ADVOKASI

By badatearth

860K 74.8K 4.3K

Shana begitu ia akrab disapa. Si paling advokasi begitu julukannya. Bagaimana tidak, ini tahun keduanya menja... More

1. Lagi dan Lagi
2. Sinis
3. Mau Menyerah Saja
4. Lika-Liku Mahasiswa Tingkat Akhir
5. Galak
6. Penelitian
7. Tugas
8. Kesambet
9. Kebiasaan
Yang mau-mau saja
10. Bingung
11. Aneh
12. Masalah (lagi)
13. Pembelaan
14. Perampokan
15. Ulang Tahun
16. Kejutan paling berharga
17. Marah-marah
18. Tugas baru
19. Hah?
20. Perhatian
21. Keusilan Kecil
22. Mas
23. Cemburu
24. Tidak Terduga
25. Salah Bicara
26. Perdebatan
27. Terkuak
28. Pertengkaran
29. Misi Membujuk
30. Cintaku
31. Si Baik Hati
32. Perubahan
33. Perkenalan
34. Godaan
35. D'day
36. Jangan takut!
38. Sederhana
39. 3L (Lemas, Lesuh, Lunglai)
40. Awal Mula
41. Keseharian Bapak Ibu Hamil
42. Bukan Prioritas
43. Gila
44. De Ja Vu
45. Menyelesaikan yang lalu
46. Permintaan Maaf
47. Nanti
48. Salah Tingkah
49. Kembali Bersama
50. Kembali Terulang
51. Bak Pinang Dibelah 2
52. Pertanggungjawaban
53. Nona & Papa Seno
54. Pulang
Spesial Part : Hadiah Istimewa

37. Iya Salah

15.3K 1.2K 84
By badatearth

"Aku tuh pingin jalan-jalan keluar Mas, lihat pantai yang bagus-bagus. Mau ke Gili Trawangan juga."

Sial memang. Sudah jauh-jauh ke Lombok, setiap harinya mereka selalu terjebak hujan yang membuat mereka pada akhirnya terperangkap di kamar resort. Di ponselnya padahal Shana sudah membuat list tempat-tempat yang ingin dikunjungi. Yang sialnya hingga hari keempat mereka disini-dimana esok mereka sudah harus kembali, baru 2 destinasi yang diceklis, itupun pantai yang bisa mereka datangi jalan kaki dari resort.

"Ya nanti kesini lagi kalau sudah nggak musim hujan." Sahut Seno santai.

Jangan ditanya soal Seno. Pria itu malah terlihat senang karena terjebak di kamar. Disaat Shana sejak tadi mondar-mondir mengintip kondisi diluar yang nyatanya masih hujan deras, Seno bergelung nyaman dibalik selimut tebal tanpa mengenakan sehelai benangpun setelah percintaan mereka sejam lalu.

Sudah sejak tadi Shana menyuruh suaminya itu mandi, tapi banyak sekali alasannya. Yang mengantuk lah, yang tunggu enakan dikit lah, ada saja alasannya!

Iya benar, terperangkap di kamar artinya Shana harus lapang dada dikerjai oleh suaminya itu!

"Kamu ngapain dari tadi mondar-mandir kaya satpam, sini mending bobo sama saya." Seno melambai-lambaikan tangannya.

Shana menggeleng, harus waspada pada suaminya itu. "Nggak ya...aku nggak akan masuk perangkap kedua kalinya."

Sudah cukup sejak kemarin-kemarin Shana dibodoh-bodohi oleh Seno. Dia tidak akan dengan mudah terperangkap lagi oleh siasat pria mesum itu.

"Tapi suka kan?" Seno dengan usil menaik turunkan alisnya. Hal paling menyebalkan menurut Shana. "Saya suka sekali kalau lihat wajah kamu pas-"

Shana sudah mengangkat sebuah remote tv, siap melempar benda itu ke muka Seno kalau dia berani melanjutkan ucapannya. "Apa? Lanjut pas apa?" Ancam Shana.

Seno menyengir, menaikkan kembali selimut agar bisa menutupi seluruh tubuhnya sebagai upaya menghindari kemurkaan istrinya.

