Ujung Tirani (Completed)

By Amaranteya

6K 1.6K 200

Berkutat dengan sejarah Islam daratan Andalus adalah hal yang tak pernah absen dari kehidupan Hijir. Mulai da... More

Prologue
1. Duality
2. Choices
3. The Piece of Bhagavadgita
4. Imperfect Islamization
5. Next Side
6. Vague Faith
7. The Part of God
8. Stigma
10. A Wrong Step
11. On Point
12. Under The Rain
13. Humanitarianism
14. An Assumption
15. Does She Say, "Easiness"?
16. Questions
17. It was A Process
18. Interaction
19. An Unpredictable Gift
20. Unwanted Proposal
21. She is Bold
22. Isn't She?
23. Doubt
24. Anomaly
25. Deadly Combination of Love
26. Drama
27. The End of The Tyrant
28. Is That The Clue?
29. A Half of Truth
30. Perfect Puzzle (Ending)
Epilogue

9. Stupidity

170 49 6
By Amaranteya

"Aku semakin tidak mengerti denganmu, Jauza." Hijir masih bertahan di ruangan beraroma buku itu.

Setelah Zaa meminta kembali bukunya tadi, perempuan itu langsung pergi tanpa menjawab pertanyaannya. Ia pergi meninggalkan ambigu yang kental dalam benak Hijir. Selalu begitu. Namun, ada satu hal lagi yang membuat Hijir semakin kelimpungan. Pertanyaan yang Zaa lontarkan sebelum benar-benar pergi.

"Pernah merasakan suasana liturgi dalam gereja? Aku bisa mengajakmu ke sana hari Minggu nanti jika mau."

Bagaimana Hijir tidak gila? Memikirkan Jauza orang seperti apa saja sudah membuatnya gelagapan setengah mati dan kini? Ia diajak mengikuti arus perempuan itu? Benar-benar gila.

Setelahnya, Hijir menggelengkan kepala tak habis pikir. "Kenapa kamu tiba-tiba jadi patung seperti tadi, Hijir? Kenapa tidak menjelaskan pada Zaa tentang konsep mubadalah dalam fiqih? Prinsip kesetaraan itu harusnya bisa selaras dengan pikiran Zaa."

Iya, Hijir hanya bisa merutuk menyadari ketelodarannya.

-o0o-

Tepat pukul empat sore, setelah ia keluar dari masjid melakukan zikir, Hikam menghampiri sambil tergopoh.

"Ada yang nyari kamu. Katanya, teman kuliah," ucapnya.

Hijir mencoba mengingat siapa yang kira-kira datang. Mengingat obrolannya di kolom chat sebelum azan Asar tadi, ia mengangguk. Tamam. Lelaki itu mampir ke pesantren untuk memberikan laptop Hijir yang dipinjamnya kemarin.

Segera lelaki itu berderap ke tempat penerimaan tamu. Bagaimanapun, ia tetap harus patuh pada peraturan pesantren.

"Assalamu'alaikum." Wajah Tamam semringah. Ia menyambut kedatangan Hijir dengan senyum lebarnya.

"Wa'alaikumussalam. Sudah tidak perlu laptop?" tanya Hijir.

Tamam mengasurkan benda tersebut lengkap dengan tas yang melapisinya. "Hamdalah, laptop gue tadi pagi balik dari tempat servis."

Tidak berniat langsung pergi memang, Tamam sengaja melongokkan kepala, meluaskan sudut pandangannya. Mungkin saja ia bisa setidaknya melihat perempuan yang dimaksud Hijir. "Lo nggak mau ngajak gue keliling pesantren? Udah lama gue nggak ke sini, pasti banyak yang berubah."

Sejenak Hijir berpikir, tak biasanya sang kawan meminta. "Ah ... kebetulan para santri dan santriwati sedang berkumpul di aula. Ada sedikit pengarahan mengenai kegiatan English Program nanti malam. Mau ke sana?"

