Sunda Manda [COMPLETED]

By yourlukey

3.6K 224 7

Joano dan Luna adalah dua remaja yang hidup berdampingan dengan luka dan trauma masa kecil. Mereka berusaha u... More

Part 1
Part 2
Part 3
Part 4
Part 5
Part 6
Part 7
Part 8
Part 9
Part 10
Part 11
Part 12
Part 13
Part 14
Part 15
Part 17
Part 18
Part 19
Part 20
Part 21
Part 22
Part 23
Part 24
Part 25
Part 26
Part 27
Part 28
Part 29
Part 30
Part 31
Part 32
Part 33
Part 34
Part 35
Part 36
Part 37
Part 38
Part 39
Part 40
Part 41
Part 42
Part 43
Part 44
Part 45
Part 46
Part 47
Part 48
Part 49
Part 50

Part 16

85 3 0
By yourlukey

Maria, berusaha untuk mencerna semua kalimat yang Luna lontarkan padanya. Ia ingin memastikan bahwa pendengarannya masih berfungsi dengan baik.

Saya ingin mengundurkan diri dari perlombaan selanjutnya, Bu. Saya lelah, ingin istirahat saja. Saya ingin fokus persiapan ujian nasional.

Begitulah ucapan Luna yang membuat dada Maria seperti tertusuk pisau bertubi-tubi. Luna adalah siswa kebanggaan sekolah, lebih dari setengah perlombaan yang diikuti gadis itu selalu menorehkan gelar juara, entah satu, dua atau tiga. Oleh karena itu, pihak sekolah selalu menjadikan Luna sebagai kandidat kuat.

"Kamu yakin mau mengundurkan diri di lomba ini?" Tanya Maria memastikan. Ia tidak ingin Luna membuat keputusan gegabah.

"Sangat yakin, Bu."

Maria menarik napas lalu menghembuskannya dengan susah payah. "Kalau kamu maunya begini, saya bisa apa. Itu hak kamu, selama ini juga kamu sudah melakukan yang terbaik. Kamu sudah kelas dua belas, tentu saja ujian nasional lebih penting. Baiklah, Luna, kamu boleh kembali ke kelas."

"Terima kasih pengertiannya, Bu." Luna segera keluar dari ruang guru setelah pamit pada Maria.

"Gimana?" Bianca yang entah sejak kapan berdiri di depan pintu ruang guru langsung mengintrogasi Luna dengan pertanyaan pendek.

"Tentu aja boleh." Ucap Luna tersenyum lega.

Bianca merangkul pundak Luna sambil berjalan beriringan. "Selamat ya Lun, akhirnya lo sedikit lega buat nggak terlalu ngoyo belajar."

"Tapi kan masih ada UN, sama aja. Kenceng juga belajarnya."

"Iya, tapi konsentrasi lo nggak kebelah."

"Eh, mumpung lagi kosong. Mau nggak kalau lo yang gantiin gue."
Satu pukulan mendarat di bahu Luna.

"Lo nyadar nggak sih kalau lo lagi ngehina gue secara halus." Tukas Bianca melirik Luna sebal. "Lo tahu otak gue kagak encer kayak lo. Bisa-bisanya nyuruh gue gantiin lo."

"Yah, kali aja lo tiba-tiba dapet keajaiban, kan?"

Bianca tersenyum kaku, seolah sedang dibuat-buat. "Ya nggak matematika juga. Makasih. Betewe, ke kantin, yuk, laper gue."

"Cus, gue juga laper."

Begitu menginjakkan kaki di kantin, Luna dan Bianca langsung disambut dengan kerusuhan orang-orang yang menamai diri mereka sebagai tiga sekawan; Joano, Mike dan Alfian.

Kerusuhan disebabkan hanya untuk menentukan siapa yang akan membayar makan siang mereka, alhasil permainan abc lima dasar dipilih untuk memutuskan siapa yang mengeluarkan uang.

Sambil duduk di bangku tak jauh dari tempat mereka berada, Luna hanya menggeleng tak percaya. Mereka lebih kekanak-kanakkan dari pada anak-anak. Padahal tiga orang tersebut termasuk golongan orang berada yang sanggup membayar makanan mereka sendiri, akan tetapi ketiganya justru memilih jalan yang lebih sulit, atau memang sudah menjadi sifat alami manusia yang berpegang teguh pada istilah kalau ada yang gratis kenapa harus bayar? Entahlah.

Ah, Luna memang kaku untuk urusan pertemanan. Ini bukan tentang mendapatkan makanan gratis atau tidak mau mengeluarkan uang, terkadang untuk menjalani hidup yang tidak monoton perlu melakukan hal yang seru untuk memutuskan sesuatu, termasuk bermain abc lima dasar untuk menentukan siapa yang membayar makanan.

