Kupu-kupu & Pelepasan Kesedih...

By starlightwriting_

5.8K 4.1K 2.5K

Kalau biasanya kupu-kupu cuma dijadiin pencuci mata atau ditangkap untuk dikagumi keindahannya, Nan si laki-l... More

Prolog
Bagian 1 | KKPKπŸ¦‹
Bagian 2 | KKPKπŸ¦‹
Bagian 3 | KKPKπŸ¦‹
Bagian 4 | KKPKπŸ¦‹
Bagian 5 | KKPKπŸ¦‹
Bagian 6 | KKPKπŸ¦‹
Bagian 7 | KKPKπŸ¦‹
Bagian 8 | KKPKπŸ¦‹
Bagian 9 | KKPKπŸ¦‹
Bagian 10 | KKPKπŸ¦‹
Bagian 11 | KKPK πŸ¦‹
Bagian 12 | KKPKπŸ¦‹
Bagian 13 | KKPKπŸ¦‹
Bagian 14 | KKPKπŸ¦‹
Bagian 15 | KKPKπŸ¦‹
Bagian 16| KKPKπŸ¦‹
Bagian 17 | KKPKπŸ¦‹
Bagian 18 | KKPKπŸ¦‹
Bagian 19 | KKPKπŸ¦‹
Bagian 20 | KKPKπŸ¦‹
Bagian 21 | KKPKπŸ¦‹
Bagian 22 | KKPKπŸ¦‹
Bagian 23 | KKPKπŸ¦‹
Bagian 24 | KKPKπŸ¦‹
Bagian 25 | KKPKπŸ¦‹
Bagian 27 | KKPK πŸ¦‹
Bagian 28 | KKPKπŸ¦‹
Bagian 29 | KKPK πŸ¦‹
Bagian 30 | KKPK πŸ¦‹
Epilog [END]

Bagian 26 | KKPKπŸ¦‹

106 65 85
By starlightwriting_

Yura menatap sekitar, berusaha memahami sendiri apa yang sebenarnya terjadi, dan apa alasan Nan hingga memakai ilmu bela dirinya untuk saling adu jotos seperti tadi. Yura menunduk ketika netranya mendapati kertas yang disobek kecil-kecil, nampak begitu naas.

Pandangannya kini beralih pada sebuah mading, lantas memperhatikan benda tersebut lekat-lekat. Matanya memicing, memastikan apa yang tengah dilihatnya itu benar nyata atau tidak. Tangannya tergerak meraba beberapa kata yang tertulis samar di papan mading, seperti sudah berusaha dihapus, namun tulisan itu masih mampu dibaca olehnya.

YURARIN UDAH BEKAS, GUYS!

Tubuh Yura menegang, dengan sorot mata yang tak menyangka. Kedua kakinya mendadak lemas, tak lagi mampu menahan berat badannya sendiri.
Dia mundur beberapa langkah, berpegangan pada tiang terdekat seraya perlahan-lahan duduk di sebuah teras panjang yang sengaja disediakan pihak sekolah. Apa ... apa yang sebenarnya terjadi? Apa Nan melanggar peraturan sekolah—berantem—karena ini? Karena dirinya?

Pertahanan yang sudah dia bangun dengan susah payah, kembali runtuh seketika. Matanya kembali berkaca-kaca, kepalanya menggeleng pelan tak percaya. Orang itu ... orang yang sangat amat dipercayai olehnya ... apa benar dia yang menyebarkan?

“Kenapa? Kenapa lo lakuin ini ke gue? Apa salah gue?” monolognya dengan cucuran air mata yang tak lagi bisa dibendung.

°°°

Diva berjalan mondar-mandir dengan wajah yang jelas terpancar khawatir. Waktu sudah menjelang petang, namun sosok Yura masih juga tak nampak dalam penglihatannya.

Mata Diva berbinar, ketika melihat sosok Sira yang muncul di hadapan. Sorot mata yang teduh milik Sira selalu mampu menyihir siapa pun agar memberikan seulas senyuman kecil pada wanita paruh baya itu.

Assalamu'alaikum, Nak Diva,” sapa Sira ramah.

Diva tersenyum. “Wa'alaikumussalam, Bu,” jawabnya, pandangan Diva beralih sejenak ke arah belakang tubuh Sira, lantas kembali menatap sang ibu dari sahabatnya. “Mmm ... Yura nggak pulang bareng Ibu?” tanyanya.

Alis Sira bertaut, keningnya mengerut bingung. “Yura?” ulang Sira yang dibalas anggukan oleh Diva. “Tadi dia bilang mau pulang duluan, kok,” jawab Sira.

