π™π™‡π™Šπ™’ 2 [Tokyo Revengers]...

By ALVACCHI

198K 43.5K 12.2K

"π‚π„π‘πˆπ“π€ π˜π€ππ† π’π„ππ„ππ€π‘ππ˜π€ 𝐁𝐀𝐑𝐔 π€πŠπ€π πƒπˆπŒπ”π‹π€πˆ. πŠπ€π‹πˆ 𝐈𝐍𝐈 π€πŠπ” π“π€πŠ οΏ½... More

°°‒‒0‒‒°°
=1= Good Dream
=2= Karaoke
=3= Her Little Family
=4= Black Dragon Gang
=5= Perseteruan
=6= Denial
=7= Keras Kepala
=8= Onigiri
=9= Rapat
=10= Kunjungan
=11= New Home
=12= Welcome home
=13= The Future
=14= Sisi Lain
=15= Sick
=16= Little Bunny's Past
=17= The Wolf and The Rabbit
=18= Simbiosis Mutualisme
=19= No More Repeat
=20= The Day
=21= Malam Yang Panjang
=22= Night Waiting
=23= Who's the Traitor
=24= A Little Bit
=25= A Flashback
=26= Call her, (Nama)
=27= Lonely Little Killer
=28= Another side of Her
=29= Christmast Eve
=30= Her Fear
=31= Our Wins
=32= Her Point of View
=33= After Incident
=34= Permintaan
=35= A Regret
=36= Kereta
=37= A Gift
=38= Rencana
=39= An Obsession
=40= An Obsession (2)
=41= Night Festival
=42= 5th Division
=43= Touman Gang
=44= It's (not) a date!
=45= Night Festival (2)
=46= A Heart Warming
=47= Heart Warming (2)
=48= Jealousy
=49= A Bounding
=50= Ikatan
=51= A Piercing
=53= The Hidden Arc
=54= Attack!
=55= Attack!
=56= A War Between four siblings
=57= The End of The Beginning
=58= Tenjiku Gang
=59= Dating
=60= Ingatan Lainnya
=61= Pelabuhan
=62= A Plan
=63= Full of Blood
=64= Keputusan
=65= Drowning in Emotion
=66= A Knife
=67= Her Last Wish
=68= She's Dead
=69= Her Shadow
=70= Coming to an End
Season 3 info
LAST JOURNEY
Hanma Shuuji
π’†œ ƀƦƟĹƟᎢ π’†œ
π’†œ 1. π’†œ Her
DISCLAIMER
π’†œ 2. π’†œ Divisi Lima
π’†œ 3. π’†œ Chaos
π’†œ 4. π’†œ The Root
π’†œ 5. π’†œ Emma's Death
π’†œ 6. π’†œ A Quiet Day

=52= The Sibling Problems

1.5K 349 39
By ALVACCHI

Brugh

Sosok tinggi berambut kehitaman itu memukul kepala seseorang dengan keras hingga lawannya terjatuh.

Mengetatkan rahangnya, Deux kembali memukuli orang-orang yang menyergap kelompoknya itu.

"Lapor, Kapten. Gerombolan misterius itu berhasil kita kalahkan." salah satu anggota dari geng tanpa nama milik Deux muncul.

"Sou ...?" sahut Deux dengan seringai kecil.

Pemuda berambut hitam dengan mata kemerahan itu menyipit, ia meludah ke samping, lalu meninggalkan tubuh yang ia pukuli tadi untuk mengikuti bawahannya.

Ia membenarkan letak kacamata, lalu berjalan ke ujung gang gelap dekat tempat Deux dan kelompoknya bergerak. Di sana, terdapat Tetra yang duduk di tanah, bergetar dengan bercak darah pada beberapa bagian tubuhnya.

Deux berjongkok untuk memeluk Tetra. "Kau tidak apa-apa?" bisiknya lembut. Sebelah tangan Deux mengelus kepala adiknya dengan pelan. "Tenanglah ... sekarang kau aman. Aku sudah datang ke sini."

Kini Deux tengah dalam misi penjemputan Tetra yang diculik dari apartemennya oleh seseorang.

"N-nii-chan!" Tetra membalas pelukan kakaknya erat. Tubuhnya masih bergetar, sepertinya pemuda 15 tahun itu ketakutan.

Teror jelas masih terlukis di wajah Tetra. "Nii-chan! Mereka ... o-orang itu ... Dia ...!" ia seolah tak bisa melanjutkan kalimatnya.

"Ssshh," desis Deux menenangkan. Pemuda itu menenggelamkan kepala Tetra ke dadanya. "Aku tahu," bisiknya. Ketika sang adik kini menangis keras-keras, sepasang netra kemerahan Deux hanya menatap tajam ke arah depan.

"Aku tahu siapa itu," ulang Deux menggeram penuh amarah.

***

Sepasang mata sayu dengan netra merah yang dilapisi softlens hitam itu kini tersenyum tipis. Seseorang berbaju serba hitam berdiri di sampingnya yang tengah duduk melihat pemandangan dari gedung pencakar langit.

