ADVOKASI

By badatearth

860K 74.8K 4.3K

Shana begitu ia akrab disapa. Si paling advokasi begitu julukannya. Bagaimana tidak, ini tahun keduanya menja... More

1. Lagi dan Lagi
2. Sinis
3. Mau Menyerah Saja
4. Lika-Liku Mahasiswa Tingkat Akhir
5. Galak
6. Penelitian
7. Tugas
8. Kesambet
9. Kebiasaan
Yang mau-mau saja
10. Bingung
11. Aneh
12. Masalah (lagi)
13. Pembelaan
14. Perampokan
15. Ulang Tahun
16. Kejutan paling berharga
17. Marah-marah
18. Tugas baru
19. Hah?
20. Perhatian
21. Keusilan Kecil
22. Mas
23. Cemburu
24. Tidak Terduga
25. Salah Bicara
26. Perdebatan
27. Terkuak
28. Pertengkaran
29. Misi Membujuk
30. Cintaku
31. Si Baik Hati
32. Perubahan
33. Perkenalan
34. Godaan
35. D'day
36. Jangan takut!
37. Iya Salah
39. 3L (Lemas, Lesuh, Lunglai)
40. Awal Mula
41. Keseharian Bapak Ibu Hamil
42. Bukan Prioritas
43. Gila
44. De Ja Vu
45. Menyelesaikan yang lalu
46. Permintaan Maaf
47. Nanti
48. Salah Tingkah
49. Kembali Bersama
50. Kembali Terulang
51. Bak Pinang Dibelah 2
52. Pertanggungjawaban
53. Nona & Papa Seno
54. Pulang
Spesial Part : Hadiah Istimewa

38. Sederhana

13.3K 1.1K 103
By badatearth

Sederhana tapi Bhakti Aryseno ngamuk :

Menyerahkan draft skripsi h-1 jadwal sidang.

Hal yang sudah menjadi rahasia umum, tapi anehnya masih saja ada yang berani melakukan itu.

Dahulu saja saat Shana masih menjadi si paling advokasi, pasti ada saja yang melaporkan dan meminta tolong agar bisa menyerahkan draft skripsi mereka dikala Seno menolak mentah-mentah.

Ternyata hingga kini masih ada yang nekat melakukan itu!

Terutama dengan dalih Bhakti Aryaseno yang konon katanya kini sudah melunak. Tidak segarang beberapa waktu lalu hingga beranggapan harusnya Seno tidak akan marah.

Salah kaprah.

Seno mungkin memang lebih melunak belakangan ini, tapi soal teknis penyerahan draft tidak bisa diganggu gugat. Setidaknya h-3 jadwal ujian atau seminar, draft tersebut harus sudah ada di tangannya. Lagian Seno juga butuh waktu untuk memeriksa draft tersebut.

Sialnya, sama seperti kejadian saat Seno ngambek pada kelas yang memvidiokannya tanpa izin, Shana lagi-lagi menjadi tumbal. Ia juga dihubungi oleh mahasiswa yang akan seminar besok, meminta tolong agar bisa menitipkan draft miliknya. Menyebalkannya lagi, orang itu adalah teman seangkatannya sendiri!

Haish coba bayangkan ada di posisi Shana.

Teman seangkatannya, menghubungi dengan kalimat yang amat sopan seolah Shana ini posisinya sejajar dengan Bhakti Aryaseno sang dosen.

Begini pesannya,

Assalamualaikum, selamat sore Mbak Shana. Sebelumnya maaf jika mengganggu waktunya. Saya Zufilkar Adnan, yang akan sidang esok hari. Saya mendapat Pak Seno sebagai penguji saya Mbak, sekali lagi mohon maaf ini saya baru ingin menyerahkan draft tapi ditolak oleh beliau. Beliau juga saat ini sudah meninggalkan kampus dan enggan menerima draft saya.

Saya bermaksud mengantarkan langsung draft ke kediaman pribadi Mbak Shana dan Pak Seno. Mohon maaf apakah diperkenankan? Saya sendiri sudah memiliki alamatnya. Saya juga sudah menghubungi Bapak tapi pesan saya tidak dibalas, kemungkinan juga saya sudah diblokir Mbak.

Saya bingung harus bagaimana mengingat jadwal sidangnya esok hari, penguji lain sudah aman hanya tersisa Pak Seno. Mohon bantuannya Mbak, sekiranya informasi ini bisa diteruskan ke Bapak. Terima kasih🙏

Sementara penyebabnya anteng tidur di sebelah Shana sepulangnya dari kampus. Seno itu semenjak memiliki istri, pantang menunda-nunda kepulangannya. Jika saat masih sendiri, Seno sering dicap sebagai penunggu kampus karena acap kali masih bertahan di kampus saat maghrib menjelang walau tidak ada kelas setelah itu.

