Ujung Tirani (Completed)

By Amaranteya

6K 1.6K 200

Berkutat dengan sejarah Islam daratan Andalus adalah hal yang tak pernah absen dari kehidupan Hijir. Mulai da... More

Prologue
1. Duality
2. Choices
3. The Piece of Bhagavadgita
4. Imperfect Islamization
5. Next Side
6. Vague Faith
7. The Part of God
8. Stigma
9. Stupidity
10. A Wrong Step
11. On Point
12. Under The Rain
13. Humanitarianism
14. An Assumption
15. Does She Say, "Easiness"?
16. Questions
17. It was A Process
18. Interaction
19. An Unpredictable Gift
20. Unwanted Proposal
21. She is Bold
23. Doubt
24. Anomaly
25. Deadly Combination of Love
26. Drama
27. The End of The Tyrant
28. Is That The Clue?
29. A Half of Truth
30. Perfect Puzzle (Ending)
Epilogue

22. Isn't She?

148 46 23
By Amaranteya

Harus up lagi😅 Alesannya di bawah.

-o0o-

Beberapa hari tak ada interaksi apa pun antara Zaa dan Hijir. Jika perempuan itu mulai benar-benar tak peduli, berbeda halnya dengan Hijir yang memang belum siap berhadapan dengan Zaa. Sepanjang program pun sebisa mungkin ia menghindari bertemu dengan perempuan itu.

Puncaknya saat malam agenda giving speech. Karena pembagian tugas tidak berubah, Hijir tentu saja tetap memberi kajian di kelompok, di mana ada Zaa di dalamnya.

Suasana agenda malam ini sedikit berbeda dari minggu sebelumnya karena untuk tempat memang di-rolling. Mereka yang semula bertempat di aula, menjadi di lapangan utama dengan penerangan yang sudah diatur sedemikian rupa.

Setelah semua perwakilan kelompok menyelesaikan tugas, giliran Hijir yang harus naik podium. Ia sempat beradu tatap dengan Zaa, tetapi seperti biasa, perempuan itu tak menunjukkan ekspresi berarti.

Tujuh menit berlalu begitu saja. Tenang, tak seperti saat Zaa melontarkan sanggahan. Itu berarti, apa yang disampaikan Hijir kemungkinan tidak ada yang salah dalam pemahaman Zaa.

Tepat saat acara selesai dan semua santri bubar, dari tempatnya Hijir melihat Zaa meraih ponsel dari saku rok dan mendekatkan benda pipih itu ke telinga. Ia lantas pergi, tampak terburu-buru untuk menghindari didengar oleh orang lain.

Bak penguntit, Hijir langsung berlalu, mengikuti perempuan itu diam-diam.

Zaa berhenti di ujung bangunan, berdiam di bawah pohon mangga sambil menyandarkan punggung di sana. Hijir tak berniat sembunyi, toh ia yakin kegelapan akan menyamarkan tubuhnya dari pandangan perempuan itu.

"Kayak semula? Jelas nggak bisa, Natiq. Setelah hari itu aku membiarkan kamu, nggak berniat sedikit pun mengorek alasan kenapa kamu datang ke rumah dengan orang tua kamu. Aku nunggu kamu sendiri yang menjelaskan apa maksudnya."

Kaget tentu saja, tetapi Hijir tetap memilih diam, menunggu apa lagi yang akan ia dapat dari percakapan Zaa yang ia dengar secara searah.

"Hanya karena kamu tahu fakta tentang Kaisar, kamu jadi nekat meminta orang tua kamu datang untuk datang melamar. Kamu berharap dengan berhadapan langsung sama orang tua kamu, aku akan menerima kamu? Pemikiran dangkal."

Antara masih terkejut dengan kenyataan yang baru saja ia dengar dan senang, Hijir belum tahu harus bagaimana. Tamam, lelaki itu Tamam, temannya. Ia bahkan tidak cerita apa pun pada Hijir. Namun, dari yang ia dengar, Tamam memang tanpa persiapan melakukan itu.

Sepersekian detik kemudian, Hijir mati-matian menahan senyum. Jadi, Zaa menolaknya? Sebuah kabar baik, bukan?

"No, Nat. Everything will not be same anymore. Lagi-lagi kamu gegabah dan mengulangi kebodohan yang sama. Wassalamu'alaikum."

"Puas menguping, Hijir?" Pertanyaan itu membuat Hijir terlonjak. "Sudah mendapat yang kamu inginkan?"

Terlanjur basah, Hijir mendekat sembari menyunggingkan senyum. Lihat saja tampangnya, benar-benar seperti anak kecil yang baru mendapat permen favorit.

"Sepertinya begitu," jawabnya, "terima kasih."

Sontak Zaa mengerutkan dahi. Setelah kembali menyimpan ponsel dalam saku, perempuan itu melipat dua tangannya depan tubuh. "Terima kasih buat apa?"

