ADVOKASI

By badatearth

860K 74.8K 4.3K

Shana begitu ia akrab disapa. Si paling advokasi begitu julukannya. Bagaimana tidak, ini tahun keduanya menja... More

1. Lagi dan Lagi
2. Sinis
3. Mau Menyerah Saja
4. Lika-Liku Mahasiswa Tingkat Akhir
5. Galak
6. Penelitian
7. Tugas
8. Kesambet
9. Kebiasaan
Yang mau-mau saja
10. Bingung
11. Aneh
12. Masalah (lagi)
13. Pembelaan
14. Perampokan
15. Ulang Tahun
16. Kejutan paling berharga
17. Marah-marah
18. Tugas baru
19. Hah?
20. Perhatian
21. Keusilan Kecil
22. Mas
23. Cemburu
24. Tidak Terduga
25. Salah Bicara
26. Perdebatan
27. Terkuak
28. Pertengkaran
29. Misi Membujuk
30. Cintaku
31. Si Baik Hati
32. Perubahan
33. Perkenalan
34. Godaan
35. D'day
36. Jangan takut!
37. Iya Salah
38. Sederhana
39. 3L (Lemas, Lesuh, Lunglai)
41. Keseharian Bapak Ibu Hamil
42. Bukan Prioritas
43. Gila
44. De Ja Vu
45. Menyelesaikan yang lalu
46. Permintaan Maaf
47. Nanti
48. Salah Tingkah
49. Kembali Bersama
50. Kembali Terulang
51. Bak Pinang Dibelah 2
52. Pertanggungjawaban
53. Nona & Papa Seno
54. Pulang
Spesial Part : Hadiah Istimewa

40. Awal Mula

12.6K 1.2K 57
By badatearth

Rasanya masih seperti mimpi bahwa kini dirinya benar-benar menyandang gelar Sarjana Pertanian. Gelar yang dulu untuk mendapatkannya saja Shana pernah hampir menyerah setelah dikerjai oleh dosen pembimbingnya sendiri yang kini malah menjadi suaminya. Hidup memang sebercanda itu ya?

Dosen pembimbing yang dahulu mempersulit dan membuat Shana misuh-misuh setiap harinya kini menjadi orang yang repot-repot mengantarkan Shana kesana kemari mempersiapkan wisudanya. Syukurnya, Seno menyambut hal itu dengan suka cita.

Pagi-pagi buta Seno sudah mengantar Shana ke salon yang sudah ia booking untuk make up. Tidak sekalipun Shana mendengar suaminya mengeluh walau harus memulai aktivitas dari jam setengah 5 subuh. Pria itu duduk anteng di kursi tunggu, sesekali mengoap dan sesekali mencuri-curi pandang pada cermin yang memperlihatkan sang istri yang sedang dirias.

Mereka akan sama-sama tersenyum saat tidak sengaja bertukar pandang melalui cermin, persis seperti anak muda yang sedang kasmaran.

"Selesai."

Shana mematut dirinya sekali lagi, merasa puas sekali dengan hasil riasannya.

Setelah mengucapkan basa-basi, mereka undur diri untuk segera menuju kampus. Bapak, Ibu dan Septian juga memberi kabar bahwa mereka sedang dalam perjalanan menuju kampus.

"Cantiknyaaaa." Puji Seno saat mereka sudah ada di dalam mobil. "Pangling saya tadi kirain ini bukan istri saya." Kekehnya.

"Ooh cantiknya cuma kalau full make up gini ya? Berarti hari-hari biasa itu nggak cantik?"

"Cantik terus lah." Cengir Seno mencari aman. "Apalagi kalau sedang-"

"Sssssstt dilarang bicara saru." Cegah Shana menutup mulut suaminya dengan telapak tangan. Ia sudah bisa menduga apa yang akan diucapkan oleh pria itu.

