Aku Tidak Yakin
Suasana persidangan pun terasa begitu panas. Revan sedari tadi juga menahan gejolak marah, kecewa, sedih, dan bimbang di dalam dadanya. Ini kasus yang terbilang sudah sangat lama. Ketambah, ini juga bukan menjadi rahasia pribadi lagi—beberapa pun sudah masuk ke kanal berita. Siapa sih yang tidak kenal Revan? Bahkan, kini kehidupan pribadinya yang dulunya tertutup rapat pun ikutan tersorot. Sang hakim pun sudah memutuskan siapa tersangka yang membunuh orang tua Revan. Delapan tahun bukan lah waktu yang singkat, karena memang dipenuhi dengan tangis pilu Revan yang tak semua orang bisa melihatnya.
Pemuda itu pun kini hanya bisa duduk melamun sembari bertempur terus dengan pikirannya di ruang sidang itu. Ia memang sebelumnya mencoba melupakan hal nista itu saat di rumah sakit dan beberapa orang yang menjenguknya termasuk Genda. Tapi dari hati yang paling dalm sebenarnya ia sedang memikirkan kenapa si tersangka itu harus muncul seolah dia menjadi bagian dari penolong dalam hidupnya?
"Aku tidak menyangka kenapa dia melakukan hal itu? Kenapa? Genda, ajari aku memaafkan orang-orang yang sudah jahat padaku, aku tak bisa seperti ini terus." Genda yang melihat wajah Revan yang memelas pun hanya bisa mengangguk mengerti.
"Rev, maafkan aku juga. Mungkin wajar saja jika dia ingin membunuh orang tuaku, bagaimana pun juga dia punya dendam atas kasus kematian ayahnya yang lenyap seolah polisi juga abai untuk mengusut kasusnya. Aku tahu, tidak ada alasan untuk melakukan hal jahat sekalipun alasan itu baik. Takdir mengenai kematian orang tuamu yang dibunuh bukan bunuh diri juga sangat mengagetkanku. Andaikata jika dulu ayah dan ibuku bukan pembunuh, kau tak akan seperti ini. Maafkan mereka ya ...." ujar John sambil menunduk dan air matanya seketika membanjiri pipinya.
"Aku akan mencoba memaafkan segalanya, John. Tapi, satu hal, hukum memang tidak bisa diganggu gugat. Oh, iya, ini masih akan berlanjut, untuk sidang besok ayah dan ibumu beserta kakek dan nenek akan muncul di hadapan kita semua beserta dia ...." Sambil menatap tajam terdakwa yang kini menunduk tak berani menatap dirinya.
"Aku juga berterima kasih padamu karena kau pasti tak enak melihat orang tuamu di balik jeruji besi dengan kasus yang terbilang sangat ekstrim. Kalau aku mungkin sudah merasa sangat tak tenang memiliki orang tua seperti monster seperti itu dan kau ... kau di sini bisa melewatinya sendirian."
"Te-terima kasih, Van. Aku akan berusaha menjadi orang yang lebih baik lagi," balas John sambil menunduk.
"Baiklah. Aku harus pulang. Mari tata ulang lagi kehidupan kita masing-masing. Besok kita harus ke sini lagi."
"Oke, Rev," gumam John dan juga diangguki oleh Genda sekaligus Kayla yang ada di sana.
"Oh, satu lagi, kau juga harus meminta maaf pada ... karena dia juga korban di sini."
"Nanti aku akan menemuinya," jawab John yang mana membuat Kayla dan Genda bingung. Menemui siapa? apakah ada korban lagi?"
"Rev, kurasa tempat kerja kita memang membutuhkan karyawan lagi, apa kau tak berniat ingin mencarinya lagi? Kurasa dengan begitu, kau akan merasa lebih baik lagi."
"Hm, terserah deh. Aku mau pulang dulu menjenguk adikku. Kalau bisa minggu besok sih. Ya, lumayan pengunjung di sini semakin banyak dan membutuhkan posisi waiter biar gak kewalahan."
"Oke, Rev."
"Rev, kau istirahat dulu. Aku tahu apa yang kau rasakan."
"Hmm."
"Ya, sudah. Aku mau pulang dulu."
"Jangan, kau di sini dulu." Sambil menarik tangan Genda dan menggunakan paha gadis itu sebagai bantalnya. Jam pun kian berdenting menandakan waktu semakin larut.
