Be My Miracle Love [End] āœ”

By senoadhi97

56.4K 9.9K 15.3K

Wajah berjerawat, berotak biasa saja dan tidak memiliki kelebihan apa pun selain gemar mengoleksi uang receh... More

Eps.1 - Prince Charming
Eps.2 - My Enemy Brother
Eps.3 - Siap Bertemu Kembali
Eps.4 - Who Is Him?
Eps.5 - My Teacher Is Handsome
Eps.6 - Me vs Cowok Trouble Maker
Eps.7 - Awal Dekat Dengannya
Eps.8 - Ribuan Detik Bersamamu
Eps.9 - My Annoying Father
Eps.10 - Crazy Boy
Eps.11 - Hari Balas Dendam
Eps.12 - Janjian
Eps.13 - Dibully Geng Syantik
Eps.14 - Orion : Mianhae
Eps.15 - Aku dan Dewi Fortuna
Eps.16 - Heartbeat
Eps.17 - Sahabat Bikin Kecewa
Eps.18 - Orion Pansos?
Eps.19 - FUTSAL
Eps.20 - Teman Baru
Eps.21 - Live Drama
Eps.22 - Surat Untuk Dia
Eps.23 - Broken Heart
Eps.24 - Hangout
Eps.25 - Night Together
Eps.26 - He Is Shoot Me Now
Eps.27 - Bertengkar di Toilet
Eps.28 - Momen Manis
Eps.29 - After 'I Love You'
Eps.30 - Permen In Love
Eps.31 - Benci Untuk Mencinta
Eps.32 - Be Mine
Eps.33 - It This Love
Eps.34 - Dia dan Langit Senja
Eps.35 - Good Bye
Eps.36 - Romeo Juliet
Eps.37 - Thank You, Dear
Eps.Special - Break Story
Eps.38 - Berpisah
Eps.39 - Sebuah Syarat
Eps.40 - Tunangan Pak Arnold
Eps.41 - Harusnya Memang Bukan Aku
Eps.42 - Buket Bunga
Eps.43 - Pengagum Rahasia
Eps.44 - Sama-Sama Jealous
Eps.45 - Penculikan
Eps.46 - Fake Boy
Eps.47 - Titik Terang Kala Hujan
Eps.48 - Karma Pasti Berlaku
Eps.49 - Hasrat
Eps.50 - Tarik Ulur
Eps.51 - Memilikimu Seutuhnya
Episode Special Valentine - 14 Februari
Cuplikan dan Promo Sekuel

Eps.52 - Panggung Pelaminan (Epilog)

1K 156 303
By senoadhi97

𝐄𝐏𝐈𝐋𝐎𝐆

"Saya terima nikah dan kawinnya Jenny Anggraini binti Jafar Anggoro dengan mas kawin tersebut dibayar tunai!"

Pak Arnold dengan lantang, tegas dan lancar mengucapkan ikrar suci di depan penghulu, para saksi dan juga tamu hadirin yang menyaksikan prosesi akad nikah tersebut.

Acara pernikahan dan resepsi itu berlangsung di tepi pantai Ancol Beach City Wedding dengan mengusung konsep yang fresh dan cerah agar kesan santai di pantai tidak hilang. Berbagai dekorasi pohon, balon-balon dan bunga-bunga segar tertata rapi sesuai rancangan dari Wedding Organizer.

Putih. Tema warna utama yang dipilih Jenny dan Arnold dalam rangka hari bersejarah mereka. Namun, semua tamu undangan tentu saja tidak diwajibkan memakai pakaian serba putih.

Resmi menjadi pasangan suami istri setelah ijab kabul berlangsung, semua hadirin mendoakan kedua mempelai dengan khidmat. Tak kuasa menahan tangis, ayahanda Jenny yang duduk tak jauh dari putrinya segera beranjak berdiri dan memeluknya dalam dekapan erat.

"Semoga kamu bahagia, Nak," bisik ayahanda di telinga putrinya. "Tugas ayah sudah selesai." Jenny berusaha untuk tidak menangis saat ini. Ia hanya mengangguk mantap dan mengusap-usap punggung ayahnya dengan segenap rasa.

Sementara di kursi para hadirin yang banyak datang, gadis remaja yang dahulu pernah naksir dengan Arnold sedang sibuk mengusap ujung-ujung mata dengan tisunya.