Istri barunya itu masih suka malu-malu dan sensi kalau Seno sudah membahas soal ranjang. Padahal ya Seno hanya jujur mengenai apa yang dia rasakan, Seno paling senang kalau sudah mendengar Shana mendesahkan namanya. Seolah di dunia Shana hanya ada dirinya seorang.

"Shan," Seno menyembulkan kepalanya. "I love youuuuuuuuuuuu." Lalu kembali menyembunyikan diri.

Shana tergelak, lalu menghampiri suaminya yang tertutupi oleh selimut tebal. Sudah tahu diluar hujan deras, pendingin ruangan hidup, dan pria itu dengan percaya dirinya tidak bergegas mengenakan pakaiannya yang masih berserakan di lantai.

"Mau deh bobo sama Mas Seno." Shana menarik salah satu ujung selimut, lalu beringsut masuk ke dalam selimut yang sama dengan Seno yang Shana tahu betul pura-pura memejamkan matanya. "Aduuh di dalamnya ada tuyul telanjang lagi." Gurau Shana.

Mereka sama-sama tertawa di dalam selimut.

"Kan saya nggak botak Shan." Bela Seno.

"Makanya dipakai bajunya!"

"Kan cuma sama kamu, nggak apalah."

Shana tidak mau lanjut mendebat lagi. Didebat sebagaimanapun Seno pasti punya pembelaannya. Resiko menikahi seorang dosen yang konon katanya akan selalu benar.

"Mas bisa nggak tangannya nggak usah megang-megang payudaraku? Kan kamu juga punya tuh, pegang punyamu aja lah." Shana baru melamun sebentar saja saat tahu-tahu tangan Seno sudah hinggap di payu daranya.

Seno tidak mengabaikan perintah Shana, toh benda ini halal untuknya jadi tidak salah kan kalau dia pegang-pegang?

"Mashhhh," desah Shana tak terhankan lagi. "Sshhhhh." Sialan memang Bhakti Aryaseno paling tahu kelemahannya. Mulutnya mungkin melarang Seno melakukannya, tapi respon tubuh Shana menerima segala hal yang Seno lakukan.

"Mendengar kamu mendesah saja, saya langsung berpikiran kemana-mana. Berbahaya." Kekeh Seno tetap melanjutkan permainannya.

Sejak pertama kali Shana mengizinkannya menyentuh tubuhnya, sungguh Seno tidak dapat menahannya lagi.

Yang benar saja, dia pria normal berusia dewasa malah nyaris tua. Belum pernah merasakan langsung betapa nikmat tubuh seorang wanita. Shana yang pertama untuknya, dan Seno merasa sangat terhormat saat mengetahui bahwa dirinya juga yang pertama untuk wanita itu, iya.. sekarang umm atau sejak beberapa hari lalu Shana bukan lagi seorang gadis. Melainkan wanita.

Jadi Seno mohon maaf kalau dia terlihat kemaruk dengan kegiatan baru yang amat dia sukai ini.

Shana sulit mempercayai saat Seno menyebutkan bahwa malam pertama waktu itu juga menjadi yang pertama kali untuknya. Sulit dipercaya, tapi Shana mencoba mempercayainya. Walau ragu-ragu saat merasakan sendiri kepiawaian pria itu. Masa sih baru pertama dan Shana berhasil dibuat sampai berkali-kali?

Tapi Seno memberi pembelaan, bahwa itu sudah menjadi naluriah manusia.

"Halah," Shana menepuk lengan suaminya sambil terkikik kala itu. "Palingan juga hobi nonton porno!" Ledeknya. Tidak mungkin seorang Seno hidup selempeng itu.

"Ya ya itu rahasia," Seno mengulum senyumnya. "Tapi kalau boleh jujur, saya pernah mimpiin jorok kamu." Aku Seno, mengenai pristiwa dimana ia mengalami mimpi basah.

"Ish!" Shana menepuk kencang, tidak terima dirinya dimimpikan yang jorok-jorok. Tidak perlu dijelaskan lebih lanjut pun Shana sudah mengerti mimpi jorok yang Seno maksud apa.

"Waktu itu saya bangun-bangun basah," Seno malah melanjutkan, kendati Shana sudah tersipu malu. "Ternyata aslinya jauh lebih enak. Kalau begini saya nggak apa-apa deh basah setiap hari."

