Kupu-kupu & Pelepasan Kesedih...

By starlightwriting_

5.8K 4.1K 2.5K

Kalau biasanya kupu-kupu cuma dijadiin pencuci mata atau ditangkap untuk dikagumi keindahannya, Nan si laki-l... More

Prolog
Bagian 1 | KKPKπŸ¦‹
Bagian 2 | KKPKπŸ¦‹
Bagian 3 | KKPKπŸ¦‹
Bagian 4 | KKPKπŸ¦‹
Bagian 5 | KKPKπŸ¦‹
Bagian 6 | KKPKπŸ¦‹
Bagian 7 | KKPKπŸ¦‹
Bagian 8 | KKPKπŸ¦‹
Bagian 9 | KKPKπŸ¦‹
Bagian 10 | KKPKπŸ¦‹
Bagian 11 | KKPK πŸ¦‹
Bagian 12 | KKPKπŸ¦‹
Bagian 13 | KKPKπŸ¦‹
Bagian 14 | KKPKπŸ¦‹
Bagian 15 | KKPKπŸ¦‹
Bagian 16| KKPKπŸ¦‹
Bagian 17 | KKPKπŸ¦‹
Bagian 18 | KKPKπŸ¦‹
Bagian 19 | KKPKπŸ¦‹
Bagian 20 | KKPKπŸ¦‹
Bagian 21 | KKPKπŸ¦‹
Bagian 23 | KKPKπŸ¦‹
Bagian 24 | KKPKπŸ¦‹
Bagian 25 | KKPKπŸ¦‹
Bagian 26 | KKPKπŸ¦‹
Bagian 27 | KKPK πŸ¦‹
Bagian 28 | KKPKπŸ¦‹
Bagian 29 | KKPK πŸ¦‹
Bagian 30 | KKPK πŸ¦‹
Epilog [END]

Bagian 22 | KKPKπŸ¦‹

117 76 24
By starlightwriting_

Ekor mata Nan tak henti-hentinya menangkap toko-toko di pinggir jalan, kini dia sedang mengendarai motor maticnya menuju rumah Yura yang terletak di salah satu sudut kecil milik Kota Jakarta. Hilir-mudik para manusia memang tak pernah berhenti, sebagaimana jantung yang terus berdetak sampai takdir mengatakan pulang.

Nan, dalam fokusnya pada jalan, bayangan-bayangan Yura bersama harapan yang terus Nan rawat, bercampur bagai desiran angin yang dihempas oleh gerak-gerik kendaraannya; memeluknya dalam tanya yang ingin dia temui antonimnya.

Nan memarkirkan motornya di depan halaman rumah Yura, lalu turun, dan merapihkan seragamnya yang sedikit berantakan. Tak lupa dia melepas helm yang melindungi kepala, lantas berjalan bersama senyumnya yang tak kunjung lepas dari bibir itu, membawa kelegaan ketika melihat pintu rumah itu terbuka lebar-lebar.

“Akhirnya ...,” gumam Nan sambil membuang napas lega.

"Assalamualaikum, Bu," ucap Nan kala melihat Sira yang kebetulan keluar dari rumah sederhananya.

Sira meletakkan kotak yang dipegangnya di lantai, lantas menghampiri Nan yang kini berdiri tepat di dekat teras.

"Waalaikumussalam," jawab Sira ramah.

Nan mencium punggung tangan Sira—salim. "Apa kabar, Bu?" tanya Nan sembari melongok ke dalam rumah yang nampak kosong, tidak seperti biasanya.

Sira tersenyum simpul. “Alhamdulilah, baik, Nak.”

Alhamdulilah. Hm ... Arinnya ada, Bu?”

"Yura, ya?" tanya Sira memastikan.

Nan mengangguk, dahinya mengernyit heran. "Itu kok barangnya pada dikeluarin, Bu?" tanya Nan lagi dengan perasaan yang mulai tak enak.

Sira hanya melempar senyum. "Ibu panggilkan Yuranya dulu, ya." Setelah berucap itu, Sira masuk ke dalam.

Nan membuang napasnya panjang, mengalihkan atensinya untuk sejenak ke arah tanaman yang terpajang rapih di sekitar halaman. Cuaca panas Jakarta sedikit terbantu dengan hilir angin yang menerpa pohon mangga tak jauh dari tempatnya berdiri.

"Ada apa?"