Shana membalas pesan temannya itu, menyuruh Zulfikar untuk langsung mengantarkan draft miliknya ke rumah. Urusan diterima atau tidak oleh Seno bisa dipikirkan nanti. Kasihan juga kalau sampai ada yang gagal sidang karena salah satu pengujinya ngambek.

"Bangun Mas, udah mau maghrib ini."

Lihat wajah tanpa dosa itu, pasti tidak akan ada yang mengira di kehidupan nyata Seno bisa semenyeramkan itu. Kalau sedang tidur, wajah garangnya hilang menjadi bak seorang bayi polos.

Tangan Shana sejak tadi ditahan oleh pria itu, dijadikan alas untuk pipinya. Sebuah siasat agar Shana tidak meninggalkan Seno di ranjang sendirian.

"Ehm ketiduran ya saya." Gumam Seno menguap lebar-lebar sampai Shana yang harus menutupi mulut Seno dengan tangannya.

"Kamu ngeblokir mahasiswa lagi Mas?" 

Seno tidak langsung menjawab, perlu beberapa waktu untuk mengumpulkan nyawanya sejenak. Di luar hujan deras mulai turun, tidak ada yang Seno ingin lakukan selain berpelukan dengan istrinya saat ini. Ranjang yang hangat, ditambah pelukan sudah kombinasi yang cocok sekali.

"Mas?" Panggil Shana lagi karena tak kunjung mendengar jawaban Seno.

"Yang mana?" Tanya Seno balik.

Shana berdecak-decak tidak senang, kebiasaan Seno memblokir mahasiswa-mahasiswanya masih belum hilang. Lama-lama Shana ingin melapor pada pemilik whatsapp agar menghilangkan pilihan blokir di whatsapp milik Seno.

"Yang mau nyerahin draft tadi."

Seno berpikir sejenak untuk mengingat yang Shana maksud, "oh yang itu. Iya karena ngeselin spam saya terus-terusan. Lebih baik saya blokir."

"Memang nggak bisa cara yang lain selain blokir apa Mas? Nggak kasian kamu anak orang besok mau sidang tapi sampai jam segini masih kebingungan karena belum bisa nyerahin draft ke kamu." Jiwa-jiwa advokasi masih berkobar dalam diri Shana. Yang jadi korbannya sudah tentu Seno.

"Kan aturan saya sudah jelas wajib menyerahkan draft selambat-lambatnya h-3. Lalu suruh siapa dia baru akan menyerahkan hari ini padahal besok sudah waktu sidang? Memangnya saya nggak butuh waktu untuk mempelajari draft nya?" Ucap Seno berapi-api. Baru saja bangun tidur, emosinya sudah terpancing.

"Coba kamu tanya anaknya, kenapa baru mau nyerahin h-1? Pasti ada alasannya Mas. Mahasiswa itu udah pada tahu soal aturan kamu, jadi kalau masih ada yang berani melanggar pasti ada alasan jelas."

Sebagai teman seangkatan Zulfikar, juga sebagai orang yang aktif di himpunan, kurang lebih Shana banyak mengetahui masalah-masalah yang menimpa para mahasiswa. Termasuk Zulfikar.

"Saya nggak peduli apa alasannya. Yang saya mau draft sudah harus ada di tangan saya!"

"Keras kepala banget kamu Mas," ucap Shana kecewa. Ponselnya berdenting, ada pesan masuk dari Zulfikar yang memberi tahu bahwa dirinya sudah ada di depan kediaman mereka. "Anaknya udah di depan, kamu mau nggak nemuin dia? Tanya alasannya–"

"Apa-apaan sampai berani mendatangi tempat pribadi saya. Saya nggak pernah kasih izin dia untuk menemui saya di rumah. Kamu kan yang memberi izin? Sekarang saya tanya Shan, dosennya saya apa kamu?"

Shana turun dari ranjang mereka, menatap nyalang pada manusia yang masih tenang rebahan di balik selimut. Sangat tidak manusiawi sekali.

"Kamu dosennya," tunjuk Shana. "Tapi aku yang kasih izin dia kesini."

"Loh kamu siapa? Dia berurusannya sama saya. Kenapa pula kamu yang memberi izin? Sana kamu temuin! Jangan harap saya mau hadir di sidang anak nggak tahu sopan santun itu!" Maki Seno.

Shana menggeleng-geleng tidak habis pikir dengan Seno. Dia memilih melenggang meninggalkan manusia yang tidak manusiawi itu. Di luar, Zulfikar menunggu di luar gerbang dengan mantol yang menutupi tubuhnya karena hujan turun dengan derasnya. Bergegas Shana menghampiri lelaki itu.

"Shan eh maksud saya Mbak Shana, bagaimana? Apakah Bapak bersedia menerima dratf saya? Saya mohon maaf sekali lagi."

