Ujung Tirani (Completed)

By Amaranteya

6K 1.6K 200

Berkutat dengan sejarah Islam daratan Andalus adalah hal yang tak pernah absen dari kehidupan Hijir. Mulai da... More

Prologue
1. Duality
2. Choices
4. Imperfect Islamization
5. Next Side
6. Vague Faith
7. The Part of God
8. Stigma
9. Stupidity
10. A Wrong Step
11. On Point
12. Under The Rain
13. Humanitarianism
14. An Assumption
15. Does She Say, "Easiness"?
16. Questions
17. It was A Process
18. Interaction
19. An Unpredictable Gift
20. Unwanted Proposal
21. She is Bold
22. Isn't She?
23. Doubt
24. Anomaly
25. Deadly Combination of Love
26. Drama
27. The End of The Tyrant
28. Is That The Clue?
29. A Half of Truth
30. Perfect Puzzle (Ending)
Epilogue

3. The Piece of Bhagavadgita

202 50 1
By Amaranteya

Siapa yang dapat menjamin bahwa lingkungan tidak akan mempengaruhi kehidupan seseorang? Meskipun bicara berulang kali ia tidak akan berubah, nyatanya Zaa tetap mengalami itu. Menjadi lebih independen, berubah menjadi sosok yang lebih terbuka pada banyak hal, juga ... benar-benar hidup pada prinsip baru yang ia dapat dan sangat berbeda dari dirinya yang dulu.

"Bu Ansa, ini saya bener-bener nggak boleh lepas jilbab?" Keruh, begitulah ekspresi Zaa saat ini. Pertanyaan itu sudah terlontar untuk kelima kalinya pada sang atasan di EdgeLeaf.

Sebelum turun dari mobil, wanita bergaya kasual dengan jilbab pashmina itu menjawab pertanyaan Zaa, "Kamu nggak malu kalau kegiatan di pesantren tapi nggak pake jilbab?"

"Selama saya nggak telanjang, saya nggak malu kok, Bu," celetuk perempuan itu.

Ansa berdecak mendengar jawaban Zaa yang terkesan sembrono. Salah satu tutor andalannya itu memang paling susah diatur.

"No complaining! Cuma sebulan, Zaa. Betah-betahin, lagian kalau free kamu bisa pergi-pergi keluar pesantren, kok." Ansa lantas turun tanpa menunggu respons Zaa. 

Mereka sudah berada di lingkungan pesantren. Tepatnya, di halaman bangunan yang merupakan rumah pengurus pondok. Sebelum melakukan opening, mereka memang akan sowan terlebih dahulu.

Baru menginjakkan kaki di lingkungan pondok saja, Zaa sudah merasa sesak. Semoga dia benar-benar bisa. Ia melangkah menghampiri Ansa dan tutor yang lain yang sudah lebih dulu sampai di teras rumah. Rok plisket dusty pink-nya berkibar pelan, begitu juga dengan kemeja flanel oversize yang ia gunakan sebagai outer. Berbeda dengan Ansa yang menggunakan jilbab pashmina, Zaa lebih suka mengenakan jilbab segi empat dengan dua ujungnya disampirkan menyilang ke bahu.

Setelah pertemuan singkat itu, Zaa beserta tutor yang lain diarahkan ke aula pesantren, tempat opening akan dilaksanakan sekaligus pusat kegiatan sebulan ke depan dilaksanakan.

Tak ada yang spesial bagi Zaa, hanya sambutan dari beberapa pihak serta penjelasan mengenai bagaimana program tersebut berlangsung.

Namun, ada satu hal yang menarik perhatian perempuan itu di akhir acara. Karena pihak EdgeLeaf hanya mengatur materi dan segala sesuatu yang berkaitan dengan itu, pembagian kelompok di-handle langsung oleh pihak pesantren.

Zaa sempat tertegun mendengar bagaimana sistem yang mereka terapkan. Semua siswa dibagi sama rata, tanpa melihat mana yang masih basic dan mana yang sudah melampaui itu. Kabar buruknya Zaa tidak suka dengan sistem tersebut.

Selesai pembagian kelompok dibacakan, sekonyong-konyong Zaa mendatangi pemuda yang tadi membaca nama santri satu per satu.

"Maaf, boleh saya menyampaikan sesuatu?"

Dua pemuda yang dihampiri Zaa seketika menolah dan sama-sama memasang wajah terkejut.

"Kamu ... yang di depan resto kemarin? Sama pengemis itu?" Mata Hikam membola, hampir tak percaya perempuan yang dilihatnya kemarin tampak sangat berbeda hari ini.

Kemarin, Zaa mengenakan celana jeans dengan atasan berupa kaos oversize warna putih dan dibalut dengan jaket kulit hitam. Rambutnya? Tentu saja dibiarkan terurai, cukup mencolok dengan ujung berwarna terang. Lihatlah dia sekarang, sangat berbeda, bukan?

Tak berbeda dengan Hikam, Hijir pun dibuat tak percaya bahwa ia adalah parempuan yang sama.

