Kupu-kupu & Pelepasan Kesedih...

By starlightwriting_

5.8K 4.1K 2.5K

Kalau biasanya kupu-kupu cuma dijadiin pencuci mata atau ditangkap untuk dikagumi keindahannya, Nan si laki-l... More

Prolog
Bagian 1 | KKPKπŸ¦‹
Bagian 2 | KKPKπŸ¦‹
Bagian 3 | KKPKπŸ¦‹
Bagian 4 | KKPKπŸ¦‹
Bagian 5 | KKPKπŸ¦‹
Bagian 6 | KKPKπŸ¦‹
Bagian 7 | KKPKπŸ¦‹
Bagian 8 | KKPKπŸ¦‹
Bagian 9 | KKPKπŸ¦‹
Bagian 10 | KKPKπŸ¦‹
Bagian 11 | KKPK πŸ¦‹
Bagian 12 | KKPKπŸ¦‹
Bagian 13 | KKPKπŸ¦‹
Bagian 14 | KKPKπŸ¦‹
Bagian 15 | KKPKπŸ¦‹
Bagian 16| KKPKπŸ¦‹
Bagian 17 | KKPKπŸ¦‹
Bagian 18 | KKPKπŸ¦‹
Bagian 19 | KKPKπŸ¦‹
Bagian 20 | KKPKπŸ¦‹
Bagian 21 | KKPKπŸ¦‹
Bagian 22 | KKPKπŸ¦‹
Bagian 23 | KKPKπŸ¦‹
Bagian 25 | KKPKπŸ¦‹
Bagian 26 | KKPKπŸ¦‹
Bagian 27 | KKPK πŸ¦‹
Bagian 28 | KKPKπŸ¦‹
Bagian 29 | KKPK πŸ¦‹
Bagian 30 | KKPK πŸ¦‹
Epilog [END]

Bagian 24 | KKPKπŸ¦‹

129 68 107
By starlightwriting_

Burung-burung yang sedang sibuk mengumbar suara di ranting-ranting pepohonan sekolah memaksa seorang remaja laki-laki memamerkan kesombongan akan parasnya yang begitu diidam-idamkan.

“Ck. Rung, gue tau kalo gue ganteng. Tapi bisa nggak, nggak usah caper dulu gitu?” ucapnya pada hewan bersayap itu dengan pandangan ke atas, dan tangan yang berkacak pinggang.

Alam menggeleng-gelengkan kepalanya. “Dasar burung budek,” hinanya mendapati suara burung tersebut yang masih asyik berkicau.

Dia kembali berjalan menuju koridor sekolah, matanya yang sedang berjelajah mencari mangsa baru untuk menambah list deretan mantan, seketika berhenti pada satu titik yang dikerumuni khalayak ramai. Mading.

“Woi, Peto!” panggilnya pada sang ketua eskul basket—Veto.

“Kenapa, Bang?” tanya Veto ketika berhasil sampai di hadapan lelaki yang digandrungi cewek-cewek itu.

“Itu ada apa rame-rame?” tanya Alam tanpa menoleh sedikit pun, pandangannya lurus menatap hiruk-pikuk di mading sana.

“Gue belum liat, sih. Tadi numpang lewat doang soalnya. Tapi, gue denger-denger ada anak kelas mana gitu yang udah nggak perawan,” jelas Veto sambil berjalan berdampingan.

“Hah?! Nggak perawan?!” seru Alam kaget. “Siapa yang nyebarin berita kayak gitu di Mading sekolah gilak!”

Veto mengangkat kedua bahunya, tanda tak tahu. “Parah sih tapi,” komentarnya.

Alam manggut-manggut setuju. “Ya—”

“VETOOO!”

Keduanya reflek menoleh, menatap satu objek yang tengah menatap Veto dengan wajah masam. Seingat Alam, itu adalah Anza. Gadis cantik yang mendatangi kelasnya beberapa hari yang lalu, dan kalau tidak salah gadis itu adalah adik dari Andra yang rumornya tersangkut kasus narkoba.

“Cewek lo?” tanya Alam menyenggol lengan Veto.

Veto menggeleng. “Sepupu gue,” jawabnya tanpa menoleh.

Alam melipat kedua tangannya di depan dada, menatap lurus Anza yang tengah berjalan ke arahnya—ke Veto lebih tepatnya.

“Cantik.”

Pujian Alam membuat Veto langsung menoleh. “Udah ada pawangnya, Bang.”

Alam mengangkat bahunya, dengan bibir yang menekuk ke bawah.

“Yaudah, gue duluan, ya, To.”

