Kupu-kupu & Pelepasan Kesedih...

Av starlightwriting_

5.8K 4.1K 2.5K

Kalau biasanya kupu-kupu cuma dijadiin pencuci mata atau ditangkap untuk dikagumi keindahannya, Nan si laki-l... Mer

Prolog
Bagian 1 | KKPK🦋
Bagian 2 | KKPK🦋
Bagian 3 | KKPK🦋
Bagian 4 | KKPK🦋
Bagian 5 | KKPK🦋
Bagian 6 | KKPK🦋
Bagian 7 | KKPK🦋
Bagian 8 | KKPK🦋
Bagian 9 | KKPK🦋
Bagian 10 | KKPK🦋
Bagian 11 | KKPK 🦋
Bagian 12 | KKPK🦋
Bagian 13 | KKPK🦋
Bagian 14 | KKPK🦋
Bagian 15 | KKPK🦋
Bagian 16| KKPK🦋
Bagian 17 | KKPK🦋
Bagian 18 | KKPK🦋
Bagian 19 | KKPK🦋
Bagian 20 | KKPK🦋
Bagian 21 | KKPK🦋
Bagian 22 | KKPK🦋
Bagian 24 | KKPK🦋
Bagian 25 | KKPK🦋
Bagian 26 | KKPK🦋
Bagian 27 | KKPK 🦋
Bagian 28 | KKPK🦋
Bagian 29 | KKPK 🦋
Bagian 30 | KKPK 🦋
Epilog [END]

Bagian 23 | KKPK🦋

126 74 75
Av starlightwriting_

Keduanya turun dari atas motor, berjalan menyusuri pantai tanpa satu pun riuh tawa atau pertengkaran seperti yang mereka lakukan biasanya. Kini, hanya hiruk-pikuk pengunjung lain yang masuk ke dalam pendengaran Nan tanpa permisi.

Yura menghentikan langkahnya, sembari mendudukkan bokongnya di atas bebatuan yang besar, begitupun Nan. Gadis itu masih fokus pada gemuruh kepalanya sendiri, tak mengacuhkan Nan yang berkali-kali berusaha membuka suaranya.

Apa gue kasih sekarang aja, ya? tanya Nan dalam hati.

Nan menatap hamparan pantai yang terbentang, mendengarkan deburan ombak yang menyelinap ke telinganya bagai musik pengantar tidur. Di sampingnya, Yura masih menyulam bisu sedari tadi. Enggan berbicara entah karena sedang sariawan, atau sebab dunia yang lagi-lagi berhasil menyudutkan suara indahnya.

"Rin, gue ada sesuatu buat lo," ucap Nan mencoba memulai obrolan yang sejak beberapa menit lalu tak jua digubris oleh gadis itu.

Yura hanya menoleh, tak berniat menjawab.

"Mau tau atau nggak?" tanya Nan memastikan.

Yura mengangguk. "Apaan?" Kini Yura yang bertanya.

Nan bangkit dari duduknya, menepuk-nepuk bokongnya yang sedikit kotor. Yura hanya diam saja, tidak begitu peduli pada apa yang dilakukan laki-laki yang notabene-nya adalah adik kelasnya. Setelah beberapa menit, Nan kembali membawa sesuatu yang membuat keningnya sukses mengernyit heran.

"Kupu-kupu?"

Nan mengangguk dan kembali duduk. "Buat ngelepas kesedihan lo. Supaya nggak ditekuk mulu itu muka. Kayak ketek gue tau jadinya!" ucapnya sedikit kesal.

"Gimana ngelepasnya? Lo lupa, ya, kalo sedih itu udah jadi bagian dari hidup, dan apa lo bilang tadi? Muka gue yang cetar membahana gini lo bilang mirip ketek lo? Mau muntah paku apa bekicot kayak di film suami gue?"

Nan terkekeh geli. Oke, sepertinya suara Yura telah hidup kembali dari mati suri. Yura yang seperti inilah yang ia suka, bukan Yura yang hanya diam seperti telah kehilangan pita suara.

"Asyik! Arinku come back! Lo abis ke mana aja tadi, Rin? Dedemit pantai udah bawa lo ke mana? Sialan banget main bawa-bawa cewe gue aja."

Yura memukul kepala Nan dengan kencang, membuat Nan meringis kesakitan. Ingin sekali Arin membuang laki-laki tengil ini ke pantai.

"Pulang, yuk!" ajak Yura dengan tampang tak berdosa.

