Kupu-kupu & Pelepasan Kesedih...

By starlightwriting_

5.8K 4.1K 2.5K

Kalau biasanya kupu-kupu cuma dijadiin pencuci mata atau ditangkap untuk dikagumi keindahannya, Nan si laki-l... More

Prolog
Bagian 1 | KKPKπŸ¦‹
Bagian 2 | KKPKπŸ¦‹
Bagian 3 | KKPKπŸ¦‹
Bagian 4 | KKPKπŸ¦‹
Bagian 5 | KKPKπŸ¦‹
Bagian 6 | KKPKπŸ¦‹
Bagian 7 | KKPKπŸ¦‹
Bagian 8 | KKPKπŸ¦‹
Bagian 9 | KKPKπŸ¦‹
Bagian 10 | KKPKπŸ¦‹
Bagian 11 | KKPK πŸ¦‹
Bagian 12 | KKPKπŸ¦‹
Bagian 13 | KKPKπŸ¦‹
Bagian 14 | KKPKπŸ¦‹
Bagian 15 | KKPKπŸ¦‹
Bagian 16| KKPKπŸ¦‹
Bagian 17 | KKPKπŸ¦‹
Bagian 18 | KKPKπŸ¦‹
Bagian 19 | KKPKπŸ¦‹
Bagian 20 | KKPKπŸ¦‹
Bagian 21 | KKPKπŸ¦‹
Bagian 22 | KKPKπŸ¦‹
Bagian 23 | KKPKπŸ¦‹
Bagian 24 | KKPKπŸ¦‹
Bagian 25 | KKPKπŸ¦‹
Bagian 26 | KKPKπŸ¦‹
Bagian 27 | KKPK πŸ¦‹
Bagian 29 | KKPK πŸ¦‹
Bagian 30 | KKPK πŸ¦‹
Epilog [END]

Bagian 28 | KKPKπŸ¦‹

96 50 48
By starlightwriting_

Nan berjalan pelan menuju gadisnya setelah berhasil meyakinkan Diva untuk sebentar memberikan ruang untuk dia dan Yura. Gadis itu masih sibuk meringkuk di pojok sana, belum menyadari kedatangan Nan yang kini telah berdiri tepat di hadapan Yura.

Nan menatap tubuh yang tengah bergetar itu, kelihatan sekali bahwa Yura masih asyik bergelut dengan tangisnya. Nan memejamkan sejenak kedua matanya, berusaha memberi kekuatan pada hatinya yang sedang didesak sesak. Melihat keadaan Yura yang seperti ini, benar-benar cukup untuk memporak-porandakan perasaannya.

Nan berdehem, memberi pertanda bahwa Yura tidak sendirian. Tidak akan pernah.

“Rin,” panggil Nan dengan suara yang sedikit serak. Khas laki-laki.

Hening. Hanya semilir angin malam yang menjadi bunyi. Nan masih memfokuskan atensinya pada Yura yang masih diam tak berkutik, tangis gadis itu terhenti, menyisakan isakan yang menyayat hati.

“Pergi, Nan,” titah Yura.

Nan mengubah posisi menjadi duduk lesehan dengan satu kaki yang diselonjorkan, dan kaki lainnya dia tekuk untuk memapah sebelah tangannya. Setelahnya, dia menyandarkan punggungnya pada tembok pembatas. Ya, posisi Nan dan Yura memang dekat sekali dengan kematian.

“Hidup emang brengsek, Rin,” ucap Nan.

Rambut ikalnya terlihat diterpa angin malam, memberi sedikit ruang pada rembulan untuk menerangi wajah tampan itu—rahang yang tegas, kedua alis tebal namun terbentuk rapi, hidung mancung dengan pahatan bibir yang menggoda, serta kedua mata elangnya yang memiliki bulu mata yang lentik. Benar-benar paket sempurna untuk wajah seorang laki-laki.

“Brengsek karena udah bikin lo kayak gini, brengsek karena udah buat lo nangis. Tapi, gue nggak kalah brengseknya sama hidup.” Nan tertawa sumbang.

“Bisa-bisanya gue nggak tau keadaan cewek gue sendiri. Bahkan, gue masih bisa ketawa-ketawa di saat keadaan lo lagi hancur kemarin-kemarin.” Nada suara itu terdengar kecewa dengan intonasi yang semakin pelan.

“Maaf, Rin. Maaf kalo ternyata gue belum bisa jadi orang yang bener-bener ngerti lo, mahamin lo, atau ada di saat lo butuh satu orang aja buat bikin lo percaya kalo semuanya bakal baik-baik aja. Gue tau, sekarang di mata lo, semua orang itu sama aja, kan? Buruk.”