Sejenak Hijir menundukkan kepala, canggung bila harus menatap wajah Zaa. Menggelikan.

"Karena sudah menolak lamaran Tamam?" Lagi-lagi ujung bibir lelaki itu hendak tertarik ke atas, tetapi ia menahannya.

Zaa mendengus. "Jadi, karena kabar itu kamu uring-uringan ke aku? Wow, unpredictable enough."

Hijir tak membalas apa pun, ia masih berusaha menahan debar tak karuan dalam dada. Ada rasa yang membuncah di sana. Benar kata kiai sebelum berpisah malam itu, sebaiknya ia bertanya lebih dulu apa Zaa menerima atau menolak lamarannya, bukan berasumsi sepihak.

"Zaa," panggil Hijir.

Perempuan yang masih santai mengamati langit gelap di atas sana hanya bergumam sebagai respons.

"Jika kamu dijodohkan dengan putra bungsu kiai, kamu mau?" Akhirnya, pertanyaan itu terlontar juga. Entahlah, Hijir hanya penasaran.

Zaa tak merasa terganggu sama sekali. Ia justru menjawab tanpa nada, "Aku nggak kenal, kenapa harus mau?"

Sekali lagi, Hijir tersenyum lebar jika mendengarnya. Dua tangannya saling tertaut di belakang tubuh. Ia ingin bertanya satu hal lagi, tetapi ragu. Setelah meyakinkan diri sendiri dan menggigit bibir bawah sekilas, Hijir akhirnya bertanya, "Jika aku yang meminta, kamu mau?"

Alis Zaa tertaut. Tak mau menoleh, ia hanya melirik Hijir dengan sorot tak terbaca. "Meminta apa?"

Semakin kuat jari Hijir bertaut. Apa ia berani mengatakan niatnya? Lelaki itu justru semakin diam.

Zaa mengembuskan napas sebelum menegakkan tubuh. Sekarang ia menghadap sempurna ke arah Hijir. Jujur, ia paham apa yang hendak dikatakan lelaki itu. "Hanya jika kamu bisa menjawab pertanyaan aku, bagaimana?"

Kali ini Hijir sudah memandang perempuan di depannya lekat. Ekspresi Zaa dengan senyum miring jelas tampak, jatuh tepat di retina matanya. "Hah?"

Masih dengan senyum ganjil itu, Zaa memiringkan kepala. "Ingat, Hijir. Pertanyaanku ini memiliki batas waktu. Sewaktu-waktu aku bisa membuatnya tidak berlaku. Jadi, lebih cepat kamu menjawab, akan lebih baik."

Hijir semakin mengerutkan dahi. Ia yakin, pertanyaan Zaa adalah pertanyaan menjebak.

"Kapan seseorang dapat membunuh Tuhan?"

Lelaki itu melotot lebar. "Zaa!"

Zaa mengangkat sebelah tangan, tak ingin mendengar protes apa pun. "Satu lagi, sekali menjawab salah, kesempatan kamu raib. Selamat berpikir, Hijir."

-o0o-

Memikirkannya saja membuat Hijir gila. Bagaimana mungkin Tuhan bisa dibunuh? Sekali lagi, Zaa benar-benar gila. Apa itu masuk akal?

Lelaki itu tak henti menatap belingsatan sekeliling. Sambil menyandarkan punggung pada salah satu pilar dalam masjid, ia sudah mengembuskan napas berulang kali.

Waktu sudah menunjukkan pukul satu dini hari, tetapi Hijir sama sekali tak bisa terlelap. Alhasil, di sanalah ia sekarang. Setelah menunaikan salat sunnah Tahiyatul Masjid dan sejenak merenung tadi, Hijir kembali tak karuan perasaannya.

"Apa ... apa yang dilakukan Zaa ini benar?" Dipijatnya pelan pangkal hidung, pening di kepalanya semakin menjadi. Benar kata orang-orang, jangan terlalu senang karena sesuatu, karena pasti ada sesuatu di ujungnya.

Hijir memejamkan mata. Perlahan, bibirnya mulai bergerak. "Allahumma layyinlii qolbahu layyinta li dhaaudal hadid."

Benar, doa itu pun yang selalu rapal diam-diam setelah salat wajib. Ia benar-benar berharap akan Zaa. Ia ingin, hati perempuan melembut, sebagaimana Allah melembutkan Daud akan besi. Setidaknya, agar perempuan itu sedikit melunak atas niat baiknya.

Sayang, layaknya kebanyakan orang, Hijir lupa satu hal. Jauza tetaplah manusia biasa yang tidak boleh diharapkan sepenuhnya. Dia bukan Tuhan, lewat dia Tuhan bisa menghancurkan harapan itu. Lewat manusia, manusia lain bisa binasa.

Baru akan bisa memejamkan mata dalam posisi duduk, Hikam datang. Lelaki itu melakukan rutinitasnya, salat Tahajud. Setelah menunaikan salat malam itu, Hikam menghampiri Hijir.

