Sunda Manda [COMPLETED]

Von yourlukey

3.6K 224 7

Joano dan Luna adalah dua remaja yang hidup berdampingan dengan luka dan trauma masa kecil. Mereka berusaha u... Mehr

Part 1
Part 2
Part 3
Part 4
Part 5
Part 6
Part 7
Part 8
Part 9
Part 10
Part 11
Part 12
Part 13
Part 14
Part 15
Part 16
Part 17
Part 18
Part 19
Part 20
Part 21
Part 22
Part 23
Part 24
Part 25
Part 26
Part 27
Part 28
Part 29
Part 30
Part 31
Part 32
Part 33
Part 34
Part 35
Part 36
Part 37
Part 38
Part 39
Part 40
Part 41
Part 42
Part 43
Part 44
Part 45
Part 46
Part 47
Part 48
Part 50

Part 49

34 6 0
Von yourlukey

"Luna~ lo dimana?" Joano langsung berseru memanggil Luna begitu mengijakkan kaki di rumah gadis itu.

"Di dapur!" Jawab Luna setengah berteriak.

Joano langsung meluncur ke dapur dan melihat Luna sedang sibuk berjibaku dengan peralatan memasak.

"Lo lagi ngapain sih? Sibuk banget kayaknya." Perhatian Joano teralihkan oleh beberapa hidangan yang tersedia di atas meja.

"Gue lagi belajar masak. Mau nyobain nggak?" Luna lantas menyodorkan satu sendok sup ke hadapan Joano. "Ini belum matang sih, tapi lo punya kesempatan buat nyoba duluan."

Joano membuka mulutnya lalu menyesap sup itu.

"Gimana? Enak nggak?" Luna membulatkan kedua bola matanya saat menunggu jawaban Joano, ia penasaran.

Joano menganggukan kepalanya. "Enak. Sejak kapan belajar memasak? Perasaan kemarin-kemarin masih belum bisa bedain mana jahe mana lengkuas, cepet banget kemajuan lo."

Luna meringis, ia kemudian mematikan kompornya, mengangkat sup itu lalu memindakan ke meja makan. "Kurang lebih seminggu deh kayaknya."

"Selama itu kenapa gue nggak tahu?" Joano menarik kursi lantas duduk di atas sana.

"Ya karena gue nggak cerita. Lagian, emang ada orang yang lagi belajar masak bikin pengumuman?"

Joano mengangguk, benar juga.

"Yang masak ini gue semua. Coba deh, kalau bisa habisin sekalian." Ucap Luna dengan semangat.

"Makan gue banyak sih, tapi ya nggak ngabisin juga." Tukas Joano sambil menatap beberapa hidangan di depannya.

Luna menyendok nasi ke piring lalu menaruhnya di hadapan Joano. "Yaudah. Semuat perut lo aja."

Joano mengambil beberapa lauk yang lain dan mencobanya satu per satu. "Kok enak semua sih. Bukan lo kan yang masak? Pasti beli!"

Luna memukul pelan bahu Joano hingga mendengar suara lelaki itu mengaduh.

"Enak aja. Ini semua beneran gue yang masak. Nih, liatin jari-jari gue yang kena pisau." Luna lalu memamerkan telapak tangannya yang terdapat beberapa goresan. Ada yang masih dibalut plester, ada juga yang sudah mulai mengering.

Joano segera meraih tangan Luna untuk memeriksa luka gadis itu. "Sakit nggak? Lo ngapain sok-sokan belajar masak, sih?"

Luna melepaskan tangannya dari genggaman Joano. "Ck, sejak kapan skill memasak dibilang sok-sokan? Skill memasak itu untuk bertahan hidup. Bukan supaya dibilang sok-sokan."

"Lagian lo kenapa tiba-tiba belajar masak sih? Perasaan lo dulu kalau di suruh ke dapur aja males banget kalau nggak penting-penting amat."

Luna tersenyum tipis. "Kan gue udah bilang kalau untuk bertahan hidup. Lagian gue juga udah nggak sekolah jadi ada banyak waktu untuk belajar memasak."

Joano kembali menyuapkan makanan ke dalam mulut lalu berkata, "baguslah kalau sekarang lo udah bisa masak, jadi gue nggak bakal khawatir lo pingsan lagi."