Mata Tamam semakin berbinar. Akhirnya, yang ditunggu datang. Ia lantas mengangguk bersemangat.

Keduanya bergegas sebelum acara itu selesai. Pasalnya, tak ada materi, hanya pengarahan sedikit.

Sampai di depan pintu samping aula, mereka berhenti. Mata Tamam menelusuri penjuru ruangan, mengira-ngira siapa yang kiranya berhasil mengambil hati sang sohib.

Pada satu titik, Tamam berhenti. Ekspresinya berubah 180 derajat. Dahinya berkerut dalam dengan mata menyipit dan pangkal alis tertaut. "Lafa?" gumamnya.

Merasa mendengar sesuatu, Hijir menoleh dan mendapati Tamam dengan ekspresi bingungnya. "Kamu bilang apa?"

Seakan tersadar, Tamam menggeleng pelan. Ia pun menoleh pada Hijir sejenak dan kembali menatap ke arah perempuan yang sempat ia kenali. Namun, tidak ada.

"Kayaknya gue salah lihat tadi. Gue kayak lihat temen SMP gue." Meski sudah bersikap seperti semula, tetapi Tamam tetap terkejut sebenarnya.

"Teman SMP?" ulang Hijir, membuat Tamam mengangguk, "siapa namanya? Mungkin memang benar teman kamu."

Dengan mantap Tamam menjawab, "Lafa. Inget, kan? Yang sering gue ceritain."

Hijir mencoba mengingat, tetapi nihil. "Tidak ada yang namanya Lafa di sini, baik tutor, ustadzah, bahkan santriwati."

Benar, mungkin Tamam memang salah lihat. Lagi pula, setahunya Lafa memang tinggal di desanya, membuka jasa les privat untuk anak-anak SD.

"Oh iya, mana cewek yang lo incer?" Tamam berbisik, takut ada yang mendengar. Bisa rusak reputasi Ustaz Hijir di mata anak didiknya.

"Hah? Oh ... dia dan beberapa tutor tidak ikut saat pengarahan seperti ini. Mungkin sedang bersih-bersih."

Satu yang pasti, Tamam kecewa tidak bisa bertemu dengan perempuan itu.

Berbeda dengan yang dikatakan Hijir, Zaa justru keluar pesantren, lagi. Setelah menghabiskan weekend di sana, ia harus benar-benar pergi sekarang.

Seperti biasa, penampilan Zaa selalu sama. Kaos gombrong dilapisi jaket kulit favorit.

Ia baru saja melepas jilbab dan bergegas naik ke ojek online yang dipesan. Benar, ia terlalu malas jika harus ke perempatan di ujung jalan dengan berjalan kaki.

Kali ini tujuannya adalah taman kota, tempat di mana teman-temannya sedang berkumpul dan menghabiskan waktu senja.

Zaa berderap ke kumpulan orang yang tengah asyik melakukan slacklining. Ditepuknya pelan bahu Gupta, lelaki yang sudah ia hafat betul meski dilihat dari belakang.

"Woey, Zaa. Udah lama lo nggak main-main ke sini," seru Gupta. Lelaki itu hendak memeluk Zaa, tetapi lebih dulu berhenti saat Zaa tersenyum ganjil sambil menunjukkan tinju. "Sorry, terlalu seneng gue lihat lo di sini."

Zaa ikut duduk bersila di samping Gupta, memandangi beberapa orang lagi yang ia kenal sedang beratraksi di atas slickline rope. Perempuan itu memang kenal banyak orang di komunitas slickline itu. Beberapa lagi sepertinya anggota baru, karena Zaa tidak mengenal mereka. Maklum, sudah cukup lama ia tidak bergabung.

"Kemarin gue ketemu sama Kaisar. Dia cerita ke gue kalau kalian ketemu beberapa hari lalu. Parah sih, lo nggak kasih-kasih kabar kalau mau ketemu dia." Gupta menoleh sambil memiringkan kepala, melihat Zaa yang tengah mengikat asal rambut sebahunya.