***

Awal-awal pernikahan memang identik dengan yang manis-manis. Shana pun merasakan hal itu. Tapi tetap saja, menurutnya ada beberapa hal yang sering membuat dia dan Seno bertengkar kecil. Mungkin karena mereka masih harus beradaptasi satu sama lain.

Seno tidak bisa tidur kalau lampu dimatikan, sementara Shana harus tidur dengan lampu dimatikan. Masalah itu masih bisa mereka akali, Seno biasanya akan tidur lebih dulu dengan lampu yang masih menyala. Baru setelah Seno tidur, Shana bergerak mematikan lampu dan ganti menghidupkan lampu tidur yang ada di dekat Seno.

Tapi harus dipastikan bahwa suaminya sudah tertidur lelap, karena kalau tidak Seno akan terbangun lagi.

Soal suhu ruangan juga sama. Dari kecil Shana tidak memiliki pendingin ruangan di kamarnya, dan terbiasa tidur hanya dengan kipas angin. Sedangkan Seno, sudah terbiasa menggunakan pendingin ruangan. Shana mungkin masih bisa mentolerir suhu sedang, tapi masalahnya Seno hanya mau tidur di suhu 16 derajat. Kalau soal ini, Seno yang mengalah. Walau karenanya pria itu seringkali gelisah dalam tidurnya karena kegerahan.

Kalau kata Seno, tidak masalah namanya juga adaptasi. Lama kelamaan nanti Seno akan terbiasa tidur dengan lampu mati juga suhu agak tinggi. Tidak masalah, asal ada Shana di sisinya.

Tidak ada lagi yang namanya bangun tidur dengan posisi yang kaki di kepala, kepala di kaki. Seno akan bangun di posisinya yang sama dengan sebelum terlelap, di pelukan istrinya.

By the way, pagi ini pertama kalinya Seno kembali ke kampus setelah cuti seminggu kemarin. Pertama kalinya bagi Shana membantu Seno untuk bersiap-siap pergi mengajar.

Pria itu kemarin sudah mengirimi Shana jadwalnya mengajar juga seragam yang ia kenakan di setiap harinya. Seno tidak setiap hari harus masuk pagi, pria itu bilang jika tidak ada keperluan maka datangnya ia ke kampus ya menyesuaikan jadwal pertama mengajar. Kalau kelas pertama baru digelar pukul 1 siang, ya Seno baru akan datang jam segitu.

Kalau hari senin, Seno kebagian kelas pagi jam 8. Maka sejak jam 7 kurang Shana sudah ribut membangunkan suaminya untuk bersiap-siap. Sementara ia turun ke dapur untuk mempersiapkan bekal pria itu.

Seno sudah request ingin dibawakan bekal. Kemarin sore, keduanya menyempatkan diri untuk berbelanja mengisi kulkas Seno yang hanya berukuran besar saja tapi isinya hanya ada 2 botol air mineral.

"Morning, Shan." Sapa Seno menyempatkan untuk mengecup pipi istrinya sebelum duduk di meja makan. "Kasurnya sudah saya beresin, aman."

"Rapi tuh?"

"Rapih dong." Sahut Seno menyombongkan diri. Tadi sewaktu bangun tidur, Seno langsung berkata bahwa dia yang akan merapikan tempat tidur mereka dan membiarkan Shana menyelesaikan urusan dapur.

Shana sibuk memasukkan makanan yang sudah ia buat untuk Seno ke dalam kotak bekal yang berbeda-beda. Satu kotak berukuran sedang berisi buah melon dan mangga potong, permintaan Seno yang enggan sarapan berat di pagi hari. Satu kotak berisi sandwich, untuk Seno makan sambil menunggu makan siang. Dan satu kotak lagi berisikan nasi beserta lauk pauknya.

"Ini teh hijaunya ya Mas, nanti diseduh di kantor aja," Shana mengangkat wadah kecil untuk ditunjukkan pada Seno. "Jangan ditambah gula lagi ya!" Peringat Shana.

"Wah sudah kaya mau piknik saya ya." Seno mengangkat tas bekal yang baru dibeli Shana kemarin beserta satu set perkotakan bekal berwarna abu-abu ini. "Terima kasih banyak sayang."

