ADVOKASI

De badatearth

844K 73.9K 4.3K

Shana begitu ia akrab disapa. Si paling advokasi begitu julukannya. Bagaimana tidak, ini tahun keduanya menja... Mais

1. Lagi dan Lagi
2. Sinis
3. Mau Menyerah Saja
4. Lika-Liku Mahasiswa Tingkat Akhir
5. Galak
6. Penelitian
7. Tugas
8. Kesambet
9. Kebiasaan
Yang mau-mau saja
10. Bingung
11. Aneh
12. Masalah (lagi)
13. Pembelaan
14. Perampokan
15. Ulang Tahun
16. Kejutan paling berharga
18. Tugas baru
19. Hah?
20. Perhatian
21. Keusilan Kecil
22. Mas
23. Cemburu
24. Tidak Terduga
25. Salah Bicara
26. Perdebatan
27. Terkuak
28. Pertengkaran
29. Misi Membujuk
30. Cintaku
31. Si Baik Hati
32. Perubahan
33. Perkenalan
34. Godaan
35. D'day
36. Jangan takut!
37. Iya Salah
38. Sederhana
39. 3L (Lemas, Lesuh, Lunglai)
40. Awal Mula
41. Keseharian Bapak Ibu Hamil
42. Bukan Prioritas
43. Gila
44. De Ja Vu
45. Menyelesaikan yang lalu
46. Permintaan Maaf
47. Nanti
48. Salah Tingkah
49. Kembali Bersama
50. Kembali Terulang
51. Bak Pinang Dibelah 2
52. Pertanggungjawaban
53. Nona & Papa Seno
54. Pulang
Spesial Part : Hadiah Istimewa

17. Marah-marah

17.6K 1.3K 73
De badatearth

Mulut Shana tidak berhenti menggerutu dalam perjalanannya menuju ruangan Seno. Berita yang ia dapat dari teman-temannya soal Seno yang mengenakan gelang manik-manik membuatnya kesal

Beruntung sepertinya hanya Adrian yang menyadari bahwa gelang yang dipakai Seno adalah gelang yang samad dengan yang pernah Shana pakai.

Setelah mengucap salam dan mengetuk pintu, Shana masuk ke ruangan itu. Menemukan Seno yang tampak berkutat dengan laptop di depannya. Dan benar saja, Shana bisa melihat gelang itu masih melingkar di tangan kiri Seno.

"Pak Seno hari ini jadi bahan omongan tahu." Ucap Shana seraya duduk dan meletakkan jatah makan siang Seno di depan pria itu. "Pak Seno!" Panggil Shana lagi lebih keras karena pria itu teramat fokus pada layar laptop. "Dengar nggak?" Tanyanya.

"Hah? Ngomong apa tadi kamu?"

Tuh kan benar dugaan Shana, saking fokusnya pria itu sampai tidak mendengar apa yang ia ucapkan.

"Pak Se no ha ri i ni ja di ba han o mo ngan loh." Shana sengaja memotong motong kalimatnya agar intonasinya lebih jelas, seolah ia sedang berbicara dengan orang tuna rungu.

"Ck saya bukan tuna rungu."

"Tuh marah-marah tuh! Marah-marah terusss katanya udah janji nggak marah-marah lagi, tapi masih marah-marah terus. Males banget sama orang kerjanya marah terrrruuuss." Cerocosnya bersungut-sungut. Jika dulu dia takut kalau Seno sudah mulai mengeluarkan tanduknya, maka kini ia berani menantant Seno.

"Nggak, siapa yang marah?" Tatapan mata Seno yang semula ke layar laptop dialihkan sepenuhnya pada Shana.

"Pak Seno! Tadi Pak Seno gini ya ck ck." Ia menirukan bagaimana Seno tadi berdecak kesal. "Saya pergi aja deh, males sama orang marah-marah. Ini makan siangnya ya Pak, Assalamualaikum."

"Shan," panggil Seno sebelum Shana sempat berdiri. "Nggak ada pergi-pergi sebelum saya selesai makan."