Suara yang sudah lama tidak Nan dengar menginterupsi, membuat Nan segera berbalik, menghadap ke arah Yura yang mengenakan pakaian sederhana. Kaos putih bergambar pantai dengan lengan yang digulung sekali, ditambah celana jeans hitam selutut juga bando bermotif sapi ikut melengkapi penampilan Yura saat ini.

"Ke mana aja?" Nan membuka suara, melipat tangannya di depan dada sambil memasang wajah angkuh.

Yura menghela napas, alih-alih menjawab gadis itu malah berjalan menuju bale kayu yang berada tepat di bawah pohon mangga.

"Di rumah," jawab Yura singkat.

Nan ikut duduk. "Nggak ke mana-mana?" tanya Nan lagi.

Yura menggeleng. Ya, hanya menggeleng.

Nan bergumam, sudah lama tidak bertemu, dia jadi canggung sendiri.

“Gue cari lo, selama seminggu dateng-pergi ke rumah plus kelas lo. Tapi, lo nggak ada. Rin, seriusan lo cuma di rumah aja?”

Setelah menghela napas lelah, Yura mengangguk meskipun di lubuk hatinya, dia jelas menggeleng. Benar, Yura berbohong.

Nan manggut-manggut saja, tanya-tanya yang sudah dia siapkan entah ke mana hilangnya. Dia beralih pada tumpukan barang-barang di depan rumah Yura.

"Itu ngapain barang-barang lo dikeluarin? Kebanjiran?" tanya Nan mengulang pertanyaannya yang diabaikan Sira tadi. "Tapi, perasaan kemarin nggak hujan, deh."

Nan menoleh ke samping, menatap dalam diam wajah Yura yang nampak lelah. Entah apa yang terjadi pada gadis itu, tapi pandangan Yura benar-benar redup. Tidak ada kilatan kemarahan, atau semangat, atau pun kebahagiaan yang biasanya Nan lihat. Kosong.

Melihat itu, Nan diam sejenak untuk memperhatikan. Membiarkan sekitar mengambil alih perbincangan. Nan menyandarkan kepalanya di batang pohon mangga yang berdiri tepat di belakangnya, menatap lurus halaman Yura.

"Rin," panggil Nan.

Yura tak menoleh, hanya bergumam sebagai sahutan.

"Kenapa ini selalu terjadi sama kita, ya?" tanya Nan.

Yura mengernyit tak mengerti, lantas menoleh. Mendapati wajah teduh milik Nan yang tengah memejamkan mata menikmati semilir angin yang menerpa keduanya.

"Dulu, di saat gue udah nyaman sama lo, lo malah pergi. And now? Same." Nan menghela napas lelah. "Kenapa takdir selalu ngelakuin hal itu, ya?"

Yura tersenyum tipis, nampak dipaksakan. "Nggak adil, ya, Nan?" Suara lirih itu terdengar bukan seperti pertanyaan, namun pernyataan.

Nan membuka matanya, mengangguk setuju. "Kalo kata Kang Dimas di salah satu buku Brian Krishna, Tuhan itu adil karena semua manusia pernah ngerasa kalo Dia nggak adil."

"Jujur sama gue, lo kenapa?" tanya Nan sekali lagi.

Cukup lama Yura tak menjawab, hingga seperkian menit, akhirnya dia berucap, "nggak papa."

Nan mendengus, membuang muka. "Siapa yang ngubah lo?"

"Ngubah gimana?"

"Lo nggak kayak gini waktu dulu, Rin. Bener-bener nggak kayak gini. Ke mana Arin yang nggak nyimpen rahasia apa pun sama Arannya? Ke mana Arin yang terbuka perihal masalahnya?"

Yura tertawa sumbang, seperti meledek takdir. "Nan, dulu gue masih kecil. Masih nggak ngerti. Sekarang, gue udah paham keadaannya. Apalagi ... ah, udahlah, Nan."

Nan diam sejenak, menyadari bahwa ada yang sedang Yura tutupi. "Oke, kalo lo nggak mau kasih tau. Tapi ...."

Nan mengambil napas panjang, lantas menatap Yura yang tengah menatapnya juga. "Rin, lo harus tau, kalo lo itu nggak sendirian, nggak juga harus pura-pura kuat, nggak harus terus-menerus nampilin kalo lo itu baik-baik aja. Nggak ada yang nyuruh lo buat kayak gitu, nggak ada yang maksa lo buat terus berdiri di saat kedua kaki lo lagi nggak mampu buat memapah," jelas Nan.