"Eh Ayya, udah dong nggak usah norak dan lebay gitu. Pakai nangis segala." Arraja yang duduk di sebelahnya berkata dengan intonasi sebal.

"Apaan sih lo? Gue tuh terharu tau, nggak?" sahut Ayya dengan sesenggukan.

Arraja menghela napas berat. "Terharu sih terharu, tapi insyaf dong, lo udah habisin satu kotak tisu! Parah."

Ayya melirik cowok di sebelahnya itu dengan tatapan tajam. "Heh, lo tuh yang lebay, gue nggak ada habisin satu kotak tisu."

Ya benar, Ayya memang tak menghabiskan satu kotak tisu, melainkan berlembar-lembar tisu yang sudah dibuang sia-sia hanya untuk mengelap air mata dan ingus.

Arraja bergidik geli, memilih tak menanggapi lagi omongan Ayya.

"Triple O em ji, Pak Arnold dan Mbak Jenny serasi banget ya, udah kayak Raja dan Ratu." Vinny yang duduk di sebelah kanan Ayya berceletuk penuh kagum sembari menatap lurus ke depan, ke arah mempelai yang sedang bersiap untuk sesi pemotretan.

"Lo nggak salah kok, Vin, mereka kan sekarang memang jadi raja dan ratu. Hari ini... dunia berasa milik mereka," tukas Decha yang ikutan berkomentar.

Erin pun yang sedang sibuk merekam ke depan dengan kamera smarthphone-nya mengangguk setuju. "I agree. Mereka memang pasangan serasi. Someday, wedding party gue diadain di tepi pantai juga kali ya."

"Yee... belum apa-apa udah mengkhayal jauh lo, Rin." Decha tertawa, menyenggol bahu Erin yang hanya terkekeh.

Mendengar obrolan ketiga sobatnya, seketika Ayya ingin kembali menangis. Entah kenapa cewek yang jerawatnya sudah mulai menipis itu tiba-tiba jadi teringat waktu pertama kali berjumpa dengan Pak Arnold. Ketika itu, wajah Ayya baru saja terkena lemparan bola yang disengaja dari Arraja.

"Hei, kamu nggak apa-apa?" Cowok itu berjongkok, menatap Ayya intens. "Pasti ini gara-gara Raja."

"Hah?" Ayya terperangah, tak menangkap maksud perkataannya. "Eh ... kalau kamu raja, aku pasti ratunya."

Mengingat itu, Ayya kembali mengusap air matanya yang kembali meleleh.

"Buseet... lo nangis lagi? Udah lah hentikan, Ay. Mata lo bengkak jadi kayak mata gajah." Arraja geleng-geleng kepala tak habis pikir.

"Ngaco!" Ayya mencubit lengan Arraja dengan kencang.

"Aaw, gila sakit banget." Arraja mengusap lengannya. "Lihat noh, mata lo bengkak jadi makin jelek muka lo." Cowok itu lalu melepas kacamata hitamnya, kemudian mendekatkan wajahnya ke depan Ayya.

"Iiiih jahat." Ayya sudah bersiap menampol pipi Arraja dengan keras, namun tangan cowok itu jauh lebih gesit menahan pergerakan tangan Ayya.

"Stop! Mending sekarang lo pakai kacamata gue nih. Biar mata lo ketutup." Arraja menyerahkan kacamatanya untuk dipakai Ayya.

"Hellooo... emang lo siapa ngatur-ngatur gue?" Ayya mendengus singkat.

Arraja kembali memutar tubuhnya, lengannya tersampir di sandaran kursi Ayya. "Emang lo siapa? Gue pacar lo lah? Lo lupa, hmm?"

Refleks, Ayya menepuk-nepuk mulutnya dengan telapak tangan. "Triple O em ji, kenapa gue bisa lupa ya."

Memang, tidak banyak yang tahu jika Ayya dan Arraja kini sudah jadian. Terkecuali sahabat-sahabat mereka sendiri yang sudah tahu akar dari semua rasa cinta Arraja kepada Ayya.

"Ya udah nih pakai kacamatanya."

Dengan bibir yang sengaja dimajukan beberapa senti, Ayya menerima kacamata milik Arraja.

