Ujung Tirani (Completed)

By Amaranteya

6K 1.6K 200

Berkutat dengan sejarah Islam daratan Andalus adalah hal yang tak pernah absen dari kehidupan Hijir. Mulai da... More

Prologue
1. Duality
2. Choices
3. The Piece of Bhagavadgita
4. Imperfect Islamization
5. Next Side
6. Vague Faith
7. The Part of God
8. Stigma
9. Stupidity
10. A Wrong Step
11. On Point
12. Under The Rain
13. Humanitarianism
14. An Assumption
15. Does She Say, "Easiness"?
16. Questions
17. It was A Process
18. Interaction
19. An Unpredictable Gift
20. Unwanted Proposal
21. She is Bold
22. Isn't She?
23. Doubt
24. Anomaly
25. Deadly Combination of Love
27. The End of The Tyrant
28. Is That The Clue?
29. A Half of Truth
30. Perfect Puzzle (Ending)
Epilogue

26. Drama

139 46 6
By Amaranteya

Malamnya, lagi-lagi Hijir tak bisa terlelap. Jika malam sebelumnya ia disibukkan kepentingan pesantren, malam ini ia harus membaca habis buku yang dipinjamnya dari perpustakaan. Sama seperti buku yang Zaa kira pemberian darinya. Hijir bahkan terkejut melihat buku itu juga ada di deretan rak perpustakaan pesantren.

Dibaca kalimat per kalimat dengan cermat. Zaa benar-benar aneh. Bagaimana mungkin ia minta diperjuangkan dengan cara belajar seperti itu? Geli sendiri Hijir memikirkannya.

Pukul setengah satu dini hari, lelaki itu baru bisa terlelap, masih dengan pikiran yang amat buntu.

Keesokan paginya, Hijir mendapati suasana sedikit berbeda di lingkungan pesantren. Jika biasanya setelah jamaah Subuh dan mengaji semua akan sibuk bersih-bersih, pagi ini berbeda. Anak-anak yang ikut program bahasa tampak sibuk mempersiapkan kostum untuk pentas seni nanti.

Beberapa anak berlari, beberapa lagi Hijir lihat tengah mematangkan persiapan di bawah pohon mangga. Pemandangan yang cukup langka.

Tepat pukul setengah delapan, semua sudah siap di aula. Bukan hanya panitia dan peserta, tetapi juga jajaran pondok pesantren. Beberapa anak kelas delapan dan sembilan juga tampak di sana, ingin menonton semeriah apa farewell party program bahasa tahun ini.

Jika biasanya Zaa bergabung dengan kelompoknya, kini ia tampak bersama anak-anak drama perempuan yang berada di barisan kiri depan, tepat di belakang ustaz dan ustazah akan duduk. Sementara itu, anak drama laki-laki ada di seberang mereka. Pengaturan tempat duduk memang begitu. Para santriwati duduk di barisan kiri sementara santri di barisan kanan. Tengah-tengah sengaja diberi jalan.

Pakaian mereka sudah menyesuaikan karakter masing-masing. Ada yang mengenakan baju compang-camping, daster, baju khas anak-anak, sampai petani dan nelayan. Beberapa berdandan surealistik, dengan ukiran-ukiran di dahi dan pipi.

"Miss Zaa belum ganti kostum?" tanya salah satu santriwati di dekatnya. Ia bingung tentu saja.

"Nanti, biar jadi surprise buat yang lain. Lagi pula, kita tampil urutan terakhir, mengakhiri persembahan yang lain."

Santriwati itu mengangguk, diikuti yang lain.

Acara dimulai tepat pukul delapan pagi. Diawali dengan pembukaan dan sambutan, semua berjalan lancar. Tepat setengah sepuluh, penampilan para santri dan santriwati mulai dilakukan.

Pertama adalah story telling. Seorang santriwati maju dengan penampilan all out-nya. Dengan boneka tangan, anak itu menceritakan kisah Si Tudung Merah. Penampilannya sukses dang mengundang tepuk tangan luar biasa.

Penampilan demi penampilan usai. Satu lagi sebelum menuju drama dan Zaa menghilang. Anak-anak didiknya panik. Bagaimana pentas berjalan tanpa perempuan itu?

Namun, salah satu mereka berkata, "Percaya aja sama Miss Jauza. Tadi juga Miss Zaa belum pakai kostum, mungkin persiapan. Kita tampilin aja yang terbaik, sesuai yang dikatakan Miss Zaa sebelumnya."