Shana mengangguk, beralih ke tas ransel yang Seno taruh di sebelah pria itu. Tas ransel yang Shana belikan beberapa waktu lalu. Ia memeriksa isinya, mengecek barang-barang apa saja yang dibawa Seno ke kampus. Barangkali ada yang terlupa.

"Mau bawa air?" Tawar Shana.

"Nggak usah, nanti bisa ambil di kantor kan."

Shana manggut-manggut, kembali mengecek seluruh bawaan suaminya. Mungkin nanti Shana perlu sidak ruangan Seno, menyimpan beberapa stok cemilan yang bisa pria itu konsumsi sambil menunggu waktu mengajar.

"Ya sudah saya berangkat dulu," Seno mengulurkan tangannya untuk Shana salim.

Shana meraih tangan suaminya, mengecup punggung tangan itu lalu memeluk Seno.

"Semangat ngajarnya ayaang, jangan galak-galak."

"Hmmmm, chat saya ya nanti kalau ada yang ingin dibawakan. Hari ini nggak kemana-mana?"

"Nggak. Mau beresin pakaian duluu. Dah sana berangkat!" Shana mendorong pelan tubuh Seno. "Love you Mas Sennn!"

"Love you too Dek Shan." Balas Seno usil dan cepat berlari meninggalkan istrinya sebelum diamuk.

Shana hanya bisa menggeleng-geleng, kembali masuk ke rumah setelah mobil Seno meninggalkam carport.

Pekerjaannya masih banyak, kepindahannya ke rumah Seno seperti kurang persiapan. Apalagi mereka juga memang baru kembali dari Lombok dan langsung menempati rumah Seno. Tidak mungkim kan mereka tidur di rumah Shana, lalu berbagi tempat di kasur Shana yang kecil mungil itu. Yang ada bangun-bangum sebadan sakit semua!

"Ngapain dulu ya?" Gumam Shana, mengedarkan pandangan ke seluruh rumah yang sebenarnya tidak berantakan, tapi tidak rapi juga. Kalau dipikir-pikir rumah suaminya ini terlalu luas untuk ditinggali berdua. Apalagi dulu saat Seno hanya tinggal sendirian. Kok bisa ya pria itu tinggal seorang diri tapi memilih rumah seluas ini? Apa tidak seram? "Umm beresin pakaian aja dulu kali ya." Putus Shana.

Ia kembali naik ke lantai atas, dimana kamar Seno-yang sekarang juga menjadi kamarnya berada. Koper-koper masih tersimpan di sudut ruangan, belum sempat Shana bereskan isi-isinya. Dan apa-apan ini-

"Apanya yang diberesin ini." Kesal Shana.

Shana tidak tahu dia harus marah atau tertawa, melihat rupa ranjang yang konon sudah dirapikan oleh Seno. Apa yang dimaksud merapikan oleh Seno hanya menarik sisi kanan dan kiri seprai? Membiarkan bedcover terlipat asal juga bantal dan guling yang diletakkan sekenanya. Pada akhirnya Shana juga yang harus merapikan ulang ranjang itu.

Setelah ranjang rapi, ganti sekarang ia harus menyusun baju-bajunya di dalam koper ke lemari. Hal pertama yang Shana lakukan adalah menggusur kemeja-kemeja Seno yang sekiranya tidak lagi dikenakan.

"Heran kok bisa punya baju yang sama, warna sama, tapi sampai lima biji begini?" Shana menarik keluar 3 dari 5 kemeja tersebut. Baju-baju di lemari Seno memang didominasi oleh pakaian formal. Kemeja, celana kain, batik, yang setiap harinya Seno gunakan untuk pergi ke kampus.

Shana mulai menyusun satu per satu pakaian miliknya. Ia tidak bisa menahan senyuman kala melihat pakaiannya dan milik Seno bersanding di lemari yang sama. Lucu sekali.

"Oke beres. Tidur kali ya?"

Mumpung tidak ada si gorilla manja dan mesum yang hobinya mengganggu tidur Shana. Setidaknya Shana bisa tertidur tanpa gangguan hingga pukul 3 sore nanti.

***

Tidur lelap Shana terganggu oleh bunyi ribut yang dibuat suaminya, Shana tahu Seno melakulannya dengan sengaja. Sengaja membuka pintu lemari keras-keras, sengaja membuka keran air kencang-kencang. Hal itu Seno lakukan untuk membangunkan istrinya.