Bibir Shana mengerucut kesal, dia paling malas kalau Seno sudah berlagak dominan seperti ini.

"Orang darah tinggian amat." Ucapnya pelan tapi masih bisa sedikit di dengar Seno.

"Apa?" Sahut Seno karena yakin gerutuan pelan Shana tadi pasti ditujukan padanya.

"Nggak ada apa-apa," Shana mengedikkan bahunya. Mengeluarkan ponsel dari dalam tas untuk menemani waktu menunggu Seno menghabiskan makan siangnya.

"Taruh hp-nya." Titah Seno padahal Shana belum sempat membuka apa-apa.

Tapi Shana mengabaikan perintah Seno, lanjut memainkan ponsel di tangannya.

"Satu dua tiga," Shana masih mengabaikan Seno yang menghitung entah untuk apa. "Taruh ponselnya atau saya buang." Kini perintahnya sudah disertai ancaman.

Shana dengan sengaja meletakkan ponselnya di atas meja dengan keras, walau setelah itu meringis karena yakin pasti layar ponselnya retak. "Bapak kaya Kim Jong Un! Ditaktor!"

Seno menghela nafas, sadar kalau dia sudah terlalu keras. Padahal semalam ia sudah berjanji pada Shana tidak akan marah-marah pada gadis itu.

"Iya maaf ya saya kelewat keras." Seno mengulurkan tangannya untuk meraih jemari Shana yang menekan-nekan ponsel di atas meja. "Sini, saya minta maaf. Kemarin kan perjanjiannya kalau saya galak-galak, kamu boleh cubit." Ia menarik lengan kemejanya mempersilahkan Shana mencubitnya disana.

Tanpa babibu Shana langsung mencubit lengan Seno keras-keras sampai-sampai pria itu meringis kesakitan. "Pak Seno nggak boleh marah-marah!"

"Iya sayang, sudah?" Karena Shana mengangguk, Seno kembali menarik lengannya. Ganti menggenggam tangan Shana.

"Pak Seno nggak boleh pacaran, ini kan di kampus."

"Oh iya ya?" Seno seolah terkejut tapi tangannya tidak lepas dari tangan Shana.

Shana berdecih, lantas meletakkan kepalanya di tautan tangan mereka berdua. Memandangi Bhakti Aryaseno yang sedang makan dari sana. Sepertinya memperhatikan Seno yang sedang makan akan menjadi hobi barunya. Melihat bagaimana rahang kokoh itu mengunyah, melihat gigi rapi Seno tiap kali membuka mulut. Menyenangkan juga.

Belakangan ini tugasnya sebagai asisten Bhakti Aryaseno tidak sebanyak dulu. Jika dulu Shana akan direpotkan dengan memeriksa tugas-tugas mahasiswa Seno saat menemani pria itu makan siang. Kini seringkali dia hanya berdiam diri, menunggu sampai seno menyelesaikan makan siangnya.

"Ganteng." Puji Shana reflek karena terlampau terkesima dengan figur pria itu.

"Makasih." Seno mengulum senyum mendengar pujian dari gadisnya.

"Orang lagi ngomongin Kim Dong Wook wleee." Elaknya.

"Oh gitu." Seno manggut-manggut seolah mempercayai ucapan Shana. "Kirain buat saya."

"Pak Seno juga ganteng, tapi gantengan Kim dong wook, soalnya dia nggak suka marah-marah sampai alisnya gini." Shana mengerutkan dahi hingga kedua alisnya hampir menyatu, menirukan bagaimana rupa Seno kalau sedang galak-galaknya.

Bukannya tersinggung, Seno malah tertawa, "gitu ya?"

Shana mengangguk semangat.

"Berarti kalau saya nggak marah-marah saya mirip siapa tadi yang kamu bilang Kim dung?"

"Kim dong wook bapak!"

"Ha iya itu, mirip itu ya?"

"Umm, mirip dikit. Rambutnya hehehe."