Ayya sedang memakai kacamata tersebut ketika seorang MC cowok—sahabat Arnold dan Jenny semasa SMA—yang berdiri gagah di atas panggung pelaminan bersuara.

"Alright, benar-benar luar biasa ya pasangan pengantin Jenny dan Arnold. Dengan setelan warna putih, mereka tampak begitu serasi dan tentunya... sedap dipandang mata. Oke, setelah sesi foto bersama keluarga kedua mempelai, untuk para tamu ya... khususnya para sahabat Arnold dan Jenny sudah diperbolehkan untuk foto-foto bareng mereka. Wow... seru banget dong pastinya. Maka dari itu persiapkan diri kalian, barangkali ada yang mau ganti kostum, atau berdandan dulu buat para ladies, bisa silakan! Saya beri waktu. Oke semuanya, sebelum itu, ada satu persembahan menarik dari Veranda, adik dari Jenny yang akan berduet dengan teman prianya membawakan sebuah musikalisasi puisi. Oke, tak perlu berlama-lama mari kita sambut ini dia... Veranda dan Ravenza!"

Dengan balutan pakaian yang tampak senada, Veranda memakai gaun berwarna putih dan Ravenza berkemeja putih lengan pendek, naik ke atas panggung dengan diiringi tepuk tangan para hadirin. Ravenza menata jantungnya agar tak berdegup dua kali lipat. Usaha tersebut berhasil, dengan percaya diri, Ravenza duduk di kursi yang sudah disediakan panitia, lalu siap memainkan intro dari gitar akustik di pangkuannya.

"Duh duh... kok gue dari awal acara tadi melting mulu ya sama pembawa acaranya. Fokus gue ke sana mulu, habis... dia handsome banget." Di sudut para hadirin, celetukan dari mulut Mikhaila terdengar oleh Cherry dan Dinar.

"Nggak cuma MC-nya doang, Mik, yang handsome. Banyak teman-teman Pak Arnold yang handsome. Gue jadi pengen kenalan salah satu dari mereka," timpal Dinar, sembari menoleh ke arah teman-teman kuliah Arnold yang duduk di kursi tak jauh dari mereka.

"Andai aja yang ngejar-ngejar gue tipikal cowok MC gitu, bukan malah Darwin si muka mirip kampas rem." Mikhaila menggerutu begitu mengingat Darwin yang pernah mengejar cintanya.

"Huh, nggak usah bahas si kampas rem deh, bikin mood turun." Dinar bersedekap. "Cherry... lo gimana? Ada yang lo taksir? Kok diam aja sih?"

Cewek yang ditanya justru hanya mendengus pelan. Hari ini Cherry tampil begitu cantik. Namun, cantiknya merasa tak ternilai saat tak ada seseorang yang amat dicintai berada di sisinya. Ya, sudah satu bulan berlalu sejak insiden kasus penangkapan Orion yang menjadi pelaku perampokan mini market. Sejak satu bulan itulah, Cherry lebih banyak diam, terlebih, eksistensinya di lingkup sekolah sudah terancam hancur.

"Sori ya, Cher," kata Dinar dengan raut sedih. Sahabatnya itu seolah sudah kehilangan jati dirinya. Cherry bukanlah Cherry yang dulu ceria.

"Gue tahu pasti lo belum bisa ngelupain Orion, Cher," batin Mikhaila sebelum mengusap pundak Cherry.

Sementara itu di atas panggung, Veranda tersenyum amat manis, berdiri memukau di samping Ravenza. Pandangannya beralih menatap mata sang kakak, Jenny, yang duduk berdua dengan Arnold di kursi pengantin depan panggung.

"Bidadari itu... kini tampak bahagia.
Bibir sempurna membentuk senyuman rekah.
Semerbak cinta menghiasi dinding hatinya.
Meleburkan segala luka yang pernah menggelayutinya.

Bidadari itu... kini telah dimiliki.
Seorang pangeran dari negeri masa SMA-nya.
Keduanya amat memesona.
Keduanya bak lentera jingga di ufuk barat menjelang senja.
Indah.
Hubungan yang sangat indah.
Proses yang panjang, membuat keduanya sampai di gerbang pelaminan.