Setelah mendapati anggukan dari Veto, Alam kembali merajut langkahnya menuju kelas. Dia berjalan santai seraya menyumpal kedua telinganya dengan headset yang sengaja dia bawa. Pandangannya lurus, sesekali bersenandung mengikuti alunan musik, lelaki itu benar-benar tidak peduli pada sekitar yang sedang heboh. Apalagi, setelah dia tahu siswa-siswi di sini menghebohkan hal yang sungguh tidak berfaedah.

Alam menduduki bangkunya, melirik sejenak ke arah bangku Yura. Kosong. Pemandangan itulah yang selalu dia dapati selama seminggu ini. Alam menghela napas pelan, lantas kembali beralih pada ponsel di tangannya.

Dahinya mengernyit heran, melihat nama ‘Tukang Becak’ tertera di layar ponselnya.

“Ngapain si Farhan nelpon gue pagi-pagi gini?” tanyanya pelan.

Alam menggeser ikon telepon, dan, ya, teriakan Farhan langsung menggema kencang di gendang telinganya.

“ANJ! Salam dulu, kek! Untung nggak ambeien kuping gue!” seru Alam sambil mengusap-usap telinganya yang berdengung.

“KE GUDANG SEKARANG, BANG! GC! NAN MAU LAHIRAN!”

“H---”

Sambungan terputus.

“Setan! Sejak kapan batangan bisa hamil, sih?!” monolognya kesal, namun tetap saja segera bergegas cepat menuju tempat yang diberitahu oleh Farhan.

°°°

“MANA?! SIAPA YANG MAU LAHIRAN?!” teriak Alam, mendobrak pintu gudang dengan kencang dan pasang wajah yang geram.

Farhan yang tengah duduk, langsung berdiri tegak. “Mmm, a--anu, Bang. Semutnya Adit maksud gue.” Farhan cengengesan.

Alam memicingkan mata curiga, menatap ketiga orang dengan bermacam-macam gaya itu dengan tatapan mengintimidasi. Nan yang tengah tiduran di atas tumpukan matras, Adit yang tengah duduk bacain Yasin buat Nan, dan Farhan yang kini sedang fokus cengengesan ke arah Alam.

“Gue curiga ....” Alam kembali bersuara.

Adit menoleh. “Curiga kenapa, Bang?” tanya Adit heran.

“Jangan-jangan ....” Alam bergerak mundur perlahan-lahan. “LO BERTIGA MAU PERKOSA GUE, YA?!” tudingnya dengan kedua tangan yang menutupi dadanya yang rata kayak jalan tol.

Nan mengubah posisi menjadi duduk, memandang Alam dengan tatapan malas. “Lam, sintingnya bisa dicancel dulu, nggak?” tanyanya.

“Iya, Bang. Penting, nih.” Farhan ikut menyahut.

Alam masih mempertahankan posenya. “Hah? Puting? Tuh, kan, lo pada mau mesumin gue!”

“Si anjing,” celetuk Nan kesal.

“Lam! Cepetan, lah!” titah Nan.

“Aaaa, nggak mau! Saya nggak mau kehilangan keperjakaan saya, Mas!” balas Alam alay setengah mati.

Nan menghela napas panjang, memejamkan matanya sejenak, lalu kembali membukanya. “Lo ke sini sekarang, atau beneran gue perkosa, nih?!” ancam Nan tajam. “CEPET!” hardiknya.

Alam buru-buru menurut, langsung duduk manis di depan Nan, setara dengan Adit. Farhan terkekeh geli, sedangkan Adit hanya bisa geleng-geleng kepala. Tidak habis thinking.

“Ada apa, sih?” tanya Alam setelah melihat detail wajah Nan yang tidak seperti biasanya.

“Lo nggak liat grup angkatan lo, ya?” Nan balik bertanya.

Alam menggeleng. “Nggak. Sengaja gue mute, soalnya berisik banget kayak emak-emak lagi panjat pinang.”

Adit melipat bibirnya ke dalam, menahan tawa. Sedangkan Farhan yang humornya receh, tengah tertawa terbahak-bahak di belakang.

“Lo buka, Lam.” Nan berucap serius.

Alam, yang tadinya ingin menanggapi dengan candaan, mengurungkan niatnya. Dia sadar, situasi ini benar-benar serius. Nampak jelas dalam suara dan air muka milik Nan.

Alam membuka salah satu aplikasi chat-nya, mencari-cari grup angkatan yang dimaksud oleh Nan, lantas mendongak. “Udah, nih,” ucapnya.

“Lo---”

“Bentar-bentar,” tahan Alam. Lelaki itu menunduk, menatap fokus layar ponselnya. “Ini kenapa Yura disebut-sebut terus, ya? Setau gue, nama Yura cuma satu di angkatan.” Alam keheranan, jarinya terus membaca pesan itu satu per satu dari bawah hingga ke atas.