By the way, kuota 2 orang yang diperbolehkan masuk ke gedung wisuda akan diisi oleh Bapak dan Ibunya. Haji Iswan sudah menawarkan agar Seno saja yang masuk, tapi Seno menolak dengan alasan ia akan diluar saja menemani Septian. Shanapun menyetujui hal itu.

Meski seorang dosen, Seno tidak mempunyai undangan untuk bisa memasuki gedung wisuda yang memang terbatas untuk orang-orang tertentu saja. Hanya dosen-dosen dengan jabatan struktural yang menghadiri acara tersebut. Walau sebenarnya bisa saja Seno meminta undangan khusus pada panitia wisuda agar ia juga bisa masuk kesana, tapi Shana melarangnya.

Seusai Shana, Haji Iswan, dan Rini memasuki gedung wisuda, Seno mengajak Septian untuk menunggu di ruangannya yang ada di gedung rektorat yang lebih dekat dengan tempat pelaksanaan wisuda ketimbang ruangannya yang berada di fakultas.

Seno memiliki ruangannya sendiri di gedung rektorat karena dirinya merupakan salah satu dosen yang mendapat tugas di direktorat pengabdian masyarakat milik universitas. Sejatinya, ruangan ini jarang Seno tempati. Ia lebih suka ruangannya yang ada di fakultas.

"Foto Mbak Shana banget yaaa Mas." Goda Septian saat menemukan ada sebuah bingkai foto berisi potret Shana yang diletakkan di meja.

Seno terkekeh, dunia harus tahu sebucin apa Seno pada istrinya. "Biar semangat kerjanya, kalau lihat foto orang yang kita cinta itu bawaannya jadi pingin cepat-cepat selesaikan pekerjaan supaya bisa cepat pulang juga Sep."

Di ruangannya di fakultas pun juga ada foto Shana yang sengaja Seno pasang di meja kerjanya setelah mereka menikah. Seno merasa senang memandangi wajah istrinya lama-lama. Setiap kali dia merasa lelah dan ingin marah-marah, begitu melihat wajah istrinya yang tersenyum di foto tersebut maka semuanya akan padam. Berganti menjadi senyum orang yang sedang jatuh cinta.

Iya, cinta memang sedahsyat itu mengubah hidup seorang Bhakti Aryaseno sedrastis ini.

Seno dan Septian duduk di sofa, dengan laptop yang menampilkan live proses wisuda. Menunggu giliran Shana yang akan dipanggil.

"Shanaya Mahika Candrarini."

"Wooo wooo Mbak Shan Mas!" Teriak Septian heboh.

Seno mengeluarkan ponselnya, bersiap merekam momen istrinya. Dia berdecak malas melihat Shana yang tersenyum lebar sekali saat berjabat tangan dengan dekan fakultas pertanian. Siapa lagi kalau bukan idolanya Shanaya Mahika, Daneswira Satriobudi.

"Senang tuh salam sama Prof Danes." Cibir Seno. Serius, lama-lama Seno merasa cemburu kalau Shana sudah memuji-muji pria itu.

Bukan apa-apa, kalau yang Shana bicarakan adalah teman-teman kuliahnya seperti Adrian atau yang lain, Seno tidak masalah karena Seno sadar value nya lebih tinggi. Tapi kalau sudah seorang Daneswira Satriobudi, dia jelas kalah. Makanya Seno merasa insecure bila disandingkan dengan dekan mereka itu.

"Ini Mbak Shana berarti sudah selesai Mas?" Tanya Septian.

"Belum, masih lama lagi. Kemungkinan nanti jam 12an baru keluar. Kamu kalau mau tidur, tidur dulu saja. Mas tinggal sebentar ya ke bawah? Mau ambil pesanan." Satpam yang menjaga rektorat memberi kabar bahwa ada pesanan atas nama dirinya.

"Oooh oke Mas, tapi jangan lama-lama ya? Takut aku kalau ditinggal lama-lama hehehehe."