Duhai bidadariku... aku akan selalu mencintaimu.
Aku akan selalu menjadi purnama untuk gelap malammu.
Meski... bidadariku sudah memiliki sepotong hati yang baru.

Salam hangat dan cinta dari adikmu."

Tepuk tangan kembali meriah. Jenny tak kuasa menahan rasa haru. Seandainya ia sedang memakai pakaian biasa, dengan langkah cepat ia akan segera menghampiri Veranda dan memeluknya dengan erat.

"Cantik banget ya Veranda itu," komentar Mikhaila penuh rasa iri. "Sampai-sampai nih ya menurut gue, lebih cantikan dia daripada Kak Jenny itu."

Dinar langsung mengangguk. Jiwa julid di diri mereka mulai keluar perlahan. "Bener banget. Veranda itu kelihatan feminim, sementara kakaknya rada tomboy dan dekil."

"Kereeeen." MC bernama Windra itu mengacungkan ibu jarinya, segera membuyarkan mulut nyinyir mereka. "Sekali lagi tepuk tangannya dong!"

Kembali terjadi tepuk tangan yang mengalun kencang. Dari salah satu tempat duduk, Heksa bahkan bersiul lantang dan mengangkat kedua jempolnya tinggi-tinggi.

"Menurut kamu, penampilan mereka keren, Sa?" tanya Sefrila, cewek yang duduk di sebelah Heksa.

"Pastinya." Heksa mengangguk mantap. "Nanti kalau kita nikahan kita undang sastrawan aja gimana? Biar kita dibikinin puisi keren, Sef."

Usulan dari Heksa berhasil membuat Sefrila terkikik geli. "Plis deh, Sa, jangan bahas nikahan dulu, kita kan masih SMA. Geli aku bayanginnya."

"Yee... memangnya kamu nggak mau nikah sama aku?"

"Bukan gitu, Sa." Sefrila tertawa pelan. "Aku nggak mau bayangin hal yang belum tentu terjadi."

"Maksud kamu?"

"Udah deh sekarang bukan waktunya bahas masalah kayak gini." Sefrila sengaja betul menutup kedua telinga dengan tangannya. Heksa mencibir pelan melihat itu.

"Alright, seperti yang sudah saya katakan. Bagi siapa pun kalian yang pastinya berniat fobar alias foto bareng dengan Jenny dan Arnold, waktu dan tempat dipersilakan," ujar Windra dengan gaya yang sangat terlatih.

Jenny dan Arnold sudah kembali ke atas panggung pelaminan. Para fotografer pun sudah kembali bersiap memotret dari segala arah, berusaha menjadikan objek terlihat indah.

"Ayo sob, ayo, mari kita kemon ke atas panggung." Darwin bangkit berdiri, membenarkan letak kacamata hitamnya. "Kita samperin guru kita itu."

Arraja dan Bayu segera beranjak berdiri. Heksa yang duduk di belakang mereka juga. "Loh, kacamata lo mana, Ja? Kita berempat harus kompak dong pakai kacamata semua," kata Heksa menatap Arraja.

Belum sempat Arraja menjawab, Ayya sudah beranjak berdiri. "Nih kacamatanya pakai lo aja, mata gue udah nggak bengkak kok."

Ayya menyerahkan kacamata tersebut kepada Arraja, lalu dengan langkah ringan mendahului teman-temannya untuk berjalan menuju area panggung.

"Ayya tungguin dong!" seru Decha sebelum diikuti Erin dan Vinny berlari mengejar Ayya.

Kini, atas panggung tampak ramai oleh anak-anak murid Arnold dari SMAN 25. Mereka begitu terlihat akrab seperti sahabat sepantaran.

"Mbak Jenny...." Ayya memeluk Jenny dengan penuh rasa haru. "Semoga selalu bahagia, Mbak. Dan... menjadi keluarga yang harmonis serta samawa juga. Oh iya, kadonya udah aku letakkan di meja kado."

Jenny mengangguk. "Makasih Ayya."

Berbagai gaya foto dan formasi telah mereka lakukan di atas panggung beberapa saat kemudian. Kini saatnya kedua mempelai untuk mengganti kostum kedua di tempat yang sudah disediakan oleh panitia.

Untuk sesaat, acara berlangsung bebas.