Padahal Luna sendiri juga sering melakukan hal konyol bersama Joano, akan tetapi ia terkadang merasa asing saat Joano melakukan hal serupa bersama orang lain, begitu juga untuk dirinya, merasa aneh apabila melakukan hal konyol kalau tidak bersama Joano.

Bodoh, tidak seharusnya, kan, Luna bersikap seperti itu. Biar bagaimanapun Joano punya kehidupannya sendiri, begitu juga dirinya. Ya, mereka memang tumbuh bersama sedari mereka kecil, mereka berjanji untuk selalu berpegangan tangan apapun yang terjadi, tapi bukan berarti mereka membatasi satu sama lain untuk bersosialisasi dengan manusia lain, kan?

"Lun, kok baksonya nggak dimakan?" Perkataan Bianca membuyarkan lamunan Luna. Di hadapanya sudah ada semangkuk bakso yang entah sejak kapan di antar ke meja makannya.
"Jangan bilang lo mendadak kehilangan selera."

Luna tersenyum kecil. "Enggak, Bi, tiba-tiba aja kepikiran sesuatu."

Bianca menyuapkan kuah bakso ke dalam mulutnya setelah meniup beberapa kali. "Apa? Jangan-jangan kamu punya gebetan baru, ya?" Tebak Bianca ngasal.

"Bahasa lo gebetan baru, gebetan lama aja nggak ada."

"Daniel."

Luna terbatuk-batuk saat Bianca menuduh tanpa basa-basi.
"Eh, buset. Pemanasan dulu apa, jangan langsung diserang begitu."

Bianca tertawa. "Mmmm, emang gue salah? Jujur lo juga suka kan sama Daniel."

"Enggak, Bi. Udah gue bilang kami cuma temenan. Lo tahu sendiri gue nggak punya temen lain selain lo, Joano sama Daniel. Karena dia sering bantuin gue aja, orang-orang pada berasumsi kalau gue jadian sama Daniel, dia gebetan atau apalah itu."

Dari hati yang paling dalam Luna memang tidak menaruh hati pada Daniel. Ia mengakui memang Daniel itu sempurna dan ia berteman baik dengan lelaki itu, tapi bukan berarti Luna jatuh hati, kan? Bahkan berpikiran untuk pacaran dengan siapapun saja tidak ada di benak Luna, itu karena ia hanya fokus belajar dan belajar, mencoba menarik perhatian orang tuanya lewat prestasi tapi tetap saja mereka mengabaikan keberadaannya.

"Tapi, gue tebak dia punya rasa sama lo, Lun." Tukas Bianca yakin.

Meski begitu Luna tak mempercayainya. Ia tidak ingin berasumsi apapun kalau Daniel tidak mengatakan secara langsung.

Saat itu juga, geng tiga sekawan ber-wu ria saat salah satu dari mereka akhirnya kalah dari permainan dan siap mengeluarkan uang untuk membayar makanan.

Dari tempat Luna berada, ia melihat dengan jelas raut muka Alfian yang terlihat kecewa karena kalah dalam permainan. Sementara itu, Joano dan Mike nampak gembira karena mereka memenangkan permainan, mereka bahkan tak segan untuk melakukan selebrasi. Untung saja tidak banyak orang yang ada di kantin, jadi mereka tidak terlalu memalukan.

"Ternyata badannya doang yang gede, pikirannya masih sama kayak anak TK." Komentar Bianca melihat kerusuhan Joano cs. Bianca lalu kembali menatap Luna dan mengajukan pertanyaan yang membuatnya penasaran, "tapi, ini misalnya ya, Lun, kalau tiba-tiba Daniel nyatain perasaannya ke lo, gimana?"

Luna berpikir sebentar, "Gimana ya? Nggak kepikiran gue."

"Yes or No, doang."

"Bi, perasaan nggak cuma yes or no, doang. Perasaan itu kompleks."

Bianca memutar kedua bola matanya. "Iya, tapi lo ada perasaan nggak sama dia."

"Untuk sekarang enggak, nggak tahu kalau kedepannya." Kata Luna pada akhirnya. Sebenarnya ia malas diintrogasi Bianca seperti ini, tapi apa boleh buat? Kalau tidak segera dijawab, teman sebangkunya itu akan terus mencecarnya.

"Nah, itu nggak tahu kalau kedepannya. Kenapa nggak nyoba dulu aja?"

"Nyoba apa?" Daniel tiba-tiba menampakkan diri di hadapan mereka. Membuat Bianca kelabakan karena membicarakan Daniel berkali-kali, sementara itu Luna tetap terlihat biasa saja, seolah tak terpengaruh oleh pertanyaan-pertanyaan konyol Bianca.