"Pantas tidak ada di kamar, di sini rupanya." Ia ikut duduk berselonjor, dengan tangan bertumpu ke belakang.

Hijir mendongakkan kepala, menatap nanar langit-langit. "Kam, kenapa perempuan yang aku suka sesulit itu untuk dipahami?"

Terlontar juga keluhan itu. Ia sudah tidak bisa menyimpannya sendiri. Setidaknya, mungkin Hikam bisa membantu mengurai benang kusut di kepala.

Jelas lelaki di depan Hijir itu mengerutkan kening. Tumben, pikirnya.

"Mentang-mentang lagi jatuh cinta, jadi kurang ajar kamu, Jir." Hikam tertawa kecil. "Ke masjid cuma untuk bergalau ria, bukan ibadah sama Allah."

Hijir berdecak. "Ah ... tahu apa kamu isi hati aku, Kam. Meskipun aku tidak bisa mengelak bahwa sedang kepikiran Jauza, tapi mungkin saja di sana riuh akan pujian pada Allah. Yang terlihat tidak pernah seratus persen benar."

Bukan tersinggung, Hikam justru tersenyum semakin lebar. "Ya sudah, ayo pindah ke serambi. Tidak sopan bicara di sini."

Mereka pun beranjak dan pindah ke serambi samping. Baik Hijir maupun Hikam lantas duduk bersila dengan punggung tegak.

"Kalau dipikir-pikir, Zaa juga begini, loh. Maksudku, seperti omongan kamu tadi," kata Hikam.

Sebelah alis Hijir terangkat, sorot matanya pun penuh tanda tanya.

"Begini maksud aku. Ini terlepas dari kegalauanmu, ya. Seperti yang kita tahu kalau Zaa itu serba ambigu. Kemarin membahas Weda, paginya tahu-tahu mengeluarkan dalil dari Al-Qur'an. Besoknya, bisa tiba-tiba ngajak kamu ke gereja dan kasih buku bergaya Injil ke kamu. Kelihatannya memang tidak tegas, tidak punya pendirian, tapi jika aku lihat, apa yang dia sembunyikan itu lebih dari sekedar orang-orang kayak kita."

Mau tak mau, Hijir ikut berpikir. Benar juga. Ia jadi ingat perkataan Zaa di rumah sakit, kenapa ia bisa berakhir di sana. Hijir juga ingat kalimat yang dilontarkan Zaa setelah dari gereja hari itu. Benar, ada benang merahnya. Zaa selalu berkata, bahwa ia berbincang dengan Tuhan lewat apa-apa yang dia lakukan.

"Apa mungkin ... Zaa memiliki dualitas semacam itu?" Hikam menyudahi kalimat panjangnya.

Semakin dalam kerutan di dahi Hijir. "Dualitas?" gumamnya.

Selang lima detik, Hijir kembali berujar, "Kam, kamu tahu apa yang membuatku kepikiran sampai seperti ini? Sepertinya ... masih berkaitan dengan pikiranmu."

Hikam mengangkat sebelah alis tinggi.

"Dia memberi ultimatum. Dia akan menerima ajakan taarufku, hanya jika aku bisa menjawab pertanyaannya. Masalahnya, kamu tahu sendiri bahwa Zaa tidak pernah memberikan pertanyaan yang waras. Juga, jika dipikir-dipikir, pertanyaan itu justru bertolak belakang dengan asumsi kita barusan."

Hikam semakin penasaran. "Apa pertanyaannya?"

"Kapan seseorang bisa membunuh Tuhan?"

"Matilah perlahan karena kegilaan Jauza, Hijir Badruttama. Memikirkannya saja aku tidak sanggup."

-o0o-

Setelah lihat judul part ini. "Sial! Ternyata sambungan langsung part sebelumnya." alias kalau nggak aku buat beda, part ini adalah bagian kedua dari part sebelumnya. Jadi, harus up lagi. Iya, itung2 bonus. Mumpung malam Minggu.

So, enjoy.

Amaranteya mode rajin up.

11th of September 2021.

Continue Reading

You'll Also Like

2.5M 82.1K 52
Rank #2 in Romance on March, 12th 2016 Aku menyukainya sejak lama. Kami berteman dan bersahabat sejak kami masih di bangku sekolah pertama. Kali itu...
12.5K 903 39
Konflik terjadi antara dua negara tetangga. Dan Indonesia harus menyiagakan pasukan militernya untuk mengamankan wilayah perbatasan, baik di daratan...
2.1K 262 22
CERITA INI SUDAH TERSEDIA DALAM BENTUK E-BOOK, FISIK, SERTA TAYANG DI KBM APP. Tahun ini adalah tahun yang berat bagi Sumiyati. Tiga kali dilamar, t...
147K 8.2K 35
"Jangan menikah dengan Perempuan itu! Menikahlah dengan perempuan pilihan Umi, Gus!" Syakila Alquds, sosok gadis yang kehilangan kesucian dan berasa...