Nan hanya menghela napas, mengutuk gadis di sampingnya agar selalu bahagia. Walaupun ia sendiri tahu, tidak ada kebahagiaan yang selalu. Semuanya silih berganti sebagaimana dunia yang tak pernah berpusat pada satu titik. Seperti pagi dan malam, itulah kehidupan. Tak menetap, selalu berpindah dari satu langkah ke langkah lain untuk menggapai arti.

"Sebentar. Gue mau liat senja biar kaya anak indie." Nan menjeda ucapannya sejenak.

"Ini." Ia memberikan toples berisi satu kupu-kupu dan tiga kepompong yang masih tergantung di batang minimalis itu.

"Gini, kalo lo lagi ada apa-apa, jangan dipendam sendiri. Kalo lo nggak mau cerita ke orang, ceritain aja ke kupu-kupu ini, terus lo lepas deh. Biar kesedihan lo ilang, dibawa terbang sama binatang tercinta gue ini." Nan mengakhiri ucapannya dengan tersenyum. Memberi sedikit kekuatan kecil untuk gadisnya—si kakak kelas yang tak sekuat kelihatannya.

Yura terdiam sesaat, menghela napas panjang, lalu tersenyum manis. “Makasih, Nan. Makasih udah tetep sabar ngadepin gue yang terlalu banyak masalahnya, nggak jelasnya, anehnya, ngomelnya. Lo ....” Yura mengulum bibirnya ke dalam, tampak gugup.

“Lo ... cowok kedua yang bikin gue yakin, kalo nggak semua cowok sebrengsek ayah gue,” lanjut Yura terdengar lirih. Bahkan suara Yura sedikit gemetar ketika menyebut sosok yang benar-benar dia benci.

“Ah, ayah lo lagi ternyata. Dia ngapain lo lagi, Rin? Pukulin lo? Mana lukanya? Udah diobatin belum? Sakit, ya? Mau ke Bunda supa—” Nan menjeda ucapannya sejenak, keningnya berkerut seperti sadar akan sesuatu.

“COWOK KEDUA? YANG PERTAMANYA SIAPA?!” pekik Nan kencang.

Yura terkejut, tapi setelahnya langsung tertawa terbahak-bahak melihat raut wajah Nan yang ... ah, konyol sekali pokoknya. Sebelas dua belas lah dengan Chaplin kalau lagi kaget.

“Ish! Kok lo malah ketawa?!” ujar Nan kesal.

“Muka lo kayak dugong lagi jantungan tau nggak?” Yura masih tertawa.

Melihat wajah Nan yang jadi masam, tawa Yura perlahan-lahan mereda. Dia menepuk bahu Nan, membuat lelaki itu menoleh sambil berkata ‘apa’ dengan wajah yang galak. Sensitif sekali kayak monyet yang mau direbut pisangnya.

“Yang pertama Om Hen, Nan.” Yura memberi jawaban. “Yakin gantengnya gue ini cemburu sama om-om yang udah punya istri gitu?” tanya Yura dengan lembut.

Senyum Nan langsung merekah mendengar penuturan Yura. “Ya, nggak dong. Masa iya gue merasa tersaingi sama modelan wayang golek gitu,” balas Nan enteng.

BLETAK! Yura memukul kepala Nan dengan kencang, Nan meringis kesakitan seraya mengusap-usap kepalanya yang berdenyut.

“ITU OM GUE!” seru Yura galak.

“Eh, iya, ya.”

Yura memutar atensinya malas, teringat akan sesuatu, lantas dia berkata, “oh, ya, Nan. Btw ....”

“Hm?”

"Kenapa kupu-kupu? Kenapa bukan burung dara aja yang terkenal sama kesetiaannya?" tanya Yura seraya melihat toples yang dipegangnya.

Nan mengikuti arah pandang Yura, dan beralih pada gadis cantik yang sekarang sedang berusaha mengganggu kupu-kupu itu dengan menjentikkan jarinya ke dinding toples dengan senyum yang merekah. Hal itu, membuat Nan jadi ikut tersenyum.

"Burung dara setia sama pasangannya, bukan sama kesedihannya. Mereka emang sama-sama punya sayap buat terbangin kesedihan milik lo, tapi lo harus tau satu hal, Rin."

"Apa?" Yura mendongak, membuat tatapan keduanya bertemu.

"Seburuk apapun kesedihan, pasti lo bakal ngerasain keindahannya nanti. Kayak kupu-kupu yang perlu ngelewatin fase ulat yang menjijikkan agar bisa sampai ke titik di mana dia dianggap pantas ngedapetin hasil dari apa yang udah berhasil dia lewati."

°°°

"Mau pulang?" tanya Nan setelah matahari benar-benar telah tenggelam.