"Alhamdulillah masih mirip, walau rambutnya saja."

Shana mengerjap-ngerjapkan matanya, tidak menyangka mengobrol dengan Bhakti Aryaseno bisa semenyenangkan itu. Ia kira selama ini Seno mirip pohon akasia, alias akan diam doang dan garing. Ternyata pria itu menyanggupi obrolannya yang sedikit aneh.

"Bapak, nanti malam ke pasar malam yuk?" Ajaknya tiba-tiba. Tidak berharap Seno akan menyanggupi.

"Iya boleh, dimana pasar malamnya?" Seno menutup kotak makannya yang sudah habis. Kini fokusnya bisa ia alihkan sepenuhnya pada gadis yang menumpukan kepalanya di atas tautan tangan mereka.

"Serius?" Melihat Seno kembali mengangguk, Shana reflek berteriak kesenangan. "Di Bantul Pak, jauh dikit sih."

"Oke, nanti selesai ngajar saya langsung ke rumah kamu. Tanya Septian mana tahu dia mau ikut."

Shana langsung menggeleng, "inikan ngedate masa bawa Septian."

"Oh mau jalan berdua aja sama saya ya?" Goda Seno ikut menumpukan kepala di atas meja, hingga kini kepala keduanya berhadap-hadapan.

"Bersebelas sama Gen Halilintar." Sahutnya asal.

Lagi, Seno tertawa. Bukan karena jawaban Shana, tapi karena melihat bagaimana ekspresi gadis itu saat berucap. Sepanjang mengenal Shana, Seno tahu gadis ini sangat ekspresif. Tidak tahu saja kalau pada akhirnya ia jatuh sejatuh-jatuhnya pada pesona gadis ini. Ekspresifnya Shana ini juha yang pada akhirnya menjadi kesenangannya.

"Saya pengin cium kamu, tapi ini di kampus."

"Ih mesum!" Shana langsung mengangkat kepalanya. Memandang Seno dengan delikan mautnya, sialnya Seno malah menahan tawa melihatnya.

"Cium di dahi Shana, cium kasih sayang." Bela Seno tapi mata Shana tetap melotot. "Apa kamu mau saya cium di tempat lain?"

"Bapaaak!!!" Rengek Shana. Ia tahu Seno sedang menggodanya. Tapi ia merinding sendiri mendengar ucapan Seno.

"Iya sayang?"

"Bapak jangan panggil sayang, nanti saya meleleh."

"Jadi mau dipanggil apa?"

"Nama aja."

Seno mengangguk, "oke nama aja."

"Jayus!"

Tawa Seno kembali meledak. Melihat wajah bersungut-sungut Shana menjadi hiburan tersendiri baginya.

"Lima menit lagi saya mengajar," Seno melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. "Kamu setelah ini langsung pulang?"

"Nggak, palingan mau nongkrong di sekre."

Seno berdecak-decak, bingung kenapa Shana senang sekali nongkrong di sekre himpunan. Ruangan kecil yang seringkali dipenuhi oleh berbagai macam aroma tubuh mahasiswa yang ingin menikmati dinginnya ac di ruangan itu. Membayangkannya saja membuat Seno mual.

"Senang sekali sih kamu nongkrong disana. Baunya saja udah kaya bau pakaian nggak dicuci seminggu." Seno masih ingat betul saat beberapa waktu lalu ia menyambangi tempat itu untuk menjemput Shana. Dari depan pintu saja sudah tercium bau menyengat. Herannya Shana terlihat sangat nyaman disana.

"Enak aja!" Sahut Shana tidak terima ruangan favoritnya itu diejek Seno. "Disana enak tahu Pak, dingin."

"Kalau nyari dingin, disini saja. Lebih dingin dan wangi."

Shana setuju ucapan Seno, ruangan milik pria itu memang wangi. Makanya Shana betah duduk disana. Tapi tidak mungkin juga dia berleha-leha di ruangan ini tanpa pemiliknya. Yang ada bisa jadi bahan omongan sekampus.

