Kupu-kupu & Pelepasan Kesedih...

By starlightwriting_

5.8K 4.1K 2.5K

Kalau biasanya kupu-kupu cuma dijadiin pencuci mata atau ditangkap untuk dikagumi keindahannya, Nan si laki-l... More

Prolog
Bagian 1 | KKPKπŸ¦‹
Bagian 2 | KKPKπŸ¦‹
Bagian 3 | KKPKπŸ¦‹
Bagian 4 | KKPKπŸ¦‹
Bagian 5 | KKPKπŸ¦‹
Bagian 6 | KKPKπŸ¦‹
Bagian 7 | KKPKπŸ¦‹
Bagian 8 | KKPKπŸ¦‹
Bagian 9 | KKPKπŸ¦‹
Bagian 10 | KKPKπŸ¦‹
Bagian 11 | KKPK πŸ¦‹
Bagian 12 | KKPKπŸ¦‹
Bagian 13 | KKPKπŸ¦‹
Bagian 14 | KKPKπŸ¦‹
Bagian 15 | KKPKπŸ¦‹
Bagian 16| KKPKπŸ¦‹
Bagian 17 | KKPKπŸ¦‹
Bagian 18 | KKPKπŸ¦‹
Bagian 19 | KKPKπŸ¦‹
Bagian 20 | KKPKπŸ¦‹
Bagian 21 | KKPKπŸ¦‹
Bagian 22 | KKPKπŸ¦‹
Bagian 23 | KKPKπŸ¦‹
Bagian 24 | KKPKπŸ¦‹
Bagian 25 | KKPKπŸ¦‹
Bagian 26 | KKPKπŸ¦‹
Bagian 27 | KKPK πŸ¦‹
Bagian 28 | KKPKπŸ¦‹
Bagian 29 | KKPK πŸ¦‹
Bagian 30 | KKPK πŸ¦‹

Epilog [END]

135 38 83
By starlightwriting_

Yura berjalan keluar kamar milik rumah Diva setelah bersiap-siap untuk keberangkatannya. Ya, hari ini adalah hari terakhir Yura menginjakkan kakinya di kota ini, kota penuh cerita dalam perjalanan hidupnya.

Yura menarik napas panjang, dan menghembuskannya perlahan-lahan lantas menarik kedua sudut bibirnya ke atas. Dia duduk di sebelah Sira yang tengah berbincang dengan Diva.

“Udah siap? Nggak ada yang ketinggalan kan barang kamu?” tanya Sira lembut.

“Nggak ada kok, Bu. Tadi udah aku cek lagi,” jawabnya.

Diva yang sebelumnya duduk di depan Sira dengan sebuah meja sebagai pembatas, kini pindah ke samping Yura.

Diva memasang wajah sedih dengan bibir yang melengkung ke bawah.

Sedetik.

Dua detik.

Kedua sejoli itu masih saling melempar tatapan. Hingga di detik selanjutnya, suara melengking milik Diva bergema dengan kencang.

“AAA YURAA! TAKUT KANGEN!” serunya lirih seraya memeluk Yura erat.

Yura mengerjapkan matanya, sedikit terkejut akan serangan tiba-tiba itu.

“Tinggal di sini aja sama gue, ya? Yaaa?!” rengek Diva lagi.

Yura membalas pelukan itu sambil terkikik geli, tak menyangka bahwa Diva yang notabenenya orang dewasa menangis macam anak kecil seperti ini.

“Cup, cup, cup, Diva jelek udahan ya nangisnya ....” Yura berujar sekaligus memutar atensinya ke atas—menahan tangis.

“Sialan lo!” sinis Diva mendengar kalimat itu. “Udah, ah, jangan bikin gue nangis.” Diva melerai pelukannya, seraya menghapus sudut matanya yang basah. “Nanti make-up gue luntur lagi,” sambung gadis itu.

“Halah! Make-up cuman modal lipstick sama bedak bayi doang juga lo,” cicit Yura ketus kepada Diva yang tengah mengelap ingusnya dengan tisu.

