Happy reading.
_________
Banyak yang berbahagia dengan kelahiran Haura. Begitu juga dengan Zahra, namun ia sedih disaat kedatangan keluarga baru, keluarga kandungnya sudah tidak ada.
2 hari setelah Zahra melahirkan, ia perbolehkan pulang. Zahra pulang bersama suami dan mertuanya. Banyak yang menyambut kehadiran mereka.
Karena dirasa lelah, Zahra istirahat dikamarnya.
Di ruang tamu banyak teman-teman sekamar Zahra dulu waktu di asrama.
"Masya Allah cantik banget. Jadi pengen punya anak, deh." Celetuk Qila.
Difa mendelik dan menabok paha Qila pelan, "Kalau mau punya anak, punya suami dulu."
"Masih proses." Qila terkekeh.
"Gus, Kak Zahranya kemana ya? Kok dari tadi nggak kelihatan." Tanya Acha.
Gus Atthar menoleh pada Acha, "Zahra lagi dikamar, tidur sepertinya. Kasihan kecapean." Jawab Gus Atthar.
Mereka menganggukkan kepalanya, paham.
"Cha, kamu mau ngabdi disini?" Tanya Difa.
Acha menoleh pada Difa, ia terdiam.
"Masih bingung mau kemana. Kayaknya aku nggak disini lagi, nggak ngabdi. Mau kuliah di Jakarta, kasihan orang tua aku berdua terus."
"Mau ngejar cita-cita juga." Lanjut Acha.
"Aku doain ya kamu bisa raih cita-cita kamu."
"Aamiin."
Disaat sedang asik mengobrol dan memandangi Haura, Akbar masuk ke dalam.
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam."
"Cha, boleh bicara sebentar?" Ucap Akbar.
Acha mengangguk, "Boleh. Acha ikut sama Akbar dulu ya."
Acha beranjak dari duduknya dan melangkah mengikuti Akbar yang berjalan didepannya. Sesampainya di tempat tujuan mereka duduk berjarak.
"Cha, sehabis ini kamu mau kemana?" Tanya Akbar.
"Mau ke Jakarta buat kuliah kedokteran, Insya Allah. Kalau kamu?"
Akbar menghela napasnya.
"Keluar negeri, mau lanjutin S2. Dan ngurus perusahaan Papah."
"Wah keren pulang-pulang jadi CEO nih."
Akbar terkekeh, "Kamu juga jadi Dokter."
"Cha, ada yang perlu aku omongin sama kamu."
Acha diam mendengarkan kelanjutan dari Akbar.
"5 tahun lagi. Aku akan kembali untuk mengkhitbah kamu."
Deg.
Tubuh Acha membeku saat mendengar penuturan dari mulut laki-laki didepannya ini. Jantungnya berdegup lebih kencang.
'Ya Allah mau baper tapi takut di php in.' Batin Acha.
"Itupun kalau kamu sanggup menunggu aku pulang. Tapi kalau kamu nggak sanggup dan punya pilihan sendiri, aku gak akan pernah maksa kamu. Aku juga bakalan ikhlas jika kamu menikah duluan. Aku rela."
"Aku siap tunggu kamu, Bar."
Akbar tersenyum tulus mendengar ucapan yang ia tunggu-tunggu dan ia harapkan.
"Aku enggak akan sama yang lain. Tapi kembali juga ke kamunya, kalau kamu duluan dalam artian kita nggak berjodoh nggak papa. Aku ikhlas menerima semuanya."
Akbar mengangguk-anggukan kepalanya, benar kata Acha. Ia tidak tau siapa yang akan menjadi jodohnya. Manusia atau kematian terlebih dahulu. Manusia hanya bisa merencanakan dan yang menentukan hanya Allah.
"Besok aku akan ke Amerika. Kamu jaga diri baik-baik ya disini. Harus semangat terus. Raih cita-cita kamu. Semoga kita akan dipersatukan dalam kondisi yang sudah Allah siapkan."
"Secepat itu kamu pergi?" Sendu Acha.
"Cuma 5 tahun aku diluar negeri itupun bisa kurang atau lebih. Tergantung tugas disana. Aku harap kamu sabar menunggu ku, Cha."
"Lama ya."
"Aku kan bilang, kalau kamu nggak sanggup, kamu boleh menikah dengan yang lain. Asalkan dia bisa bahagiakan kamu. Jangan kamu taruh rasa ini dalam-dalam. Kita nggak tau jodoh atau maut yang akan terlebih dahulu menjemput kita."
Selama beberapa bulan ini mereka saling dekat. Akbar yang membutuhkan sosok pendengar dan pendengarnya adalah Zahra, namun Zahra sudah berkeluarga dan tidak ada yang bisa menggantikan sosok Zahra.
Acha datang diwaktu yang tepat, alhasil mereka saling dekat dan menumbuhkan rasa pada diri mereka masing-masing.
Yang dulu saling membenci, bahkan terkadang saling mengumpat satu sama lain. Akhirnya Allah dapat membolak-balik hati mereka. Dari yang dulu saling membenci sekarang saling menaruh rasa.