"Hah? Depan resto?" Dahi Zaa berkerut, perlahan jari telunjuknya terangkat dan mulai menggaruk pelan pelipis. Tak lama, ia mengangguk. "Mungkin, tapi ... udahlah, nggak penting. Santai aja ya, ngomongnya. Di depan anak-anak beda urusan."

Hikam dan Hijir mengangguk bersamaan.

"Apa ada masalah?" tanya Hijir hati-hati.

Seakan ingat tujuannya menyapa, Zaa segera berkata, "Aku nggak suka sama pembagian kelompoknya."

Sentakan langsung itu mencubit hati dua pemuda di depan Zaa. Mereka berdua kembali dikejutkan dengan perkataan tanpa tedeng aling-aling perempuan tersebut. Sangat to the point.

"Alasannya?" Sebelah alis Hijir terangkat. Kertas berisi data santri di tangan kanan beralih ke tangan kiri.

"Berbeda itu bagus, tapi pembedaan kadang dibutuhkan. Dengan kalian menggabungkan anak dengan kemampuan yang masih perlu bimbingan ekstra dengan anak yang ibaratnya tinggal memoles, kalian hanya akan menciptakan gap yang sangat kentara antara si bisa dan si belum bisa dalam satu kelompok itu. Juga, pengaturan kelompok semacam itu tidak akan efektif serta menyulitkan tutor dalam pemberian materi. Kami akan kesulitan menyeimbangkan mereka dalam satu waktu."

Sorot tak suka langsung dilayangkan Hikam, sementara Hijir masih mencoba mencari sisi benar dalam kalimat perempuan itu.

"Jika kita membuat si pintar dalam satu kelompok dan si bodoh dalam satu kelompok, justru si bodoh akan lebih dulu merasa hopeless karena merasa dibedakan. Apa lagi kita akan mengadakan semacam perlombaan antarkelompok." Hikam menyahut dengan nada berapi-api. Rasa kagum lelaki itu tampaknya langsung menguap setelah mendengar statement Zaa.

Bukannya terpancing, Zaa justru mengeluarkan senyum miring, persis seperti yang dilihat kedua penuda itu kemarin.

"Pertama, aku nggak suka ada guru yang menjatuhkan statement bodoh pada anak didiknya. Itu sebabnya aku menggunakan kata si bisa dan belum bisa.

"Kedua, aku nggak mau banyak omong masalah ini. Cukup buat kelompok baru dengan mengambil beberapa anak yang kamu anggap 'bodoh' itu, dan biarkan aku yang membimbing mereka. Kita lihat hasilnya nanti setelah program selesai."

Kalimat lugas yang terlontar dari bibir Zaa sukses membuat baik Hikam maupun Hijir bungkam. Mereka sadar ada kobar amarah dalam sorot mata perempuan itu.

"Aku tunggu data anak-anak itu sampai nanti sore." Zaa pergi dari sana dengan tangan mengepal. Demi apa pun, selama ia mengajar, tidak pernah sekali pun ia menyebut anak didiknya dengan sebutan bodoh. Pantang baginya mengucapkan kata itu. Bukannya perkataan sebagian dari doa?

-o0o-

Kegiatan hari pertama masih sangat lancar, mengingat agenda hari ini hanya perkenalan satu sama lain serta membentuk kepengurusan kelompok.

Menjelang magrib, Hijir benar-benar menyerahkan data siswa yang diminta Zaa. Setelah mengucapkan terima kasih tanpa basa-basi, Zaa langsung berlalu.

"Bagaimana sebenarnya cara berpikir perempuan itu, Tadz?"

Hijir menoleh pada Hikam yang masih memandangi kepergian Zaa dengan dahi berkerut.

"Sudah berapa kali aku bilang, panggil Hijir saja kalau cuma berdua. Kita seumuran, Kam," protes Hijir. Kembali dia mengarahkan pandangan ke depan. Banyak santri yang mulai berdatangan untuk melaksanakan jamaah salat Magrib di masjid, tepat di belakang mereka. "Aku juga tidak tahu bagaimana dia berpikir."

Tepukan mampir di pundak Hijir, membuatnya kembali menoleh.

"Dia nggak salat? Kok malah pergi lagi setelah menerima data santri." Pangkal-pangkal alis Hikam tertaut bersamaan dengan dilipatnya kedua tangan di depan dada.

"Mungkin sedang uzur, tapi ... sebenarnya aku ragu, Kam." Raut bingung semakin jelas di wajah Hijir meski sinar mentari mulai redup. "Apa sebelumnya pernah ada tutor nonmuslim yang ikut kegiatan ini?"

Hikam terhenyak mendengar itu. Ia juga menyadari satu hal, quote Mahatma Gandhi yang dengan fasih dilafalkan Zaa. Meski bukan tolak ukur, tetapi tetap saja Hikam berpikir demikian.

"Dia ... misal dia non, kenapa pakai jilbab? Di perkenalan tadi, dia juga bilang namanya Jauza. Sangat Islami," tanya Hikam.

