Tepat saat lonceng berbunyi, wali murid kelas 3-1 memasuki ruang kelas, diikuti oleh seorang murid cantik bertubuh tinggi semampai.
Begitu melihat sosok asing di hadapan mereka, para siswa laki-laki bersorak riuh karena pada akhirnya mereka memiliki primadona sekolah yang kecantikannya diatas rata-rata.
Memang agak berlebihan tapi banyak yang setuju kalau visual murid itu bahkan bisa bersanding dengan para selebriti yang masuk dalam daftar The Most Beautiful Woman in Indonesia.
"Selamat pagi anak-anak. Hari ini, kita kedatangan teman baru. Dia pindahan SMA dari Bali. Silahkan perkenalkan dirimu."
"Selamat pagi, teman-teman. Nama aku Anna Bella, biasa dipanggil Bella." Bella mulai memperkenalkan dirinya sama seperti template murid pindahan lainnya.
Gadis itu segera dipersilahkan duduk oleh sang wali kelas di bangku kosong dekat jendela.
"Misi, tasnya." Bella berkata dengan canggung pada orang yang akan menjadi teman sebangkunya selama beberapa bulan ke depan.
Joano sempat terdiam sebentar sebelum menyadari maksud perkataan gadis cantik di hadapannya itu. "Oh, sorry."
Joano langsung mengambil tasnya dari bangku kosong di sebelahnya kemudian menaruhnya di belakang tubuhnya.
"Hi Bella. Gue Mike." Seorang laki-laki yang duduk di depan bangku Bella tiba-tiba mengulurkan tangan saat Bella baru saja duduk di kursinya.
"Gue, Alfian." Teman sebangku Mike ikut mengulurkan tangannya, tidak ingin melewatkan berkenalan secara langsung dengan primadona baru di sekolah.
"Gue, Joano." Joano ikut mengulurkan tangannya. Tidak mungkin, kan, ia hanya berdiam diri saat melihat kelakuan teman-temannya yang tiba-tiba sok ramah pada gadis baru yang akan menjadi teman sebangkunya. Sebagai orang yang suka berteman dengan siapa saja, tentu Joano menyambut baik kehadiran Bella.
"Kami adalah tiga sekawan di kelas ini." Tambah Mike.
Bella tersenyum tipis, menampilkan lesung pipinya di sebelah kiri. Ia lantas membalas uluran tangan teman-teman barunya satu per satu. "Bella, Bella, Bella."
"Bella, lo tahu nggak setengah delapan kalau di tulis angka jadi angka berapa?" Mike tiba-tiba mengajukan pertanyaan random yang sama sekali tidak berhubungan dengan topik perkenalan.
Atau, mungkin pertanyaan itu adalah cara untuk lebih mengakrabkan diri dengan Bella supaya gadis itu cepat berbaur dengan lingkungan baru.
Bella berpikir selama beberapa detik sebelum akhirnya menjawab, "satu per dua sama angka delapan?" Tebaknya masih ragu-ragu.
"Salah, jawabannya nol?"
Joano dan Alfian ikut menatap bingung mendengar jawaban Mike.
"Huh? Kok bisa?" Bella mengajukan pertanyaan sambil menatap bingung, padahal ia sempat berharap jawabannya benar.
"Soalnya angka delapan adalah kombinasi dua angka nol yang ditumpuk ke atas."
Jawaban Mike kontan membuat ketiga orang di hadapannya menahan tawa.
"Suka gue sama tipe bercanda kayak begini. Masih alami, belum terkontaminasi dunia pendidikan." Komentar Alfian.
"Berarti jawabannya juga bisa angka tiga dong." Joano berusaha untuk memberi jawaban lain.
"Huh? Kok bisa?" Alfian memberikan reaksi sama persis seperti Bella, membuat gadis itu mengulum senyum.
"Kalau angka nol dibelah secara horizontal, kalau angka tiga dibelah secara vertikal. Jawabannya sama, setengah delapan."
Jawaban Joano mengundang gelak tawa ketiganya.
"Jangan ketawa-ketawa, buka LKS halaman sepuluh!" Wali kelas 3-1 yang sedari tadi menjelaskan materi pelajaran ikut terganggu dengan kebisingan yang mereka sebabkan.
Begitu mendapat instruksi, Joano, Mike, Alfian dan Bella segera membuka buku mereka dan menyimak materi pelajaran yang sedang dijelaskan.
Sementara itu, Luna yang memperhatikan mereka sedari tadi hanya bisa menggelengkan kepala. Ia lantas bergumam yang seolah kalimatnya itu ia tujukan kepada Joano. "Seneng, kan, lo ketemu cewek cakep."
Dari sudut pandang perempuan, kecantikan Bella memang tidak diragukan lagi. Yakin, siapapun yang memiliki standart kecantikan putih, tinggi, langsing, rambut panjang lurus berkilau akan menjadikan Bella sebagai pusat kiblat mereka. Jadi, tak mengherankan istilah beauty privilege yang Bella miliki memudahkan ia mendapatkan teman dan keistimewaan lainnya.
Seperti yang terjadi di kantin saat ini, Luna yang baru saja selesai makan harus rela menyerahkan kursinya begitu melihat Bella sedang berdiri di samping tempat duduknya nampak kebingungan mencari bangku kosong. Masalahnya makanan itu belum benar-benar turun ke perut Luna, jadi untuk mengangkat badannya saja masih membuat dirinya kesusahan.