Shana tidak sampai hati menyampaikan makian Seno tadi. Melihat Zulfikar yang menatapnya penuh harap, siapapun pasti akan bisa membaca sorot keputusasaan dari matanya.

"Bapak lagi tidur," jawab Shana mencari aman. "Biar aku bawa dulu ya." Shana menerima uluran draft dari Zulfikar. "Kenapa baru nyerahinnya h-1 gini Zul?"

Ragu-ragu Zulfikar menjawab, "maaf, uangnya baru ada. Saya baru gajian hari ini, jadi baru bisa mencetak skripsi ini."

Hati Shana terenyuh mendengar jawaban Zulfikar. Shana cukup mengenal temannya itu, sedikit banyak bisa menebak alasan Zulfikar senekat ini.

"Oh ya udah, nanti aku sampaikan ke Bapak. Hati-hati di jalan pulangnya ya soalnya hujan deras begini."

"Nggih, sekali lagi terima kasih banyak Mbak Shan. Maaf merepotkan. Saya izin pamit. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Setelah Zulfikar meninggalkan kediamannya, Shana kembali masuk ke dalam rumah. Membawa serta draft milik lelaki itu dalam dekapannya. Sejujurnya dia malas berdebat lagi dengan manusia keras kepala yang selalu merasa dirinya benar itu.

Shana dengan sengaja meletakkan draft tersebut agak kencang. Sampai terdengar decakan dari makhluk lain penghuni kamar yang kini asik menonton tayangan televisi.

"Dia baru ada uang buat cetak skripsi hari ini, makanya baru bisa menyerahkan draftnya." Ucap Shana tenang, walau mungkin alasan itu akan dianggap angin lalu oleh suaminya.

***

Sampai pagi ini, Shana tidak tahu Seno akan pergi menghadiri sidang Zulfikar atau tidak. Kemarin saat Shana memberi tahu alasan Zulfikar baru menyerahkan drafnya, Seno hanya diam tidak memberi tanggapan apapun.

Malas kembali berdebat, Shana hanya bisa mendiamkan suaminya. Biar Seno berpikir sendiri. Kalau suaminya itu masih punya perasaan, harusnya dia bisa memahami apa yang dialami Zulfikar.

Shana melakukan rutinitas pagi seperti biasanya karena hari ini suaminya ada kelas di pagi hari. Mereka saling mendiamkan sejak semalam, tapi Shana masih melakukan kewajibannya seperti biasa. Menyiapkan pakaian Seno, lalu turun untuk menyiapkan bekal.

Langkah kaki yang mendekat membuat Shana menolehkan kepalanya. Seno terlihat sudah rapi dan... oh lihat benda yang terpasang rapi di leher suaminya. Sebuah dasi. Dan artinya...?

Di kampus mereka ada peraturan tertulis yang mewajibkan para pembimbing dan penguji pria mengenakan dasi saat menghadiri sidang. Jadi melihat Seno yang turun menggunakan dasi pertanda bahwa pria itu akan menghadiri sidang.

Tapi hei... Shana tidak tahu apakah hanya Zulfikar yang sidang hari ini? Karena mungkin saja ada mahasiswa lain yang sidang juga.

"Aku bawain untuk sarapan sama makan siang aja ya Mas," Shana menghampiri Seno di meja makan. Pria itu masih menutup mulutnya, karena kalau sedang normal pasti yang pertama kali Seno lakukan saat turun adalah menghampiri Shana dan menciumi wajah istrinya. Berbeda dengan hari ini dimana Seno langsung duduk di meja makan. "Ini sausnya aku taruh disini, nggak pedas kok." Shana mengangkat sebuah kotak berukuran paling kecil.

"Iya terima kasih." Seno menerima tas bekal yang diulurkan istrinya sekaligus mengulurkan tangannya untuk salim.

"Semangat kerjanya." Shana menepuk-nepuk dada suaminya, merapikan letak dasi pria itu. "Nanti aku ke kampus sama Adrian, pulangnya bareng kamu ya?"

"Oke."

"Love you." Shana berjinjit sedikit untuk bisa mengecup bibir suaminya yang terlihat lucu sekali pagi ini karena diam saja tidak seperti biasanya.

"Love you too."

Seno mengelus rambut istrinya sebelum pamit untuk bekerja.

Setelah memastikan mobil Seno meninggalkan carport, Shana berlari ke kamar mereka. Ia langsung tersenyum lega begitu tidak menemukan draft milik Zulfikar yang semalam ia letakkan di atas meja rias.
Semoga saja suaminya benar-benar hadir.

Tadi malam Adrian mengajaknya untuk datang ke sidang Zulfikar. Mereka berdua memang cukup mengenal Zulfikar. Berhubung di rumah juga sedang tidak ada pekerjaan, Shana memutuskan ikut dengan Adrian. Toh di kampus nanti dia juga akan bertemu dengan Seno.