Pantas saja dihubungi sejak tadi tidak membalas sama sekali. Sampai Seno kira istrinya sedang kenapa-kenapa.

"Ya ampuuuunnn." Desah Shana melihat kamar yang tadi sudah dia rapikan sebelum tidur sudah kembali berantakan.

Dengan malas Shana merapikan kembali kericuhan yang dibuat Seno. Celana dan kemeja yang tadi pria itu kenakan untuk bekerja tercecer mengenaskan di lantai. Berikut dengan sepasang kaus kaki yang terpisah posisinya. Belum sampai disitu, lantai kamar yang semula bersih kini dipenuhi kotoran tanah entah dari mana. Shana geleng-geleng tidak percaya dengan apa yang baru diperbuat Seno.

Pelakunya malah santai bersenandung di dalam kamar mandi.

Kalau ini namanya Seno benar-benar cari perkara. Shana duduk di tepian ranjang, kantuknya mendadak hilang. Emosinya sudah sampai di ubun-ubun dan siap meledak saat pelakunya keluar dari kamar mandi nanti.

Tolonglah, seharian ini Shana sudah lelah bekerja keras membereskan rumah ini. Lalu Seno bisa-bisanya sepulang bekerja semudah itu merusuhi kamar. Haishh.

Ceklekk

"Lho sudah bangun?"

Shana tidak menjawab. Dia sudah duduk disini yang artinya sudah bangun, kenapa pertanyaan bodoh itu keluar dari mulut Seno?

"Maksudnya apa baju sama celananya diserak-serakin gitu? Terus itu ya ampuuun Mas, aku udah nyapu dan ngepel kamar ini biar layak ditinggali dan bangun-bangun kenapa bisa kotor begini?" Protes Shana. Nafasnya terengah-engah karena sulit mengontrol emosinya. Tolonglah seharian ini dia sudah terlalu lelah, dan Seno mencari masalah dengannya!

"Maaf-maaf." Seno buru-buru mengumpulkan baju dan celananya yang masih tercecer di lantai. Pria itu bahkan masih mengenakan handuk yang melingkari pinggangnya. Ia lalu mencari sapu di luar kamar dan membersihkan tanah kering yang terbawa olehnya. Setelahnya baru mengepel lantai kamar. Semuanya dilakukan Seno dengan cepat, dia kadung takut dengan raut muka istrinya yang seperti siap menerkam. "Maaf ya? Saya nggak sengaja." Seno beringsut duduk di sebelah istrinya untuk memohon maaf.

Bukan apa-apa, Seno bukan dengan sengaja meletakkan pakaian kotornya sembarangan. Hal itu seperti naluriah, kebiasaan Seno setiap pulang dari kampus yang akan langsung bersih-bersih di kamar mandi. Seno terbiasa membuka pakaiannya di luar kamar mandi, dan baru akan memasukkannya ke keranjang kotor setelah mandi.

Dan soal tanah-tanah kering yang mengotori lantai kamar mereka, Seno baru saja terjatuh saat sedang berkunjung ke kebun percobaan. Kondisi bekas hujan membuat tanah licin, dan tanpa disadari Seno terpeleset saat sedang berjalan.

Dia terpelanting begitu saja, orang-orang di sekitarnya menganga tidak percaya melihat apa yang baru terjadi.

Ketimbang sakit, Seno justru lebih merasa malu. Jatuhnya jelek sekali, dan di hadapan mahasiswa-mahasiswanya. Ia tahu pasti setelah ini pristiwa itu akan ramai diperbincangkan oleh mahasiswa-mahasiswanya. Haish memalukan.

Saking malunya, Seno langsung tergesa-gesa pamit meninggalkan kebun. Mengabaikan rekannya yang ingin memeriksa lebih dulu kondisi tubuh Seno setelah benturan cukup keras itu. Sudah dibilang Seno tidak merasakan sakit apa-apa. Baru tadi saat membilas tubunya di kamar mandi ia melihat memar di sikutnya, juga beberapa luka di lututnya.

Seno tidak sadar efeknya bisa separah ini. Dia yakin, besok pasti tubuhnya baru memberi respon nyeri atas tragedi ini.

"Itu tanah-tanah juga dari mana? Kamu kerjanya di kantor kan Mas bukan gali kubur?" Decak Shana.