"Nggak. Nggak usah. Sekalian aja nemenin Nyi Roro Kidul di sini," jawab Yura sedikit ketus.

Nan terkekeh, dalam hati bersyukur karena Yura yang dia kenal telah kembali. Yura yang ketus, galak, banyak bicara, dan suka menebar tawa tentunya.

"Rin, nanti jangan diem aja, ya? Kita, kan, bukan lagi mengheningkan cipta," ucap Nan. "Gue nggak suka ah kalo lo cosplay jadi Limbad kayak pas dateng tadi," sambungnya.

"HAHAHA." Yura tertawa dengan kepala yang manggut-manggut, mengiyakan.

Nan tersenyum simpul. "Lo ... beneran mau pindah, Rin?" Nada suara Nan nampak lirih.

"Yoi."

"Terus gue gimana?"

Yura tersenyum, memberhentikan langkahnya lantas menatap Nan yang menunduk. "Lo harus tetep napas, soalnya kalo ng—"

"Itu nggak harus disuruh, Rin," jawab Nan sedikit kesal.

Yura tertawa. "Gerak kalo gitu, soal—"

"I know, Yurarin," potong Nan lagi.

Yura terdiam sebentar, fokus menatap wajah Nan yang benar-benar telah berubah. Beda sekali waktu kecil.

"Nan ...." Yura menangkup wajah Nan dengan kedua tangannya. "Liat gue," titah Yura dipatuhi oleh Nan.

Yura tersenyum manis. "Hidup lo harus terus jalan, ada ataupun nggak seorang Arin di dekat lo. Lagipula, kita baru bareng-bareng selama empat bulan ini, kan? Meskipun itu waktu yang cukup lama, tapi nggak selama dulu waktu kita kecil kan, Nan?" Yura menjeda kalimatnya sejenak untuk menghela napas pelan.

"Gue tau ini susah, buat lo, buat gue. Tapi, kalo dulu aja kita mampu, kenapa sekarang nggak? Lo yakin nggak kalo kita bakal ketemu lagi suatu saat nanti?" tanya Yura.

Nan hanya mengangguk.

"Nah, Nan, keyakinan lo itu yang bakal ketemuin kita nanti. Selagi lo masih percaya, semesta nggak bakal ngecewain lo, kok. Because ... semesta bencinya sama gue, bukan orang se-ngeselin gantengnya gue ini."

Nan menatap Yura, dan Yura mengulas senyumnya dengan tulus. "Lagian, ya, Nan, gue cuma pindah kota. Bukan pindah alam, kok."

"Seandainya gue bener-bener pindah alam--"

"Rin," potong Nan.

"Kehidupan bakal terus jalan. Nggak akan pernah berhenti, cuma karena kematian dari penghuninya. Kecuali, yang berakhir itu dunia, Nan."

"Rin, jangan ngomong yang aneh-aneh." Nan berucap tidak suka.

"Oke, Gantengnya aku," sahut Yura tersenyum jahil. "Sekarang, kita pulang yuk, Yang," ajak Yura.

Nan memasang wajah jijik. "Apaan, sih, Rin? Geli ah dengernya."

"HAHAHA." Yura tertawa terbahak-bahak. "Masa nggak boleh ngasih panggilan sayang ke pacar sendiri, sih?" tanya Yura.

Nan terdiam sejenak. Tiba-tiba nge-bug. "M--maksud lo?" tanyanya.

Yura hanya mengangkat kedua bahunya tak acuh, menyerahkan jawabannya pada Nan. Dia memilih berjalan duluan, meninggalkan Nan yang sedang mencerna ucapannya tadi.

Setelah beberapa detik berpikir, mata Nan langsung berbinar cerah. "LO NERIMA GUE?!" pekik Nan kencang seraya berlari-lari kecil menghampiri Yura.

“Rin! Itu serius, kan? Nggak bercanda, kan?” tanya Nan dengan napas yang tersengal-sengal.

Yura berdehem, buru-buru memasang wajah datarnya. “Bercanda, kok,” jawab Yura melahirkan perubahan wajah Nan yang langsung menutup senyumnya.

“Bercanda bilang bercandanya, Nan.” Setelah berujar itu, Yura langsung tertawa geli, disusul Nan yang langsung tersenyum lebar.

“Bikin potek aja!” cicit Nan seraya mengacak-acak rambut Yura gemas.

“Jangan pegang-pegang rambut, nanti berantakan!” protes Yura sambil merapihkan kembali rambutnya yang terurai.

“Berantakan aja tetep cantik, ya.”

“Lho? Gue emang cantik, lo nya aja yang rabun!” ujar Yura sombong.