Yang lain hanya bisa mengangguk mendengar itu.

Ketika tim mereka dipanggil, serentak mereka berdiri dan maju. Sampai di depan sana, sebelas anak itu membungkukkan badan, memberi hormat sebagai pengganti ucapan salam. Jangan ditanya, jelas ajaran Zaa.

Mereka sempat berkumpul sejenak, memejamkan mata di depan semuanya, dan kembali membuka mata dengan karakter yang berbeda. Semuanya berpencar, menempati posisi masing-masing.

Hijir di tempatnya tengok ke sana kemari karena tidak menemukan Zaa. Bukankah ini penampilan tim didikannya? Namun, sampai musik pengiring drama dimulai, perempuan itu tak juga muncul.

Suasana langsung berubah. Tirai-tirai besar nan tebal aula ditutup kasar, pintu pun ditutup keras. Zaa memang menempatkan tim pendukung untuk itu.

Ruangan besar itu gelap seketika. Melodi-melodi sendu yang terputar, jerit seketika terdengar dari pemain entah siapa, tawa menggelegar berpadu apik, mengubah atmosfer menjadi ganjil seganjil-ganjilnya.

Suasana hening seketika bersamaan dengan sekali hentakan suara lantang. Perempuan dengan muka penuh ukiran masuk ke tengah-tengah panggung dengan dekorasi patok-patok kuburan itu.

Matanya melotot, memandang belingsatan ke mana-mana. Tubuhnya membungkuk, lalu membuat gerakan terlonjak ke belakang. Ekspresinya pun ikut berubah, takut. Dipandangnya patok-patok di sekeliling sambil berjingkat-jingkat.

"I don't wanna die!" Ia berteriak lantang, menghentak pendengaran semua yang ada di sana. Mereka tak menyangka suara santriwati itu bisa sekencang itu. "Over there is dark! Dark!"

Suara gemuruh angin seketika terdengar. Gadis itu bergerak tak tentu arah, terombang-ambing tubuhnya bak dihempas angin ribut. Mukanya berubah, matanya melotot, mulutnya menganga lebar, dengan teriakan yang dibuat kering, pilu, tercekik.

Suasana langsung berubah saat anak itu bersembunyi di balik sekat samping panggung. Musik berubah ceria. Cericit burung, dersik dedaunan, juga nyanyian saat tiga orang berpakaian khas anak kecil masuk.

Di ruang kosong panggung mereka tertawa, memainkan kerikil-kerikil kecil yang ada di sana.

"Herb! Herb! Jamu ini loh, kalau nggak tahu bahasa Inggrisnya." Seorang berpakaian mbok jamu masuk dengan suara kelewat centilnya. Aksen bicaranya sengaja dibuat semedok mungkin. "Healthy!"

Tawa penonton lumayan pecah, menyoraki mbok jamu yang kelewat centil itu. Ia berjalan ke sisi lain, tempat dua peran bapak-bapak bercengkerama sambil memegang cangkul dan caping. "Come on, Mas. Buy-buy, dibeli. Biar saya cepet rich."

Kembali sorakan terdengar. Namun, hal itu tak membuat malu para pemain. Mereka sudah terlanjur memasuki peran.

Saat transisi musik berupa pecutan terdengar, seorang berpakaian compang-camping masuk ke daerah kuburan.

Kakinya berjingkat, mendekat ke arah satu patok, memandanginya dengan muka ditekuk, lantas tertawa terbahak.

Pemain lain segera berkumpul dan menatapnya heran. Mereka melakukan bisik-bisik. Muka-muka julid tampak, menyorot tajam si orang aneh. Anak-anak yang ikut memperhatikan melempar kerikil dengan polos.

"He is crazy! Crazy! Crazy!" sorak salah seorang anak menggelegar.

Kembali si orang aneh mendekati patok lain. Hal yang sama dilakukan. Kali ini, dielusnya patok, dibuatnya mimik menangis dengan tangan gemetar memegang pipi. Dengan cepat hentakan suara ia keluarkan, hingga mengagetkan semua orang. Kembali ia terbahak keras, sampai ke sudut-sudut aula.

Orang aneh berlarian mengelilingi makam, diiringi tawa, pandangan sinis yang lain, juga gemuruh musik yang semakin menjadi.

Datang lagi orang berpakaian serba hitam dengan pecut di tangan. Kembali masyarakat berbisik-bisik, dibantu suara musik. Sementara si orang aneh tetap berlarian tak karuan dengan ekspresi gembira.