Seno menyengir tidak bersalah, lalu menunjukkan memar di sikutnya, "habis jatuh. Sama ini," dia menarik sedikit handuk hingga terlihat luka di lututnya. "Malu saya jatuhnya di depan orang ramai."

"Hah? Kok bisa sih?" Pekik Shana, ia menarik lepas handuk Seno, memeriksa lebih rinci tubuh suaminya. "Memar juga ini." Tunjuk Shana pada kebiruan di betis Seno yang sepertinya belum pria itu sadari.

Shana jadi merasa bersalah barusan marah-marah pada suaminya. Tanpa mengetahui kalau Seno baru saja melalui pristiwa tidak mengenakkan.

"Nggak tahu," ia mengangkat bahunya. "Saya jalan saja kaya biasa tahu-tahu kepleset." Seno hanya bisa pasrah, membiarkan tubuhnya dicek sisi demi sisi oleh istrinya.

Mungkin setelah ini Shana harus mengecek sepatu yang Seno gunakan. Agaknya harus membelikan yang baru untuk suaminya. Seno itu sepatunya banyak sekali di rak, tapi yang dikenakan yang itu saja. Sneakers berwarna hitam yang identik dengan pegawai pemerintahan.

"Duduk dulu biar diobatin." Ia beranjak sejenak, membuka laci yang tadi sempat ia lihat sebagai tempat penyimpanan P3K.

Seno duduk tenang di tepian ranjang, Shana duduk di bawah pria itu untuk bisa mengobati beberapa luka akibat pristiwa itu. Sesekali Shana dibuat meringis melihat luka cukup lebar terutama di lutut suaminya. Mungkin esok hari baru akan terasa nyerinya.

"Maaafff tadi marah-marah sama Mas." Shana kembali berdiri setelah mengobati seluruh luka Seno. "Kasihannya suamiku." Lalu memeluk Seno ke dalam dekapannya.

"Saya juga minta maaf sudah buka baju sembarangan. Saya dari dulu kebiasaannya kaya gitu Shan, tapi kalau habis mandi pasti langsung saya bereskan kok."

Shana mengangguk mengerti, ia kemudian tergelak ketika baru menyadari suaminya ini masih telanjang bulat.

"Udah sana pakaian dulu! Masuk angin nanti."

"Waah lemari saya sekarang sudah warna warni ya," Seno menyentuh deretan baju lain yang kini bersandingan dengan miliknya. "Baju saya dikemanain tuh?" Selidik Seno yang langsung menyadari pakaiannya berkurang cukup banyak.

"Baru dimasuk-masukin kotak, nanti dipikirin mau dikemanain."

Seno menarik keluar sebuah kaus yang menarik perhatiannya. Bukan miliknya, tapi sepertinya akan cukup untuk ia kenakan.

"Lah kok yang dipakai baju aku?" Shana sejak tadi tidak lepas memperhatikan setiap gerak-gerik Seno. Termasuk saat tahu-tahu pria itu memilih untuk mengenakan kaus miliknya.

"Baju istri baju suami, baju suami baju istri." Celoteh Seno.

Shana berdecak tak percaya, dia mana mungkin mengenakan pakaian Seno yang bukan seleranya sekali. Toh pakaian pria itu juga didominasi pakaian formal untuk kerja, sampai-sampai kalau dihitung-hitung kaus Seno itu sedikit sekali.

"Istri saya hari ini ngapain saja nih?" Seno melompat ke atas ranjang, sejak tadi sudah tidak sabar untuk bisa memeluk istrinya. "Istri saya baru banguuuunn," Dikecupinya sekujur wajah Shana sampai Shana ribut menghindar. "Belum mandi istri saya, bau acem sekali. Lihat dong saya sudah mandi." Pamer Seno mengangkat ketiak tinggi-tinggi.

Shana terkekeh membiarkan tubuhnya dipeluk bak guling oleh Seno.

"Hari ini baru beres-beres lantai atas. Yang bawah belum sempat." Ujar Shana.

"Yang bawah nanti saja nunggu saya libur iya? Ooooh besok bisa, saya kan masuk jam 1 siang. Nanti paginya biar saya beres-beres dulu."