Diva menggigit ibu jarinya cemas. “Tapi Yura belum pulang dari tadi, Bu. Nggak biasanya Yura pergi tanpa bilang Diva, apalagi ini hampir malem.”

“Ibu nggak tanya dia mau ke mana?” tanya Diva lagi.

Sira yang tadinya tenang, seketika ikut khawatir kala mendengar penuturan dari Diva. “Ibu nggak sempat nanya karena lagi sibuk urus kepindahannya, Nak.”

Diva mengulum bibirnya ke dalam, lantas membuang napas panjang. Dia menyentuh kedua bahu Sira, lalu berucap, “Yaudah, Ibu masuk ke rumah aja dulu, ya. Istirahat. Biar nanti Diva cari Yura,” tukas Diva.

Sira nampak menimang-nimang sebentar. “Ibu ikut cari Yura aja, ya? Takut dia kenapa-kenapa,” pintanya khawatir.

Diva menggeleng. “Jangan, Bu. Ibu udah capek ngurus ini-itu dari pagi, Diva nggak mau Ibu sakit karena kecapekan.” Diva menjeda ucapannya sejenak.

“Biar Diva aja yang cari, ya? Nanti, kalo Yura udah pulang, Ibu tolong telpon Diva, ya?” papar Diva memberi penjelasan.

Sira mengangguk dengan wajah pasrah, memilih untuk menurut dibanding harus merepotkan Diva lebih banyak lagi.

“Kamu hati-hati ya, Nak. Ibu bantu doa dari sini,” ucap Sira diangguki oleh Diva.

Setelah berpamitan pada Sira, Diva segera menghampiri garasi untuk mengeluarkan mobilnya dari dalam sana.

“Lam, tadi pas di sekolah, lo liat Yura?” tanya Diva seraya menaruh ponselnya pada holder handphone di dashboard mobil. Kedua tangannya sekarang dia gunakan untuk menyetir.

“Yura? Liat, Kak. Tapi, cuma sebentar doang, pas di mading. Nah, pas gue balik ke situ lagi, dia udah nggak ada, huhu,” jawab Alam di sambungan telepon.

“Lo tau nggak kira-kira dia ke mana?” tanya Diva lagi.

“Seminggu lebih gue nggak ketemu dia, nggak ngobrol, nggak ngereceh, nggak makan bareng, ng—”

“JAWAB! BUKAN CURHAT!” potong Diva tak sabaran.

“Ya Allah, untung jantung gue nggak baperan.” Alam menjeda kalimatnya sejenak. “Gue nggak tau dia ke mana, ka—”

Diva memutus sambungannya dengan cepat, malas berbasa-basi. Dia menepikan mobilnya, berhenti di salah satu taman yang akhir-akhir ini sering didatangi Yura.

Setelah beberapa menit mengelilingi taman tersebut, bertanya-tanya pada beberapa orang yang berada di sana, namun nihil. Tidak ada seorang pun yang melihat keberadaan Yura.

Diva kembali ke dalam mobil, mengotak-atik ponselnya untuk menghubungi seseorang yang berkemungkinan tahu keberadaan sahabatnya.

“Ada apa, Kak?”

“Nan, lo lagi sama Yura?” tanya Diva langsung.

“Arin? Nggak, Kak. Ada apa sama Arin? Dia kenapa?”

Diva menghela napas. “Bisa ketemu? Gue di taman nggak jauh dari perumahan rumah gue. Tau, kan?”

“Tau, Kak. Gue otw ke sana, tunggu.”

“Hati-hati.”

Sambungan terputus.

Di masa menunggu kedatangan Nan, Diva sibuk menelpon Yura berkali-kali. Mengirimkan pesan, pun voice note tanpa lelah. Tak ada jawaban, hanya ada suara operator yang menyahut. Ceklis satu pun didapatinya. Entah ke mana Yura, intinya, Diva benar-benar takut.

Kondisi mental serta fisik Yura sedang tidak baik, ditambah mimpi buruk yang akhir-akhir semakin marak menyiksa sahabatnya itu. Sejak kejadian itu, Yura takut malam, jika sendirian. Itulah sebab mengapa dirinya begitu khawatir sekarang.

Suara dering dari ponselnya membuyarkan lamunannya. Buru-buru Diva mengangkat panggilan itu.

“Gue udah di taman, Kak.”

“Gue di mobil, Nan. Nggak jauh dari pintu masuk.”

Haish. Yaudah, gue ke sana.”

Diva memutuskan panggilannya sepihak, ketika melihat sosok Nan yang sekarang tengah menghampiri mobilnya.

Nan mengetuk kaca mobil, untuk memastikan. Diva menurunkan kaca mobilnya, lantas berucap, “Masuk.”