“Rabun karena ketutup cinta lo soalnya,” balas Nan tak mau kalah.

Yura berdecak, langsung memasang wajah masam. “Diajarin Alam, kan, lo?” tanya Yura sinis.

Nan menggeleng, mengacungkan kedua jarinya seperti peace. “Nggak, Rin. Beneran otodidak, kok. Liat tutorialnya di yutup, terus referensinya dari gugel,” papar Nan.

“Gurunya Alam, kan?”

Nan mengusap-usap dadanya. “Astagfirullah, iya.”

“Ah gue tendang jadi kodok lo!” hardik Yura. “Jangan dibiasain, nanti kebawa ke cewek lain!” titah Yura lagi dengan wajah galak.

Nan mengangguk. “Siap, Tuan Putri!” jawab Nan dengan pose hormat, disertai senyum manisnya yang terus mengembang selama perjalanan menuju parkiran.

Yura menghela napas pelan, menatap lurus jalanan. Sesekali dia tersenyum menanggapi celotehan Nan yang begitu bersemangat. Mungkin, hanya dengan cara ini Yura dapat memberi perpisahan terbaik untuk Nan. Tidak seperti dulu.

Mungkin, hanya dengan senyum di bibirnya ini yang dapat memberikan Nan ketenangan dalam risaunya. Mungkin, hanya dengan kebohongan ini Yura dapat mengatakan bahwa ... tetap bersikap baik-baik saja adalah jalan terbaik untuk mengurangi beban orang-orang yang disayang.

°°°

“Rin, Rin,” panggil Nan ketika Yura baru saja turun dari atas motor.

“Apa?”

Nan menumpukkan tangannya di atas helm, memandang Yura sambil senyum-senyum sendiri.

“Hey, kenapa?” tanya Yura bingung karena Nan tak kunjung bicara. “Kesambet kelomang pantai lo, ya?”

Nan menggeleng. “Ini gue lagi mengagumi karya Tuhan,” jawab Nan.

Yura berkacak pinggang dengan atensi yang berputar malas. “Sekali lagi ngegombal, gue tendang ke zaman purba, ya, lo!” hardiknya.

“Lho, jangan dong, Rin. Di sana gue ngegombalin siapa coba? Ya kali nenek-nenek pake daun pisang? Ih, nggak-nggak!” Nan bergidik ngeri, entah bayangan apa yang muncul dalam kepalanya, Yura tak tahu.

“Hm ... berarti kita LDR-an, ya?” tanya Nan.

Yura mengangguk kecil sebagai jawaban.

“Hm ... berarti gue bebas deketin siapa aj—”

“GUE JADIIN PERKEDEL, MAU?!” potong Yura tiba-tiba dengan wajah yang super galak kayak mau makan semen.

Alih-alih takut, Nan malah tertawa geli sampai memegangi perutnya sendiri. “Nggak ada yang bagusan dikit dari perkedel apa, Rin?” tanyanya ngeledek. “Pizza kek gitu misalnya.”

“Ck, gue kan cinta Indonesia. Emangnya lo! Cinta, kok, sama cewek modelan gue.”

“Dih, pede amat, Neng?”

Yura mengernyit. “Ohh, jadi lo cuma pura-pura suka gue doang?! Emang, ya, semua cowok itu sama aja!” cicit Yura.

Nan mencubit pipi Yura dengan kencang, merasa gemas sendiri. “Sayangnya aku lucu banget, sih,” celetuk Nan.

Yura menepis tangan Nan, memandang lelaki itu dengan galak. “Jangan pegang pipi gue?! Tangan lo bau terasi!” ucap Yura ketus.

Nan mengernyit, dengan bodohnya mencium kedua tangannya sendiri untuk memastikan. “Wangi kok, Rin,” elaknya.

“Wangi dari mananya?! Jelas-jelas itu bau penghuni neraka!”

“Astagfirullah.” Nan mengelus-elus dadanya. “Padahal kemarin gue cuma ngopi-ngopi di depan pintunya doang lho, Rin. Kok baunya bisa permanen kayak spidol papan tulis gini, yak.”

Yura menghela napas, jadi capek sendiri. “Udah, ah. Gue capek, mau tidur,” alibi Yura dengan suara yang kembali normal.

Nan tersenyum, lalu mengangguk. Baru saja Yura ingin berbalik, dengan cepat Nan menahannya. “Eits, tunggu dulu!” cegahnya.

“Apaan?”

Telunjuk Nan mengetuk-ngetuk pipinya, dengan mata yang terpejam.