***

"Katanya kemaren draft nya Zul ditolak Pak Seno?" Tanya Adrian. Mereka dan beberapa orang lain menunggu di depan ruang sidang. Berdasarkan informasi yang Shana dapatkan dari temannya yang datang lebih dulu, Bhakti Aryaseno menghadiri sidang Zulfikar, walau sempat terlambat beberapa menit.

Shana menanggapi dengan anggukan, "baru ngasih h-1, ngamuk deh itu orang." Sebenarnya tanpa dijelaskan pun orang-orang pasti sudah menduga alasannya. "Abis aku dimarah-marahin karena nyuruh Zul nganter ke rumah."

Ucapan Shana disambut gelak tawa puas oleh Adrian.

"Tak kira ke istrinya nggak bakal marah-marah doi."

"Ck semua umat manusia sama di mata beliau." Maksudnya untuk dimarah-marahin. Shana pun sering jadi korbannya kok.

"Beda dong Shan," goda Adrian tersenyum penuh arti. "Kalau sama kamu kan uhuyy ehemmn ihiyyy." Adrian bersiul-siul heboh.

"Berisik Yan!" Reflek Shana menampol Adrian yang kalau sudah berisik menyebalkannya luar biasa.

"Shan mau dengar cerita nggak," Adrian sengaja menundukkan kepalanya untuk berbisik. "Dulu ada kenalanku, dia sumpah serapah ke seseorang. Bilang kalau jangan sampai dapat jodoh yang kaya itu orang, karena katanya hobi menyengsarakan orang banyak. Eh tahunya kan Shan, tiba-tiba jodohnya itu malah orang yang disumpah-sumpahin!"

"Anjir lu! Nyeritain aku ya!" Geram Shana kini berlari sekencang mungkin mengejar Adrian yang sudah berlari menuruni tangga. "Adriaaaaan!!! Awas kamu ya!" Kampus yang sunyi mendadak ramai oleh dua orang yang berkejaran.

"Loh loh yang ini ngejar dan gigit kayanya." Adrian menoleh lalu tergelak-gelak. "Plis tolong ini tak jual include kandange!"

"Kamu yang ku jual, sama pakannya!"

"Heleh, aku ini pakannya mahal Shan! Ra kuat kamu!"

Brukk

Tidak sigap melihat jalan, dalam sekejap Adrian sudah tersungkur. Di belakangnya Shana tertawa puas.

"Rasain! Azab!" Ledeknya mentertawai Adrian yang jatuh tersungkur meringis memegangi lututnya. "Makanya jangan ngeledekin terus."

"Ngeledek apanya, wong aku bicarain temenku. Emang kamu merasa tersindir?"

Shana sudah siap menarik rambut Adrian jikalau lelaki itu tak memohon ampun.

"Iya iya ampun becanda doang bestie." Adrian kembali berdiri, menyalami tangan Shana untuk meminta maaf. "Percaya kok aku Shan. Percaya kalau namanya benci memang setipis itu bedanya sama cinta." Dan Adrian kembali belari menghindari Shana yang semakin bersungut-sungut.

Adrian kembali berlari ke lantai 2, ruangan dimana Zulfikar sidang. Dengan nafar terengah-engah, Adrian disusul oleh Shana tiba bersamaan dengan pintu ruangan sidang terbuka. Para pembimbing dan penguji keluar dari ruang tersebut diikuti Zulfikar di paling belakang.

"Lho Pak Seno ditungguin istrinya ya?" Gurau Bu Widya kala melihat keberadaan Shana yang masih terengah-engah akibat bekejaran dengan Adrian.

"Eh bukan Bu, ini nungguin Zul selesai sidang." Sahut Shana.

"Owalah saya kira nungguin Pak Senonya," Gelak Bu Widya. "Mari adik-adik semuanya, saya duluan." Pamit Bu Widya.

"Mari bu."

"Mau pulang jam berapa?" Seno menghampiri istrinya, menatap penuh selidik pada Shana yang masih ribut mengatur nafas. "Habis ngapain sih?" Ia mengulurkan sebotol air minum yang dibawanya dari ruangan.

Shana lebih dulu meneguk air minum yang Seno sodorkan baru kemudian menjawab pertanyaan pria itu. "Habis ngejar Adrian."

"Aduh di kampus kok kejar-kejaran."  Seno menggeleng heran. "Saya ke ruangan dulu, nanti kesana kalau sudah selesai."

"Nanti aku telpon ajaa, soalnya biar nggak bolak balik."

Ruangan Seno ada di lantai di bawah ruangan sidang, sementara toh mereka pasti akan sibuk berfoto-foto di depan jurusan. Ketimbang bolak-balik lebih baik nanti Seno saja yang menghampiri.