"Mungkin sebagai bentuk menghargai dan nama bukan tolak ukur. Kamu tahu yang membuatku berpikir begitu?" Pertanyaan itu membuat Hikam menggeleng. "Saat aku bilang ada insiden kemarin, sebenarnya melibatkan dia juga. Dia dengan lugas dan mantap mengucapkan kalimat yang aku yakin, berasal dari kitab umat Hindu, lengkap dengan terjemahnya."

Bibir Hikam membulat sempurna. Lipatan tangannya pun ikut terlepas.

"Ah ... sudahlah, kita jadi bergosip, astaghfirullah. Ayo ke masjid, anak-anak sudah berkumpul," ajak Hijir.

Sementara di kamar yang ditempati Zaa, perempuan itu berkutat dengan data santri yang baru diterimanya dari Hijir. Ada sekitar sepuluh anak, lebih sedikit dibanding kelompok lain yang berjumlah dua belas anak per kelompoknya.

Zaa lantas beralih pada buku catatannya dan menuliskan beberapa poin penting yang akan ia lakukan pada anak-anak itu. Pada kata paling akhir, sengaja ia lingkari dengan pulpen berwarna merah. Suggestopedia. Ya, pendekatan yang akan ia lakukan adalah dengan menerapkan metode tersebut.

Teman tutornya bernama Rita yang baru masuk tiba-tiba berkata, "Loh Zaa, nggak ikut jamaah? Ayo bareng aku, mumpung masih azan."

Zaa sontak menoleh dan mendapati perempuan dengan wajah basah itu. Sepertinya, Rita baru saja mengambil air wudu.

Bukannya menjawab, Zaa justru tersenyum simpul lebih dulu. Diberikannya sebuah jempol sambil meringis setelahnya. "Duluan aja, Mbak."

Rita menggeleng pelan. Biarlah, lagi pula ia memang tidak begitu dekat dengan Zaa, ia tidak tahu bagaimana perempuan itu. Tak mau terlambat, Rita bergegas ke masjid setelah meraih mukena dan meninggalkan Zaa sendirian di kamar itu.

Sesaat setelah Rita pergi, segera Zaa mengambil sebuah buku yang sudah disimpannya dalam laci. Di sampul hitamnya tertulis, "Bhagavadgita". Itu adalah satu dari sekian versi yang sudah dimiliki oleh Zaa di rumahnya.

Nyanyian Tuhan, begitu yang Zaa pahami di balik makna Bhadawadgita. Hakikat segala pengetahuan Weda, bagian terakhir dari Weda, ajaran Shri Krishna pada Arjuna, ketika Arjuna berada dalam keraguan di medan pertempuran Kurusetra antara Pandawa dan Kurawa.

Dibukanya bab XII, terakhir kali ia meninggalkan bacaannya. Rasa penasarannya akan Iswara, Saguna, juga Nirguna membawa Zaa berpetualang jauh ke kitab terjemahan tersebut.

Seloka demi seloka dibacanya cermat, tanpa tertinggal satu kata pun. Berbeda lagi jika Zaa membaca novel, ia bisa dengan mudah melewati tiga paragraf utuh tanpa dibaca. Membosankan baginya.

Membaca rentetan kalimat itu, membuat Zaa ingat sesuatu. Awalokiteswara, bodhisatwa yang paling dimuliakan dalam aliran Buddha Mahayana, perwujudan tertingga sifat welas asih.

"Kenapa masih banyak orang berperang karena agama? Padahal dari semua kitab suci yang sudah kupelajari, yang mereka ajarkan sama, cinta kasih." Zaa menghela napas berat. Melihat jam di pergelangan tangan kanannya, perempuan itu langsung menutup kitab setelah memberinya pembatas. Ia harus bergegas ke aula untuk mempersiapkan kegiatan untuk lepas isya nanti.

-o0o-

Suggestopedia, the method that I like to use when teaching. Ah ... lil bit reminder, setelah part ini, akan mulai banyak something ke depannya.

Wish you enjoy.

Btw, 2/3 cerita ini sudah kuselesaikan. Jadi, update kemungkinan nggak akan tersendat.

Amaranteya

28th August 2021

Continue Reading

You'll Also Like

2.1K 262 22
CERITA INI SUDAH TERSEDIA DALAM BENTUK E-BOOK, FISIK, SERTA TAYANG DI KBM APP. Tahun ini adalah tahun yang berat bagi Sumiyati. Tiga kali dilamar, t...
842K 77.2K 30
Menikah dengan seseorang yang pernah kamu cintai dalam diam saat hatimu sedang dirundung kecewa? Bukankah itu indah? Begitulah harapan Keisya saat me...
12.5K 903 39
Konflik terjadi antara dua negara tetangga. Dan Indonesia harus menyiagakan pasukan militernya untuk mengamankan wilayah perbatasan, baik di daratan...
2.5M 82.1K 52
Rank #2 in Romance on March, 12th 2016 Aku menyukainya sejak lama. Kami berteman dan bersahabat sejak kami masih di bangku sekolah pertama. Kali itu...