"Hai, Daniel." Sapa Luna.

"Hai juga Luna." Balas Daniel tersenyum ramah. "By the Way, boleh ikut duduk di sini, nggak? Nggak lucu kan kalau gue nyari tempat duduk lain sementara temen gue punya bangku kosong."

"Santai. Duduk aja." Sambut Luna senang hati.

Daniel segera duduk di samping Luna begitu gadis itu mempersilahkan.

"Kok pertanyaan gue nggak dijawab, nyoba apa?" Daniel cukup penasaran dengan topik pembicaraan Luna dan Bianca, pasalnya ketika lelaki itu sedang memesan makanan ia melihat mereka berdua tengah mengobrol asik, karena itu Daniel tertarik untuk ikut gabung bersama Luna dan Bianca.

Bianca tertawa kaku, tanpa pikir panjang ia kemudian menjawab asal pertanyaan Daniel, "nyoba seblak."

Pupil Luna melebar, ia tahu Bianca akan mengalihkan pembicaraan, tapi apa harus seblak? Tidak ada topik lainnya? Luna mengulum senyum, kalau dipikir-pikir topik seblak tidak terlalu buruk.

"Seblak?" Ulang Daniel.

"Iya, di belakang sekolah ada yang jualan seblak. Baru seminggu bukanya, katanya sih enak, banyak topingnya juga. Kapan-kapan makan bareng, yuk?"

Sekarang Luna mengerti mengapa Bianca menjadikan seblak sebagai pengalihan topik, ya karena itu yang lagi banyak dibicarain banyak anak-anak di sekolah, khususnya para cewek-cewek pecinta makanan pedas berkuah.

"Iya, gue juga penasaran sama rasanya. Katanya sih enak banget. Coba makan di sana, yuk?" Kata Luna menambahi.

"Ok, gue ikut." Tanpa pikir panjang Daniel menyetujui ajakan kedua temannya.

"Beneran lo ikut?" Tanya Bianca memastikan.

Daniel tersenyum tipis mendengar pertanyaan Bianca yang meragukannya. "Iya, gue ikut. Gue juga pengen ngerasain rasanya seblak yang katanya enak itu."

"Lo belum pernah nyoba?" Tanya Luna tak percaya.

"Belum. Kok tatapannya pada aneh gitu, sih?"

"Iyalah. Pertama, cowok biasanya nggak suka kalau diajak makan seblak, nggak semua sih tapi kebanyakan gitu. Kedua, meski cowok nggak suka seblak, seenggaknya mereka pernah nyoba makan. Dan, lo nggak dua-duanya. Apa karena lo kaya, ya?" Simpul Bianca.

Daniel mendecak. "Lebay lo, Bi. Enggaklah. Nggak ada hubungannya sama kaya apa enggak. Gue yakin banyak juga orang yang belum nyobain seblak, dan emang gue salah satu orangnya."

"Yaudah, nanti kita janjian kapan waktu yang pas buat makan di sana."

"Ok." Bianca langsung menyetujui perkataan Luna.

"Kenapa nggak nanti pulang sekolah aja?" Usul Daniel.

Bianca menghela napas panjang. "Gue dijemput sama nyokap gue."

"Minta telat jemput."

"Strict Parents." Jawab Luna singkat.

Daniel menganggukkan kepalanya. "Oh gitu. Oke, nanti kabarin aja kapan waktu yang pas."

"Kabarin apa? Kok gue nggak dikabarin?" Joano tiba-tiba muncul ditengah obrolan mereka, ia menarik kursi lalu duduk di samping Bianca.

***

Jangan lupa vote and Comment ygy

Continue Reading

You'll Also Like

677K 60K 35
𝙏𝙪𝙣𝙚 𝙠𝙮𝙖 𝙠𝙖𝙧 𝙙𝙖𝙡𝙖 , 𝙈𝙖𝙧 𝙜𝙖𝙮𝙞 𝙢𝙖𝙞 𝙢𝙞𝙩 𝙜𝙖𝙮𝙞 𝙢𝙖𝙞 𝙃𝙤 𝙜𝙖𝙮𝙞 𝙢𝙖𝙞...... ♡ 𝙏𝙀𝙍𝙄 𝘿𝙀𝙀𝙒𝘼𝙉𝙄 ♡ Shashwat Rajva...
943K 21.5K 48
Luciana Roman was blamed for her mother's death at the age of four by her family. She was called a murderer until she was shipped onto a plane for Ne...
37.7K 117 15
just know it's gonna make you hella wet🤭
153K 6.7K 200
This story follows the early life of James also known by his street name Headshot or Shooter. James had an extremely rough childhood, one that turned...