"Memang kalau aku bilang, kamu bakal datang?" tanya Zaa sangsi.

"Nggak, sih." Gupta tertawa. "Hari itu gue ada acara di rumah."

Dengkusan lolos dari bibir Zaa. Gupta memang selalu sama.

"Banyak anak baru ya, Gup? Aku nggak kenal beberapa dari mereka."

Gupta mengalihkan pandangan dan kembali fokus ke depan. Sejenak ia menyipitkan mata, menyusuri orang-orang yang kemungkinan tidak dikenal perempuan itu.

"Iya, beberapa masuk waktu lo hiatus dateng. Lumayan, sih. Sekitar lima orang." Lelaki itu kembali menoleh. "Lo nggak mau coba slacklining lagi?"

Ekspresi geli jelas tertangkap mata Zaa saat memandang lelaki di sampingnya lekar. Ia tahu Gupta sedang mengejeknya.

"Aku di sini cuma main ya, Gup. Bukan gabung ke komunitas. Kamu tahu sendiri, terakhir aku nekat coba trik paling mudah, aku nggak bisa jalan tiga hari karena kesleo."

Tawa Gupta seketika berderai, hingga atensi beberapa orang di sana terakih fokus pada keduanya.

Tak lama, perempuan bernama Kiar mendekat sambil membawa sebungkus kripik dan ikut duduk di depan Gupta serta Zaa. "Ini siapa, Mas Gup?" tanyanya.

Mata Zaa memicing. Ia tebak, perempuan yang tampak lebih muda darinya itu pasti salah satu dari anggota baru. Pembawaannya yang ceria membuat gadis itu benar-benar membawa vibes positif.

"Kenalin, Ki. Namanya Jauza, temen gue. Dulu sering main ke sini, sih. Pas lo masuk aja dia agak jarang." Ucapan Gupta langsung membuat Kiar berbinar. Ia membersihkan tangan sejenak dan menyalami Zaa.

"Aku Kiar, Kak. Anggota baru. Seneng loh, bisa kenal sama Kakak."

Zaa tersenyum lebar sambil meraih uluran tangan itu.

Setelahnya, Kiar menawarkan keripik tersebut, namun ditolak dengan gelengan kepala oleh Zaa.

"Nggak mau ikut main, Kak Zaa?" Kiar menunjuk rope yang membentang di antara dua pohon yang cukup besar.

Zaa tertawa canggung. "Nggak deh, Ki. Aku trauma."

Lagi, Gupta tertawa keras. Mengingat bagaimana posisi Zaa jatuh waktu itu benar-benar membuatnya tergelak. Satu kakinya lebih dulu mendarat dan menahan tubuhnya yang tak seimbang. Karena tak siap, otomatis kakinya tertekuk. Seketika suasana ramai karena Zaa berteriak keras.

Gadis berkuncir kuda itu terkikik. Memang benar, saat belajar slacklining saja, ia sering mengalami cedera. Namun, ia tak menyerah, tak seperti Zaa.

Setelah tawa reda, Kiar kembali berujar, "Kak, nanti ikut makan malem bareng kita, ya? Kebetulan abis ini mau wisata kulineran, ditraktir Mas Gup, kok."

Seketika Gupta tersedak ludahnya sendiri. Dasar junior kurang ajar, selalu minta gratisan.

Zaa menoleh cepat ke arah lelaki itu. "Wah, benar, Gup?" Ia tertawa sejenak sebelum kembali memandang Kiar. "Tapi, sorry, nih. Aku nggak bisa ikut, masih ada agenda nanti."

Ekspresi kecewa Kiar langsung tampak, berbeda dengan Gupta yang memang tahu bahwa Zaa sering sibuk dengan urusannya. Rasa-rasanya malas jika mengajak Zaa pergi. Perempuan itu selalu punya beragam alasan untuk menolak.

