Ujung Tirani (Completed)

By Amaranteya

6K 1.6K 200

Berkutat dengan sejarah Islam daratan Andalus adalah hal yang tak pernah absen dari kehidupan Hijir. Mulai da... More

Prologue
1. Duality
2. Choices
3. The Piece of Bhagavadgita
4. Imperfect Islamization
5. Next Side
6. Vague Faith
7. The Part of God
8. Stigma
9. Stupidity
10. A Wrong Step
12. Under The Rain
13. Humanitarianism
14. An Assumption
15. Does She Say, "Easiness"?
16. Questions
17. It was A Process
18. Interaction
19. An Unpredictable Gift
20. Unwanted Proposal
21. She is Bold
22. Isn't She?
23. Doubt
24. Anomaly
25. Deadly Combination of Love
26. Drama
27. The End of The Tyrant
28. Is That The Clue?
29. A Half of Truth
30. Perfect Puzzle (Ending)
Epilogue

11. On Point

167 52 5
By Amaranteya

Memang siapa yang bisa terlelap setelah kejadian di aula tadi? Hikam dan Hijir yang berbagi kamar pun masih sama-sama menatap langit-langit dengan gamang.

"Hijir, kamu ingat Ratu Isabella dari Kastila Spanyol?"

Lelaki itu segera menoleh ke arah Hikam, memberikan tatapan penuh tanya padanya. Ah ... sesuatu yang Hijir suka dari Hikam telah kembali. Lelaki itu mulai bersikap layaknya saat mengajar Sejarah Islam.

"Ingat, kenapa?" Hijir kembali menatap langit-langit, membiarkan matanya dimanja warna cokelat genting juga kayu-kayu kerangkanya.

"Bukankah dia ratu yang hebat? Setelah mengambil alih kembali takhta dari tangan Yuana, dengan suaminya, Ferdinan, Ratu Isabella berhasil menguasai sebagian besar wilayah Spanyol." Hikam tak mengalihkan pandangan sama sekali. Sejenak, ia terdengar mengembuskan napas panjang.

Hijir yang belum tahu akan bermuara ke mana perkataan Hikam, mengerutkan dahi dalam. Tidak biasanya rekannya itu mau membicarakan hal seperti itu. Biasanya, jika Hijir bertanya tentang sejarah saja, Hikam akan langsung meminta lelaki itu mencari tahu sendiri.

"Ratu Isabella memang hebat. Namun sayang, dia kejam. Karena penaklukan Granada yang dia lakukan dengan Raja Ferdinan dari Aragon, Islam semakin goyah." Hanya itu yang mampu Hijir ucapkan.

Kali ini kalimat Hijir sukses membuat Hikam menoleh. Ia lantas bangkit dan duduk bersila di atas ranjang dengan posisi menghadap ke ranjang Hijir.

"Pengadilan gerejawi, salah satu langkah yang mereka lakukan pada awal pemerintahan. Mereka menggunakan itu sebagai salah satu bentuk Kristenisasi. Menumpas orang-orang yang dianggap sebagai penebar bid'ah dalam Kristen. Inkuisisi dipimpin oleh pendeta fanatik bernama Thomas de Torquemada yang dipilih langsung oleh Ratu Isabella."

Lelaki yang masih bertahan dalam posisi rebahnya itu semakin tak mengerti. Dengan kerutan kian dalam, ia pun bangkit dan ikut duduk bersila.

"Ribuan orang tertangkap, mereka disiksa bahkan dibakar hidup-hidup. Benar, Hijir. Ratu Isabella kejam." Hikam memandang Hijir dalam. "Tidakkah kamu merasa bahwa Jauza juga seperti itu? Maksudku, dia tidak kejam, tetapi aku selalu merasa dia memiliki aura intimidasi yang sangat kuat. Seperti halnya Ratu Isabella, Jauza ... punya pengaruh yang tidak dapat dielak."

Hijir menunduk seketika. Ia memikirkan kembali dialog-dialognya dengan Hikam sejak awal. Jujur, ia juga merasa demikian.