"Kau sangat tampan." Genda pun lantas mengusap pelan pipi Revan dengan posisinya yang tertidur pulas di pangkuannya.
"Karena mengantuk, Genda pun secara otomatis ikut tertidur di sana tapi dengan posisi duduk di antara dipan kasur Revan.
Keesokan harinya.
Revan kini bersiap untuk mengikuti sidang ke dua dari kasus pembunuhan orang tuanya. Tak lupa, penetapan jatuhan hukuman akhir untuk keluarganya sendiri yang terdiri dari paman, bibi, kakek, dan juga neneknya itu. Menurutnya, apa yang dikatakan oleh John tidak lah salah kerena namanya kejahatan sekalipun punya alasan baik di baliknya tetap saja dianggap sebagai sebuah kejahatan. Sekalipun mereka bagian dari darah yang mengalir ke dalam tubuh kita, namanya kejahatan tetap saja tak bisa dianggap sesuatu yang bisa diwariskan.
"Pada tahun 2007, keempat terdakwa dinyatakan melakukan tindakan pembakaran terhadap rumah pemilik sorang penulis terkenal bernama almarhum ilham; kedua, pada tahun 2011, pelaku juga membunuh seorang tukang kebun di rumahnya; ketiga, pada tahun 2012 saudara Irza dan Silfi dan dibantu oleh kedua orang tuanya juga membunuh isteri Eddy; keempat—ini yang terbilang masih baru—pada tahun 2022, Irza dibantu dengan orang tua dan juga isterinya itu melakukan tindakan pembakaran di restoran keponakannya sendiri, yang bernama Revan Agif Adhyaksa."
Revan lantas memejamkan matanya sembari mendengarkan sang hakim menjelaskan apa saja dakwaaan yang dijatuhkan ke keluarganya sendiri itu. Di sana juga hadir Eddy, Genda, Rio, Friska, dan juga Hobbie.
Kejadian pembakaran rumah milik penulis terkenal, si Ilham itu memang kejadian yang sudah sangat lama. Motif dari pelaku juga karena adanya rasa iri terhadap saudaranya sendiri, alamarhum Reyhan yang mana akan mendapatkan pekerjaan berdasarkan tawaran dari si almarhum ilham. Selanjutnya, para pelaku juga berencana membunuh si tukang kebun di rumahnya dengan cara mencekiknya karena tukang kebun tersebut mengetahui rahasia di balik kasus membakar rumah itu. Pihak polisi kala itu memang tidak begitu jeli mengusut kasus ini yang mana dikira tindakan kecelakaan tanpa adanya unsur pembunuhan. Yang lebih parah, khususnya terdakwa Irza, juga membunuh isteri pengacara Eddy dengan motif ancaman akan membunuh keluarga pengacara jika pengacara tidak membebaskan dirinya. Terakhir, mengenai kasus terbakarnya restoran saudara Revan yang mana dia sebenarnya adalah keponakan dari terdakwa Irza dan Silfi dan mereka melakukannya karena bagi mereka musuh dalam hidupnya malah nampak sangat sukses dibanding dengan diri mereka."
"Ilham?" gumam Rio.
"Kau lupa? Ilham itu ... ayahmu, Ri," ujar Revan yang mana membuat Rio seketika seperti teringat sesuatu.
"Dan ... kau benar Revan yang waktu itu menolongku?
"Hmm."
"Bang, itu sudah sangat lama. Jadi ...." Rio pun seketika mengepalkan tangannya dan seolah akan menjotos wajah John namun segera dihentikan oleh Revan.
"Kita bicarakan nanti. Mari dengarkan dulu apa kata hakim selanjutnya." Sementara yang lain pun juga bingung dengan percakapan antara Revan dan Rio, terkhusus Genda yang mana mereka barusan menyingung almarhum Ilham. Selanjutnya, tersangka utama dari kejadian pembunuhan orang tua Revan pun dipanggil ke ruangan sidang. Revan juga pada dasarnya tidak kaget sama sekali dengan yang ada di depannya. Ia pun hanya bisa tersenyum miring seolah 'ya sudah, mau gimana lagi' toh sudah kejadian.
"Kan? Dugaanku tidak salah?" Genda pun mencoba tidak terkejut.
"Bang Dion? Jangan katakan kalau ini bercanda, Bang Rev. Kau juga selama ini menyembunyikan fakta segila ini dari hadapanku. Kenapa kau ... argh."