"Iya, lo nggak perlu khawatir." Kata gadis itu sambil terkekeh. "Oh ya, sekalian ajarin gue naik motor dong. Gue juga pengen bisa kayak orang-orang."

Joano meletakkan sendok dan garbunya ke atas piring lalu menatap Luna bingung. "Lo pengen bisa naik motor?"

Luna mengangguk semangat. "Iya, gue pengen naik motor biar bisa pergi kemana-kemana sendiri. Itu kan juga termasuk skill bertahan hidup."

Joano terpaku, berbeda dengan ekspresi sebelumnya, kali ini lelaki itu menatap Luna lebih serius. Ada perasaan mengganggu di benaknya."Iya, Nanti diajarin."

"Beneran ya. Nanti habis makan ajarin gue naik motor." Tukas Luna semangat.

Gadis itu lantas melangkah menuju washtafel, mencuci piring dan barang-barang kotor lainnya.

Sementara itu, dari tempatnya Joano menatap Luna dengan perasaan aneh. Tidak biasanya gadis itu sesenang ini. Iya, Joano juga ikut senang melihat Luna bisa tersenyum seperti sedia kala, tapi entah mengapa Joano merasa senyum itu tidak tulus dan seperti dibuat-buat.
Sepersekian detik Joano menyadarkan dirinya bahwa apa yang ia pikirkan itu salah.

Tentu saja Luna belum bisa tersenyum sepenuhnya mengingat apa yang terjadi padanya akhir-akhir ini, bagaimanapun kejadian itu cukup mengguncang mental, jadi bersikap seperti biasa juga membutuhkan waktu yang lumayan panjang. Dan Luna sedang mengusahakan itu.

Seperti janjinya, Joano pun mengajari Luna untuk belajar naik sepeda motor. Memberitahu fungsi gas, lampu sein, speedometer dan lain sebagainya.
Cukup tiga hari bagi Luna untuk menguasai sepeda motor dengan benar dan lancar.

"Lun, main lagi yuk!"

Luna memasang standar lalu melepas helmnya. Di sana ia melihat Joano sedang membuat pola sunda manda di atas paving.

"Yang kalah bikinin mi instan dan nggak boleh makan." Tantang Luna. Gadis itu melangkah lebar-lebar ke arah Joano.

"Setuju!" Seru Joano sepakat.

Permainan dimulai, babak pertama dimenangkan oleh Joano.
Mereka suwit kembali, permainan pertama di babak kedua lantas diambil alih oleh Luna. Tidak perlu waktu lama bagi gadis itu untuk membalikkan keadaan. Permainan semakin seru, apalagi koin yang mereka lempar sering melesat melewati garis.

Lima belas menit berlalu, sampai pada akhirnya Luna harus menerima kenyataan bahwa ia kalah dalam permainan. Joano bersorak, sementara Luna hanya mengerucutkan bibirnya.

"Yang enak ya, kuahnya jangan banyak-banyak." Ucap Joano sambil menyungging sudut bibirnya.

"Iya, bawel!" Seru Luna sambil melenggang masuk ke dalam rumah.

Mie instan sesuai permintaan Joano telah dibuat, aroma yang menguar di udara ikut membuat perut Luna keroncongan. Akan tetapi, perjanjian tetaplah perjanjian apalagi yang membuat kesepakatan itu adalah dirinya sendiri, jadi se-kepingin apapun Luna, ia harus menahannya.

"Lo beneran nggak boleh makan!" Tukas Joano memperingati.

Luna mendesis. "IYA!"

Joano mengaduk dan mengangkat mie itu ke udara lantas meniup uapnya keras-keras supaya Luna tergoda akan aromanya.

Berhasil. Luna semakin jengkel akan tingkah Joano.

"Cepet abisin ya anak baik." Tutur Luna sambil senyum terpaksa.

Joano meringis, ia lantas melahap habis makanannya. Sebelumnya Luna beberapa kali ingin mengambil makanan Joano, namun segera di tahan lelaki itu, karena menurutnya aturan tetaplah aturan.

"Karena suasana hati gue lagi bagus, sekarang gue yang bikinin lo mie instan." Kata Joano setelah ia mencapai pada suasana terakhir.

Mata Luna berbinar-binar. "Jadi gue boleh ikut makan? Kenapa nggak bilang dari tadi? Kan gue bisa bikin dua."

"Nggak bisa! Aturan tetep aturan!" Tegas Joano sambil melangkah ke depan kompor.