"Yakali nggak ada Bapak saya disini."

"Nggak masalah, nanti dikunci saja pintunya."

Tawaran itu sangat menggiurkan sebenarnya, apalagi melihat cuaca di luar yang amat terik.

"Beneran boleh?"

Pria itu tampak sibuk membereskan barang-barang di meja untuk ia masukkan ke dalam ransel. Bersiap-siap untuk mengajar.

"Boleh." Meja tersebut telah rapi, Seno sudah siap menyampirkan ransel di pundaknya. "Pakai ini buat nonton youtube." Seno menggeser ipad miliknya ke depan Shana. "Saya ke kelas dulu ya, pintunya nanti ditutup saja. Duduk di kursi saya saja, lebih nyaman."

"Semangat ngajarnya ya Bapak, hehehe." Shana mengangkat kedua tangannya untuk menyemangati.

"Iya terima kasih, sini cium dulu."

"Ih ciam cium ciam cium terus dari tadi."

Seno tergelak, untung Shana tidak mengelak saat ia memajukan tubuh dan melabuhkan sebuah kecupan singkat di dahi gadis itu.

"Love you."

Shana masih mematung, bahkan setelah Seno meninggalkan ruangan. Dadanya masih bergemuruh tak karuan, setelah diberi kecupan di dahi dan dua kata yang arghhh.

"Love you too, Bapak." Balasnya tapi Seno sudah menghilang sejak tadi.

Shana terkikik-kikik sendiri setelah mengatakan itu. Ternyata seperti ini ya rasanya nge-bucin. Menyenangkan juga.

"Beneran lebih empuk disini, curang ih Pak Seno!" Kesal Shana setelah berpindah duduk ke kursi Seno yang ternyata benar-benar lebih empuk ketimbang kursi yang ada di seberangnya. Pantas saja pria itu betah berjam-jam duduk di kursi ini. "Isinya apa ya?" Ucapnya saat meraih ipad yang tadi disodorkan Seno.

Tidak banyak aplikasi disana, sepertinya Seno memang jarang menggunakan benda ini. Seperhatian Shana, biasanya Seno menggunakan ipad untuk mencatat jadwal dan beberapa notes penting.

Shana beralih pada youtube ingin menonton sesuatu darisana. Ia terbahak saat menemukan history pencarian Seno disana.

Cara memancing ikan bagi pemula

Cara memancing belut

Cara mengetahui air yang banyak ikan

Dan lainnya.

Jadi sekarang Seno sedang mendalami hobi barunya?

Lucu sekali membayangkan pria itu yang duduk dan fokus menonton youtube untuk mendapatkan informasi yang dia inginkan.

***

Mereka baru pergi ke pasar malam setelah Maghrib, jalanan Jogja seperti biasanya macet tidak tertolong sekalipun mereka melewati ringroad. Jika biasanya ia hanya memerlukan 30 sampai 40 menit untuk tiba di jalan Parangtritis—tempat dimana pasar malam itu berada—, karena mengendarai mobil mungkin memerlukan 2 kali lipat waktu.

"Jangan naik yang aneh-aneh ya di pasar malam." Peringat Seno untuk kedua kalinya.

Bukannya apa-apa, permainan yang ada di pasar malam itu tidak bisa dipastikan keamanannya. Berbeda dengan permainan yang memang ada di wahana bermain khusus, yang jelas selalu diperhatikan SOP-nya.

"Iya Bapak, aku cuma mau beli jajan aja."

Shana sendiri juga bukan orang yang tahan menaiki wahana permainan. Dulu saat ia SMP, pernah sekali ia dan teman-temannya pergi ke pasar malam dan menaiki wahana yang berputar-putar. Shana kapok karena setelah itu ia sampai muntah-muntah.

"Good girl."

Setelah perjuangan melewati kemacetan, akhirnya mereka tiba di tempat yang dituju. Seperti dugaan Shana, ramai bukan main. Apalagi besok adalah hari libur.