Seno mengangguk lalu pergi meninggalkan ruangannya. Di lantai dasar, sudah ada seorang satpam yang menjaga 2 bucket berukuran besar. Yang satu merupakan bucket bunga berwarna merah, sementara satunya bucket berisikan uang.

Shana pernah berkata bahwa ketimbang bunga dirinya lebih suka uang hahahahha. Makanya Seno berinisiatif memberi 2 bucket sekaligus. Dia bertanya pada mahasiswanya dimana dan bagaimana caranya ia bisa memesan bucket seperti ini. Untungnya ada yang berbaik hati membantu Seno mencarikannya.

Seno membawa 2 bucket itu ke ruangannya dengan susah payah. Ia tidak menyangka bahwa yang dipesannya bisa sebesar dan seberat ini. Tahu gitu tadi dia meminta bantuan Septian juga. Septian bahkan sampai menganga tidak percaya melihat benda yang dibawa Seno.

"Buset besar banget Mas?" Ia memperhatikan dengan seksama hingga sadar bahwa bucket yang satu benar-benar berisikan uang seratus ribuan. Septian menghitung cepat ada berapa banyak uang disana, tapi dia lelah sendiri.

Pukul 12 siang lebih sedikit baru mereka turun ke bawah. Kembali ke gedung wisuda untuk menunggu Shana keluar dari sana. Seno dan Septian yang membawa bucket berukuran besar jelas menarik perhatian banyak orang. Beberapa mahasiswa yang mengenal Seno menyapanya.

Seno sudah mengabari Shana bahwa dirinya menunggu di tempat yang mudah dijangkau. Satu per satu wisudawan dan wisudawati serta para keluarga keluar dari gedung, Septian dan Seno berbagi tugas untuk memperhatikan dimana keberadaan Shana.

"Mbak Mbak!!!" Septian yang lebih dulu melihat keberadaan Shana beserta kedua orang tuanya, ia berjinjijit seraya melambai-lambaikan tangan agar Shana dapat melihatnya. "Bapak Ibu!" Panggilnya lagi.

Dari kejauhan Shana bisa melihat adiknya yang melompat-lompat heboh.

"Nah itu mereka." Tunjuk Shana untuk memberi tahu Rini dan Haji Iswan.

Tiba di depan Septian dan Seno, yang pertama kali Shana lakukan sudah pasti, memeluk suaminya yang sejak melihat keberadaan Shana sudah memasang senyum termanisnya.

"Selamat sayang, so proud of you." Seno mengelus kepala istrinya penuh rasa bangga dan kasih sayang. "Jadi sekarang sudah resmi Shanaya Mahika SP ya?" Goda Seno.

"Mas aku laaaperrr." Keluh Shana yang membuat Seno terkekeh.

"Suruh siapa tadi pagi nggak mau maem dulu?" Sindir Seno.

"Kan takut kebelet pup." Shana melepas pelukannya. Matanya berbinar-binar melihat keberadaan 2 bucket berukuran besar di dekat suaminya itu. "Ini buat aku? Duitnya buat aku?" Sudah dibilang, ketimbang bunga Shana itu lebih suka uang.

"Iya buat kamu, duitnya juga buat kamu. Nanti sisanya saya transfer, itu kemarin kata Mbaknya hanya muat segitu. Jadi sisanya nanti saya transfer."

"Yes!" Sorak Shana.

Seusai dari kampus, mereka berangkat menuju studio foto yang sudah Shana booking.

"Jadi mau lanjut S2?" Tanya Seno di perjalanan.

Shana sempat bercerita pada Seno soal keinginannya melanjutkan studi. Dulu saat masih sekolah menengah atas, bila ditanya apa cita-citanya, maka Shana akan menjawab menjadi dosen. Shana ingin berkuliah setinggi mungkin, namun saat itu sadar diri dengan kondisi ekonomi keluarganya. Iyasih banyak beasiswa yang tersedia, tapi agaknya Shana masih kurang percaya diri  kalau ia bisa mendapatkan beasiswa.