Nan menoleh, ketika telinganya kembali mendengar suara tangis yang datang dari mulut Yura. Dia mengikis jarak, lantas berucap, “Izin peluk, ya? Jangan nangis sendirian semasih ada gue di sini.”

Tidak ada jawaban, tidak ada anggukan, namun tidak ada juga penolakan. Nan memejamkan matanya, menaruh dagunya di puncak kepala Yura, memeluk gadis malang itu dengan penuh sayang, tangannya mengelus rambut panjang Yura, memberi pernyataan bahwa Yura tidak sendirian.

“Ayah jahat, Nan ....” Yura berucap lirih, seraya mencengkram kuat baju milik Nan. “Karena dia hidup gue jadi berantakan,” lanjut Yura masih setia diiringi tangis kecewanya.

Nan mengulum bibirnya ke dalam, menahan tusukan jarum yang menghujam tepat di ulu hatinya. Ngilu. Nada suara Yura benar-benar putus asa, sangat kecewa.

“T--tapi Diva ....” Yura mengurai pelukan Nan, mendongak untuk menatap wajah tampan milik sang kekasih.

“Ssstt,” potong Nan. Dia menunduk, memandang sekaligus menangkup wajah cantik itu.

“Sekarang, jangan dipikirin dulu, ya? Lo udah terlalu capek sama semuanya, kan?” tanya Nan.

Yura mengangguk kecil.

“Coba sekarang bilang sama gue, lo lagi mau apa? Es krim? Bubur ayam? Atau lo mau bakso?”

Yura menunduk, membuat beberapa helai rambutnya menghalau wajah lelahnya. Kedua tangannya nampak memilin ujung bajunya, seperti ragu untuk mengatakan sesuatu.

Nan tersenyum kecil, lantas berkata, “Ngomong aja. Gue nggak cenayang, Rin.”

Yura kembali mendongak. “Mau peluk lagi, boleh?” tanya Yura dengan kedua pipi yang telah bersemu merah.

Nan tertawa, namun mengangguk pertanda mengiyakan. “Sini-sini. Arinnya Aran mau minta peluk, iya?”

Yura tak menjawab, memilih untuk menikmati kehangatan pelukan kekasihnya. Tiba-tiba, hatinya merasakan sesak kembali, mengingat semua yang telah terjadi. Dalam mimpi pun, Yura tak pernah menyangka bahwa yang menimpa hidupnya akan seberat ini, semenyakitkan ini.

Yura mengeratkan pelukannya, menyembunyikan wajah cantiknya dalam dekapan Nan. Dia menelan salivanya susah payah, ketika usapan lembut tangan Nan pada punggungnya mengundang tangis dari pelupuk matanya.

“Nangis aja, Sayang,” ucap Nan pelan.

Dan, ya, detik itu juga tangis Yura kembali luruh. Wajah ceria yang biasanya terpasang, luntur digantikan raut wajah penuh kesedihan.

Nan menaruh dagunya di atas kepala Yura dengan mata yang terpejam, sesekali dia mengecup kecil pucuk kepala gadisnya itu.

“Nggak apa-apa, Sayang, nggak papa. Semuanya bakal baik-baik aja, percaya sama gue, ya?” Nan kembali berucap.

Nan mengurai pelukannya, menangkup wajah mungil itu dengan tangannya. “Gue sayang lo, Rin. Nggak peduli separah dan sebanyak apa pun masalah di hidup lo, gue bakal tetep di sisi lo, ngedukung lo. Gue nggak bakal ninggalin lo, kecuali kalo lo yang minta hal itu.” Nan mengusap jejak air mata di pipi Yura dengan kedua ibu jarinya.

“T--tapi tadi lo nggak nurut pas gue minta hal itu, Nan,” jawab Yura sesenggukan.

Nan mengulum bibirnya ke dalam, atensinya melihat ke arah lain untuk sejenak. “Karena lo lagi butuh gue, Rin.”

Yura tersenyum tipis.

“Laper nggak?” tanya Nan.

“Laper.”

“Mau makan bubur ayam?”

Yura mengangguk.

“Mmmm, Arin,” panggil Nan sedikit ragu.

Yura mendongak. “Ya?”

“Soal Kak Diva ....”

“Jangan bahas itu dulu, ya?” pinta Yura.

Nan diam sesaat, dia menghirup napas dalam-dalam, lantas menghembuskannya dengan pelan. “Kak Diva nunggu kita di bawah. Gue tau, mungkin lo belum siap buat ketemu dia, tapi gue juga nggak bisa ngebiarin kesalahpahaman lo terlalu lama,” papar Nan.