"Ih yang ini fotonya lucu banget." Ayya melihat foto dirinya yang tadi berpose di tengah Jenny dan Arnold. "Nanti kirimin ke hape gue ya, Rin."

"Iya, iya, nanti bakal gue kirimin fotonya ke kalian semua kok," jawab Erin.

Meskipun kebanyakan pose mereka difoto oleh fotografer, namun tak ayal juga mereka tetap mengabadikan momen tersebut melalui kamera ponsel.

"Hai, anak-anak." Bu Genviel datang menyapa Ayya dan teman-temannya itu yang sedang berada tak jauh dari dekorasi bunga-bunga, pohon linden hias dan balon-balon berbentuk lambang hati.

"Hai, Bu Genviel," sambut mereka dengan kompak.

Bu Genviel tersenyum lebar. "Oh iya Decha, kamu dicariin tuh sama Pak Arnold. Ayo segera ke sana."

"Eh, saya, Bu?" Decha memastikan dengan menunjuk dirinya sendiri.

"Iya kamu Decha."

"Ya ampun, kok Pak Arnold nyariin Decha sih, kenapa dia nggak nyariin gue?" Ayya membatin, merasa penasaran. Bukankah selama ini ia merasa menjadi murid istimewanya Pak Arnold?

"Emang ada apaan ya, Bu?" tanya Decha bingung.

"Sudah ayo ikut ibu aja." Bu Genviel menginstruksikan agar Decha segera mengikutinya.

"Ehm Decha, gue temenin ya." Ayya menggandeng lengan Decha, merasa kepo mengapa Arnold mencari Decha, bukan mencarinya. Decha hanya mengangguk singkat lalu segera mengikuti Bu Genviel ke arah back stage.

Di depan tenda yang berhiaskan bunga-bunga beraneka warna, sudah berdiri Pak Arnold, Pak Raiz dan satu orang cowok tinggi yang terlihat asing di mata Ayya maupun Decha. Memang, selain murid-murid dari SMAN 25 yang sukarela datang ke acara tersebut, para guru pun menyempatkan waktunya untuk ikut serta. Ditambah keluarga besar dari pihak kedua mempelai, sahabat lama kedua mempelai, teman kuliah Arnold, teman-teman sesama driver ojol Jenny, rekan bisnis ayah Arnold, dan masih banyak lainnya membuat acara terlihat begitu ramai tamu undangan.

"Ada apa ya, Pak?" tanya Decha.

"Jadi begini Decha, saya dengar dari Pak Raiz kalau kamu jago main piano. Maka dari itu, kamu bisa tampil nanti duet bareng sepupu saya?"

Decha melirik ke arah Pak Raiz yang sedang tersenyum penuh wibawa. Dalam hati ia merutuki guru bahasa Inggris tersebut.

"Benar, Pak Arnold, dia cukup jago kok." Pak Raiz mengangguk-angguk.

Decha segera menggeleng cepat. "Enggak, Pak Arnold. Saya nggak jago sih, cuma... sedikit pintar aja."

Ayya melotot mendengar itu. Dasar Decha!

"Nah kalau gitu nggak ada alasan lagi buat menolak permintaan saya ya, Decha. Oh iya kenalin dulu ini dia sepupu saya...." Arnold menepuk pundak seorang cowok di sebelahnya.

"Hai... kenalin gue Rafael." Rafael mengulurkan tangannya.

Decha menyambut. "Decha."

Tak disangka, ternyata Rafael mengulurkan juga tangannya ke arah Ayya. "Gue Rafael."

Dengan senang hati, Ayya menjabat tangan Rafael sembari mengulas senyum. "Ayya. Sahabatnya Decha."

"Ya sudah kalau gitu kalian bakal duet nanti di atas panggung, saya tunggu kejutan dari kalian. Masih ada waktu buat kalian diskusikan lagu apa yang akan kalian bawakan." Tanpa memberi Decha kesempatan berbicara, Pak Arnold sudah masuk ke dalam tenda untuk bersiap-siap kembali menyihir hadirin dengan kostum keduanya.

"Pak Raiz tahu kan saya terakhir tampil itu tahun lalu waktu acara perpisahan kakak kelas? Kenapa pakai ngadu segala ke Pak Arnold, Pak? Sekarang saya nggak ada persiapan sama sekali. Itu bakal membuat saya demam panggung, Pak." Decha mengajukan protes kepada Pak Raiz.