Melampaui lima menit lamanya, mata Alam seketika melebar. “ANJING!” cicitnya tiba-tiba.

“Berita apaan ini?! Kenapa Yura dibawa-bawa gitu!” Alam mendongak, menatap Nan. “Liat, dah. Yura disangka udah nggak perawan, setan!” Alam mengarahkan layar ponselnya ke arah Nan.

Nan menatap datar, lalu membuang napas kasar. “Itu yang mau gue omongin,” ucapnya lirih.

“Kenapa nggak bilang dari awal, sih?!”

Nan menoyor kepala Alam tanpa sungkan. Satu fakta unik, meskipun Adit dan Farhan sudah menginjak dua tahun berteman dengan Alam, tapi yang berani melakukan tindakan kekerasan tadi hanyalah Nan seorang.

“Kan lo yang tadi kayak waria pengen insaf!”

Alam berdehem. “Garing, sih. Tapi, gue hargai lawakan lo,” balasnya sambil tersenyum.

“Lo belum baca semuanya, Lam. Coba, lo scroll lagi. Sampe yang voice note,” titah Nan kembali ke topik.

Alam menurut, fokus mencari-cari  yang Nan maksud. Setelah ketemu, dia membesarkan volume, dan mendengarkan pesan suara tersebut dengan seksama.

Alis Alam bertaut, mengenali pemilik suara yang benar-benar tidak asing. “Yura?” gumamnya, lalu melihat Nan yang ikut menyimak.

Nan mengangguk sebagai jawaban.

Keempat orang itu mendadak diam, suasana gudang pun seketika sepi. Hanya ada suara Yura yang sedang bercerita sambil sesenggukan, mengalun di dalam ruangan sepetak itu lewat ponsel milik Alam.

Dada Alam terasa sesak, tenggorokannya tercekat hebat, pikirannya langsung penuh oleh gadis yang entah bagaimana keadaannya sekarang. Pesan suara itu terhenti, selesai, namun tidak dapat menenangkan degup jantung dari dua orang yang kini sedang sibuk dengan pikirannya masing-masing.

“Lo ... tau dari mana, Nan?” tanya Alam dengan suara yang serak.

Nan menyandarkan kepalanya di tembok, sebelum menjawab, dia memandang sejenak langit-langit gudang.

“Tadi, pas gue lagi jalan di koridor, gue samar-samar denger nama Yurarin disebut. Awalnya, gue bodoamatin. Tapi, sepanjang koridor, nama Arin makin jelas gue denger, plus ucapan yang bilang kalo Arin udah jebol lah, inilah, itulah. Banyak. Terus, gue ambil paksa handphone yang dipegang sama salah satu kakel, terus gue baca grup angkatan yang lagi bener-bener heboh.” Nan menjeda ceritanya demi mengambil napas panjang.

“Nah, gue bacain itu satu-satu. Sampe gue ketemu chat yang bilang tentang pesan suara gitu, cuman pas gue mau lanjut scroll, handphone-nya keburu diambil.”

“Makanya lo panggil gue ke sini?” tanya Alam.

Nan mengangguk. “Gue pikir lo udah tau, tapi ternyata belum.”

Alam mengusap wajahnya kasar. “Gue udah sempet tanya sama si Veto tadi, tapi karena gue pikir berita kayak gitu nggak pantes dapet perhatian gue, jadinya ya nggak gue gubris,” jelasnya.

“Jadi sekarang kita harus gimana?” Adit bersuara.

“Untung Yura belum masuk. Coba kalo udah? Gila, nggak bisa bayangin gue sehancur apa dia,” ucap Alam.

“Dia nggak bakal masuk, Lam.” Nan bangkit, berjalan ke arah meja usang untuk mengambil sebotol air mineral yang tadi dia taruh.

“Lha? Kok?” Kening Alam mengernyit heran.

“Arin ... mau pindah.”

Mata Alam melotot, terkejut. “HAH? GIMANA-GIMANA?”

“Kemaren kan gue ke rumahnya, terus liat ibunya lagi beres-beresin barang-barang gitu. Pas gue tanya Arin, dia jawab mau pindah.”

“Sekarang? Udah pindah? Kok, lo nggak bilang gue sih, Nan!”

“Belum. Dia baru bawain setengah barangnya doang, nggak tau kapan pindahnya.”

Alam mendekat, menghampiri Nan. “Yaudah! Nanti kita ke rumahnya aja!” tukas Alam cepat.