"Hmmm ya sudah saya ke ruangan dulu."

Shana melambai-lambaikan tangannyan. Kalau dipikir-pikir ini kali pertama mereka muncul di kampus dengan status yang berbeda, sudah pasti jadi bahan selorohan banyak orang. Setelah tadi bu Widya, kini gantian teman-temannya yang mengulum senyum menggoda. Sejak tadi mereka diam, fokus memperhatikan gerak-gerik sepasang suami istri baru itu.

"Ihiyyyyy." Mereka bersiul-siul heboh. Baru berani bersuara setelah memastikan Seno hilang dari peredaran.

"Lembut banget ya Pak Seno kalau ngomong sama pawangnya." Kelakar Adrian puas.

Shana melotot tajam, menyuruh Adrian menutup mulutnya yang sudah seperti kaleng rombeng itu.

"Sorry ya guys, yang jadi bintang tamu utama kita hari ini itu Zul yang baru sidang, bukan aku." Ucap Shana untuk menghentikan segala godaan yanh keluar dari mulut teman-temannya.

***

"Saya baru tahu ceritanya," ucap Seno saat mereka sudah berada di mobil untuk pulang. "Baru sekali ini saya lihat ada mahasiswa yang menangis waktu sidang, kalau mahasiswi sih sudah biasa."

"Memangnya kenapa?" Tanya Shana.

"Temanmu itu anak yatim ya?" Tanya Seno balik yang diangguki oleh Shana. "Saya jadi merasa bersalah, setelah mengetahui perjuangannya untuk melanjutkan kuliah seberat itu."

"Makanya kalau apa-apa itu jangan ngedepanin emosi. Coba dicari tahu dulu," Shana menatap suaminya yang entah kenapa pandangannya terlihat sayu. Mungkin merasa bersalah karena sudah memarahi Zulfikar. "Zul itu aslinya dulu anak orang lumayan Mas. Tapi waktu semester dua atau tiga gitu, ayahnya meninggal. Ekonomi keluarganya jadi carut marut. Dia sampai mau berhenti kuliah karena ya udah nggak ada biaya lagi."

"Kalau kamu selalu mempertanyakan kenapa aku mau jadi anak advokasi yang kata kamu nggak berguna dan nggak dibayar itu kenapa, ya karena hal-hal kaya gini Mas. Aku, Adrian, dan anak-anak advokasi lain itu cuma pingin memperjuangkan hak-hak teman-teman kami."

Kalau menurut Shana, menjadi anak advokasi adalah panggilan hati. Dan tidak semua orang mau repot-repot mengurus hajat orang banyak tanpa mendapatkan komisi.

"Kami memperjuangkan agar Zul bisa dapat keringanan UKT dan melanjutkan kuliahnya waktu itu. Ya walau akhirnya gagal. Pejabat-pejabat itu mana peduli sih Mas?" Kekeh Shana mengingat kembali bagaimana ia dan anak-anak advokasi lainnya kala itu sibuk berhari-hari menghampiri satu demi satu petinggi fakultas dan universitas agar Zul bisa terbebas dari uang 6 juta kala itu. Hasilnya nihil. Bahkan para petinggi itu tidak memberikan solusi apapun. Mereka seperti manusia-manusia yang tidak memiliki nurani.

"Aku dan teman-teman seangkatan pada akhirnya urunan untuk bisa membayar UKT Zul. Kami nggak mau Mas ada teman kami yang berhenti kuliah karena nggak sanggup membayar uang kuliah."

Adrian yang memberi ide itu, uang 6 juta memang tidak sedikit. Untungnya satu angkatannya sepakat untuk membantu Zul. Mereka mengumpulkan sumbangan seikhlas hati untuk bisa membantu Zul melanjutkan kuliahnya.

Kalau mengingat bagaimana hari itu berakhir, sungguh siapapun terharu melihatnya. Zul tidak henti mengucapkan terima kasih pada teman-temannya sambil menangis terharu. Yang lain pun ikut menangis. Hari itu Shana menyadari betapa kekeluargaannya ia dan teman-teman seangkatannya.

"Setelah semester dimana Zul nyaris berhenti kuliah itu, dia kerja mati-matian dimanapun dan kapanpun supaya bisa membayar kuliah untuk semester-semester berikutnya Mas."

"Saya sampai mau nangis waktu tadi Zulfikar menyampaikan kesan pesannya."

Shana bisa melihat pelupuk mata Seno menggenang. Walau terlihat keras, ia tahu betul suaminya ini tipikal orang yang sebenarnya mudah tersentuh. Hanya terkadang keras kepalanya mengalahkan nuraninya.