Bukan Shana menolak niat baik Seno. Tapi belajar dari kejadian seprai, sepertinya salah sekali berharap pada manusia bernama Bhakti Aryaseno.


"Ke kampusnya jangan mepet-mepet waktu kelas Mas, mana tahu ada yang mau bimbingan." Saran Shana.

Seno sekarang sudah tidak lagi menentukan jadwal bimbingan seperti dulu. Mahasiswa-mahasiswa bimbingannya diizinkan bimbingan tanpa perlu membuat janji. Tinggal menunggu saja kapan Seno senggang di ruangannya.

Sialnya, setelah menikah Seno seperti kehilangan minat untuk pergi cepat-cepat ke kampus. Kalau bisa Seno akan datang ke kampus dekat dengan jam kelas dimulai, dan akan langsung pulang begitu kelas terakhir selesai. Seperti yang dilakukannya hari ini.

"Ini Shana istri saya apa Shana advokasi ya?" Seno berpura-pula menyelidik wajah Shana.

"Shana mantan advokasi, sekarang sih istrinya Pak Seno."

"Ooooh begitu."

"Iya dong," tangan mereka saling tertaut di bawah sana. "Tadi makanan yang aku bekalin habis nggak?"

Wajah Seno berubah pucat pasi. Dia baru sadar telah melupakan sesuatu... ah sialan seingat Seno saat sebelum jatuh terpleset itu ia menenteng kotak bekal yang sudah habis ia makan. Seno baru ingat, saat dibantu bangkit oleh rekan-rekannya, ia melupakan keberadaan tas bekal itu!

Sedangkan Shana seperti bisa membaca perubahan raut muka suaminya. Pasti ada yang tidak beres.

"Kenapa?"

Seno menginggit bibir bawahnya, sedikit takut. Apalagi kala mengingat istrinya yang sudah memperingatkan Seno untuk menjaga kotak bekalnya karena harga kotak bekal itu cukup mahal.

Habislah sudah Seno. Dia mungkin bisa membeli lagi lima sekaligus, tapi kan namanya perempuan pasti hal-hal seperti itu langsung dipermasalahkan!

"Umm anu sayang, umm kayanya ketinggalan waktu di kebun." Seno mencoba meyakinkan dirinya bahwa benda keramat itu tidak hilang, tapi hanya ketinggalan. Sambil berdoa semoga ada yang menyimpankan benda itu untuknya.

"Ya ampun baru sekali bawa udah ketinggalan Mas?" Shana tidak percaya atas keteledoran suaminya.

"Maaf Shan, saya tadi karena kepleset jadi buru-buru ke mobil karena malu jadi pusat perhatian."

"Ya udah besok berarti kamu nggak bekal, dicari sampai dapat ya itu kotak bekalnya! Aku belinya mahal lho Mas!" Ancam Shana.

"Iya nggak apa besok kan saya masuk siang, saya bisa makan di rumah nggak perlu bekal."

Helaan nafas berat Shana terdengar. Padahal ia sudah merencanakan menu untuk Seno besok.

Pria itu memang makan siang di rumah, tapi Shana berencana membuatkan sosis solo untuk cemilan Seno besok. Mengingat kelas terakhir suaminya akan digelar seusai maghrib. Setidaknya Seno butuh cemilan untuk mengganjal lapar sebelum pulang makan malam.

Tapi ternyata Seno malah langsung menyerobot bahwa tidak perlu bekal besok. Mengecewakan!

"Gampang banget ya Mas ngomongnya," decak Shana membalikkan tubuhnya agar tidak berhadapan lagi dengan suaminya.

"Eh-kenapa Shan? Saya salah bicara?" Seno cepat merengkuh istrinya. Tidak. Mereka tidak boleh marahan disaat harusnya hubungan mereka sedang bergelora-bergeloranya.

Shana tidak menolak rengkuhan suaminya. Karena semarah apapun dia, pelukan Seno terlalu sayang untuk dilewatkan.

"Kamu tahu nggak kemarin malam aku udah buat list, menu buat kamu sama aku seminggu ini? Termasuk cemilan-cemilan untuk suamiku di kampus."

Nah sekarang Seno tahu, dia sedang menceburkan dirinya sendiri.