Luna tersenyum tipis. "Padahal sama aja."

"Beda!"

"Iya beda." Jawab Luna menurut.

Makanan siap disantap. Senyum merekah terus terpancar di wajah Luna karena semangkuk mie instan di hadapannya.

"Kalau bikin mie instan, emang lo jagonya." Puji Luna yang membuat Joano tersenyum simpul.

Bukan hanya Luna, Joano juga ikut senang karena gadis itu terlihat bahagia karena hal sederhana. Ia pun diam-diam memotret Luna dengan ponsel genggamnya.

"Jo," Luna meletakkan sendok garbunya ke atas mangkuk lalu menatap Joano lamat-lamat. Gadis itu sempat ragu saat akan bicara, namun pada akhirnya ia memberanikan diri. "Gue mau kuliah ke London."

Hening beberapa detik. Sepertinya Joano sedang memastikan bahwa pendengarannya masih berfungsi dengan baik.

"Apa lo bilang?" Tanya Joano, ia mengernyit tak paham.

"Gue mau kuliah ke London." Ulang Luna.

Joano menelan ludah, ia berusaha memahami apa maksud perkataan Luna. "Bentar, bukannya kita udah daftar di kampus yang sama, kita kan juga ngambil jurusan yang sama."

"Gue nggak jadi ngisi formulirnya." Luna menjawab dengan suara parau.
Pagi setelah pengakuan Joano pada Helen mengenai obat depresi yang ia minum, Joano dan Luna pergi ke salah satu kampus untuk melakukan pendaftaran masuk kuliah. Setelah berdiskusi keduanya sepakat untuk mengambil jurusan yang sama. Jadi, tak mengherankan kalau Joano terkejut mendengar perkataan yang Luna sampaikan.

"Kenapa lo nggak bilang kalau mau kuliah ke luar? Kenapa nggak di sini?" Tanya Joano penuh penekanan, terdengar nada kecewa di sana.

Luna tersenyum kaku. "Sorry, gue nggak diskusi dulu masalah ini sama lo. Waktu itu gue,"

"Orang tua lo gimana?"

"Awalnya mereka ngelarang, tapi setelah gue jelasin mereka akhirnya setuju." Tutur Luna sambil menundukkan wajahnya.

Saat itu, Satria dan Marisa memang menentang keras keinginan putrinya yang hendak melanjutkan sekolah ke luar negeri.

"Mama juga nggak setuju! Kamu kira gampang hidup di negeri orang?! Meski kamu di sana tinggal sama Om dan Tante kamu, tapi tetap saja biaya di sana sangat mahal. Kamu pikir kami bisa biayain kuliah kamu di sana? Nggak bisa! Mama nggak setuju!" Seru Marisa memberi keputusan.

"Setuju atau enggak, aku bakal tetep pergi! Lagian aku cuma mau ngasih tahu bukan minta izin. Kalaupun aku nggak berangkat tahun ini, aku bisa berangkat tahun depan. Aku juga punya tabungan buat berangkat ke sana. Sisanya nanti aku bisa ngurus sendiri." Tegas Luna.

"Luna!" Satria akhirnya bersuara setelah mendengar perkataan putrinya yang tak mau menurut. "Apa yang bisa kamu urus?! Hidup di sana nggak semudah yang kamu bayangkan!"

"Hidup di rumah ini juga nggak mudah, Pa! Diacuhkan sama keluarga sendiri itu sangat menyakitkan!" Seru Luna.

"Kamu tetap nggak boleh pergi." Kata Satria masih dengan pendiriannya.

"Kenapa aku nggak boleh kuliah di London?! Toh, selama aku di rumah juga Mama sama Papa nggak peduli, kan?! Yang kalian lakuin cuma berantem dan berantem. Kenapa aku harus menjadi saksi pertengkaran kalian? Kenapa?! Kalian nggak bolehin aku kuliah di luar biar aku bisa melihat pertengkaran kalian setiap hari, gitu? Kenapa? Apa aku harus lihat juga gimana Papa selingkuh sama Mama yang setiap hari berada di depan laptop!" Tutur Luna panjang pendek dengan nada setengah memberontak.

Helen hendak menampar Luna, namun tangannya hanya bisa mengambang di udara.