Nan menurut, nampak berputar untuk masuk dari pintu sebelahnya.

“Ketemu, Kak?” tanya Nan ketika memasuki mobil.

Diva menggeleng. “Belum. Gue udah muterin taman, tapi dia nggak ada.”

“Sebenernya, apa yang terjadi sama Arin, sih? Dan ... apa berita yang di sekolah itu bener?”

Diva menoleh. “Berita? Berita apa maksud lo?” tanya Diva heran.

“Berita Arin ... udah pernah dipake,” jawab Nan ragu.

Mata Diva melotot. “Maksud lo apa?!” seru Diva terkejut.

Nan menghela napas, menatap hiruk-pikuk kegiatan di depannya. “Gue sebenernya masih ragu sama rumor ini, tapi, pas denger rekaman suara Arin di grup itu, g—”

“Rekaman? Rekaman apa? Jelasin, Nan! Jelasin ke gue!” pinta Diva tak sabar.

Nan menoleh ke Diva, melihat jelas raut wajah tak mengerti sekaligus khawatir di sana. Dia menghirup napas panjang, menyiapkan hatinya untuk menceritakan kejadian di sekolah.

Diva menutup mulutnya terkejut, deru napasnya naik-turun tak terkendali. Jantungnya berdegup kencang tak karuan kala mendengar apa yang baru saja Nan ceritakan, rasa takut benar-benar tengah mengancamnya sekarang.

“Tapi, gue udah ancurin kertas yang menyangkut Arin di mading, kok, Kak. Serius. Makanya gue nggak was-was banget pas dia nyamperin gue.”

Diva memukul stir kemudinya. “Ck. Kenapa lo nggak bilang gue, sih?! Tau gitu, gue nggak bakal kasih izin dia buat ikut ke sekolah!” omel Diva.

Kening Nan mengernyit. “Kasih izin?” ulangnya. “Lo tau masalah Yura, Kak?” Mata Nan memicing curiga.

Diva diam. Terbungkam.

“Sejak kapan?” tanya Nan serius. Menatap Diva dengan intens.

Diva menatap lurus, enggan berhadapan dengan Nan si lelaki yang sulit dibohongi. Setelah beberapa detik berpikir, Diva menghela napas.

“Dari awal,” jawab Diva. “Dari awal gue tau masalahnya. Semuanya.”

Nan terdiam, memberi ruang untuk Diva menceritakan segalanya. Semua tentang gadisnya.

“Pagi itu, gue udah ada rencana buat ke rumah Yura. Mau ngajakin dia bolos sekolah, karena gue juga lagi males banget masuk kerja.” Diva memulai ceritanya dengan pandangan yang telah kembali ke minggu lalu.

“Tapi, alih-alih muka judes Yura, yang gue dapet malah ... rumah yang berantakan banget. Kayak kapal pecah, bahkan lebih berantakan dari itu. Dan pas gue ke kamar, Yura ....”

Nan bergerak gelisah, tak sabar mendengar kelanjutan ucapan Diva. “Kenapa, Kak? Arin kenapa?!”

“Kacau, Nan. Kacau banget.” Suara Diva merendah, terdengar lirih. Diva menyeka sudut matanya yang sedikit berair, mendongak, dan menatap Nan dengan selengkung senyuman getir.

Nan memejamkan matanya, menyandarkan kepalanya pada kepala kursi. Hatinya mencelos membayangkan keadaan Yura saat itu, begitu sesak.

Diva diam sejenak, lantas kembali melanjutkan ceritanya. “Terus, pas gue panggil ....”

Flasback on.

“Ra? Yura? L--lo kenapa?!” pekik Diva kaget.

Yura tak menjawab, sibuk menarik-narik selimut agar menutupi tubuhnya. Teriakan Yura yang mengatakan agar menjauh terus menggema di ruangan. Suara itu, suara penuh rasa takut yang terdengar begitu menyayat hati.

“Ra! Ini gue Diva!” Diva terus berjalan mendekat, meskipun Yura terus saja memintanya agar menjauh.

“Ra ... ini gue, Diva, Ra. Sahabat lo.”

“PERGI! PERGI! PERGIII!” teriak Yura gemetar. “AKU BENCI AYAH! PERGI!” lanjut Yura seraya melempar apa pun di dekatnya.

Pergerakan Diva terhenti, keningnya mengernyit bingung. “Ayah?” monolognya.

Diva kembali beralih pada sosok Yura dalam balutan selimut, sesekali menghindar kala ada barang yang terbang ke arahnya. “RA, GUE DIVA. DIVA, RA. BUKAN AYAH LO!” ucap Diva sedikit kencang.

