepam

Teen Fiction

5.9M 329K 36
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...
999K 14.9K 26
Klik lalu scroolllll baca. 18+ 21+
1.8K 952 31
Ketemu sama masa lalu eh malahan ngaku-ngaku jadi istri orang? Kejebak oleh masa lalu membuat gadis ini rela mati-matian buat move on, sewaktu waktu...