Sira tertawa melihat hal itu, lalu wanita paruh baya itu bangkit dari duduknya. “Udah dateng mobilnya, Ra,” peringat Sira.

Yura mengangguk, ikut berdiri. Dia berjalan keluar rumah, membuntuti Sira yang jalan terlebih dulu. Samar-samar Yura mendengar suara Sira menyebut nama Alam, dan benar saja, lelaki itu datang bersama teman-temannya.

“Woi, Ra,” sapa Alam tersenyum lebar.

“Lo sejak kapan merangkap jadi ojek online?” tanya Yura.

Nggak papa dah dibilang ojol, asal bisa nganterin lo ke bandara mah, seneng-seneng aja gue,” balas lelaki itu.

“Yuraaa!” sapa Adit dan juga Farhan berbarengan. Keduanya saling adu pandang, lantas bergidik ngeri.

“Kompak banget sih kalian, kayak jodoh,” celetuk Yura sambil terkekeh geli.

“Maaf, Ra, gue masih suka cewek. Ogah banget gue jodoh sama bambu panjat pinang kayak dia,” hina Adit sadis.

Farhan yang tak mau kalah, ikut membalas, “Dih siapa juga yang mau jodoh sama pentol korek kayak lo.”

“Hahaha ... udah-udah, berantemnya cancel dulu,” lerai Yura.

Yura mengedarkan pandangannya ke sekitar, mencari-cari satu orang yang cukup berarti dalam hidupnya.

“Cari siapa?”

Mata Yura mengerjap, sedikit terkejut dengan suara yang tiba-tiba datang dari arah belakang itu. Namun, setelahnya dia tersenyum tipis ketika mengenali sang pemilik suara. Dia berbalik untuk menatap kekasihnya. Ya, siapa lagi kalau bukan Nan?

“Kok dateng dari dalem?” tanya Yura bingung.

“Iya, lewat pintu belakang gue,” jawab lelaki itu.

Kening Yura mengernyit tak mengerti.

“Kalo lewat depan, udah biasa. Gue maunya yang luar biasa, berani tampil beda itu keren, Rin,” jelas Nan percaya diri.

Yura menggeleng-gelengkan kepalanya dengan kedua sudut bibir yang terangkat naik. Tangannya terulur mengacak-acak rambut ikal Nan gemas.

“Besok potong rambut, ya? Udah panjang ini,” pinta Yura.

“Nggak mau ah. Udah dipegang sama tangan lo, sayang kalo dibuang,” balas Nan dengan senyum menggoda.

“EEHHH! UDAH-UDAH, JANGAN UWU-UWU TERUS. BURUAN MASUK!” teriak Alam dengan kepala yang menyembul keluar kaca mobil.

Yura tertawa, lantas mengikuti langkah Nan dari belakang. Lelaki itu terlihat berbicara dengan Alam, yang kalau tidak salah dia mengatakan, “nggak muat dodol! Lo mau taro gue sama Arin di bagasi, hah?” Seperti itulah kurang lebih.

Nan menoleh ke samping, menghadap Yura. “Kita naik motor aja nggak papa?” tanya lelaki itu.

Yura mengangguk setuju. “Nggak papa asal sama lo.”

Nan terkekeh. “Bisa aja, Pacar.”

°°°

Mereka telah sampai di bandara setelah tiga puluh menit perjalanan. Raut wajah yang dipaksa terlihat baik-baik saja tergambar jelas dengan kedua sudut bibir yang tersenyum.

Sira memilih lebih dulu pergi ke ruang tunggu, membiarkan putrinya memberi salam perpisahan pada teman-temannya.

Yura memanyunkan bibir, jauh di lubuk hatinya, dia sama sekali tidak siap untuk berpisah. Diva, Alam, Farhan, Adit, dan Nan sudah baik sekali karena bersedia menorehkan kisah bahagia dalam hidupnya.