"Maafkan kami. Kami gagal membawa Tuan Muda Sanjiro." orang itu menunduk dalam-dalam. Tak berani menatap bayangan tuannya yang tercermin pada kaca tembus pandang yang menayangkan pemandangan malam Kota Tokyo.

"Heeee," sahut One menggosok dagunya. "Jadi, kau mau bilang kalau sekelompok orang bodoh yang dipimpin adik kembarku itu lebih kuat dari pasukan elitmu?" sarkas pemuda itu dengan ekspresi datar. Ia sesekali mengangguk-anggukkan kepalanya.

Mendengar itu, tentu sang bawahan hanya semakin menundukkan kepala. "Ma-Maafkan kami, Tuan. Kami akan kembali menyerang mereka dengan---"

Ucapan itu terpotong begitu One mengangkat telapak tangannya.

"Tidak perlu kok," ucap One dengan senyum. "Kalian istirahat saja. Biar aku yang bereskan selanjutnya."

"Sekarang, lebih baik kau keluar dan ajak para bawahanmu itu makan malam," sambung si sulung dari empat bersaudara itu ramah.

Keramahan One yang tulus membuat hati bawahannya terketuk. Pria tinggi itu membungkuk dalam-dalam. "Sekali lagi maafkan kami, Tuan. Setelah ini kami akan berusaha keras menangkap dua tuan muda."

One hanya berdehem sebagai jawaban. Sekeluarnya bawahan itu, One mengambil ponsel genggam miliknya di meja kerja. "Penta," panggilnya begitu panggilan tersambung.

"Ya, nii-san?" Sosok muda 10 tahun itu terdengar suaranya.

"Kau lihat orang yang barusan keluar dari ruanganku?" pemuda bersurai kehitaman itu duduk di ujung mejanya. Sepasang netranya menatap ke arah kaca besar dengan view langit malam.

Embusan angin dingin dari ac yang terpasang di ruangan Presiden Direktur perusahaan Matsuri itu terasa lembut. One tersenyum miring. "Habisi dia."

Tanpa menunggu lama, Penta menjawab. "Yokaishimashita."

Panggilan pun terputus.

"Haha," kekehan One terdengar dingin, makin lama makin mengeras ketika pemuda itu menutup setengah wajahnya.

"Ahahahahahah!"

Suaranya menggaung di dalam ruangan kantor pribadinya yang mewah tersebut.

"Akan kuhancurkan," desis One ketika tawanya mereda. Sepasang netra kehitaman itu bersinar merah. "Akan kuhancurkan semua yang dibenci olehmu, Ane-sama."

"Walaupun itu keluargaku sekalipun."

***

Hatchuu!

(Nama) menatap datar sosok yang baru saja bersin di depan pintu rumahnya. Gadis itu menghela napas panjang. "Tte? Ada urusan apa lagi kau kemari?"

Izana tertawa kecil sambil mengusap hidungnya yang agak memerah. "Kurasa aku agak alergi dengan bunga ini, tapi tak apa jika itu untukmu," ucapnya lalu menyerahkan sebuket bunga (Fav/flow) pada (Nama).

Sang gadis tidak langsung menerimanya. Sepasang netra (e/c) miliknya menatap antara bunga dan Izana bergantian.

Lalu, (Nama) menghela napas panjang dan memijat pelipisnya.

"Setelah aku menerima ini, apa kau akan berhenti menggangguku?" tatap (Nama) pada sepasang mata pemuda bersurai keabuan itu.

Izana tertawa. "Jahatnya, kau menganggap pengabdianku demimu ini sebuah 'gangguan'? Kau melihatku sebagai apa sih? Makhluk halus?"

"Mirip-mirip seperti itu," sahut gadis itu cepat, setengah kesal.

Izana lalu mengangkat tangan dan menyelipkan anak rambut (Nama) ke belakang telinga gadis itu tiba-tiba hingga membuatnya mundur beberapa langkah. Terganggu.

(Nama) merasa sebuah perempatan imajiner tercetak di pipinya. "Cukup Izana!" geramnya kesal. Sang pemuda justru tersenyum manis, seolah kekesalan (Nama) tidak ia sadari. "Izana, sudah seminggu berturut kau selalu ke sini. Pagi, siang, sore, malam, kau mau menerorku ya?"

Tidak, sebenarnya tanpa ditanya pun ini sudah termasuk tindakan teror.

"Aku tidak akan berhenti," sahut pemuda bermarga Kurokawa tersebut lembut.

Pemuda itu kembali mendekat. Sebelah tangan Izana mengambil setangkai bunga di tangannya dan dengan cepat menyelipkannya di telinga (Nama). "Tidak sebelum kau menerimaku. Aku menyukaimu, (Nama). Dan aku tidak akan membiarkanmu dalam bahaya, aku akan selalu bersamamu."

Mata (Nama) memicing kesal. Tidak, ia tidak tersentuh hatinya sedikitpun. Pernyataan suka dari Izana yang ke lima puluh entah berapa ini sudah cukup membuat (Nama) kebal.

Mendengkus, (Nama) memutar bolamatanya jengah. "Tch. Terserah kau saja."

(Nama) lalu mundur dan menutup pintunya di depan muka Izana tanpa menerima bunga dari pemuda itu.