"Aku selalu ... seolah kehilangan orientasi sesaat waktu berhadapan dengan Zaa, Kam. Seperti tadi, aku hanya bisa mengatakan maaf karena telah salah memilih kata. Terlalu banyak kejutan, bahkan aku bisa bilang, karena itu, Jauza seakan memiliki dunianya sendiri, tidak tersentuh siapa pun."

Memikirkan perempuan itu tidak akan ada habisnya. Hari-hari Hijir yang semula adem ayem pun harus hirap begitu saja. Jauza terlalu membuat siapa pun kacau. Apa lagi, jika mengingat kenyataan bahwa Zaa adalah Lafa, perempuan yang pernah membuat temannya tergila-gila.

Hikam berdecak sekali sebelum kembali bersuara, "Oh iya, Jir. Kamu sudah ada titik terang pasal rasa penasaran kita?"

Alis Hijir tertaut. "Yang mana?"

"Agama Zaa."

Lagi dan lagi, Hijir menghela dan mengembuskan napas panjang. "Sebenarnya ini bukan hak kita untuk tahu, Kam. Namun, mau kubagi penemuanku?"

Anggukan mantap diberikan oleh sang lawan bicara. Memang benar itu bukan urusan mereka, apa lagi perihal keyakinan adalah urusan pribadi masing-masing dengan Tuhan. Namun, mereka terlampau ingin tahu, toh mereka tak akan mengganggu apa pun yang diyakini Zaa.

"Kemungkinan besar Zaa Islam karena aku baru tahu bahwa temanku yang tadi sore pernah dekat dengannya, tapi aku belum yakin. Dia memiliki Kitab Weda dan bahkan membacanya bebas di pesantren, aku melihatnya dua kali.

"Namun, kemarin ia mengatakan padaku bahwa dengan membaca Weda tidak serta merta membuat seseorang beragama Hindu.

"Sayangnya, dia kembali membuatku bingung. Dia menawarkan diri untuk mengajakku ke gereja hari Minggu nanti, agar aku tahu bagaimana suasana liturgi."

Hikam sukses dibuat melongo, sekompleks itu? Manusia seperti apa Jauza sebenarnya?

"Hijir," panggil Hikam dengan ekspresi iba. "Kamu yakin suka sama dia?"

-o0o-

Dalam remang ia termenung, memandangi dinding monokrom yang menjadi pembatas dengan dunia luar. Lututnya sengaja ditekuk dengan dua tangan tertaut, memeluknya.

Detak jantungnya sendiri terdengar beraturan, berbaur dengan decak cecak yang sinkron. Masih ada pula musik yang sengaja ia nyalakan dari ponsel tadi. Entah sejak kapan melodi berubah sendu, padahal beberapa menit lalu masih lagu dari sebuah band metal yang terputar.

"Sial!" Ia mulai mengacak rambut dengan kasar, lantas bangkit dan mengembuskan napas keras-keras. Diraihnya sebotol air mineral yang tergeletak di atas meja. Cairan yang masih sisa lebih dari setengah botol itu tandas dalam sekali minum.

"Lafa, Lafa." Nama itu terus tergumam dari bibir tipisnya. Sambil mulai mengutak-atik laptop, ia kembali duduk dengan nyaman. Ia terkekh singkat. "Jauza."

Dibukanya album foto dalam diska lepas yang sudah lama tak ia jamah. Bahkan, andai tak bertemu Lafa tadi, mungkin ia lupa bahwa benda itu ada.

Kebanyakan foto adalah kenangan waktu SMP dulu. Dengan seragam putih biru, beberapa lagi ada yang menunjukkan kegiatan waktu kemah. Dalam foto-foto masa SMP itu, ia menemukan satu foto yang menarik perhatiannya.

Seorang anak lelaki dan perempuan yang beberapa senti lebih tinggi sedang bersalaman di sana. Benar, itu dirinya dan Lafa sesaat setelah pengumuman kelulusan.

Dalam foto itu Lafa tampak enggan menjabat tangannya. Ia bahkan masih ingat, gadis itu hampir tak mau bersalaman jika bukan karena diyakinkan oleh pengurus TU yang memang akrab dengan keduanya, sudah seperti kakak. Pun Lafa segera menarik tangan kembali setelah itu, tak mau berlama-lama bersentuhan.

