Ujung Tirani (Completed)

Por Amaranteya

6K 1.6K 200

Berkutat dengan sejarah Islam daratan Andalus adalah hal yang tak pernah absen dari kehidupan Hijir. Mulai da... Más

Prologue
1. Duality
2. Choices
3. The Piece of Bhagavadgita
4. Imperfect Islamization
5. Next Side
6. Vague Faith
7. The Part of God
8. Stigma
9. Stupidity
10. A Wrong Step
11. On Point
12. Under The Rain
13. Humanitarianism
14. An Assumption
16. Questions
17. It was A Process
18. Interaction
19. An Unpredictable Gift
20. Unwanted Proposal
21. She is Bold
22. Isn't She?
23. Doubt
24. Anomaly
25. Deadly Combination of Love
26. Drama
27. The End of The Tyrant
28. Is That The Clue?
29. A Half of Truth
30. Perfect Puzzle (Ending)
Epilogue

15. Does She Say, "Easiness"?

151 49 3
Por Amaranteya

Jatuhnya Istana Al-Hambra ke tangan Isabella adalah tanda jatuhnya Granada dari tangan Islam. Kemenangan itu bahkan sampai dirayakan dengan dinyanyikannya hymne syukur di Katedral St. Paul London.

Menyusul itu, Islam di daratan Andalus semakin terdesak. Perjanjian yang mengharuskan pemeluk Islam serta Yahudi memilih memeluk Kristen atau meninggalkan Andalus membuat mereka tak berkutik. Islam berada dalam fase lemah-lemahnya.

Berkembanglah Spanyol yang hampir seluruhnya berada di bawah kekuasaan Kerajaan Castilla serta Aragon. Dengan pemimpin yang merupakan suami istri, Isabella dan Ferdinan, dua kerajaan itu menjadi tirani besar bagi Islam Andalus pada masanya.

Mamluk at-Thawaif yang berselisih satu sama lain pun memutuskan untuk bersekutu dengan raja-raja Kristen, di antaranya Kerajaan Naver dan Leon, pun Kastilla yang langsung berada di bawah Isabella.

Semakin kocar-kacir Islam dibuat saat Naver bersatu di bawah Ferdinan. Setelah Isabella meninggal pun, Ferdinan terus melakukan ekspansi wilayah. Namun, hal itu tak berlangsung lama. Saat Ferdinan mangkat, kekuasaan Kristen mulai berantakan karena perang saudara antara Alfonso dan dua saudaranya. Sejak saat itu, bukan hanya Islam yang lemah karena keserakahan orang-orangnya, tetapi juga Kristen.

Hijir memejamkan mata sejenak, menghalau gejolak dalam dada yang tak tertahan. Di depan meja kamarnya, dapat dirasa carut-marut Islam masa itu. Umayyah Andalus yang semula mahsyur runtuh, baik karena faktor internal atau eksternal.

Merasa miris, bukan, bukan untuk konflik yang melibatkan rasa ingin mempertahankan agama masing-masing. Hijir lebih tersiksa mengetahui fakta bahwa musuh besar Islam adalah saudara sendiri. Ketamakan, haus akan kekuasaannlah yang menjadi penyebabnya, baik Islam maupun Kristen. Mereka membiarkan diri sendiri dikendalikan tirani, kesewenang-wenangan kuasa yang buta.

Lelaki itu kembali membuka mata, menyorot datar tembok di depannya. "Tirani."

Tak lama, Hikam membuka pintu dan masuk. Hijir langsung menoleh ke arah temannya itu. Bukan ekspresi biasa saja yang dilihat Hijir, melainkan wajah kusut. Hikam tampak kacau.

"Kenapa, Kam?" tanya Hijir pada akhirnya.

Tak langsung menjawab, si sumber rasa penasaran justru menuju ranjangnya dan duduk di sana. Baru setelah menenangkan diri, ia berujar, "Habis dengar sesuatu yang memusingkan."

Sebelah alis Hijir terangkat. Ia pun memutar kursi agar leluasa memandang Hikam.

"Si Jauza. Tadi kan aku keluar akhir dibanding panitia pondok yang lain. Ternyata dia masih di sana sama beberapa anak didiknya. Karena penasaran, aku nguping," jelas Hikam berapi-api, "sesuai yang kamu bilang, Jir. Dia membingungkan. Ya ... perkara agama itu. Tadi anak-anak bertanya itu sama dia, tapi jawabannya begitu, ambigu."

Menghela napas lagi, entah sampai kapan ia akan melakukan itu tiap mendengar nama Jauza.

"Oh iya, Kam. Bagaimana akhir Perang Zallaqah?" tanya Hijir tiba-tiba. Ekspresinya berubah seketika.

Hikam memicingkan mata. "Kamu bertanya seperti itu, sudah tahu proses terjadinya?"