Seno mendukung sepenuhnya apapun keinginan Shana, soal ingin kuliah lagi juga Seno mempersilahkan dan siap menjadi donatur utama untuk Shana.

Yang terpenting bagi Seno, alasan dan tujuan Shana jelas. Maka Seno akan selalu mendukungnya.

"Hish baru juga wisuda, udah ngomongin S2!" Kesal Shana. "Tapi aku masih mau banget sih hihihi."

"Disini saja ya? Jadi nanti bisa bareng saya. Saya nggak mau ya kita tinggal jauh-jauhan."

"Nanti yang ngajar kamu dong?" Cibir Shana. Sudah bersusah payah menghindari Seno semasa kuliah sarjana, masa mau menyemplungkan diri dengan mudahnya.

Seno terkekeh, "iya dong sama saya."

"Aah nggak mau deh, Pak Seno serem." Tolak Shana.

"Saya baik kok."

"Sulit dipercaya." Cibir Shana yang ditanggapi Seno dengan gelak.

Sebaik-baiknya Seno tetap saja pria itu tidak sebaik itu. Paham kan?

"Nanti deh itu dipikir-pikir lagi." Putus Shana.

***

Iya. Sepertinya rencana S2 nya benar-benar harus dipikir-pikir lagi. Setelah pagi ini dirinya menemukan bahwa ada nyawa lain yang akan hidup bersamanya.

Shana sudah curiga kala ia menyadari, terakhir kalinya dirinya mendapat tamu bulanannya adalah sebelum pernikahan. Hanya dia masih shock secepat ini hadir.

Ia tidak tahu bagaimana harus memberitahu suaminya. Mereka sudah berdiskusi setelah kesalahpahaman terjadi antara mereka berdua. Seno tidak mempermasalahkan lagi soal anak, tapi dia hanya ingin memiliki 1.

Shana menghargai hal itu, seiring waktu berharap Seno merubah prinsipnya. Ia yakin, nanti Seno baru akan merasakan bagaimana cintanya pada darah daging sendiri. Iya kan?

"Kamu sehat-sehat ya disana, kalau mau biking ulah, ke Papa kamu aja ya? Eh kamu mau manggilnya Papa, Ayah, Papi, atau daddy?" Kekeh Shana mengelus-elus perutnya yang masih rata. Entah benar ada calon anaknya atau tidak disana, karena ia belum memastikan ke dokter kandungan.

Tidak pernah di seumur hidupnya Shana memikirkan akan menjadi Ibu di usia awal 20an awal. Dulu yang Shana inginkan hanya mencari uang sebanyak mungkin agar bisa membahagiakan Ibunya, lalu baru akan menikah di usianya yang ke-30 tahun.

Ternyata jodohnya malah datang secepat itu. Ditambah, Allah yang menitipkan anak secepat itu pula.

Rasanya nano-nano, menunggu kepulangan suaminya untuk menyampaikan berita ini. Dalam benaknya, Shana menduga-duga akan seperti apa respon Seno. Apakah pria itu akan turut berbahagia juga seperti apa yang Shana rasakan?

Shana memikirkan bagaimana cara memberitahu hal ini pada Seno. Apakah ia akan memberitahu secara langsung atau melalui kado misalnya?

Ia tidak juga menemukan cara terbaik untuk menyampaikan berita ini pada Seno bahkan setelah suara mobil pria itu terdengar memasuki carport, disusul suara salamnya yang membuat Shana tersenyum.

"Shan," bibir Seno mengerucut saat menemukan istrinya yang menunggu di ruang TV. Ia langsung duduk di sebelah Shana, menyandarkan tubuhnya lemas pada sang istri. "Maaf sekali hari ini bekalnya nggak habis. Maaf bukan karena saya nggak suka, tapi seharian ini saya merasa lemas sekali. Saya mendadak nggak selera makan. Tadi yang bisa saya makan hanya buahnya saja. Maaf ya sayang?" Seno memeluk istrinya merasa bersalah karen tidak bisa menghabiskan bekal yang dibawakan.