Yura merentangkan tangan ke arah Diva, memberi pertanda untuk berpelukan. Diva mengikis jarak, memeluk erat sahabat satu-satunya itu untuk yang kedua kalinya.

“Gue pamit, ya. Jangan bolos kerja mulu lo, banyak orang yang lagi kelimpungan nyari kerja di luar sana,” petuah Yura yang tumben sekali bijak.

Diva memutar bola matanya malas. “Dulu lo ya yang ngajarin gue buat bolos!” serunya.

Yura terkekeh. “Pengalaman, Div.”

Diva melepas pelukannya. “Kalo ada apa-apa, jangan sungkan cerita sama gue, Ra. Gini-gini, gue itu peduli sama lo, sayang sama lo. Jadi, nggak usah sok-sokan bisa ngehadapin semua masalah lo sendirian. Telpon gue kalo lo butuh.”

Yura manggut-manggut mengiyakan.

“Awas aja kalo nggak!” seru Diva galak dengan sorot mata tajam.

Yura tertawa, lantas beralih pada Alam dan dua bodyguard-nya. Benar, Farhan juga Adit.

“Jangan godain janda mulu lo pada,” peringat Yura.

Ketiga lelaki itu tertawa.

“Maunya sih godain lo,” balas Adit seraya melirik Nan yang kini tengah menatapnya tajam. “Tapi takut kena santetnya si Nan,” lanjutnya mengundang tawa dari mereka.

“Adit, Farhan, makasih ya,” ucap Yura semringah.

Farhan tersenyum seraya mengacungkan jempolnya, begitu pun Adit.

“Santai aja, Ra,” jawab Farhan.

Yura beralih pada Alam. “Heh, buaya!” sapanya.

“Nggak ada manis-manisnya lo sama gue,” sinis Alam.

“Hahaha.”

Humor Yura receh memang.

Yura mengikis jarak antara dirinya dengan Alam, ingin sejenak berpelukan layaknya drama yang sering dia tonton, tapi deheman dari mulut Nan berhasil membuatnya melangkah mundur. Nan sensitif sekali sekarang.

“Mmm, makasih, ya, Lam. Buat semuanya. Lo the real sahabat terbaik gue setelah Diva, sayang banget gue sama lo,” jelas Yura.

“EKHEM!”

Yura dan Alam menoleh, menatap Nan yang berdehem sebegitu kerasnya hingga membuat beberapa orang yang berlalu lalang menoleh ke arah lelaki itu untuk sesaat.

“Sirik aja lipetan ketek,” celetuk Alam ketus.

Yura geleng-geleng kepala, lantas kembali menghadap Alam. “Jangan bucin ke orang yang salah lagi, ya? Terus, jangan mainin perasaan cewek lagi, itu jahat tau.”

Alam tersenyum sambil mengangguk pelan. “Gue udah insyaf, kok.”

“Insyaf jadi buayanya?” tanya Yura memastikan.

“Insyaf kentut sembarangan, hehe.”

Jawaban itu membuat Yura memutar bola matanya malas. Kini, gadis berbalut hoodie pemberian kekasihnya itu beralih pada Nan, mendongak untuk fokus menatap wajah tampan itu untuk dia simpan baik-baik dalam benak. Yura mengusap-usap rambut ikal lelaki itu, lalu tersenyum manis.

“Jaga diri lo baik-baik, ya,” ucap Yura pelan.

Nan menghela napas, lalu menarik kedua sudut bibirnya ke atas. “Gue baik-baik aja, selama lo juga bisa jaga diri lo, Rin,” sahut Nan.

Yura mengulum bibirnya ke dalam, berusaha menahan genangan air di pelupuk matanya.

“Nan, mau nangis.” Yura mengadu pada Nan yang tak sedetik pun melepas tatapannya dari Yura.

“Sini peluk,” ucap Nan dengan tangan yang terbentang.