"Bapak jangan jauh-jauh dari saya, nanti saya hilang." Jika bisa Shana ingin masuk ke kantung saku Seno, melihat seramai ini pasar malam itu, ia jadi was-was sendiri.

"Kamu yang jangan jauh-jauh, matanya lihat jalan jangan kemana-mana." Sejak tadi, kalau Seno tidak menarik Shana, entah berapa kali  gadis itu nyeliweng.

"Bapak, mau itu!" Shana menunjuk stand yang menjual sosis bakar. "Banyak banget makanannya, aku bingung."

"Belinya satu-satu aja, biar bisa nyobain banyak."

Shana mengangguk setuju lalu memesan sosis bakar pada si penjual.

"Bapak, bayarin ya? Hehehe." Ia merangkulkan tangannya ke pinggang Seno untuk merayu. Padahal tanpa begitupun sudah pasti Seno yang akan membayarnya.

Setelah menerima dan membayar pesanan Shana, mereka kembali melanjutkan jalan. Seno ingin tertawa melihat bagaimana mata Shana yang berbinar-binar melihat banyaknya makanan di sekitar mereka.

"Bapak mau itu nggak?"

"Bapak beli itu ya?"

"Itu kayanya enak deh Pak, beli yuk?"

Dan ucapan-ucapan lain, hingga pada akhirnya tangan Seno sudah dipenuhi plastik-plastik berisi makanan pilihan Shana.

"Kata Mas-nya tadi, disana ada konsernya lho Pak. Kita makan disana aja gimana?"

Seno mengangguk saja, terserah gadis itu mau kemana. Melihat Shana tersenyum senang saja sudah membuatnya ikut senang.

Ternyata benar, disana sudah ramai orang-orang yang duduk lesehan di lapangan menunggu konser dimulai. Shana mengajak Seno ikut duduk disana,  menikmati hasil jarahannya sambil menunggu konser.

"Ini enak Pak, cobain deh." Shana menjulurkan corndog ke depan mulut Seno. Walau ragu akhirnya Seno membuka mulutnya. "Enak kan?"

Dahinya mengernyit merasakan makanan aneh ini di lidahnya, "aneh rasanya."

"Enak kok." Sahut Shana.

"Nggak cocok di lidah saya ya berarti."

"Mungkin." Shana kembali lanjut menghabiskan makanannya, sesekali menyuapkan makanan itu pada Seno jika dirasa enak. "Kalau sosis bakar ini saya nggak mau bagi ke Bapak, soalnya ini kesukaan saya."

"Bagi sedikit." Seno menggoda Shana.

"Nggak boleh." Shana cepat-cepat menghabiskan sosis bakarnya karena takut diminta Seno.

"Pelan-pelan sayang, nanti tersedak."

Shana menyengir, kini memakan dengan perlahan.

"Kalau suka kenapa beli hanya satu?"
Seno mengambil tisu dari hadapannya, mengelap bibir Shana yang belepotan terkena saus.

"Nanti kekenyangan."

Mereka ikut berdiri setelah konser dimulai. Shana menggandeng tangan Seno dengan semangat, membawa pria itu ikut maju agar bisa menonton lebih dekat. Walau mereka harus berdesakan dengan yang lainnya.

"Band apa ini?" Tanya Seno.

Seno mengedikkan bahunya, "kayanya cuma band-band lokal aja. Eh-" Shana terkejut saat bahunya tiba-tiba ditabrak oleh orang tidak dikenal yang juga ikut berdesakan maju. Melihat itu Seno langsung menegur si pelaku.

"Lihat-lihat kalau jalan!" Tegurnya pada si pelaku.

"Eh maaf Mbak, maaf sekali lagi." Pelaku itu sepertinya takut mendengar nada teguram Seno hingga langsung ngibrit setelah memintaa maaf.

"Udah aku nggak apa kok." Shana mengelus lengan Seno agar pria itu kembali tenang.