Suasana hening sesaat. Diva berdiri bak patung di dekat bibir kasur. Yura, gadis itu perlahan-lahan menunjukkan wajahnya. Menatap tubuh Diva di balik pandangannya yang sedikit tertutup beberapa helai rambutnya. Dan, saat itu juga, tangis Yura kembali terdengar. Begitu menyedihkan.

Flasback off.

Diva menatap Nan, nampak jelas lelaki itu tengah mengusap air matanya. Diva tersenyum kecut.

“Darah yang udah kering di dahinya, mata yang sembab, idung yang merah, bibir yang sedikit sobek. Dia bener-bener kayak orang yang abis dikejar-kejar malaikat pencabut nyawa tau nggak.”

“Abis itu, dia langsung gue bawa ke rumah gue. Terus, gue langsung telpon Ibu.” Diva menutup ceritanya dengan helaan napas yang terbuang kasar.

“Jadi, selama seminggu itu, dia di rumah lo?” tanya Nan setelah sekian lama hanya diam.

Diva mengangguk.

“Bajingan itu?”

Diva menoleh, alisnya bertautan, tak mengerti. Tapi, setelah beberapa detik, dia paham. “Kemarin baru selesai sidang.”

“Sidang?”

“Ya. Pas Om Hen tau itu, dia langsung laporin ke polisi. Nggak butuh waktu lama buat nangkep itu orang, terus, tiga hari kemudian, sidang. Nah, kemarin itu finalnya,” jelas Diva.

“Berapa tahun?”

“Delapan tahun.”

Nan mengusap wajahnya gusar, memijat pelipisnya lelah. “Harusnya, gue jagain Arin malem itu. Kenapa gue segala pulang, sih!” sesal Nan.

“Nggak usah salahin diri sendiri. Lo nggak tau bakal terjadi hal kayak gitu. Jadi, mending kita fokus cari Yura sekarang,” jelas Diva.

“Tapi, kenapa Yura belum pulang, Kak? Padahal, pas gue liat dia sama Pak Botak, dia keliatan baik-baik aja. Pas gue kirim chat pun, dia masih bales. Ya, meskipun pas gue bales lagi, dia nganggurin pesan gue.”

Diva tak menjawab, suasana mobil sunyi untuk sesaat. “Tadi lo bilang ... ada yang nyebarin berita ini di sekolah, ya?” tanya Diva setelah beberapa detik hanya diam.

“Iya. Di grup angkatan Arin, sama di mading.”

“Di grup?”

Nan mengangguk. “Ada yang kirim voice note suara Arin yang lagi cerita tentang hal itu. Kalo di mading, semacam kata-kata hinaan buat Arin. Bullying.”

“Oke. Yura nggak masuk grup angkatan, cuma masuk grup kelas aja. Lo, lo yakin beneran udah ancurin kertas-kertas yang menyangkut Yura di mading? Ada hal yang ditulis nggak?” tanya Diva memastikan.

Nan nampak berpikir. “Ditulis ... ya,” monolognya. “Ada salah satu tulisan yang ditulis pake spidol, sih. Tapi, seinget gue, gue udah hap—”

“YA ALLAH! YANG ITU BELUM BENER-BENER KEHAPUS!” sambung Nan panik.

Diva menelan salivanya susah payah, matanya bergerak gelisah dengan bibir yang mengulum ke dalam. Dia memegang stir kemudi kuat-kuat, berusaha menetralisir gemetar yang menyerang dirinya.

“Gue tau. Gue tau kenapa dia pergi tanpa bilang gue, Nan.”

Continue Reading

You'll Also Like

10.4K 370 10
Perjuangan selalu membuahkan hasil....mungkin itulah kalimat yg paling tepat untuk menggambarkan seorang lelaki tampan yang akhirnya mendapatkan mimp...
46.1K 3.6K 42
"Krystal itu bukan milikmu." !!! 𝑫𝑰𝑺π‘ͺ𝑳𝑨𝑰𝑴𝑬𝑹 !!! β€’ Fiksi β€’ Bxb (boy x boy) β€’ written in bahasa β€’ little bit mature!!πŸ”ž β€’ ooc, not relat...
11.1K 1.5K 19
"apapun yang kita hadapi, ayo terus bersama. gak ada kata berpisah diantara kita" - π™ˆπ™–π™ π™€π™©π™€ 𝙏𝙖𝙠π™ͺ𝙒𝙖 "selalu, kita akan selalu bersama."...
2.4K 543 57
Sepi, sunyi, senyap. "Sangat menenangkan." "Aku benci semua orang!" "Semua orang membenciku ..." "Aku ingin mati!" "Aku tidak ingin mati ..." Tentang...