Tanpa basa-basi, Yura segera menjatuhkan dirinya dalam pelukan hangat Nan. Mendekap kekasihnya erat dengan perasaan tak rela, namun harus dia terima. Air matanya mengalir deras membasahi kaus putih milik Nan, dia mencengkeram kuat jaket denim yang juga dipakai lelaki itu, melampiaskan ketidakrelaannya di sana.

Setelah beberapa menit saling berbagi kehangatan masing-masing, Yura melepas pelukannya dengan kepala yang menunduk.

Nan tersenyum tipis, mengangkat dagu Yura dengan jarinya agar gadis itu menatapnya.

“Gue udah nggak bisa pantau diri lo secara langsung lagi nanti, jadi sebisa mungkin tolong jangan sembunyiin apa pun dari gue, ya?”

Yura diam sesaat, kemudian mengangguk.

“Lo jangan genit sama cewek lain ya, Nan. Jangan turutin godaan setan kayak Alam,” pesan Yura.

“Gue lagi diem aja kena,” celetuk Alam.

Nan terkekeh.

“Iya, nggak?” tanya Yura memastikan.

“Iya, Arin.”

“Janji?”

Nan tersenyum. “Janji, Sayang.”

Suara microfon yang memberitahukan keberangkatan pesawat Yura terdengar. Yura menatap satu per satu wajah teman-temannya, lantas tersenyum manis. Dia kembali mendongak untuk menatap Nan, menggigit bibir bawahnya demi menahan tangis yang lagi-lagi ingin terjun di pipinya.

Nan yang sedari tadi memperhatikan, kembali memeluk tubuh mungil gadisnya dengan bibir yang sama-sama terkatup rapat.

Tak ingin berlarut-larut, Nan mengurai pelukannya. Lelaki itu tersenyum, entah sudah senyuman ke berapa yang dia pamerkan demi memberi ketenangan pada gadis manisnya itu.

“Gue ada sesuatu,” ucap Nan mengambil sebuah kotak kecil dari saku jaketnya.

Dia menaruh benda itu di telapak tangan Yura, lantas merendahkan tubuhnya sedikit agar sejajar dengan tubuh pendek Yura.

“Gue nggak minat nikah muda, Nan,” celetuk Yura setelah memperhatikan sisi tiap sisi kotak kecil itu.

Nan kembali berdiri tegak, memutar atensinya kesal. “Itu bukan buat ngelamar, ih!” cicitnya.

“Ya, terus?”

“Buka, buka,” titah Nan.

Yura patuh, tanpa basa-basi lagi langsung membuka kotak kecil itu.

Nan mengangkat satu alisnya, menunggu respon Yura yang kalau dilihat dari raut wajahnya sekarang, tidak tahu mengartikan apa. Wong datar kayak jalanan aspal gitu.

“Gimana?” tanya Nan.

Yura mendongak. “Gimana apanya?”

“Hadiahnya lah, Rin!” ketus Nan.

Yura menunduk untuk melihat isi dalam kotak itu yang ternyata adalah sebuah kalung dengan bandul kupu-kupu. Indah, dan cantik sekali.

“Oh, bagus,” jawab Yura singkat tanpa ekspresi.

Nan melongo tak percaya. “Udah? Gitu doang?” tanyanya lagi.

Detik itu juga, wajah datar Yura langsung berganti dengan wajah yang kini tengah tertawa terbahak-bahak, tangan kirinya tanpa ragu memukul-mukul lengan Nan yang kini menatapnya sinis. Biasalah, ciri khas cewek kalau ketawa.

Teman-temannya yang sedari tadi melihat hal itu pun jadi ikut-ikutan terkikik geli, tak mampu menahan tawa akibat suara Yura yang mengundang mereka untuk menemani kebahagiaan gadis itu.

Meskipun sedikit kesal, tapi senyum di bibir Nan tak pernah mampu dia sembunyikan kala melihat Yura yang sebahagia sekarang. Diam-diam, Nan mengeluarkan ponselnya demi mengabadikan momen yang nantinya akan sulit dia lihat.