"Pukul aja, Ma." Tantang Luna sambil memajukan pipinya sebelah kiri. Saat itu juga butiran air mata membasahi pipi Luna. "Udah pernah kan sebelumnya?"

"Biasanya juga nggak peduli sama aku, kan? Terus kenapa tiba-tiba jadi ngelarang begini? Kalau kalian punya sedikit rasa bersalah karena tidak pernah peduli sama aku, biarin aku pergi ke London." Setelah meluapkan perasaannya, Luna lantas pergi ke kamarnya dengan perasaan tak karuan.

Tiga hari setelah pertengkaran itu, Satria mendatangi kamar Luna dan mengatakan bahwa putrinya diizinkan untuk kuliah ke London.

"Papa nanti bicara sama Om dan Tante kamu kalau kamu mau kuliah di sana. Kalau sudah menemukan kampus yang tepat, Papa akan segera kirimkan uangnya." Kata Satria malam itu.

Joano menghela napas panjang.

"Karena itu lo belajar masak dan belajar naik motor?"

Diamnya Luna menjelaskan pada Joano bahwa gadis itu membenarkan pertanyaannya.

"Kalau udah persiapan sampai segitunya berarti lo udah rencanain sejak lama." Simpul Joano.

"Enggak gitu, gue-"

"Kenapa lo nggak bilang dari awal? Kita bisa kuliah bareng di sana."

"Gue tahu lo bakal kayak gini, makanya gue baru bilang sekarang." Nada bicara Luna naik satu oktaf setelah mendengar perkataan Joano yang asal berucap.

Luna mengerti mengapa Joano bereaksi seperti itu, tapi ia juga tidak mungkin memberitahu bahwa alasan salah satunya ia kuliah ke luar negeri adalah karena dirinya tidak ingin menjadi beban Joano lagi.

Setelah mengetahui bahwa Joano juga menderita karena trauma masa kecil, Luna memutuskan untuk menyelesaikan masalahnya sendiri tanpa harus melibatkan Joano di dalamnya. Selama ini Luna terlalu bergantung pada Joano tanpa tahu bahwa lelaki itu juga kesakitan dengan masa lalunya. Oleh sebab itu, pilihan kuliah ke luar negeri adalah salah satu cara Luna untuk membuat Joano tidak memikirkan dirinya lagi.

"Kapan lo berangkatnya?"

"Bulan depan."

Joano menghela napas kasar entah sudah keberapa laki. Sorot matanya tajam juga rahangnya mengeras karena menahan amarah.

"Kenapa setiap lo bikin keputusan, lo nggak pernah mikirin perasaan gue?"

Luna menelan ludah. Ucapan Joano benar-benar menusuk ulu hatinya.

"Terserah lo mau ngelakuin apa lagi. Pendapat gue juga udah nggak penting." Ucap Joano lalu beranjak dari tempat duduknya, meninggal Luna seorang diri di meja makan.

Sementara itu, dengan kepala yang masih menunduk, Luna diam-diam meneteskan air matanya. Perlahan-lahan tangisannya pun pecah begitu saja.

Weiterlesen

Das wird dir gefallen

103K 642 24
spoiler "Berani main-main sama gue iya? Gimana kalau gue ajak lo main bareng diranjang, hm? " ucap kilian sambil menujukan smirk nya. Sontak hal ter...
149K 11.4K 13
Her şey bana gelen mektupla başlamıştı. Ufacık bir not kağıdında yazan şeyler büyük olaylara ve hayatımın değişmesine yol açmıştı. Ben kendimden emin...
671K 59.7K 35
𝙏𝙪𝙣𝙚 𝙠𝙮𝙖 𝙠𝙖𝙧 𝙙𝙖𝙡𝙖 , 𝙈𝙖𝙧 𝙜𝙖𝙮𝙞 𝙢𝙖𝙞 𝙢𝙞𝙩 𝙜𝙖𝙮𝙞 𝙢𝙖𝙞 𝙃𝙤 𝙜𝙖𝙮𝙞 𝙢𝙖𝙞...... ♡ 𝙏𝙀𝙍𝙄 𝘿𝙀𝙀𝙒𝘼𝙉𝙄 ♡ Shashwat Rajva...
38.2K 1.2K 22
[ONGOING 🔞] #8 insanity :- Wed, May 15, 2024. #2 yanderefanfic :- Sat, May 18, 2024. After y/n became an orphan, she had to do everything by herself...