Sebenarnya Luna memang mempunyai inisiatif sendiri ingin memberikan tempatnya, namun, saat menyadari semua orang menatap dirinya dan seolah berkata 'Kasih kursinya ke Bella' membuat ego Luna terluka dan malahan ia semakin tidak ingin memberikan kursinya.
Baiklah, mungkin itu hanya asumsi Luna. Mereka tidak menatap Luna dengan tuduhan apa-apa, mereka hanya menatap Bella karena memuji kecantikan gadis itu, namun tetap saja sorotan mata penghuni kantin cukup mengganggu kedamaian hatinya.
"Luna udah kelar makan, kok, Bel. Duduk di sini aja." Perkataan Alfian membuat darah Luna mulai mendidih, dugaan negatif yang awalnya ia ingin kubur dalam-dalam malah sengaja dipancing keluar oleh Tutur kata Alfian.
"Iya, Bel. Duduk di sini, aja." Mike yang duduk di samping Bella ikut menambahi.
Luna semakin naik pitam, inilah kenapa Alfian dan Mike tidak dimasukkan ke dalam daftar teman dekat Luna. Mereka selalu memancing amarah Luna disetiap kesempatan. Ini juga yang menjadi alasan Luna menganggap Alfian dan Mike hanya sebatas teman Joano, bukan teman Luna.
Bella menatap Luna penuh harap agar mau memberikan bangku itu kepadanya, sementara itu kedua bola Luna justru menatap sebal ke arah Joano yang duduk di seberang bangkunya, lelaki itu sedang sibuk menyuapkan mie ayam ke dalam mulutnya.
Disaat seperti ini Luna berharap Joano memberikan pembelaan untuknya seperti 'Luna baru banget kelar makan, jadi kalau berdiri sekarang pentol bakso yang baru aja dia makan tidak jadi masuk ke dalam perut' atau pembelaan lain sejenisnya.
Sebaliknya, Joano tidak memberikan reaksi apa-apa. Seolah menyetujui apa yang Alfian, Mike dan semua orang di kantin inginkan.
Luna mendengus sebal, mau tidak mau ia harus bangkit dari tempat duduknya dan memberikan kursinya pada Bella.
***
Beberapa kali Joano menatap jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul 15.20, ia menghela napas kasar sambil mengamati satu per satu siswa-siswi yang keluar masuk parkir motor di samping sekolah.
Karena Luna tak kunjung mengangkat telepon ataupun menunjukkan batang hidungnya, Joano berniat untuk kembali ke sekolah namun ia urungkan saat melihat Luna baru saja keluar dari tempat fotokopi yang ada di seberang tempat Joano berada.
"Luna cepetan!" Teriak Joano.
Bukannya segera menyeberang jalan dan menuruti apa yang Joano perintahkan, Luna justru berbelok arah.
"Mau kemana tu bocah," gumamnya. "Luna!" Joano buru-buru mengendarai skuternya saat melihat gadis itu semakin jauh dari pandangannya.
"Buru-buru amat, Neng. Mau kemana?" Joano melajukan kendaraannya dengan sangat pelan, mengikuti ritme langkah kaki Luna yang berjalan di atas trotoar.
"Eh, buset. Ngambek nih ceritanya?"
Luna tak menghiraukan perkataan Joano, ia justru semakin mempercepat langkah kakinya.
"Kenapa? Gue punya salah apa?"
Luna berhenti dan menoleh ke arah lelaki itu dengan tatapan sebal. Sungguh, Luna ingin menanyakan apakah Joano benar-benar tidak tahu atau ia hanya berpura-pura. Begitu kalimat itu akan keluar dari mulutnya, Luna lebih memilih menelan pertanyaan itu dari pada harus terlihat seperti pecundang yang mencari pasukan untuk membelanya.
"Masalah di kantin?" Simpul Joano tepat sasaran. "Kan emang bangkunya udah pada penuh. Lagi apa salahnya, sih, ngasih bangku ke orang yang mau makan. Toh, lo juga udah kelar."
Semua yang Joano katakan memang benar adanya, dan Luna setuju itu. Tapi bukan itu yang menjadi permasalahannya, yang membuat Luna marah adalah karena Joano tidak memberikan respon apapun bahkan saat teman-temannya yang bernama Alfian dan Mike berkata seolah mengusir keberadaan Luna.
Sudahlah, lagi pula Luna tidak berniat membicarakan masalah itu lagi. Jadi lebih baik ia diam dan kembali melanjutkan niat awalnya untuk pulang naik transjakarta.
"Udah jangan ngambek lagi, ayo naik." Titah Joano lagi.
"Nggak, ah, gue mau naik busway aja." Luna menjawab dengan nada ketus.
"Yakin? Udah, ayo, cepetan." Joano menghentikan skuternya, mengambil helm yang biasa Luna kenakan lalu menghentikan langkah kaki gadis itu.
Karena Luna tak juga menuruti perintahnya, Joano langsung memasangkan helm di kepala gadis itu. "Udah jangan ngambek lagi," Joano lantas meraih pergelangan tangan Luna dan menariknya ke bahu jalan.
"Ayo naik. Mukanya nggak usah dijelek-jelekin begitu." Sekali lagi Joano memaksa Luna yang sedang merajuk.
Tak terima akan perkataan Joano, Luna lantas memukul pundak lelaki itu.
"Lagian main nyelonong aja." Kata Joano sambil tersenyum meledek.
Karena suasana hatinya masih buruk, Luna tidak menanggapi candaan Joano. Ia merentangkan kakinya lalu naik ke atas skuter.
***
Jangan lupa like and Comment ygy