"Decha, Decha... masa kamu nggak yakin sama kemampuanmu sendiri. Bapak aja yakin kok kamu bisa." Pak Raiz tersenyum sembari menepuk-nepuk pundak Decha.

"Iya Decha, benar apa kata Pak Raiz. Kami sangat senang dan bangga jika ada anak murid kami yang berbakat sepertimu, Decha."

"Aha... Decha juga pandai make over wajah seseorang loh, Bu. Dia ahli di hairstylist." Ayya yang sedari tadi lebih banyak nyimak jadi angkat suara. Sesekali matanya melirik ke arah Rafael yang tampil mengenakan kemeja putih yang dilapisi jas hitam, dipadukan dengan celana denim warna senada. Terus terang, Ayya langsung terpukau begitu melihat sepupu Pak Arnold itu, namun ia segera sadar bahwa ia sudah ada yang memiliki.

"Ayya apaan sih?" Pipi Decha tanpa terasa bersemu merah. Apalagi, saat matanya tak sengaja melirik Rafael, cowok itu segera menyunggingkan senyumannya. Oke, seandainya Ayya masih jomblo mungkin saja cewek itu sudah semaput melihat senyuman maut tersebut.

"Udah deh Cha terima aja. Gue yakin lo pasti bisa kok." Ayya berusaha menyemangati.

"Betul kata Ayya. Ya sudah, Decha... kamu persiapkan diri ya dengan Rafael." Usai mengatakannya, Pak Raiz mengajak Bu Genviel kembali ke tempat para guru-guru.

Kini tersisa mereka bertiga.

"Ehm gimana kalau kita diskusi di sana aja?" Rafael menunjuk ke suatu arah. Di bawah pohon kelapa, terdapat beberapa kursi kosong di sana.

Decha tergagap sesaat, lalu segera mengangguk. "Oh boleh deh, boleh."

Rafael kembali tersenyum. Lalu berjalan ke tempat yang dimaksud.

"Cha, kayaknya gue nggak mau jadi setan di antara kalian deh." Ayya berbisik di telinga Decha.

"Maksud lo apaan, Ay?"

"Ya kalian diskusinya berdua aja. Gue balik ke anak-anak yang lain." Ayya tersenyum jahil.

Decha berusaha menahan lengan Ayya. "Ay, plis temenin gue."

"Triple O em ji, plis deh, Cha. Kalau gue temenin lo, gue nggak bakal terkesan sama penampilan lo di atas panggung nanti. Nggak surprise lagi. Udah... sana tuh udah ditunggu cogan." Ayya mendorong tubuh Decha agar segera menyusul Rafael yang sudah duduk, mengangkat satu kakinya dan dipangku di paha kanannya. Matanya lurus ke arah panggung yang masih ramai orang berfoto ria.

"Bye, darling." Ayya berlari meninggalkan Decha yang tiba-tiba merasa jantungnya mau lepas saat itu juga.

Setelah menarik napas panjang, Decha menyusul Rafael dan duduk di samping cowok tersebut.

"By the way, sebelumnya salam kenal ya," kata Rafael dengan nada santai.

"Duh... dia aja bisa santai, kenapa gue jadi deg-degan gini, bukan Decha banget ini," ujar Decha di dalam hatinya.

"Iya salam kenal juga, Kak Rafael." Decha merasa senang saat menyebut nama cowok itu dengan ringan. "Jadi, nanti aku yang main piano dan kamu yang menyanyi?"

Rafael mengangguk mantap. "Tepat. Jadi, gue udah siapin lagu dari Shane Filan berjudul Beautiful in White dan lagu Bruno Mars yang berjudul Marry You. But, gue mau lagu-lagu itu dijadikan medley dan disajikan dengan instrumental piano. Lo tahu lagunya kan?"

"Ehm tapi...."

"Oh iya, tunggu dulu. Tadi lo manggil gue 'kak'? Panggil aja Rafael, kita seumuran, kali. Apa muka gue terlihat boros ya?"

Decha segera menggeleng. "Eh ehm enggak kok. Bukan gitu maksudku."