Gelengan pelan Hijir sukses mengundang decak kesal Hikam. "Malas, cari tahu sendiri. Em ... sedikit, deh. Beberapa sumber mengatakan kalau Alfonso VI kehilangan kaki."

-o0o-

Seperti biasa, Zaa selalu bangun tepat sebelum azan Subuh berkumandang. Bukan karena rajin, ia selalu melakukannya tanpa sadar. Mungkin kebiasaan saat belajar bahasa Inggris dulu sudah mendarah daging.

Bagaimana tidak? Kelas pertamanya adalah setelah salat Subuh. Jika iqamah terdengar dan para siswa belum sampai di sekitaran masjid lembaga, otomatis akan diberi huruf A besar-besar pada daftar hadir. Siapa yang mau? Sedang tiga kali mendapat A, sertifikat lulus sekaligus sertifikat mengajar akan ditahan pihak lembaga. Mimpi buruk.

Pernah sekali, waktu itu Zaa hanya terlambat bangun. Azan Subuh selesai ia baru membuka mata, pun teman sekamarnya. Mereka terlalu lelah karena agenda di lembaga malam sebelumnya. Alhasil, tanpa mandi, keduanya hanya cuci muka, berganti baju, dan berlarian ke lembaga sambil menenteng sepatu. Tidak ada waktu untuk memakainya di kos, meskipun jarak dengan lembaga lumayan dekat.

Benar saja, bukan hanya mereka. Beberapa teman juga tampak berlarian dari arah berbeda. Mereka sama-sama menjadi korban padatnya jadwal.

Tanpa mau repot membangunkan Rita, perempuan itu keluar kamar. Dilangkahkannya kaki ke tempat favorit di pesantren, telaga.

Menusuknya suhu pagi itu tak membuat Zaa urung. Ia terus melangkah mendekati telaga, tidak duduk di tempat biasa. Setelah melepas sandal, ia duduk di atasnya. Seketika kaki telanjangnya dapat merasakan embun di ujung-ujung rumput liar. Menggelitik, sejuk bersamaan.

Beberapa kerikil diambil dan ia lempar ke tengah telaga. Bunyi kecipak air yang ia timbulkan membuat Zaa tersenyum. Bahagia sesederhana itu.

"Sayangnya aku nggak bisa berenang," beonya pada diri sendiri.

Tak lama, ponsel yang ada di saku rok bergetar. Ayolah, Zaa tetap perempuan milenial yang tak pernah meninggalkan ponsel barang sedetik pun, syarat dan ketentuan berlaku tentu saja.

Sebuah pesan yang baru saja masuk membuatnya mengerutkan dahi dalam. "Tumben, subuh-subuh pula," gumamnya.

Segera ia membalas pesan itu, tak mau mengabaikannya lama-lama.

Sesuai yang Zaa duga, orang yang mengiriminya pesan tak akan berbasa-basi.

Mulai malas mengetik, Zaa memilih mengirim sebuah pesan suara.

"Iya, sampai jumpa dua minggu lagi. Kebetulan pas kamu mampir aku udah free dari kegiatan di pondok."

Tak lama balasan didapat. Hanya tiga kata, "Iya, sampai jumpa."

Zaa beranjak setelah jamaah bubar. Sampai di kamar, tampak Rita tengah bersiap mandi.

"Loh, dari mana saja, Zaa?" tanya perempuan itu.

"Jalan-jalan pagi, Mbak. Keliling pesantren." Ia menjawab seadanya.

"Nggak ikut jamaah lagi, Zaa?" Kembali Rita bertanya.

Jujur, Zaa muak dengan pertanyaan itu. Terlalu sering ia mendengarnya. Jangankan Rita yang sekamar, pertanyaan itu bahkan sudah ditanyakan oleh anak didiknya. Haruskah ia melapor segala yang ia lakukan pada orang lain?

Lagi-lagi Zaa hanya bisa tersenyum, memberi jawaban ambigu dengan tak menjawab apa-apa. Begitulah seorang Jauza hidup.

Ia menjalani aktivitas biasa. Mengajar anak-anak dari pukul delapan sampai sebelas, lalu istirahat makan siang. Tak ada yang istimewa, kecuali apa yang dilakukan anak didiknya di sesi kedua, setelah zuhur.

Agenda siang itu adalah evaluasi, di mana tutor akan dioper ke kelompok lain untuk memberikan kuis. Aula riuh tentu saja. Sebagian bersemangat karena bisa mengenal tutor kelompok lain, sebagian lain keruh karena tidak belajar, dan sisanya adalah kelompok Zaa yang merengek tak mau ditinggal oleh sang tutor. Lebay, mungkin itu kata yang tepat. Mereka sudah terlanjur dekat dan manja pada Zaa.

Hal itu sontak mengundang perhatian banyak orang. Jelas saja. Mana ada baru kenal dua minggu, sudah selengket itu? Mengherankan, bukan?