"Sini kamu sini." Seno menggeser tubuh Shana hingga berada di depannya. Lantas melingkarkan tangannya di bahu Shana untuk melindungi. "Kadang ada saja orang yang nabrak tapi dengan sengaja."

"Hmm iya, ya udah kita nonton itu tuh udah mau mulai band nya."

Shana banyak ikut bernyanyi, karena sebagian besar lagu yang dinyanyikan adalah lagu yang ia ketahui. Berbeda dengan Seno yang hanya fokus melindungi tubuh Shana agar tidak terhimpit oleh orang lain.

"Bapak tahu lagi ini nggak?" Shana mendongak untuk melihat Seno yang jelas menggeleng. "Kau bukan cinta pertamaku, namun aku berharap, mulai hari ini  saat ini, Bapak cintanya aku.."

Shana salah tingkah sendiri setelah menyelesaikan lirik itu. Kepalanya yang semua mendongan memandang Seno kembali tertunduk. Hingga Shana sendiri tidak bisa tahu bagaimana Seno yang mesam-mesem setelah dinyanyikan lagu itu.

Hal itu dibuktikan dengan pelukan Seno yang mengerat, sesekali Shana bisa merasakan Seno yang mengecup belakang kepalanya.

Lagu berganti, dari intronya sepertinya Seno mengenal lagu ini tidak seperti lagu-lagu sebelumnya.

Dan benar saja,

Datanglah bila engkau menangis...

Seno membungkukkan badannya untuk mendekatkan bibir ke telinga Shana, "ceritakan semua yang engkau mau, percaya padaku, aku lelakimu..."

Shana tersenyum haru mendengar bagaimana Seno bernyanyi di telinganya. Seolah lagu itu memang dinyanyikan Seno khusus untuknya.

"Mungkin pelukku tak sehangat senja,
Ucapku tak menghapus air mata, tapi ku disini sebagai lelakimu.."

Shana memutar tubuhnya untuk bisa melihat Seno sepenuhnya. Tangannya mengalung di pinggang Seno yang juga ikut tersenyum.

"Akulah yang tetap memelukmu erat
Saat kau berpikir mungkinkah berpaling
Akulah yang nanti menenangkan badai
Agar tetap tegar kau berjalan nanti..."

"Bapaaak," Shana tidak tahan lagi dan langsung memeluk tubuh Seno erat. "Bapak jangan gitu aku jadi meleleh." Keluhnya memukul-mukul pelan punggung Seno.

Seno balas memeluk Shana, mengecup puncak kepala gadis itu berkali-kali. Mensyukuri kehadiran Shana yang banyak merubah hidupnya.

"Cinta Bapak banyak banyak." Ucapnya di pelukan Seno.

Jika awalnya Seno benci mendengar Shana memanggilnya 'Bapak atau Pak', entah mengapa sekarang ia begitu senang mendengar kata itu keluar dari mulut Shana.

"Cinta kamu juga."

***

Puter audionyaaa yaaa hiiii

Kalau komen dan vote nya ramaii nanti malam up lagi 😄😄😄


Yogyakarta,
26 Juli 2023






Continue lendo

Você também vai gostar

6.6K 382 57
Di usianya yang sudah menginjak umur 30 tahun, Savira tidak kunjung menikah. Dia trauma dengan lelaki yang pernah ia kencani lantaran diselingkuhi be...
145K 12.1K 24
Aku, Rasi Kejora. Seorang karyawan divisi keuangan yang mempunyai Bos seperti Iblis. Arash Angkasa. Bukan karena dia galak. Tapi, karena wajahnya yan...
37.6K 4.3K 42
Tentang sebuah pengorbanan, bahwa hidup adalah perjuangan. Hidup tanpa suami tak membuat Haptari menyerah. Bagi wanita 34 tahun itu hidup ini keras d...
WE NEED TO TALK De itsraaa

Literatura Feminina

287K 20.1K 49
Irish ragu dengan apa yang ia lihat kali ini. Ia tidak minus. Seratus persen ia yakin pandangannya tidak bermasalah. Dia juga tidak punya kemampuan u...