Brak

Setelah menutup pintu, (Nama) berkacak pinggang sebal. "Dasar. Sampai kapan dia akan melakukan ini?" bisiknya lelah. "Mengingat semua itu aku jadi menyesal pernah merasa ingin berteman dengannya."

Dipikir lagi, sebenarnya Izana selalu melontarkan kata-kata pedas di tiap awal pertemuan mereka. "Dia sendiri yang selalu menghinaku karena bersikap tidak sopan dan membawa-bawa nama Shin, tapi dia sendiri yang menyukaiku. Apa-apaan. Izana, kau pikir aku percaya?"

Tentu saja tidak.

(Nama) yakin ada sesuatu yang disembunyikan dibalik tingkah Izana yang berubah sejak (Nama) mengajak pemuda itu berkencan di tahun baru.

"Kekalahan Black Dragon," (Nama) mengepalkan tangannya. "Setelah tahu aku ikut campur pada Insiden Natal, Izana pasti merencanakan sesuatu."

Segala pikiran hadir di kepala (Nama). Ia tak pernah bisa tidur dengan tenang.

Ingin rasanya ia segera lari ke stasiun untuk pergi ke rumah Mitsuya yang aman daripada rumah Haitani Bersaudara. (Nama) yakin Izana tidak akan berani ke sana.

"Dia sudah pergu belum ya?" tiba-tiba sebuah pertanyaan hinggap di kepala (Nama). Gadis itu melangkah pelan menuju jendela terdekat dan mengintip dari sisi kaca transparan tersebut.

Namun, begitu mata (Nama) melihat lantai engawa depan rumahnya dan hamparan rerumputan, gadis itu juga turut menatap punggung Izana yang tengah duduk mengayunkan kakinya. Kepala pemuda itu mendongak menatap bulan purnama di atas langit.

Entah ekspresi macam apa yang Izana pasang saat itu, yang jelas, punggung  serta bahu pemuda 18 tahun tersebut terlihat sangat kokoh tetapi sayu.

Terlihat sangat kesepian pula.

"..." (Nama) terdiam.

Seolah mendambakan kehadiran orang yang dapat menemaninya dalam melewati hidup di dunia ini, keluarganya.

Berkedip, (Nama) merasa lidahnya kelu tiba-tiba. Pemandangan punggung Izana sedikit mengingatkan (Nama) akan dirinya sendiri.

Dari Kakucho (Nama) tahu kalau Izana kini sebatang kara--tidak, sejak awal, Izana memang sudah sendirian. Pemuda itu tumbuh bersama Kakucho di sebuah panti.

"Shiniciro ..," bisik (Nama). "Saat Izana mendengarmu meninggal, apa dia juga hancur sepertiku?"

Gadis itu berbisik seolah bertanya kepada seseorang. Tentu tidak ada yang menjawabnya.

"Pasti sangat hancur." (Nama) memejamkan matanya.

Helaan napas keluar pelan bersamaan dengan tangan yang terangkat untuk mengelus lapisan kaca dimana (Nama) merasa menyentuh langsung punggung pemuda itu.

Namun, bersamaan dengan itu, Izana menolehkan kepalanya menatap (Nama).

Seolah tahu bahwa gadis tersebut tengah menatapnya.

Izana tersenyum.

"Aku pulang dulu." pemuda itu bicara tanpa suara, lalu turun dari engawa. Sembari melambaikan tangan beberapa saat, Izana berjalan menjauh meninggalkan seikat bunga (fav/flower) yang ia taruh di depan pintu.

(Nama) diam. Gadis itu membuka pintunya, menatap kepergian Izana yang bahkan tidak sedikitpun berbalik lagi.

Diambilnya bunga yang ada di depan pintu dengan pelan.

(Nama) menghirup wangi bunga tersebut dan memejamkan matanya. "Izana ..."

"Tingkahmu sungguh mencurigakan,"bisik (Nama) dalam hatinya.

***

Halo ...
Maaf, maaf, maaaaf banget.. alva mau tanya dan minta tolong boleh?🙏
Untuk merasa kirim art tapi belum alva publish bisa konfirmasi ke alva lagi? Boleh ke dm boleh di komen kok🙏

Alva udah mulai merasa work ini sedikit kehilangan harapan ahaha.. jadi sebelum itu, alva ingin mengunggah semua art yg minna-han kirimkan🙏

Sekian^^

Continue Reading

You'll Also Like

611K 61K 48
Bekerja di tempat yang sama dengan keluarga biasanya sangat tidak nayaman Itulah yang terjadi pada haechan, dia menjadi idol bersama ayahnya Idol lif...
105K 11.1K 43
Setelah kepergian jennie yang menghilang begitu saja menyebabkan lisa harus merawat putranya seorang diri... dimanakah jennie berada? Mampukah lisa m...
147K 15K 39
" Pada akhirnya akan selalu ada hal baik yang menerpa kita setiap harinya, biarlah takdir yang mengubah dan biarkan waktu yang menentukan , jangan ka...
121K 8.6K 54
cerita fiksi jangan dibawa kedunia nyata yaaa,jangan lupa vote