"Sana coba buka kulkas. Kulkas kamu yang kemarin isinya cuma air mineral dari sidang 2 botol, sekarang udah penuh sama sayur, buah, semua muanya. Nah ada juga yang udah aku siapin tadi habis masak bekal kamu, buat bekal besok. Eh seenaknya kamu gampangin iki gik isiih biwi bikil kin iki misik siiing." Cibir Shana.

Seno terus menggumamkan kata maaf di telinga Shana. Ia mengaku bersalah dan tidak akan membela diri lagi.

"Besok saya minta tolong yang di kebun anter tas bekal saya sayang, saya bawa bekal besok kok."

"Kasihan banget orang disuruh nganterin kotak bekal jauh-jauh kesini. Siapa yang salah siapa yang repot." Shana masih ingin memprovokasi Seno, menguji kesabaran suaminya.

"Iya saya yang salah, aduuh Seno kenapa sih bisa teledor." Seno merutuki dirinya sendiri atas keteledoran yang terjadi. "Saya beli lagi saja kotak bekal baru sayang? Kan lebih dekat ke toko ketimbang ke kampus."

Bukaannn. Bukan Shana pelit dan perhitungan sampai mempermasalahkan kotak bekal itu. Ya walau harganya memang lumayan. Seno mungkin akan dengan mudah membeli lagi, tapi kan namanya tanggung jawab ya harus dijaga dong! Shana hanya tidak terima, kotak bekal yang ia siapkan sepenuh hati untuk mengisi perut suaminya bisa semudah itu tertinggal.

Seno sudah pasrah, idenya tidak ada yang benar di mata sang istri. Ingin memberi ide lain juga sepertinya ia akan tetap salah.

Maka Seno hanya bisa berlapang dada saat Shana membawakannya berbungkus-bungkus sosis solo hanya dengan bermodalkan plastik bening entah bekas apa. Seno pasrah dirinya kembali menjadi pusat perhatian karena datang menenteng plastik jelek berisi cemilannya.

"Jangan taruh di tas! Nanti hancur kepenyet-penyet. Dibawa di tangan, di tenteng!"

Perintah Shana sebelum Seno bertolak ke kampus.

"Siang-siang beli sosis solo dimana Pak Seno?"

Tampaknya benda yang ditenteng Seno memang menarik banyak perhatian. Ya siapa juga yang tidak heran melihat seorang Bhakti Aryaseno siang-siang datang ke kampus, dengan rambut basahnya yang disisir seperti bocah baru dimandikan Ibunya, plus menenteng plastik bening yang jelek sekali rupanya berisikan beberapa biji sosis solo. Ralat bukan berapa biji, istrinya seperti berlebihan membawakannya cemilan sebanyak ini.

"Dibawakan istri." Sahut Seno kembali melanjutkan langkahnya.

Bisik-bisik sudah pasti terdengar di telinga Seno. Rasanya Seno ingin meneriaki orang-orang yang membicarakannya, bahwa BISIK-BISIK KALIAN ITU TERLALU KENCANG, DAN SENO BISA MENDENGARNYA!

APA SALAHNYA DIA DATANG DENGAN RAMBUT BASAH? ADA MASALAH? IYA DIA HABIS NANANINU DENGAN ISTRINYA. TERUS MASALAHNYA APA?

LALU SOAL IA YANG MENENTENG PLASTIK BULUK? YA TERSERAHNYA DONG!

***

Part 38, 39, 40 sudah ada di Karyakarsaaa

Yogyakarta,
18 Desember 2023

Continue Reading

You'll Also Like

37.8K 4.3K 42
Tentang sebuah pengorbanan, bahwa hidup adalah perjuangan. Hidup tanpa suami tak membuat Haptari menyerah. Bagi wanita 34 tahun itu hidup ini keras d...
691K 51K 52
Irish ragu dengan apa yang ia lihat kali ini. Ia tidak minus. Seratus persen ia yakin pandangannya tidak bermasalah. Dia juga tidak punya kemampuan u...
155K 8.8K 53
Niat hati kabur dari perjodohan yang diatur orang tuanya dengan duda anak 1 yang sialnya masih tampan itu, Herna malah harus terjebak menikahi pria k...
514K 50.2K 39
(END) Dia ada, bersembunyi dibalik celah yang menatap penuh damba pada sosok tampan di depan sana. Tanpa mampu berkata, dia hanya diam bersembunyi di...