“Yura, sudah selesai belum?” Sira tiba-tiba datang dari arah belakang tubuh Yura.

Tawa Yura terhenti, gadis itu berbalik badan lalu berucap, “Udah kok, Bu.”

“Yasudah, ayok,” ajak Sira.

“Sebentar, Bu.” Yura berbalik menghadap Nan. “Mau pakein kalungnya ke gue nggak?” tawar gadis itu.

Nan tersenyum lebar, mengambil kalung pemberiannya dari uluran tangan Yura, lantas memakaikan benda tersebut pada Yura seraya membisikkan sesuatu.

Yura terdiam.

Nan yang telah selesai dengan kegiatannya kembali ke posisinya. “Nggak harus sekarang, Rin. Gue tau buat ngelakuin hal itu, lo butuh banyak waktu. Jadi nggak usah buru-buru, pelan-pelan aja, asal pasti,” ucap Nan.

Yura tersenyum kecil. “Kalungnya cantik, Nan,” ucapnya mengubah topik. Yura menatap bandul kalung itu, dan Nan setelahnya.

“Lo lebih cantik,” puji Nan.

“Yaudah, gue pergi, ya?”

Nan mengangguk.

Gadis itu beralih ke arah teman-temannya yang hanya menyimak obrolannya dengan Nan sedari tadi.

“Gue pamit, yaa!” ucapnya semringah.

“Hati-hati, Ra!” jawab mereka dengan kompak.

Yura memamerkan deretan gigi putihnya, lalu membalas lambaian tangan dari sahabat dan kekasihnya itu untuk sesaat. Setelah dirasa cukup, Yura berbalik untuk fokus pada jalannya, menghela napas lega karena berhasil melepas kota ini bersama doa-doa baik dari para tokoh penting di kisah hidupnya.

“Kebencian nggak akan menyembuhkan luka dalam hati lo, tapi kerendahan hati untuk memaafkan, dan kelapangan hati untuk menerima dengan ikhlas, bisa ubah diri lo jadi lebih baik, lebih sehat, dan bebas. Gue harap, lo belajar untuk itu.”

Kalimat Nan yang berbisik di telinganya kembali teringat, membuat langkahnya terhenti. Yura menoleh ke arah Sira.

“Ada apa, Ra?” tanya Sira bingung.

“Apa Ibu udah maafin ayah?”

Sira diam sesaat, masih mencerna pertanyaan tiba-tiba itu.

“Sudah,” jawab Sira.

“Setelah keburukan yang ayah lakuin?” Mata Yura mengartikan ketidakpercayaan.

“Balasan perlakuan ayah, biar Tuhan yang ambil alih, Ra. Kita ... kita cuman perlu selamatkan diri sendiri, dan Ibu perlu memaafkan apa pun yang sudah menyakiti hati Ibu. Bukan karena itu pantas untuk dimaafkan, Ra, tapi ini demi ketenangan diri kita sendiri.”

Melihat putrinya yang terdiam, Sira tersenyum hangat, menggenggam tangan putrinya dengan erat.

“Terima dan ikhlasin apa yang terjadi di hari kemarin, Ra. Kita hidup untuk hari ini, untuk masa depan. Masa lalu nggak pantas kita bawa-bawa.” Sira menjeda kalimatnya sejenak.

“Kita mulai semuanya dari awal lagi, ya, Sayang?”

Cukup lama Yura terdiam, hingga setelahnya gadis itu berhasil menganggukan kepalanya seraya tersenyum sekilas.

Baik, Yura telah memutuskan akan menghadapi ini sendirian. Berjuang dengan kedua kakinya sendiri. Tidak akan ada lagi obat tidur, ataupun perjalanan menemui seorang psikolog. Ya, ini adalah jawaban dari pertanyaan Nan sewaktu turun dari metromini waktu itu.