Entah kenapa melihat kegugupan di diri Decha membuat desiran halus di hati Rafael. Rasanya sudah lama ia tak merasakan sesuatu seperti itu.

Rafael terkekeh singkat. "Ya sudah, santai aja."

"Gini aja deh, Rafael. Gue merasa nggak yakin deh, karena ini mendadak banget. Jadi gimana kalau gue diganti aja sama yang lain? Lo diiringi sama gitar aja. Banyak kok anak-anak yang jago gitar." Decha kini sudah menguasai dirinya. Sudah memberanikan diri memakai gue-lo.

Rafael menggeleng. "Entah kenapa, gue kurang suka kalau nyanyi diiringi gitar. Dan entah kenapa juga... gue maunya lo yang tetap jadi partner gue tampil nanti."

Sama halnya dengan Rafael, desiran halus terasa juga di ulu hati Decha. Mendadak Decha tak bisa berkata apa-apa mendengar alasan Rafael yang seolah menginginkan dirinya itu.

"Ayolah... waktu kita nggak banyak. Apa lo mau mengecewakan Pak Guru lo itu? Lagian kita tampil nggak bakal dikomentarin dan dinilai para juri, jadi santai aja. Gue yakin lo pasti bisa kok."

"Apa yang membuat lo yakin sama gue? Padahal kita baru aja saling kenal." Decha ingin menanyakan hal itu, namun sepertinya sudah tak ada waktu lagi untuk banyak tanya. Baiklah, Decha mengangguk setuju pada akhirnya.

Resepsi masih berlanjut, para tamu seolah tak habis untuk mengucapkan selamat kepada Arnold dan Jenny, belum lagi dalam acara tersebut juga menjadi ajang reuni teman-teman SMA mereka sehingga tak mau membuang kesempatan untuk saling berbagi pengalaman. Mengobrol ngalor-ngidul, bernostalgia ke masa SMA.

Menjelang pergantian kostum ketiga alias terakhir, kini Rafael dan Decha yang didapuk Pak Arnold untuk tampil sudah bersiap dengan performa mereka yang mendadak.

"Oke, sembari kita menyambut mempelai yang sedang dipenuhi romansa cinta, kita hadirkan penampilan spesial dari saudara Rafael dengan ditemani seorang cewek cantik, ia adalah... Decha. Tepuk tangan dong semua!"

"Decha sama siapa sih? Jadi ini kejutan dari Decha, Ay?" tanya Erin saat melihat Decha yang sudah duduk di depan piano. Rafael menyusul lalu duduk di samping Decha, bersiap untuk menyanyi.

"Betul, Rin, ini kejutannya. Cowok yang sama Decha itu namanya Rafael, sepupu dari Pak Arnold," pungkas Ayya.

Erin mengangguk, pandangannya lurus ke depan memperhatikan wajah Rafael. "Cakep juga. Gilvan bisa lewat," gumamnya tanpa didengar oleh yang lain.

Alunan lagu mulai terdengar dari dentingan piano. Jari jemari Decha mulai menari di atas tuts-tuts piano yang sudah lama tak disentuhnya. Namun, Decha segera menemukan dirinya yang bisa menguasai keadaan.

Meski baru permulaan namun dalam hati Rafael merasa puas dan senang. Ia siap menyanyikan bait awal lagu Beautiful in White ketika bertepatan saat Jenny dan Arnold berjalan beriringan, bergandengan menuju singgasana panggung penuh kebahagiaan.

Medley lagu Beautiful In White dan Marry You dinyanyikan untuk menjadi latar belakang musik pengiring Jenny dan Arnold yang lagi-lagi membuat para hadirin tak henti-henti memotret mereka.

Not sure if you know this
But when we first met
I got so nervous... I couldn't speak
In that very moment
I found the one and
My life had found its missing piece

Langsung masuk ke bagian awal lagu Marry You.

It's a beautiful night, we're looking for something dumb to do
Hey baby, I think I wanna marry you

Memukau. Penampilan Decha yang apik dan kombinasi suara Rafael yang merdu membuat keduanya menuai pujian dari Pak Arnold langsung, juga dari guru-guru lain.

Hingga acara puncak itu pun tiba. Sunset menjadi penanda berakhirnya acara. Matahari jingga terlihat indah dari berbagai mata yang menyaksikan langsung dari bibir pantai.