Nan berbalik, menyandarkan pinggangnya pada meja. “Kayaknya, selama seminggu ini dia nggak tinggal di rumahnya deh, Lam. Gue sekarang tau alesan kenapa dia tiba-tiba nangis pas liat kamarnya, kayaknya karena keinget sama kejadian yang menimpa dia.”

“Tapi, Nan, kira-kira siapa yang tega nyebarin ber ....”

Nan terdiam, suara Alam perlahan-lahan hilang dinonaktifkan oleh pikirannya yang mulai tenggelam pada suatu kejadian. Nan meremas kuat botol yang dipegangnya ketika kepalanya tiba-tiba teringat akan sesuatu. Kalimat Yura yang mengatakan ....

“Lo ... cowok kedua yang bikin gue yakin, kalo nggak semua cowok sebrengsek ayah gue.”

Ternyata hal ini maksudnya. Mata elangnya kini terlihat begitu dingin. Tidak tersentuh. Tangan lelaki itu mengepal kuat, seperti ... marah. Ah, tidak. Sangat marah.

“Baru kali ini gue liat pria brengsek yang lebih bajingan dari lo, Lam,” gumam Nan dingin. Dia tahu siapa pelaku di balik luka gadisnya sekarang.

Pandangan Nan tertuju kepada Alam. “Lam, tadi lo bilang kalo lo tau dari Bang Veto?” tanya Nan merasa ada yang janggal.

Alam mengangguk.

“Bukannya Bang Veto adik kelas lo? Berarti, nggak seangkatan sama lo dong?”

Lagi-lagi Alam hanya mengangguk.

“Dia tau dari mana? Beritanya cuma kesebar di angkatan kelas sebelas, kan?”

Kening Alam bergelombang, berpikir. “ASTAGFIRULLAH!” pekik Alam tiba-tiba dengan mata yang melebar. “MADING, NAN! IYA! SI PETO DENGER DARI ANAK-ANAK YANG ABIS LIAT MADING!”

Setelah mendengar penuturan Alam, botol yang tampilannya sudah begitu naas, terjatuh begitu saja ke lantai. Adit serta Alam sontak bangkit. Farhan yang sedari tadi memang sudah berdiri, buru-buru mendekat.

“Kit---”

Belum selesai Farhan berucap, Nan langsung pergi begitu saja. Berlari cepat tanpa memperdulikan teriakan teman-temannya yang ikut menyusul di belakang. Napasnya memburu, degup jantungnya berdetak cepat, wajah yang biasanya mengumbar senyum ramah kini berganti dengan rona merah penuh amarah.

Bayangan Yura memenuhi isi kepalanya, tawa pun tangis gadis malang itu bercampur bagai petir di tengah badai emosinya. Entah apa yang diperbuat oleh gadisnya, hingga semesta menjadi begitu tega.

Tetapi, satu hal yang pasti, untuk kali ini, biarkan Nan memberi pelajaran pada sesiapa saja yang telah menjadi antagonis dalam kehidupan Arinnya. Untuk kali ini saja. Sebab ....

Nan mulai khawatir sekarang, ragu. Ragu akan pertahanan Yura dalam memilih perjalanan selanjutnya. Apa ... gadis itu akan menyerah?

━✿✿✿✿✿✿━

Tbc.

Ohalloo, fren. Mau kasi info sedikit, jadi, cerita KKPK ini masih satu univers sama cerita ILUVIA karya buk Katrin—salah satu member starlight. So, jangan lupa dibaca juga karya sahabatku itu, yak. Dijamin bakal jatuh cinta sama setan cantiknya, deh, serius😭👍.

Mmm tapi, kl aku sih cintanya sm ayang Zaga. Bismillah authornya restuin, headsot! wkwk:v

Cukup sekian, aku ucapkan terima sayang.

Continue Reading

You'll Also Like

14.8K 2.3K 33
Suga itu manis seperti gula, tapi sayangnya bukan gula halus, karena teksturnya kasar. Eh?
483K 5.4K 6
JANGAN DISIMPAN, BACA AJA LANGSUNG. KARENA TAKUT NGILANG🀭 Transmigrasi ke buku ber-genre Thriller-harem. Lantas bagaimana cara Alin menghadapi kegi...
2.3K 1.1K 52
MENGUNGKAP RAHASIA NOVEL CINTA DARI SARAH UNTUK ARIEL ❀ *** Cerita ini tentang seorang remaja yang diam-diam jatuh cinta loh. Kamu pasti pernah rasai...
3.6K 369 7
Saat kebanyakan gadis seusianya menikmati kehidupan remaja mereka yang penuh suka, canda dan tawa, Cavista harus puas dengan garis hidupnya yang seol...