"Kalau Mas bertanya-tanya kenapa anak-anak himpunan dan BEM bisa sangat mengidolakan Prof Danes, salah satu jawabannya ya karena Prof Danes peduli sama mahasiswanya. Dekan-dekan sebelumnya mana ada yang peduli mahasiswanya bisa bayar kuliah nggak, bisa menuntut ilmu dengan tenang nggak?"

Pengangkatan Prof Danes sebagai dekan setahunan lalu seperti oase di tengah gurun sahara. Boleh dibilang itu adalah momen paling disyukuri oleh Shana dan teman-temannya. Seringkali Shana dan yang lain berpikir bagaimana bisa ada seorang manusia sebaik Prof Danes. Tugas Shana dan teman-teman advokasi sangat dipermudah dengan keberadaan Prof Danes yang selalu mau menjebatani mereka dengan petinggi-petinggi lain.

Tidak sekali dua kali pula cerita kedermawanan pria itu terdengar. Prof Danes sering merogoh koceknya sendiri untuk membantu mahasiswa-mahasiswa yang kesulitan biaya kuliah. Kurang baik apalagi?

Seno memanyunkan bibirnya, paling kesal kalau istrinya sudah membawa-bawa nama dekan mereka. Mungkin ini yang namanya titik insecure. Seno merasa rendah diri jika disandingkan dengan Prof Danes.

"Males saya kalau kamu udah muji-muji Prof Danes."

Shana mengambil tangan kirinya Seno yang bebas, mengecupi setiap punggung jari sang suami untuk memberitahu Seno bahwa bagaimanapun pria itu, cintanya sudah mentok di Seno.

"Nggak ada muji-muji, cuma cerita realita di lapangan aja." Ia mencari posisi ternyaman untuk bisa bersender di bahu Seno.

Tidak ada yang membuat Shana candu selain aroma yang keluar dari tubuh suaminya seusai pria itu pulang mengajar. Sulit mendeskripsikannya, yang jelas wanginya sangat membuat Shana nyaman. Parfum yang wanginya tersisa sedikit ditambah aroma yang menguar dari tubuh Seno.

"Ibu nggak ada titip apa-apa?"

Shana menggeleng.

Mereka sedang dalam perjalanan menuju rumah keluarga Shana sepulang dari kampus. Ini kali pertama mereka berkunjung kesana setelah menikah. Rencananya mereka akan menginap disana.

Bapak merenovasi total kamar Shana. Katanya supaya lebih lapang mengingat Shana tidak lagi tidur seorang diri. Iyasih kamarnya memang terlalu sempit untuk ditiduri oleh 2 orang. Apalagi kalau mengingat rusuhnya Seno tidur. Bisa-bisa pria itu sudah ada di kolong tempat tidur saat bangun.

Shana sendiri belum tahu hasil renovasinya seperti apa. Yang jelas 2 hari yang lalu Ibu memberi kabar bahwa kamar Shana sudah selesai direnovasi. Jadi, tujuan mereka menginap di rumah Ibu adalah untuk mencoba kamar baru Shana.

Hush jangan berpikiran negatif.

"Aduuuh ada pasutri baru nih," Septian menjadi orang pertama yang menyambut kehadiran mereka. "Udah bawa ponakan buatku belum?"

"Dipikir pakai nalar aja deh Sep. Dikira bikin anak sehari jadi."

"Mana tahu langsung jadi hoek hoekkk." Septian melanjutkan pekerjaannya setelah menyalami pasutri baru itu. "Ibu ada di dalem, lagi masak kayanya."

Wangi harum masakan langsung tercium ketika mereka memasuki rumah. Benar yang dibilang Septian, Ibunya sedang bediri di depan kompor memasak sesuatu.

"Ibuuuu!" Shana memeluk Ibunya. "Masak apa ini wanginya kok enak banget?"

Rini sampai terkejut dibuatnya. Ia sibuk mengelus dadanya atas tingkah anak sulungnya yang tiba-tiba memeluk itu.

"Ngucap salam Mbak kalau baru datang itu. Ngagetin aja!"

"Iya Ibu, Assalamualaikum Ibuku yang cantik. Kangen banget udah lama nggak ketemu."

"Halah kaya nggak ketemu setahun aja."

"Bu," sapa Seno menyalami Ibunya. "Jangan diganggu Shan Ibunya lagi masak." Seno menarik Shana yang bergelendotan di tubuh Rini.

"Baru dari kampus?" Tanya Rini yang menyadari  menantunya berpakaian rapi. "Udah sana Mbak Shana ditemenin Masnya dulu bersih-bersih."

"Yuk Mas." Shana menggandeng tangan Seno, tidak sabar untuk melihat penampakan kamar barunya. "Woaaaahhh!!" Teriak Shana heboh begitu membuka pintu kamar.

Gila, kamarnya sudah berubah 100%. Ranjang mini yang dulu mengisi kamar sudah diganti dengan yang berukuran 2 kali lipat. Lemari usang di sudut kamar juga sudah hilang berganti lemari baru berukuran lebih besar. Ini sih namanya bukan renovasi, tapi rombak total!