Dengan bantuan permintaan Nan juga nasihat penuh pengertian Sira, Yura akan belajar untuk memaafkan, pun berusaha menerima segala hal buruk yang sudah menimpanya di masa lalu. Ketenangan, Yura ingin itu. Sudah terlalu lama hatinya terhimpit sesak sebab menyimpan kebencian milik ayahnya ini.

Sebagaimana Nan, Alam, Adit, Farhan, Diva, dan juga Sira yang telah menjelma kupu-kupu untuk melepas kesedihan-kesedihan kepunyaannya. Maka dia, Yurarin, akan melepas kebenciannya untuk menyelamatkan dirinya sendiri.

Yura kembali melanjutkan langkahnya dalam genggaman tangan lembut Sira, membiarkan semesta membawanya pergi menemui Banda Neira—tempat pemulihan dari sakit yang tercipta di sudut kecil Kota Jakarta.

Dan itu artinya, Yura telah sepenuhnya meninggalkan huru-hara di kota ini. Dalam lembaran baru namun buku yang sama, Yura ingin mengatakan bahwa:

“Kesedihan adalah sesuatu yang tidak bisa dihilangkan, tetapi dapat dilepaskan dengan cara menerimanya.”

Sebagaimana badai yang akan menemui usai, maka kisah ini ... juga telah selesai.

🦋TAMAT🦋



Tbc.

Alooo! Wkwkwkwkwkwkwkwkwk masih nggak nyangka cerita pertama sy ini berhasil sy tamatin, perasaan baru kemarin sy pusing mikirin judulnya.

Tapi, terlepas dari itu, ini semua udah pasti berkat dukungan dari yang Maha Kuasa, doa Mama, and kedua sahabat sy yg paling sy cintaaaa! onyour_m & Owvika, special thanks for kalian. Duh, sayang kalian banyak-banyak deh pokonya.

Mmmm, makasih juga buat satu orang ngeselin yg selalu jadi suport system terbaik sy buat terus semangat lanjutin cerita ini. Who? YA DIRI SY SENDIRILAH, FREN. Wkwkw😭🙏.

Dan buat kalian yg udah dukung plus kasih kritik, saran, pun respon positif buat cerita yang jauhhh dari kata sempurna ini, terima kasih banyak!

Karena sy bingung mau ketik apalagi, sy cukupkan sampe sini aja, ya. Jangan lupa mampir di karya kedua sahabat saya dengan judul ILUVIA milik onyour_m & HI! EX milik Owvika, ok!

See you soon di karya-karya sy selanjutnya yang tentu akan dipublish di akun starlightwriting_. Terima kasih, terima kasih, dan terima kasih!

Continue Reading

You'll Also Like

24.5K 13 1
π™»πšŠπš™πšŠπš” πš–πšŽπš—πšžπš—πšπšπšž πšπšŽπš‹πšžπš 𝟿 πš™πšŽπšœπšŽπš›πšπšŠ π™Άπš’πš›πš•πšœ π™Ώπš•πšŠπš—πšŽπš 𝟿𝟿𝟿 πšπšŽπš—πšπšŠπš— πšŒπšŠπš—πšπšŠ 𝚝𝚊𝚠𝚊 πšœπšŽπš–πšžπšŠ πš™πšŽπšœπšŽπš›πšπšŠπŸ’œ...
259 91 3
Menceritakan tentang sebuah keluarga Baskara dan Yunita yang memiliki tiga orang anak. Dua anak kembar laki-laki dan satu anak perempuan, Shindu, Iza...
2.3M 124K 53
[PART MASIH LENGKAP] "Lihat saudaramu yang lain! Mereka berprestasi! Tidak buat onar! Membanggakan orang tua!" Baginya yang terbiasa dibandingkan den...
Pergi By Ecaaaaa

Teen Fiction

115K 4.4K 29
C O M P L E T E Elora pintar menyimpan rahasia dan kesedihannya. Dan Alden pintar menyembunyikan perasaan yang sesungguhnya. Keduanya bertemu. Sali...