"Yah ... yaudah, deh. Nggak apa-apa, lain kali aja. Oh iya, aku ke sana dulu ya, Kak Zaa. Mau bantu beres-beres. Udah mau magrib," pamit Kiar lalu pergi dari hadapan keduanya.

"Cheerful ya, anaknya," celetuk Zaa.

Gupta terkekeh singkat. "Lumayan, meskipun sebenernya dulu berantakan."

Masih menghadap depan, alis Zaa tertaut. Ia baru menoleh ke arah Gupta saat lelaki itu melanjutkan kalimatnya.

"Untung anaknya terbuka banget, dia mau berbagi beban sama anak-anak komunitas. Gue nggak tau gimana jadinya kalau dia milih mendem. Pertama kali dateng ke sini ...." Gupta menatap Zaa dalam. "Tangan, muka, sama kakinya penuh memar. Bahkan mungkin bisa disebut lebih bonyok dari gue yang biasa kalah berantem. Makin lama gabung, kayak yang lo lihat, vibes dia jadi sepositif itu."

Senyum simpul dilayangkan Zaa. Perasaan perempuan itu menghangat mendengar penuturan Gupta.

Perlahan ia teringat perkataan salah satu rekannya saat rapat kemarin. Perempuan akan lebih terjaga di rumah, katanya. Zaa jadi terkekeh miris. Padahal, bagi sebagian orang, berdiam di rumah adalah neraka, kehancuran nyata baik fisik maupun mental.

"Kamu nggak apa-apa komunitas ini dijadiin pelampiasan orang-orang seperti Kiar, Gup?" pancing Zaa.

Tak langsung menjawab, Gupta justru tertawa sumbang. "Zaa, lo lupa? Gue diriin komunitas ini aja sebagai bentuk pelampiasan. Karena dulu gue putus sekolah dan milih kerja di pasar buat bertahan hidup, gue sering dianggep sampah masyarakat. Cuma karena penampilan gue kayak anak punk. Lucu sih, kalau diinget-inget. Bersyukur sekarang hidup gue lebih baik.

"Misal orang-orang join komunitas ini emang cuma sebagai bentuk pelampiasan, kalau mereka jadi lebih baik, kenapa enggak? Gue malah seneng. Seenggaknya gue bisa bantu mereka, nggak kayak orang-orang nyinyir yang sembunyi di balik kata peduli, tapi nggak kasih solusi."

Senyum Zaa mengembang semakin lebar. Sore itu, keyakinannya semakin kukuh. Memandang seseorang dari penampilan saja, merupakan kebodohan paling bodoh yang pernah ada.

-o0o-

Heyyo! Btw, slicklining itu yang kegiatan jalan di atas tali itu. Dalam perkembangannya nggak cuma jalan, tapi juga banyak free style lompat2 yang aku nggak tau apa namanya🤣

Wish you enjoy

Amaranteya

3rd of September 2021

Continue Reading

You'll Also Like

5.4K 1.2K 47
•Daftar Pendek Wattys 2021• Melisa Andriani, gadis tengil yang ngaku-ngaku kembaran Lisa Blackpink dan pecinta cogan sejati ini akhirnya berhasil men...
708 143 12
Benarkah seseorang bisa bertukar jiwa? Namun, bagaimana jika jiwamu justru berpindah pada tubuh seseorang di zaman yang berbeda? Mahin, mahasiswi Uni...
The Killer Days By HIATUS

Mystery / Thriller

172 34 1
Tujuan Daisha pindah ke kota Merkama adalah hidup damai dan tentram dengan keluarganya. Tapi siapa sangka justru itu semua berbanding terbalik. Saat...
781 126 12
Dikala terjabak di situasi dimana harus mencari jalan keluar dari tempat yang di penuhi hal-hal yang tidak masuk akal, perjalanan yang harus nya untu...