Dan tunggu...Shana melihat keberadaan pintu lain di dalam kamarnya. Itu pintu buat kemana?

Shana berderap mendekati pintu tersebut untuk mencari tahu itu pintu kemana.

"Loh ada kamar mandi di kamar ini?" Ucapnya terkaget-kaget saat menemukan kamar mandi baru di dalam kamarnya. Selama ini, rumah mereka hanya memiliki 2 kamar mandi. Yang satu digunakan untuk mandi dan buang hajat, sementara satunya digunakam Ibu untuk urusan mencuci baju.

"Waaah ada kamar mandi baru," seringai Seno. "Bisa dong ya berarti."

"Bisa apa?" Tantang Shana yang bisa membaca pikiran suaminya.

"Ya bisa mandi sayang, bisa mandi di kamar kamu nggak perlu pakai kamar mandi luar." Seno mengeles. Ia kemudian duduk di ranjang Shana. "Empuk juga nih kasur baru. Bisa kali ya Shan? Bisa tidur maksudnya."

"Halah Mas Mas, kaya aku nggak ngerti aja arah pembicarannmu. Udah sana mandi!" Usir Shana menarik tangan Seno agar berdiri meninggalkan kasurnya.

"Bentar Shan, saya mau menikmati kasur baru dulu," Pria itu malah merebahkan tubuhnya. "Bisa minta tolong dipijetin nggak? Badan saya kok rasanya pegal sekali."

"Tengkurap." Pinta Shana.

"Agresif sekali istri saya." Gurau Seno lantas tergelak.

"Buru sih!" Shana sengaja menepuk kencang bokong Seno sampai pemiliknya heboh kesakitan.

"Aduh aduh ini namanya KDRT." Seno sibuk mengelus korban penganiayaan istrinya.

"Alah lebay." Shana membantu Seno untuk melepas kemeja dan celana bahannya. "Bekas jatuh kemarin udah nggak sakit kan?" Ia lebih dulu mengecek bagian tubuh suaminya yang terluka setelah pristiwa terpleset beberapa waktu lalu.

"Sudah baik." Jawab Seno. "Enghh enak sekali, istri saya paling pintar pijatnya." Puji Seno.

Kemampuan Shana dalam memijat tidak boleh diragukan lagi, pengalaman bertahun-tahun memijat Ibunya ternyata menambah skill Shana.

"Eh hujan," Shana berdiri sejenak untuk menutup jendela kamarnya yang masih terbuka. Khawatir kalau air hujan akan masuk ke kamarnya. "Lah tidur dia? Belum mandi lagi." Gumam Shana saat menemukan suaminya yang sudah memejamkan mata dengan nafas teratur. "Dasar pelor." Cibir Shana tapi dengan lembut merapikan posisi tidur suaminya itu.

Ia menarik selimut untuk melingkupi tubuh Seno yang hanya mengenakan boxer. Setelah memastikan Seno dalam posisi tidur yang nyaman, baru Shana berani meninggalkan suaminya untuk menghampiri Rini.

"Lho Bapak udah pulang? Nggak kedengeran suara motornya."

Shana menghampiri Haji Iswan yang duduk di meja makan menemani istrinya memasak.

"Sehat Mbak? Mas Senonya kemana?"

"Alhamdulillah sehat Pak. Mas Seno tadi minta pijetin eh malah ketiduran."

"Padahal ini sup nya udah mau mateng." Sahut Rini.

"Wiiih enak banget hujan-hujan begini Ibu masak sup." Shana mendekati Ibunya untuk melihat apa yang ada di panci ibunya. "Pas banget si Mas dari kemaren minta masakin sup daging, tapi belum sempat-sempat beli bahan-bahannya."

Jogja belakangan ini sedang dingin-dinginnya karena hujan di pagi hingga sore. Jadi wajar kalau rasanya ingin makan yang hangat-hangat terus.

"Suamimu kamu bawain bekal terus tho Mbak?" Tanya Rini. Ia sudah banyak menasehati anaknya soal rumah tangga. Salah satunya adalah soal masak memasak.

"Bawain terus Bu, Mas juga seneng banget kalau dibawain bekal. Tapi ya gitu, bawain bekalnya kaya orang mau piknik. Cemil-cemilannya juga nggak ketinggalan."

"Ya bagus lebih sehat juga." timpal Haji Iswan.

"Mas Seno gendutan nggak sih?" Ucap Septian ikut bergabung dengan orang tua dan Mbaknya.