Yura hanya diam, mendengarkan.

"Kita cuma manusia, Rin. Lo cuma manusia."

"Ya emang, Nan. Emang siapa yang bilang gue gapura kelurahan?"

Nan bangkit, memijat pelipisnya lelah. “Demen banget ngerusak suasana ah lo, mah,” sindirnya.

Yura terkikik, menutup mulutnya dengan tangan kanan sembari menatap Nan yang kini sedang melipat kedua tangannya; berdiri di hadapan Yura dengan tatapan malas. Ah, sudah lama Yura tidak mendapati Nan yang seperti sekarang.

“Tapi, Nan, gue beneran nggak papa, kok. Suer, deh.” Yura mengacungkan kedua jarinya membentuk V, berucap dengan sungguh-sungguh tapi tentu saja Nan tak percaya semudah itu.

“Tujuh hari lo nggak ada kabar, nggak masuk sekolah, dan lo masih ngira kalo gue bakal percaya segampang itu, gitu?”

Nan berjalan mendekat, menyematkan atensinya pada iris coklat Yura. Menatap gadis itu dalam demi mencari kebenaran yang tidak Nan dapatkan dari jawaban Yura.

Keduanya masih terus bertatapan hingga beberapa detik, sebelum kedua tangan Yura mendorong bahu Nan agar menjauh. Nan memundurkan wajahnya, tetapi netranya tak sedikit pun beralih dari gadis yang kini tengah salah tingkah sendiri.

“Na—”

“Lo bohong,” potong Nan cepat. “Kan gue udah pernah bilang, Rin. Kalo lo nggak mau cerita, ya, setidaknya jangan bohongin gue perihal keadaan lo itu. Pada akhirnya, gue bakal tau juga. Mata lo, mata lo itu selalu lebih jujur dari diri lo sendiri.”

Nan menghela napas kasar, lantas tangannya bergerak mengacak-acak rambut Yura sembari memasang seukir senyuman. “Udah, nggak usah dipikirin. Sekarang, mau ikut gue nggak?” tanya Nan.

Yura yang tadi menunduk, kini mendongak. “Ke mana?”

“Yang penting itu bukan ke mana, tapi sama siapa,” balas Nan yang langsung berjalan ke depan pintu sembari menyerukan kata ‘ibu’—memanggil Sira—untuk meminta izin mengajak Yura ke pelaminan. Eh, ralat.

Setelah berhasil mendapatkan kata ‘iya’ dan ‘hati-hati’ dari Sira, Nan kembali ke bale tempat Yura berada. Gadis itu masih diam, dengan atensi yang mengikuti gerak-gerik Nan.

“Ayok,” ajaknya.

Yura menarik napas panjang, dan membuangnya pelan. Dia mengekori Nan dengan suara yang terus dia redam, tak menjawab satu pun celotehan yang Nan lontarkan.

Nan tersenyum tipis, merasa lebih baik Yura seperti itu dibanding harus bersusah-payah memamerkan senyumnya di saat keadaan gadis itu sedang tidak baik-baik saja.

Tak mengapa jika dirinya seperti tengah berbicara dengan patung Pancoran, yang terpenting, Yura nyaman saat menyulam diam yang berusaha Nan pahami.

“Bisa, nggak?” tanya Nan ketika melihat Yura yang kesulitan memasang pengait helm.

Tidak mendapati jawaban apa-apa, lagi-lagi Nan menghela napas pelan, lantas kembali tersenyum. Kedua tangannya bergerak membantu Yura, meskipun setelahnya, Yura naik ke atas motor tanpa berbicara apa pun, dan itu tidak papa.

Continue Reading

You'll Also Like

859K 58.1K 40
"Enak ya jadi Gibran, apa-apa selalu disiapin sama Istri nya" "Aku ngerasa jadi babu harus ngelakuin apa yang di suruh sama ketua kamu itu! Dan inget...
6.2M 265K 58
On Going [Revisi] Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan ya...
2.4K 543 57
Sepi, sunyi, senyap. "Sangat menenangkan." "Aku benci semua orang!" "Semua orang membenciku ..." "Aku ingin mati!" "Aku tidak ingin mati ..." Tentang...
809K 29.2K 50
"Gue tertarik sama cewe yang bikin tattoo lo" Kata gue rugi sih kalau enggak baca! FOLLOW DULU SEBELUM BACA, BEBERAPA PART SERU HANYA AKU TULIS UNTUK...