“Ngapa lo? Lagi iklan pembalut?” tanya Yura sekenanya.

Nan membuka matanya cepat. “Sembarangan! Gue cowok sejati gini masa iklan gituan, sih!” serunya. “Itu lho, Rin, itu. Masa nggak paham?”

“Ya emang nggak!”

“Cipika-cipiki, Rin.”

Yura melotot, dengan cepat mencubit lengan Nan yang lagi nganggur. “SEKALI LAGI NGOMONG GITU, GUE KUBUR HIDUP-HIDUP, YA, LO!”

Nan tertawa terbahak-bahak melihat pipi Yura yang nampak seperti kepiting rebus. Entah karena marah, atau menahan malu. Yang pasti, dalam hati Nan, dia tersenyum senang. Bersyukur pada semesta karena telah mengembalikan Yura yang dia kenal. Meskipun ... takdir akan kembali menyiksanya dengan perpisahan.

“Rin?” Nan memanggil, tawanya mereda bersamaan dengan pandangannya yang kini menatap punggung Yura yang hanya bergeming di tempat. Tatapan gadis itu lurus ke arah sebuah jendela yang gelap, yang setahu Nan, itu adalah kamar dari gadisnya.

“Rin?” panggil Nan lagi, tapi masih belum ada sahutan.

Nan turun dari motornya, berjalan mendekat dengan perasaan yang mulai khawatir. Takut Yura kesurupan.

“Arin ....” Nan berucap lembut seraya menuntun pandangan Yura agar menatapnya.

“LHO? KOK NANGIS?” Suara Nan meninggi, terkejut melihat pelupuk Yura yang tengah membendung air matanya.

Yura menunduk dalam, menggigit bibir bawahnya agar tidak bersuara. Meskipun telah meninggalkan rumah ini selama seminggu, namun bayangan malam itu terus saja melekat dalam benaknya. Masih teringat jelas.

Nan diam sejenak, dengan ragu-ragu namun pasti, dia bergerak memeluk Yura, mengusap-usap punggung ringkih gadisnya, juga rapalan doa-doa baik yang sedang dia langitkan dalam hati.

“Aku nggak tau masalahmu apa, seberat apa, sesusah apa. Aku nggak tau, Rin, dan nggak akan cari tau karena aku maunya denger dari mulutmu sendiri,” ucap Nan menghilangkan sebentar kata ‘lo-gue’ dari mulutnya. Dia menarik napas panjang, lantas membuangnya dengan pelan.

“Kalo kamu mau simpen itu sendirian, it's ok. Itu hak kamu. Tapi, kalo ada apa-apa, kalo udah capeeek banget, kalo udah mau nyerah, jangan lupain Arannya kamu yang bakal selalu siap buat jadi apa aja yang kamu butuhin, ya? Aku nggak akan pernah biarin kamu ngelewatin ini sendirian, Rin. Nggak sampai kapan pun. Sekali pun nanti jarak ada di tengah-tengah kita, dia nggak akan pernah bisa ngehalangin aku buat selalu temenin langkah tiap langkah kecil kamu. Meskipun cuma lewat doa, atau ucapan klise kayak untuk tetep kuat,” jelas Nan, mengakhiri kalimatnya dengan satu kecupan singkat di pucuk kepala Yura.

Yura membalas pelukan itu, menangis sejadi-jadinya dalam dekapan hangat Nan. Dia meremas kuat pakaian milik Nan, melepas sesak yang diderita hatinya lewat sana.

Apa lo bakal tetep bilang gitu, di saat tau apa yang menimpa gue, Nan? batin Yura sendu.

Fortsätt läs

Du kommer också att gilla

133K 3.9K 45
Cerita 1 Kenapa takdir selalu mempermainkanku? Mengapa takdir merenggut orang-orang yang aku sayang? Dulu sahabatku, keluargaku, lalu sekarang kekasi...
Roomate [End] Av asta

Tonårsromaner

861K 58.4K 40
"Enak ya jadi Gibran, apa-apa selalu disiapin sama Istri nya" "Aku ngerasa jadi babu harus ngelakuin apa yang di suruh sama ketua kamu itu! Dan inget...
10.4K 370 10
Perjuangan selalu membuahkan hasil....mungkin itulah kalimat yg paling tepat untuk menggambarkan seorang lelaki tampan yang akhirnya mendapatkan mimp...
484K 5.5K 6
JANGAN DISIMPAN, BACA AJA LANGSUNG. KARENA TAKUT NGILANG🤭 Transmigrasi ke buku ber-genre Thriller-harem. Lantas bagaimana cara Alin menghadapi kegi...