"Gimana nggak gemukan wong maem terus kerjanya. Kadang itu Mbak sengaja buat cemil-cemilan banyak terus maksudnya dibuat frozen biar buat nanti-nanti gampang masaknya. Malah minta dimasakin terus dia." Kekeh Shana mengingat suaminya yang kalau di rumah sedikit-sedikit mengeluh lapar dan hanya mau makan masakan istrinya.

Shana tak kuasa melarang suaminya untuk mengurangi makan, karena dia pun sebenarnya senang melihat Seno yang lahap memakan masakannya. Jadi sebagai ganti Shana menyuruh Seno memperbanyak olahraga agar perutnya tidak membuncit seperti bapak-bapak.

"Hobi ngemil ya." Gelak Haji Iswan.

Shana mengangguk, "kalau ngajar dari pagi sampai sore, cemilannya harus dua itu."

"Tapi mengajar ini memang kelihatannya nggak capek Mbak, padahal orang yang banyak berpikir itu paling mudah lapar." Ucap Haji Iswan yang Shana setujui juga.

"Shana," orang yang sedang dibicarakan muncul dari dalam kamar dengan wajah mengantuk dan rambut acak-acakannya. Sudah mengenakan kaus yang entah didapat dari mana itu.

"Tuh dicariin suaminya." Ledek Septian.

"Samperin dulu, habis maghrib nanti kita makannya."

Shana kembali masuk ke kamarnya, Seno sudah duduk di tepi ranjang dengan wajah sayunya. Masih mengumpulkan nyawa.

"Kok udah bangun? Bentar banget tidurnya." Paling hanya 15 menit suaminya itu terlelap.

"Saya nyariin kamu."

"Di dapur tadi ngobrol-ngobrol sama Bapak Ibu dan Septian."

Shana merapikan rambut Seno, mengelus-elus wajah pria itu lalu mencium dahinya.

"Mandi sana, Ibu masak sup iga lho."

Mata Seno langsung berbinar-binar mendangar kata sup iga.

"Mandi bareng?" Tawar Seno penuh harap. "Nyoba kamar mandi barunya."

Shana terkekeh, menjawil pipi Seno yang selalu terlihat menggemaskan kalau baru bangun tidur seperti ini.

"Boleh yuk."

Jangan harap mandi yang Seno maksud benar-benar hanya mandi. Karena sudah dipastikan, Shana tidak akan bisa lepas dari terkaman singa buas.

Sialnya, yang saat ini disiksa habis-habisan adalah Seno. Pria itu harus menahan diri untuk tidak melenguh nikmat karena mengingat dimana mereka berada saat ini. Wajahnya sampai memerah menahan lenguhan sejak tadi.

Siapa yang mengajari istrinya hingga bisa sehandal ini? Sialan, tangan dan mulut Shana sepertinya perlu diberi pelajaran. Sumpah, rasanya Seno tidak menginjak bumi saat ini.

Sialan.

Sialan.

Sialan Shanaya Mahika.

"Ssshh stop Shan stop saya nggak mau akh, nggak mau shit sialan." Darahnya berdesir tidak karuan, Seno tidak menduga yang kata Shana ini kali pertamanya melakukan itu tapi bisa membuat Seno kewalahan.

Seno menarik lepas miliknya dari genggaman Shana. Karena kalau ditahan lebih lama lagi Seno tidak yakin ia mampu menahan.

"Lho lho Mas?" Tanya Shana heran. Keheranan itu usai saat Seno mendorong Shana untuk menempel pada dinding.

"Jangan salahkan saya kalau kaki kamu lemas setelah ini." Seringai Seno.

Sederhana tapi Shana marah :

Bercinta sambil berdiri.

***

Ada beberapa readers, yang bisa membaca arah konfliknya kemana hihihi

Silahkan nikmati manis-manisnya pasutri baru ini yahhh

Part 42 baru saja diupload di Karyakarsa, disana kalian bisa tahu bahwa kehidupan rumah tangga mereka nggak selalu manis-manisnya 🙃

See you,
Yogyakarta, 22 Desember 2023
























Continue Reading

You'll Also Like

514K 50.2K 39
(END) Dia ada, bersembunyi dibalik celah yang menatap penuh damba pada sosok tampan di depan sana. Tanpa mampu berkata, dia hanya diam bersembunyi di...
37.8K 4.3K 42
Tentang sebuah pengorbanan, bahwa hidup adalah perjuangan. Hidup tanpa suami tak membuat Haptari menyerah. Bagi wanita 34 tahun itu hidup ini keras d...
603K 51.1K 34
Menjadi janda di umur 20 tahun, membuat Riyuna harus pandai-pandai menata hidup dan hatinya. Ia akui ini bukanlah perkara yang mudah. Bukan ditinggal...
693K 59.7K 30
Epilog dihapus! "Kamu pikir melamar sambil menggendong bayi itu romantis?" tanya Ayyara yang menunjuk bayi di gendongan Rey. Cowok itu menundukkan ke...