Amarah berkobar, sikap siap bertarung ditunjukkan si baju hitam tiba-tiba. Namun, si orang aneh tetap terbahak, bahkan semakin keras.

Pecutan kembali terdengar dan mereka semua diam bak patung bersamaan dengan perempuan yang pertama kembali masuk.

Selangkah, sambil membungkuk-bungkuk ia mengitari semuanya. Dipandangnya si baju hitam dengan mata melotot, garang, lalu kembali dengan ekspresi sedih. Ia beralih pada orang aneh, masih dengan langkah kuda-kuda, ditatapnya orang itu dengan senyum lebar.

Musik yang kembali menghentak mengiringi langkah cepat perempuan itu mendekat ke warga desa. Ia mencondongkan tubuh ke belakang dengan tangan memegang leher. Gelengan kepala tegas membersamai ujung-ujung bibir yang tertarik ke bawah.

Ia kembali ke tengah panggung, menatap sedih para penonton. Perlahan ia menoleh sambil mengangkat jari telunjuk, mengacung pada orang aneh. Ekspresinya berubah semringah dengan anggukan kepala beberapa kali.

Telunjuknya beralih pada si baju hitam. Bersamaan dengan bunyi gemeretak, ia jatuh berlutut sambil menangkupkan dua tangan dan mendongak. Ekspresinya penuh pengharapan. Tiba, ia kembali menoleh ke warga desa. Anak itu membuat gerakan menghela napas, lalu jatuh telentang.

Musik kembali ricuh dan semua pemain kembali bergerak. Suara-suara pekikan warga mengundang ketakutan para penonton. Ditambah tim pendukung yang membuat ketukan-ketukan abstrak pada pintu, mereka bak berada di tengah kekacauan besar.

Musik semakin mengeras bersamaan dengan tawa yang kian menggelegar pula.

"It's funny!" teriak orang aneh dengan mata melotot. Ia bertindak seperti orang kerasukan. Kembali terbahak.

Si hitam yang semakin terpancing amarah menendang tiap patok-patok yang ada, mengeluarkan pecut dari pinggang, dan melecutkannya ke sembarang arah. Warga mulai berlarian karena dijadikan pelampiasan, dikejar, diburu, dan seakan ditendang hingga roboh.

Musik semakin tak terkendali. Ricuh, keributan besar, huru-hara memenuhi panggung pementasan. Dalam riuh itu, teriakan panjang terlontar dari arah penonton paling belakang, memekik, memecah perhatian. Semua menoleh, tak terkecuali para ustaz dan ustazah.

Siapa yang tak kaget? Mata mereka bahkan melotot tak karuan melihat siapa yang berdiri di sana sekaligus pemilik suara lantang itu. Jauza.

Kepalanya bergerak bak penari Bali dengan pandangan awas dan tajam. Posisi kuda-kudanya tak goyah, menapak sekali dua kali dengan mantap. Dandanan perempuan itu lebih mengejutkan lagi. Jilbab hitamnya dibalut ikat kepala dengan motif batik parang rusak. Kelopak mata tajamnya berhias eye shadow pink keunguan yang begitu bold. Sementara ukiran bergaya Majapahit tergambar di sisi kanan wajah, dari kening sampai ke bawah mata. Di pinggang perempuan itu, terbelit jarik dengan motif tumpal yang dibuat lebih panjang di bagian depan.

Musik yang sempat mereda intensitas temponya, kembali bengis di telinga semua orang. Bersamaan dengan itu, Zaa berlari serampangan menuju panggung dan sengaja menendang kotak-kotak buah yang juga dijadikan pelengkap set. Bunyi keras tak terhindarkan.

Orang aneh yang sudah berlutut, si baju hitam, dan warga menatap Zaa heran. Ia bergerak perlahan, mengulurkan tangan pada gadis yang terlentang, membantunya berdiri dengan dramatis.

Gerakan membersihkan celana dari debu dilakukan, sampai bunyi pecutan kembali terdengar. Semua mematung, kecuali Zaa.

Perempuan itu melotot, menyorot garang pada para penonton. Berjingkat dia berpindah tempat. Ke sisi-sisi panggung pentas, maju, kembali mundur. Sejenak ia menundukkan kepala, bersamaan dengan musik yang melemah.

Ia kembali mendongak cepat. "Is that life?"

Teriakannya kencang, menusuk tanpa ampun. Tangan terentang dengan jari telunjuk kanan mengacung, sementara yang lain menengadah. Diangkatnya perlahan satu tangan, sementara yang lain didekatkan ke bawah dagu.