Tamam ingat betul apa yang ia ucapkan pada gadis itu, "Selamat udah jadi lulusan terbaik."

Lafa hanya menanggapi dengan senyum seadanya juga ucapan terima kasih.

Meski tahu bahwa Lafa memang tidak suka kontak fisik, ia tetap bertanya, "Kenapa, sih? Jijik banget kayaknya salaman sama gue."

Tak ada tanggapan berarti, Lafa hanya mengedikkan bahu dan pergi begitu saja. Dari sana, Tamam yang memang sudah tertarik, semakin tertarik. Lafa yang tidak tersentuh siapa pun, begitu yang ia tahu.

Beberapa bulan sebelumnya, Tamam pernah dibuat syok oleh kabar yang beredar. Lafa memiliki pacar yang tidak lain adalah adik kelas mereka. Ia menolak percaya, terlebih gadis itu tidak memberi tanggapan sama sekali. Sampai, ia menemukan jawaban itu sendiri.

Waktu itu ia berjalan dengan Lafa, kembali ke kelas masing-masing yang memang searah setelah melakukan rapat OSIS yang terakhir kali. Keduanya terkejut saat mendapati teriakan dari lantai dua di bangunan seberang.

"Natiq, ngapain lo mau ngerangkul pacar gue?" Tidak sopan, begitulah.

Meskipun adik kelas, anak itu memang terkenal di kalangan kakak kelas. Memiliki tampang yang diakui tampan dan andal dalam olahraga membuatnya dekat dengan siapa saja.

Lafa yang mendengar teriakan itu terkejut. Bukan karena siapa yang berteriak, tetapi karena kenyataan bahwa Tamam nekat hampir merangkulnya. Antara malu dan marah, ia tak mengatakan apa pun, hanya mendorong Tamam sampai tersungkur di taman depan koridor, lantas berlari lebih dulu menuju kelas.

Tamam ingat betul semua itu.

Kembali lelaki itu menggulir dan menemukan foto Lafa yang lain. Di sana tampak gadis itu tengah menatap anak lelaki di hadapannya. Lafa duduk di bangku, sementara anak lelaki itu berdiri tepat di depan meja.

Tempat duduk Lafa yang selalu paling depan membuat anak lain mudah melakukan itu, bukan?

Jelas Tamam ingat siapa anak itu. Benar, teman sekelasnya. Ia sempat bertanya-tanya kenapa anak yang berbeda kelas, bisa masuk dan berbincang dengan Lafa secara leluasa.

Waktu itu jam tambahan, khusus untuk pelajaran seni budaya. Kelas mereka sama-sama diminta untuk membuat pajangan di meja menggunakan pelepah pisang. Tamam ingat, Lafa memilih membuat bunga dan rata-rata memang membuat itu karena mudah.

"Buat lo, nggak usah buat lagi. Lo tinggal buat potnya aja." Kalimat yang didengar Tamam dari bibir anak lelaki itu cukup menghantam egonya. Lucu memang, anak empat belas tahun yang cemburu.

Lafa sejujurnya tampak bingung, tetapi tak lama menggeleng. Ia tidak mau menerimanya.

Fakta yang Tamam tahu, temannya itu juga menyukai Lafa. Untung tidak direspons.

Tamam terkekeh kecil mengingat itu.

Ada lagi foto saat perpisahan. Lafa menjadi perwakilan siswa menyampaikan pesan dan kesan selama bersekolah. Lagi-lagi matanya fokus pada sosok teman yang juga tampak dalam foto tersebut. Kembali ia sadar, banyak anak lelaki yang menyukai Lafa.

Setelah kelulusan mereka tak bertemu karena Tamam masuk pesantren. Tahun terakhir belajar, lelaki itu tak sengaja bertemu kembali dengan Lafa. Keduanya sama-sama menjadi partisipan lomba di ajang yang sama. Hanya sedikit berbincang sebelum Lafa pergi. Sejak saat itu pula, Tamam yang dulu mengagumi Lafa, kembali mengagumi.