"Hanya sekali. Besok-besok kan, belajar sama saya lagi." Zaa mencoba memberi pengertian. Namun, tak digubris sama sekali.

Karena sudah menjadi kebijakan EdgeLeaf, Zaa tetap tidak boleh mengevaluasi kelompoknya sendiri. Coba tebak! Bak anak kecil, anak-anak itu baru mau setelah dirayu pihak pondok. Dengan catatan, harus Hijir orangnya.

Tak mau mengulur lebih banyak waktu, agenda itu pun dijalankan. Dengan anak-anak didik Zaa yang masih mencebikkan bibir. Bukan masalah manja sebenarnya, mereka takut blank jika yang memberi pertanyaan bukan perempuan itu. Kekacauan evaluasi minggu kemarin sudah cukup bagi mereka. Bukan mendapat hasil maksimal, mereka justru lupa maksimal dengan yang sudah diajarkan.

Setidaknya keunikan anak-anak itu membuat Zaa dapat bersantai sejenak. Tugasnya digantikan Hijir, apa boleh buat? Ia hanya perlu melihat rekan-rekannya sambil duduk manis di depan, di anak tangga panggung yang biasa dijadikan tempat melakukan acara.

Tiba-tiba, Naba menghampirinya dan ikut duduk di sana. "Miss Jauza tidak ikut mengevaluasi mereka?"

Zaa menunjuk arah kelompoknya berada dengan dagu. "Mereka nggak mau dievaluasi sama tutor lain. Maunya sama Hijir. Karena tutor lain udah punya base-nya masing-masing, aku bisa free. Jadi kayak makan gaji buta kalau begini." Zaa terkekeh pelan.

Naba memperhatikan Hijir di sana. Tampak ia kewalahan menghadapi santri-santri itu.

"Ustadz Hijir belum pernah sekewalahan itu sebelumnya. Bahkan beliau bisa meng-handle satu kelas penuh dengan jumlah empat puluh anak." Naba beralih menatap Zaa. "Melihat itu, Miss Jauza pasti punya pengaruh besar terhadap anak-anak di kelompok itu."

Kembali Zaa terkekeh. Benarkah begitu? Ia tidak merasa memberikan apa-apa selain sedikit menyampaikan ilmu yang didapat dari sang guru. "Mungkin karena aku berhasil mengambil hati mereka. Bisa juga karena mereka memberi kepercayaan penuh padaku. Who knows?"

Sejenak Naba menunduk, jemarinya di pangkuan mulai tertaut satu sama lain. Sesekali ia memilin rok gamis, menyalurkan kegelisahan yang tiba-tiba menyerang. Sayangnya, Zaa menyadari itu.

"Mengkhawatirkan masa depan, termasuk di dalamnya kematian, rezeki, jodoh, dan lainnya, adalah bentuk nyata penghinaan pada Tuhan." Tanpa intonasi Zaa mengatakannya.

Naba menegang, tangannya berubah mengepal. Lima detik bertahan pada posisi yang sama, ia mengembuskan napas dan mengendurkan kepalan tangan. Perempuan itu lantas menoleh, menatap Zaa dengan sorot tak terbaca.

"Apa?" tanya Zaa.

Pertanyaan Naba selanjutnya, berhasil membuat Zaa bungkam dengan ekspresi berubah 180 derajat. Aura Zaa berubah dingin dan kelam seketika.

"Bagaimana rasanya hidup dalam kemudahan sepertimu, Miss Jauza? Miss pemberani, dicintai banyak orang, punya banyak teman, cerdas dalam banyak hal, bahkan kehadiran Miss selalu diperhitungkan oleh siapa pun."

-o0o-

Jauza yang kesel be like, "You have to be in my position if you wanna know. Do you wanna try?"

Update agak telat dari biasanya, wkwk. Ada bagian yang sedikit crash dengan riset terbaru. Jadi, harus revisi dikit.

Wish you enjoy.

Amaranteya

8th of September 2021

Seguir leyendo

También te gustarán

781 126 12
Dikala terjabak di situasi dimana harus mencari jalan keluar dari tempat yang di penuhi hal-hal yang tidak masuk akal, perjalanan yang harus nya untu...
12.5K 903 39
Konflik terjadi antara dua negara tetangga. Dan Indonesia harus menyiagakan pasukan militernya untuk mengamankan wilayah perbatasan, baik di daratan...
708 143 12
Benarkah seseorang bisa bertukar jiwa? Namun, bagaimana jika jiwamu justru berpindah pada tubuh seseorang di zaman yang berbeda? Mahin, mahasiswi Uni...
3.3K 563 22
Seorang mantan jurnalis chanel televisi ternama, Akshita, sangat mengidolakan vloger traveler asal India bernama Althaf Khan. Ia tak pernah melewatka...