Bekal-bekal itu Seno bagi-bagikan pada beberapa pegawai. Semula Seno ingin berbohong dengan mengatakan bekalnya sudah habis ia makan. Tapi di perjalanan tadi Seno tiba-tiba merasa takut kalau satu kebohongannya malah akan berakibat panjang, maka akhirnya ia memilih jujur walau dengan resiko istrinya mungkin saja akan ngambek dan berhenti membawakannya bekal.

"Maaf ya sayang, maaf sekali. Pasti kamu sedih karena sudah capek-capek memasak tapi saya nggak makan. Saya nggak tahu tiba-tiba rasanya saya mual waktu mau membuka kotak bekalnya–"

Bukannya wajah kesal yang Seno dapatkan dari sang istri, ia malah menemukan Shana yang tersenyum lebar. Seno jelas kebingungan, ada apa dengan istrinya?

"Oooh jadi dia udah nunjukin keberadaannya ke Bapaknya." Gumam Shana seraya manggut-manggut.

Dahi Seno mengernyit heran, "maksudnya?"

Shana meraih tangan Seno, mengecup punggung tangan suaminya berulang-ulang.

"Pantes aku nggak merasa ada yang aneh sama tubuhku kecuali belum kedatangan tamu bulanan, ternyata yang kena efek Bapaknya," Shana terbahak melihat wajah Senk yang masih kebingungan. "Aku hamil Mas, dan yang bikin kamu nggak nafsu makan itu dia." Shana menarik tangan suaminya untuk bisa menyentuh perutnya. Masih rata, dan belum menunjukkan tanda-tanda apapun.

"Ha–hamil? Kamu hamil? Maksudnya di perut kamu ada anak kita?"

Shana mengangguk-angguk antusias.

"Ooh waw. Saya nggak nyangka akan secepat ini," kekeh Seno. "But anyway, selamat sayang." Seno maju untuk bisa mengecup pelipis istrinya.

"And for you too, selamat juga Papa." Shana balas mencium pipi Seno. "Gimana nggak secepat ini wong Papanya terlalu rajin bikinnya."

"Hahaha," gelak Seno. "Tokcer juga saya ya." Ucap Seno dengan nada sombongnya. "Kira-kira ini usaha kita yang mana ya Shan yang berhasil?"

"Kayanya yang pertama kali." Sahut Shana menebak-nebak.

"Oooh yang kamu sampai mohon-mohon supaya lebih kencang itu ya?"

Shana langsung memukuli Seno dengan bantal yang ada di dekatnya. Tapi kemudian ia menyeringai, "kayanya bukan deh. Itu kan ronde kedua. Kayanya yang bener-bener pertama, yang kamu frustasi waktu aku diatas sampai maksa ikut gerakin dari bawah dan berakhir pinggangnya kecengklak terus kan–"

"Oke you win." Seno meraih tubuh Shana dalam pelukannya untuk menghentikan ucapan istrinya. "Umm Shan di kulkas ada buah apa ya? Saya belum makan apapun hari ini kecuali buah yang kamu bawakan tadi."

"Pingin apa kamu? Jangan cuma makan buah doang dong." Shana menyamankan dirinya dalam pelukan Seno, yang semakin berkeringat semakin membuatnya ingin berlama-lama di pelukannya.

Seno menimbang-nimbang, mencoba memikirkan makanan apa yang ingin dia makan. Tapi seketika hanya dengan membayangkannya saja perutnya mendadak mual ingin muntah.

Ia berlarian menuju tempat terdekat yang mrmungkinkan baginya untuk mengeluarkan isi perutnya. Wastafel menjadi pilihannya.

Shana mengikuti di belakang, memijat-mijat tengkuk suaminya juga menahan tubuh Seno agar tidak terjatuh.