"Ayo, kita semuanya pulang. Aku tak bisa terlalu lama di sini."
"Tolong jangan benci sepupuku, John, ia tak terlibat sama sekali."
"Aku hampir saja ingin menjotosmu, John!"
"Shhh, sudah."
"Maafkan orang tuaku. Kau juga pasti menderita selama ini."
"Sekadar informasi, Ilham memang meninggal tapi karena stroke, dan yang benar-benar meninggal di tempat kejadian adalah ibunya Rio," papar Genda dan mereka pun mengerti karena sebelumnya pada kenal dengan Ilham hanya saja identitas sebagai ayahnya Rio memang tak ada yang tahu. Kecuali ... Revan.
"Hufth, sudah lah. Tak apa, oh, nanti aku berkunjung saja deh ke makam ayah dan ibu Katanya sudah meninggal ya? Benar bukan, Gen?" Mata Rio pun sebenarnya sudah berkaca-kaca, tapi ia tahan sedari tadi.
"Hmm, aku akan mengantarmu ke sana," balas Genda yang mana John ikut mengangkat jarinya seolah ia akan ikut berziarah ke makam Ilham.
"Kita bisa pergi bersama-sama untuk berdoa kepada orang tua kita masing-masing, mengerti?" tukas Revan pelan dan diangguki oleh semuanya.
Bagi beberapa orang di sana sebenarnya agak merasa heran karena Dion dikenal sebagai orang yang selama ini sangat setia dengan Revan. Orang yang seolah berjasa kepada pemuda itu dalam pengembangan bisnis restorannya. Namun, itu sangat salah kaprah, pada dasarnya dia hanya ingin menebus kesalahannya karena telah membunuh orang tua pemuda itu yang sama sekali tak ada hubungan dengannya atau dalam arti lain pembunuhan yang salah target.
Ya, lagi-lagi benang merah yang bisa diambil dari kejadian ini adalah atas dasar marah dan dendam yang tidak terbalaskan.
Beberapa minggu kemudian:
"Revan memanggilku, John. Katanya ada urusan. Bolehkah aku menemuinya?"
"Oh, tak apa. Sama siapa?"
"Tidak ada."
"Ya, sudah sana."
"Kau cemburu?"
"Tidak. Ya, sudah. Aku mau ke pabrik dulu."
"Ya."
Sesaat kemudian, Revan sudah sampai tepat di rumah kediaman John dengan mobilnya itu. Tidak sendiri, Revan juga ditemani oleh Genda yang tentunya duduk di sampingnya.
"Masuk saja, Kay."
"Oh, iya."
"Kita mau ke mana, Rev?"
"Kay, apa kau tak rindu dengan ibu dan adikmu?"
"Aku ...." Kayla lantas menggantungkan kalimatnya.
"Ya, kutahu. Pasti kau merasa sangat bersalah. Kurasa kau hanya perlu meminta maaf pada mereka."
"Oh, baiklah, Rev. Ini juga salahku."
"Kak Kayla, aku sungguh penasaran siapa ibumu? Kau tak perlu merasa bersalah. Aku memahami perasaanmu."
"Hiks, maafkan aku, Genda. Aku sungguh anak yang tak tahu malu."
"Tak apa. Pastinya kau juga terpuruk dulu saat ayahmu meninggal karena dibunuh oleh mertuamu sendiri dan membuatmu kabur dari rumah."
"Aku hanya bisa berterima kasih pada ayahmu, Gen (Eddy) yang selama ini mengadopsiku. Bahkan, karena ini hidupmu, kebahagiaanmu menjadi terenggut."
"Tak apa. Ada alasan lain yang lebih menyedihkan yaitu di mana ayah yang takut kehilanganku jadi aku diasingkan ke rumah tua yang bahkan lokasinya di tengah hutan."
"Itu semacam ide buruk."
"Sudah, yang terpenting sekarang kita baik-baik saja. Hufth, kita hanya perlu melupakan masa lalu."
"Kau benar," ucap Kayla sambil masih tertunduk seraya melintir ujung kaos yang dipakainya.
"Sampai juga. Turun lah, Kay."
"Rev, kau membawaku ke sini?" tanya Kayla dan seketika ia menelan saliva-nya sukar.
"Ya, memangnya kenapa?" Revan pun lantas tersenyum miring.
"..." Wanita itu pun kemudian terdiam mendapati sebuah perkomplekan kumuh yang mana dulunya ia tinggal.
TBC