"Yaudah, nggak bisa lama-lama aku buat ngomong. Aku pamit dulu." Akbar pergi meninggalkan Acha.
Acha memandangi kepergian Akbar. Hatinya sakit? Tentu. Bagaimana tak sakit, mereka harus dipisahkan oleh jarak.
"Sampai bertemu 5 tahun lagi. Ku harap hati kamu selau untukku. Aku siap menunggu kamu pulang." Lirih Acha.
*****
Setelah menunggu Gus Atthar pulang dari Masjid, Zahra mengajak ngobrol anaknya. Walaupun tidak ada balasan hanya terkadang senyuman yang terukir dari bibir tipis anaknya.
"Anak siapa sih cantik banget? Anaknya Umma Zahra sama Abi Atthar mah emang cantik, apalagi Ummanya." Celetuk Zahra memainkan pipi tembam anaknya.
Cup.
Cup.
Zahra mengecupi wajah anaknya dengan gemas. "Pengen Umma makan rasanya kamu, nak. Gemes bangettt."
Zahra membawa anaknya ke ruang tamu sambil menunggu suaminya pulang.
Beberapa saat kemudian, akhirnya yang ditunggu-tunggu pulang juga.
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikum salam."
Zahra menoleh ke arah pintu, ia menghampiri suaminya dan langsung mengecup punggung tangan suaminya.
"Kok disini, kenapa nggak dikamar aja? Kamu juga butuh istirahat sayang. Kamu baru kemarin pulang dari rumah sakit loh.."
"Bosen Mas, duduk terus."
Gus Atthar mengecup kening istrinya.
Oek oek oek.
Tangisan Haura kencang.
"Aduh, cup cup cup." Zahra menimang-nimang anaknya agar tertidur kembali.
"Cemburu ya karena Ummanya dicium adeknya nggak. Sini Mas aja yang gendong." Zahra menyerahkan anknya pada suaminya.
Pada saat digendong oleh Gus Atthar, tangisan Haura berhenti.
"Iya kayaknya cemburu, Mas."
Mereka terkekeh melihat Haura yang tengah terlelap kembali.
Mereka masuk ke kamarnya. Gus Atthar merebahkan tubuh kecil Haura diranjang mereka.
Zahra dan Gus Atthar juga sama-sama merebahkan tubuh mereka disamping Haura.
"Mas, Bang Akbar mau lanjutin kuliah di luar negeri ya?"
"Iya, barusan juga ngomong katanya mau pamit besok."
"Nanti sepi dong nggak ada Bang Akbar."
"Masih ada Mas dan Haura yang selalu ada buat kamu."
Zahra mengangguk. Ia menatap suaminya.
"Kenapa?" Yanya Gus Atthar.
"Mau dengerin kamu sholawat sama ngaji." Cicit Zahra.
Gus Atthar mengangguk dan mulai bersholawat. Zahra tersenyum kagum mendengar suara merdu dari suaminya. Nikmat mana lagi yang kamu dustakan.
*****
Keesokkan harinya.
Akbar pamit pada semua keluarganya. Sebenarnya berat untuk Akbar meninggalkan mereka semua. Namun, apalah daya keinginan orang tuanya tidak bisa di bantah.
Akbar berhadapan dengan Zahra dan Gus Atthar yang sedang menggendong Haura.
"Haura, Om pamit ya. Tumbuh jadi anak baik buat orang tua Haura. Om nanti pulang jengukin Haura kalau Haura udah gede. Nanti jadi seperti Umma dan Abi kamu ya." Akbar mengelus-elus pipi Haura dan sesekali mengecup pipi Haura.
"Aamiin. Abang juga hati-hati disana, jaga kesehatan. Zahra nggak mau denger kalau Abang sakit." Ujar Zahra.
"Abang janji akan sehat terus disana, Abang juga bakal sering-sering nelpon kamu. 5 tahun lagi Abang pulang. Abang mau tunggu ponakan selanjutnya." Akbar dan Gus Atthar terkekeh melihat Zahra yang cemberut.
"Ini aja masih kecil."
"Mas setuju sama Akbar. Nanti Haura punya adek 1 lusin."
Zahra menabok pelan lengan suaminya karena ada Haura dalam gendongan Gus Atthar. Jika tidak sudah dirinya tinju badan suaminya.
"Ngadi-ngadi kamu sana aja sama kucing."
Setelah selesai ngobrol, akhirnya mobil jemputan Akbra datang.
Sang supir membantu Akbar memasukkan kopernya.
Akbar menghampiri Acha, ia merogoh saku celananya. Ia menyodorkan tasbih berwarna biru muda pada Acha.
"Jaga tasbih ini, Cha. Aku pamit, jaga kesehatan kamu, raih cita-cita kamu. Aku akan kembali 5 tahun lagi." Ucap Akbar.
"Akan akan jaga tasbih ini dengan baik. Aku juga tunggu kamu. Kita akan bertemu kembali oleh takdir yang indah. Dan akan dipertemukan dalam kondisi yang jauh lebih baik dari sekarang, Insya Allah." Sendu Acha.
*****
Vote + komen + share.
Menurut kalian endingnya gimana?
TBC.
19 November 2022.