"Udah?" Tanya Shana khawatir. Dia menyalakan keran air untuk bisa membasuh mulut Seno yang masih pucat. "Sampai keringat dingin begini." Shana cepat mengambil tisu, mengelap bulir bulir keringat yang membasahi wajah Seno. "Istirahat dulu yuk."

Susah payah Shana membantu Seno untuk berjalan menuju kamar mereka. Seno langsung menghempaskan tubuhnya saat melihat ranjang sudah ada di dekatnya.

"Ini saya kaya gini sampai kapan Shan?" Lirihnya.

Shana mengedikkan bahunya, dia juga tidak tahu sampai kapan Seno akan seperti ini.

"Buah naga mau nggak Mas?" Tawar Shana mengingat kembali permintaan Seno sebelum tadi pria itu muntah-muntah tak karuan.

"Iya, tolong diblender sama pisang sama semangka sama mangga."

"Hah diblender? Jadi satu? Apa gimana?"

"Semuanya diblender jadi satu kaya yang biasa kamu maem itu."

"Oooh smoothie."

Seno mengangguk dalam pejamnya.

"Dijadiin satu? Dicampur-campur?" Tanya Shana tidak yakin.

"Yaaaa."

Tidak tahu ini karena mengidam atau memang Seno dan seleranya yang memang terkadang sering tidak nyambung dan diluar nalar. Shana tidak tahu akan seperti apa rupa dan rasa smoothie buah yang dicampur-campur jadi satu itu.

Tapi ya sudah, Shana turun lagi ke dapur untuk membuat permintaan suaminya. Membuka kulkas, Shana mengambil buah-buahan yang tadi disebut oleh suaminya. Menambahkan es batu lalu memblender semuanya menjadi satu.

Aneh jujur saja.

Ini pertama kalinya bagi Shana mencium aroma yang semacam ini.

Ia menuang smoothies campur-campur itu ke mangkuk lalu bergegas membawanya ke atas sebelum Seno pingsan.

Rupanya pria itu malah kini sudah duduk bersandar di kepala ranjang sambil memijit tengkuknya sendiri. Pakaiannya sudah berganti menjadi pakaian tidur.

"Pusing?" Tanya Shana mendekat.

"Pusing karena laper." Cengir Seno.

"Mas aku cuma bikin sesuai permintaan kamu, soal rasa jangan salahin aku kalau rasanya aneh. Ini permintaanmu lho ya."

"Huuuuum enak sekali wanginya. Terima kasih sayang, cium dulu sini yang sudah bikinin." Seno memonyongkan bibirnya yang langsung disambut oleh Shana dengan bibirnya juga.

"Dahh, diabisin." Shana mengelus pipi Seno untuk memberi semangat. "Kalau pingin apa-apa bilang ya Mas."

"Iya, tapi kalau bisa saya beli diluar saja. Kasihan kamu kalau harus masak-masak."

"Eeeh nggak apa jangan beli diluar kalau aku bisa bikinin." Cegah Shana, bagaimanapun dia senang bisa memasak untuk suaminya. Apalagi kalau yang diinginkan Seno itu akibat mengidam.

"Besok kita periksa ya? Pagi saja, saya kan ke kampusnya siang. Cari rekomendasi dokter kandungan yang bagus Shan. Mahal nggak apa yang penting track record nya bagus."

Mungkin nanti Shana akan meminta rekomendasi dari sosial media. Mau bertanya pada teman-temannya, tapi sepertinya dia menjadi orang pertama yang sudah menikah dan akan segera memiliki anak.

"Itu enak?" Tanya Shana penasaran karena melihat Seno yang menikmati smoothies aneh itu dengan santai-santai saja.

"Enak, mau coba?" Seno menyodorkan pada Shana yang malah bergidik ngeri.

"Kalau memang nggak bisa maem nasi, ganti yang lain Mas. Roti mau kamu? Atau kentang?"