Di foto terakhir, paling bawah. Tamam mendapati foto Lafa. Bukan dalam balutan seragam seperti biasanya. Di sana, sosok Lafa sudah menjadi orang yang lebih dewasa. Dengan jilbab moka, wajah Lafa yang tampak samping, sedang tersenyum manis pula, menghadirkan sensasi sesak tak terduga.

Foto itu ia ambil tanpa Lafa sadar. Mengingat gadis itu sama sekali tak suka difoto. Pertama kali keduanya benar-benar dekat, bahkan Lafa mengizinkannya datang ke rumah untuk bertemu orang tua gadis itu. Benar, tepat beberapa minggu sebelum Lafa memilih mendalami bahasa Inggris dan membuat keduanya kembali jauh, karena kebodohan Tamam sendiri.

"Lo berubah banget sekarang, Laf. Gue bahkan hampir nggak ngenalin lo." Kembali Tamam mengacak rambut. "Gue belum sepenuhnya bisa ngelepas lo, Laf."

Seakan mengingat sesuatu, lelaki itu meraih ponsel serampangan. Ia ingat masih menyimpan nomor Lafa. Meskipun tak yakin bahwa perempuan itu masih menggunakan nomor lamanya, tetapi setidaknya Tamam mencoba.

Nada tersambung, nomor itu masih aktif. Tepat setelah dering ketiga, suara di seberang terdengar.

"Ya? Selamat malam. Whom do I talk to?"

Tamam mematung sejenak, itu benar Lafa. Ia ingat betul suara yang tadi didengarnya. Benar juga, Lafa memang tidak pernah mengganti nomor dan tidak akan pernah sepertinya. Perempuan itu terlalu malas.

"Halo? Aku akan menutupnya."

Segera Taman mencegah, "Tunggu! Lafa ... ini gue."

Terdengar bunyi dengkusan dari seberang. Sudah pasti Lafa tahu siapa dirinya.

"Bisa kita ketemu besok? Gue mohon." Besar harapan Tamam agar ajakannya diiyakan. Namun, ia sangsi. Apa lagi setelah kejadian tadi.

"Untuk apa bertemu perempuan hipokrit sepertiku?"

Tamam tahu betul bahwa perempuan di seberang panggilan sedang melayangkan sindirannya.

"Laf, please ...."

"Hanya jika kamu bisa menjawab pertanyaanku."

Tamam mengerutkan dahi. Apa lagi ini? Sudah pasti bukan pertanyaan mudah jika Lafa yang memberinya.

"Apa itu?" tanyanya.

"Bukan hal yang sulit jika kamu belajar dari kisah masa lalu. Pun pertanyaanku hanya mengambil pertanyaan yang dilayangkan untuk satu tokoh yang sama."

Kerutan di dahi Tamam semakin jelas.

"Pertama, kuburan yang dapat berjalan bersama penghuninya. Kedua, angka terkecil yang habis dibagi angka satu sampai sepuluh. Selamat berpikir, Mantan Calon Suami." Lafa terkekeh di sana. "Aku tunggu jawabanmu sampai besok. Wassalamu'alaikum."

"Apa-apaan ini, Laf?"

-o0o-

The real nge-reveal diri sendiri abis-abisan di part ini🙊

Wish you enjoy

Amaranteya

5th of September 2021

Continue Reading

You'll Also Like

837K 76.9K 30
Menikah dengan seseorang yang pernah kamu cintai dalam diam saat hatimu sedang dirundung kecewa? Bukankah itu indah? Begitulah harapan Keisya saat me...
1.8K 180 62
Kiki adalah seorang gadis manis berhijab dan berpostur tubuh gemuk . Karena fisiknya inilah , Kiki selalu menjadi bahan bully-an . Hidupnya selalu re...
321K 27.5K 34
"1000 wanita cantik dapat dikalahkan oleh 1 wanita beruntung." Ishara Zaya Leonard, gadis 20 tahun yang memiliki paras cantik, rambut pirang dan yang...
708 143 12
Benarkah seseorang bisa bertukar jiwa? Namun, bagaimana jika jiwamu justru berpindah pada tubuh seseorang di zaman yang berbeda? Mahin, mahasiswi Uni...