Para anak muda yang jomblo maupun tidak, sudah bersiap untuk acara pelemparan bunga. Jenny dan Arnold berdiri membelakangi hadirin, bersiap menunggu aba-aba dari Windra untuk melemparkan bunga di tangan mereka.

"Oke semua pastinya udah nggak sabar nih pada acara lempar bunga! Para muda-mudi tentu saja harus bersaing ketat memperebutkan satu kuntum bunga dari Jenny dan juga Arnold. Wah... bagaimana ladies and gentleman? Are you ready? Bersiaplah dalam hitungan ketiga. Satu... dua... tiga!"

Bunga terlempar, mengudara dengan kecepatan slow motion. Teriakan anak-anak cewek membahana begitu bunga tersebut sepersekian detik siap mendarat, dan... dengan sigap tangan seorang cowok remaja menangkapnya.

Heksa kembali bersiul lantang begitu mengetahui Arraja yang berhasil menangkap bunga. Para hadirin yang terutama cewek terpekik, merasa terbius oleh pesona Arraja.

Setelah mendapat banyak tatapan memuja dari hadirin di sekitar, Arraja segera membungkuk memberi hormat sebelum menjawab, "Thank you."

"Ciee Arraja, mau nikah kapan nih?" Sefrila dengan nada bercanda angkat suara.

"Masnya kalau nggak suka bunga, buat saya aja, Mas," ujar salah seorang hadirin wanita yang sudah berusia tiga puluhan tahun.

"Iya nih, mau dikasih ke siapa, Ja, bunganya?" tanya Darwin sembari melepas kacamatanya.

"Tentu saja bunga ini akan gue berikan buat...." Pandangan Arraja menyapu ke sekitar. Cowok itu tadi memang sengaja tak berdiri di dekat Ayya. Sengaja betul membuat pacarnya itu bete setengah mati.

"... Ayya Rachelia." Arraja menyerahkan bunga tersebut ke hadapan Ayya yang mukanya langsung bersemu merah. Sontak, semua hadirin bertepuk tangan riuh ketika Ayya menerima bunga itu dengan perasaan senang tak terkira.

Kegembiraan menyelimuti hati-hati para remaja di sana, ditemani sang raja dunia yang sudah tenggelam ke peraduannya. Langit kian menggelap, berbanding terbalik dengan jiwa Ayya dan Arraja yang terang benderang.

Sementara itu tanpa ada seorang pun yang tahu, di balik pohon kelapa tak jauh dari tempat acara berlangsung, seseorang dengan pakaian serba hitam dilengkapi topi, masker dan kacamata hitam tersenyum bengis menyaksikan kebahagiaan tersebut.

"Teganya kalian bersenang-senang di atas penderitaan gue. Awas saja, tunggu pembalasan dari gue!"

𝚂𝙴𝙻𝙴𝚂𝙰𝙸

Terima kasih yang sudah meramaikan kisah Ayya dan teman-temannya ini dengan memberikan vote dan komentar maupun sekedar jadi silent reader.
Semoga kalian sukses.

Untuk yang mau review, ambil masa, ngasih masukan dan saran dipersilakan di kolom komentar, DM, wall, atau japri aja via WhatsApp. Ditunggu.


07 Agustus 2021

SAMPAI BERJUMPA DI LAIN WAKTU.

Continue Reading

You'll Also Like

887K 6.3K 10
SEBELUM MEMBACA CERITA INI FOLLOW DULU KARENA SEBAGIAN CHAPTER AKAN DI PRIVATE :) Alana tidak menyangka kalau kehidupan di kampusnya akan menjadi sem...
18.3K 2.3K 58
Awalnya kisah mereka hanya sebatas balas dendam, kemudian mereka malah terjebak di dalam mahligai pernikahan yang berlandaskan perjanjian yang saling...
83.3K 15K 36
Semesta juga tahu, seberapa besar gadis itu menyimpan rasa pada sang lelaki. Jika saja tidak ada kata "teman" di antara keduanya, mungkin sang lelaki...
498K 37.4K 44
"Seru juga. Udah selesai dramanya, sayang?" "You look so scared, baby. What's going on?" "Hai, Lui. Finally, we meet, yeah." "Calm down, L. Mereka cu...