Seno menggeleng-gelengkan kepalanya. "Sudah kenyang. Alhamdulillah." Ia memberikan kembali mangkuk yang telah habis isinya pada Shana yang sejak tadi terus memantaunya.

"Nggak mandi?" Shana baru sadar, Seno hanya berganti pakaian tapi tidak mandi.

Seno kembali menyengir agar Shana tidak marah, "please hari ini saja. Saya tadi untuk berganti pakaian saja butuh effort luar biasa Shan. Apalagi buat mandi."

"Kan bisa aku bantuin Mas. Mandi lah,  abis seharian diluar masa nggak mandi sih."

"Please sekali ini saja please." Mohon Seno, ia sudah malas sekali kalau harus mandi.

"Ya udah kalau gitu aku tidur di kamar tamu aja."

"Eh eh jangan, iya saya mandi. Tapi tolongin ya?"

"Hmmm iya."

***

Tiga hari pertama hanya ingin memakan buah potong ataupun smoothies. Tiga hari berikutnya hanya ingin memakan sayur-sayuran yang ditumis dengan bawang putih saja. Hari berikutnya hanya ingin memakan nasi goreng mentega.

Dan belum sampai disitu, kini Seno punya ngidam baru. Bangun di subuh hari tiba-tiba pria itu berkata ingin memakan telur dadar. Semula Shana pikir oh mudah hanya telur dadar. Tapi kalimat berikutnya membuagnya menghela nafas.

"Telur dadarnya dibikin sama Septian."

Bayangkan saja, untuk mewujudkan keinginan Seno itu mereka terpaksa sudah berkendara seusai sholat subuh. Shana mengirimi pesan pada adiknya agar jangan tidur dulu seusai sholat subuh.

"Maksudnya gimana sih?" Septian tidak mengerti kenapa Mbaknya meminta dia untuk jangan dulu tidur.

"Mas Seno katanya lagi pingin makan telur dadar, tapi yang dibikin sama kamu."

"HAH!? KOK SAMA AKU?" Teriak Septian reflek.

"Namanya juga orang ngidam Sep, tolongin yaaa. Kasihan Masnya dari kemaren nggak bisa makan apa-apa. Baru ini tiba-tiba bilang pingin makan telur dadar yang dibuat kamu."

Seharian kemarin suaminya itu lemas tidak berdaya. Semua makanan yang masuk ke mulutnya langsung dimuntahkan kembali.

"Haduuh aneh-aneh aja. Ya udah tak buatin."

"Eh nanti Sep!" Cegah Seno. "Tunggu kami sampai disana saja baru dibuatkan."

"Lah? Kan bagus sekarang tak buatin tho Mas. Nanti sampai tinggal makan."

"Saya mau lihat proses pembuatannya."

Shana tergelak, lalu memerintahkan Septian agar menuruti saja permintaan Seno.

Mereka tiba di rumah keluarga Shana dan menemukan Septian yang sudah tertidur di depan televisi yang menyala. Kasihan anak itu pasti menunggu lama hingga ketiduran seperti itu.

"Sep, Septian." Shana menggoyangkan bahu adiknya. "Banguuun. Tolong banget ya Sep, tuh lihat Mas mu wajahnya sudah pucat dari kemaren nggak makan."

Septian langsung terjaga dan bangkit pergi ke dapur. Seno berpindah duduk di kursi makan agar bisa melihat proses pembuatan telur dadar.

"Sudah kaya peserta masterchef aja aku ini." Gurau Septian karena sejak tadi Seno memperhatikannya. "Taraaaa telur dadar ala Chef Septian sudah selesai. Monggo dicoba."

Mudah sekali sebenarnya, Septian pun yakin kalau Mbaknya bisa membuatkan untuk Seno. Hanya telur dadar tanpa tambahan apapun kecuali garam.

Anehnya, Seno memakan telur dadar itu dengan lahap hingga dalam sekejap saja sudah habis.

"Boleh lagi nggak Sep?" Tanya Seno.