"Is that life?!" Kembali ia berteriak, kali ini dengan nada sedikit rendah. "Gunjingan, penghakiman, perundungan."

Zaa mendongak dan melesatkan tawa lagi. "Is that life? Is that life?"

"Berbeda dicaci maki, tampak ganjil dianggap gila. Is that life?" Teriakan Zaa terus menggelegar, memenuhi ruangan yang senyap dari bisik-bisik.

"Siapa yang tahu alasan orang lain tertawa? Siapa yang tahu alasan orang lain menangis? Siapa yang tahu? Siapa?"

Jari Zaa mengacung pada orang aneh. Sekali sentakan ia menoleh dan semakin memelototkan mata.

"Menertawai hidup! Menertawai tangis kematian! Menertawai lucunya kaki-kaki yang menapak di bumi Tuhan. Tertawa!" Bersamaan teriakan terakhir Zaa, musik kembali bergemuruh.

Tak hanya perempun itu kini, tetapi semua pemain kembali bergerak, terbahak keras mengitari panggung, dengan Zaa tetap berada di tengah-tengah.

Mata perempuan bercelana hitam itu tertutup, merasakan deru napas yang memburu, sementara yang lain tak henti membuat suara-suara lantang nan abstrak.

Mereka berakhir membentuk satu garis lurus di panggung. Sama-sama tampak lelah dengan dada naik turun.

"Manusia!" Teriakan dari orang paling menggelegar.

"Apakah kamu kehilangan kemanusiaanmu?" sahut yang lain.

"Menghakimi!"

"Menghina!"

"Mencaci maki!"

"Kau agungkan benda-benda mati, kau Tuhankan ego dan kertas-kertas dalam dompet, kau bunuh saudaramu dengan gunjingan!"

Kembali Zaa menyorot tajam para penonton. "Is that your lovely life?"

Tirai-tirai dan pintu kembali, bersamaan dengan Zaa dan lainnya yang membungkukkan badan.

Tepuk tangan riuh diberikan pada mereka. Drama sederhana yang sengaja Zaa padukan Inggris-Indonesia itu sukses membawa imaji para penonton berkelana. Sengaja, ia tidak mau membebani santri dengan banyak dialog. Mereka semua memainkan ekspresi dan penjiwaan.

Di tempatnya, Hijir baru bisa berkedip setelah dibuat melongo sepanjang pementasan. Benar-benar tak terduga.

Saat mereka turun panggung, Hijir menyadari satu hal dan mungkin orang lain juga menyadari itu meski tak begitu kentara. Zaa sedikit terpincang.

Sampai di bawah dan bergabung dengan tutor lain, ia mendapatkan banyak ucapan selamat atas kesuksesan itu. Ia tak langsung mengganti pakaian memang, sengaja seperti itu sampai acara berakhir.

Tak banyak, Zaa hanya berterima kasih sambil tersenyum sebagai respons. Diam-diam, ia memang menahan sakit di kaki kanannya.

Zaa membatin, "Kamu terlalu bersemangat menendang, Jauza."

-o0o-

Experience is the best teacher. I agree. Bersyukur pernah punya pengalaman ikut pentas teater, jadi bisa nulis adegan itu. Dan kalau ada yang bilang teater itu cuma perlu latihan penjiwaan, oh ... terima kasih. Totally wrong, latihan fisiknya nggak main-main, buat bantu pernapasan sama olah suara.

Wish you enjoy.

Amaranteya

13th of September 2021

Continue Reading

You'll Also Like

179K 9.3K 19
#KARYA 5 Riri adalah salah satu dari spesies cewek introvert yang merasa hidup itu sangat membosankan dan waktu terasa bergerak lambat. Sampai suat...
708 143 12
Benarkah seseorang bisa bertukar jiwa? Namun, bagaimana jika jiwamu justru berpindah pada tubuh seseorang di zaman yang berbeda? Mahin, mahasiswi Uni...
2.5M 82.1K 52
Rank #2 in Romance on March, 12th 2016 Aku menyukainya sejak lama. Kami berteman dan bersahabat sejak kami masih di bangku sekolah pertama. Kali itu...
2K 296 46
[DILARANG SHARE, COPAS TANPA IZIN. APALAGI MEMPLAGIAT. SIAPA SAJA YANG MELIHAT CERITA INI DENGAN PENULIS NAMA LAIN, TOLONG HUBUNGI SAYA. TERIMA KASIH...