“Jadi, tolong temuin dia dulu. Selesain semuanya secara baik-baik,” lanjut Nan.

Yura berdecak pelan. “Lo tau kalo dia udah nyebarin berita itu, Nan.”

Nan bersidekap dada. “Lo nggak bisa ambil kesimpulan cuma dari sudut pandang lo aja, Rin. Gue nggak mau lo kehilangan sesuatu cuma karena keegoisan lo sekarang ini,” beo Nan lagi.

Yura diam, entah karena enggan bersuara atau sebab kalimatnya yang telah dipatahkan oleh ucapan Nan.

Nan memegang kedua bahu Yura, menatap lembut gadis itu lantas menguncinya.

“Dengerin penjelasan Kak Diva dulu, ya? Setelah itu, terserah lo. Ya?” pinta Nan.

Yura tak bereaksi apa pun, tapi beberapa detik kemudian, akhirnya dia mengangguk—memilih untuk mematuhi permintaan Nan.

Nan menarik kedua sudut bibirnya, lantas mengacak-acak pucuk kepala Yura. Dia menggenggam tangan gadis itu untuk menuntun Yura menuju Diva yang sekarang tengah menunggu di parkiran.

“Capek nggak?” tanya Nan sebelum memasuki lift.

“Lumayan.”

“Mau gendong?”

Kening Yura mengernyit dengan raut wajah bingung. “Gendong?” ulangnya.

Nan mengangguk. “Iya, gendong,” jelasnya.

“Nggak ah. Malu.”

“Itung-itung latihan jadi pengantin, Rin.”

Yura menggelengkan kepalanya sambil terkekeh. “Sekolah dulu yang bener!” ketusnya seraya memukul lengan Nan.

°°°

Yura menghirup napas dalam-dalam, dan membuangnya dengan kasar. Di depan sana, sosok Diva tengah berdiri memunggungi dirinya. Nan? Laki-laki itu meninggalkannya dengan alasan ingin membeli makanan untuk dirinya.

Yura berjalan perlahan-lahan menuju Diva yang bersandar pada sisi depan mobil, kedua tangan Yura masukkan ke dalam saku hoodie milik Nan. Entah hoodie ke berapa yang sekarang Nan berikan, yang pasti, Yura menyukai aroma hoodie ini. Terlebih pemiliknya.

Dilihat dari ekor matanya, Diva menoleh ke arahnya. Ya, sekarang Yura telah berdampingan dengan sahabatnya itu.

“Apa yang mau lo jelasin ke gue?” tanya Yura tanpa menoleh, pandangannya lurus.

“Gue seneng lo baik-baik aja, Ra,” ucap Diva yang sama sekali tidak digubris oleh Yura.

Diva menghela napas. “Bukan gue yang nyebar berita itu,” jelas Diva.

Diva menghadap Yura, nampak jelas Yura tengah tersenyum miring. “Gue nggak mungkin sejahat itu, Ra. Lagipula, gue nggak punya alesan buat nyebarin berita itu di sekolah lo.”

Yura menoleh. “Jadi maksud lo ibu yang nyebarin itu, gitu?” Alis Yura terangkat satu.

Diva menggeleng. “Sebelumnya, gue mau tanya dulu. Boleh?”

“Tanya tinggal tanya,” balas Yura jutek.

“Lo kenal Gladis, kan?”

“Gladis gebetan Alam?” Yura bertanya balik.

Diva mengangguk singkat.

“Kenal.”

“Dia sepupu gue.”

Alis Yura bertaut, tidak mengerti.

“Dia kebetulan lagi nginep di rumah gue pas kejadian yang menimpa lo itu.”

Yura menghadap Diva, saat itu juga tatapannya bertemu dengan netra milik Diva.

“Iya, Ra,” ujar Diva seakan-akan paham akan tatapan Yura. “Gue rasa ... dia pelakunya.”

Continue Reading

You'll Also Like

ALZELVIN By Diazepam

Teen Fiction

4.5M 262K 32
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...
484K 5.5K 6
JANGAN DISIMPAN, BACA AJA LANGSUNG. KARENA TAKUT NGILANG🀭 Transmigrasi ke buku ber-genre Thriller-harem. Lantas bagaimana cara Alin menghadapi kegi...
2.4K 543 57
Sepi, sunyi, senyap. "Sangat menenangkan." "Aku benci semua orang!" "Semua orang membenciku ..." "Aku ingin mati!" "Aku tidak ingin mati ..." Tentang...
29.1K 541 12
Cuplikan cerita pendek, Langsung baca aja..