Shana yang masih duduk di sofa depan televisi terkikik geli melihat bagaimana Septian yang seolah tidak percaya Seno memakan telur dadarnya secepat itu. Tiga butir lho padahal.

"Mas nggak mau pakai nasi aja?" Tawar Septian. Seingatnya sebelum pergi ke pasar pasti Ibunya sudah menanak nasi.

"Nggak bisa." Jawab Seno.

Septian kembali mengambil telur yang tersisa. Hanya tinggal 2 butir. Kalau setelah ini Seno meminta lagi, tidak tahu lah mereka bisa mengambil telur siapa.

"Nih Mas." Septian kembali menghidangnya telur dadar yang sudah ia masak.

Shana berpindah duduk menjadi di sebelah Seno. Ia mengelus-elus punggung suaminya yang sejak tadi bisa begitu bahagia hanya dengan melihat sepiring telur dadar.

"Pelan-pelan maemnya." Tegur Shana walau ia bisa mengerti Seno pasti kelaparan. "Maafin adik ya Papa, Papa jadi nggak bisa makan begini."

Seno tidak menyahut, fokus pada telur dadarnya.

"Assalamualaikum. Lah kok sudah disini aja?" Rini sudah bertanya-tanya ada apa gerangan kok sudah ada mobil milik Seno di depan.

"Mantunya ngidam minta dimasakin telur dadar sama Septian." Jawab Shana.

Rini tergelak, begitupun Haji Iswan yang menyusul di belakang.

"Telurnya udah habis, kayanya si Mas masih belum cukup." Lapor Septian kala melihat Seno yang tampak belum kenyang.

"Ini Ibu baru beli telur, tapi jangan banyak-banyak ah makan telurnya. Yang lain aja, mau apa Mas Seno?" Tawar Rini.

"Makan nasi ya? Udah dari kapan hari nggak makan nasi." Bujuk Shana.

Seno langsung menggeleng. Dia bisa langsung mual hanya dengan membayangkan bentuk nasi.

"Nasi liwet mau? Atau nasi kuning?" Rini ikut membujuk. Ia khawatir juga setelah mendengan Seno sudah lama tidak memakan nasi.

"Nasi kuning mau bu, tapi saya pakai telur dadar yang diiris tipis ya bu?" Jawab Seno yang lagi-lagi membuat yang lain terkekeh.

"Telur dadarnya yang masak Septian lagi?" Tanya Haji Iswan yang terbukti benar karena diangguki oleh Seno.

"Ya Allah sehari ini aku bikin telur dadar berapa kali ya?" Keluh Septian.

***

H

ai hai?

Btw di Karyakarsa sudah sampai part 43. Jadi buat yang nggak sabar nunggu... bisa langsung kesana yawww

Buat yang bertanya, di WP up nya tiap kapan?

Jawabannya :
Seminggu sekali antara hari Rabu/Kamis. Kalau lagi baik dan ramai yang vote dan komen sih bisa seminggu 2 kali hihihi

Spoiler untuk part 43;
Something happens.

Continue Reading

You'll Also Like

30.6K 1.9K 38
Taruna merasa dongkol karena Bos di kantornya begitu semena-mena mengatainya jelek karena satu insiden. Bukan hanya di kantor, tetangga sebelah kamar...
256K 17.9K 38
Sebelum meresmikan hubungan pacaran, sepasang anak manusia sudah mengetahui perasaan satu sama lain. Saling mencintai, saling menyayangi, saling meng...
73.9K 4.5K 38
Bagaimana nasib Jenette ketika bertemu lagi dengan senior dingin dan galak terlebih lagi dia atasannya?! Jenette (23) Baru pulang dari internshipnya...
603K 51.1K 34
Menjadi janda di umur 20 tahun, membuat Riyuna harus pandai-pandai menata hidup dan hatinya. Ia akui ini bukanlah perkara yang mudah. Bukan ditinggal...