Be My Miracle Love [End] ✔

senoadhi97 tarafından

55.8K 9.9K 15.3K

Wajah berjerawat, berotak biasa saja dan tidak memiliki kelebihan apa pun selain gemar mengoleksi uang receh... Daha Fazla

Eps.1 - Prince Charming
Eps.2 - My Enemy Brother
Eps.3 - Siap Bertemu Kembali
Eps.4 - Who Is Him?
Eps.5 - My Teacher Is Handsome
Eps.6 - Me vs Cowok Trouble Maker
Eps.7 - Awal Dekat Dengannya
Eps.8 - Ribuan Detik Bersamamu
Eps.9 - My Annoying Father
Eps.10 - Crazy Boy
Eps.11 - Hari Balas Dendam
Eps.12 - Janjian
Eps.13 - Dibully Geng Syantik
Eps.14 - Orion : Mianhae
Eps.15 - Aku dan Dewi Fortuna
Eps.16 - Heartbeat
Eps.17 - Sahabat Bikin Kecewa
Eps.18 - Orion Pansos?
Eps.19 - FUTSAL
Eps.20 - Teman Baru
Eps.21 - Live Drama
Eps.22 - Surat Untuk Dia
Eps.23 - Broken Heart
Eps.24 - Hangout
Eps.25 - Night Together
Eps.26 - He Is Shoot Me Now
Eps.27 - Bertengkar di Toilet
Eps.28 - Momen Manis
Eps.29 - After 'I Love You'
Eps.30 - Permen In Love
Eps.31 - Benci Untuk Mencinta
Eps.32 - Be Mine
Eps.33 - It This Love
Eps.34 - Dia dan Langit Senja
Eps.35 - Good Bye
Eps.37 - Thank You, Dear
Eps.Special - Break Story
Eps.38 - Berpisah
Eps.39 - Sebuah Syarat
Eps.40 - Tunangan Pak Arnold
Eps.41 - Harusnya Memang Bukan Aku
Eps.42 - Buket Bunga
Eps.43 - Pengagum Rahasia
Eps.44 - Sama-Sama Jealous
Eps.45 - Penculikan
Eps.46 - Fake Boy
Eps.47 - Titik Terang Kala Hujan
Eps.48 - Karma Pasti Berlaku
Eps.49 - Hasrat
Eps.50 - Tarik Ulur
Eps.51 - Memilikimu Seutuhnya
Eps.52 - Panggung Pelaminan (Epilog)
Episode Special Valentine - 14 Februari
Cuplikan dan Promo Sekuel

Eps.36 - Romeo Juliet

804 119 253
senoadhi97 tarafından

And I said,

"Romeo take me somewhere we can be alone.
I'll be waiting, all there's left to do is run.
You'll be the prince and I'll be the princess.
It's a love story, baby, just say yes."

Alunan lagu dari Taylor Swift berjudul Love Story terputar dari ponsel yang kudengarkan melalui sambungan earphone. Sembari menyenandungkan lagu berlirik romantis tersebut dengan pelan, aku duduk di bangku taman dekat parkiran untuk menunggu Orion.

Siang ini rupanya Miko memintaku untuk menemuinya karena ada suatu hal yang akan dia sampaikan kepadaku, dengan begitu aku terpaksa tak bisa pulang berdua bareng Orion.

Angin lembut berembus, memanjakan wajah yang terasa gerah. Aku sedang menghayati lagu tersebut dengan memejamkan kedua mata ketika dari arah belakang bahuku ditepuk oleh seseorang.

"Juliet."

Aku membuka mata dan menoleh ke belakang, mendapati Orion dengan senyuman khasnya. Kekasihku itu melangkah dengan tangan kanan yang tersembunyi di balik punggung. Keningku mengernyit bingung tatkala Orion duduk berlutut di hadapanku, lalu seketika dia mengangsurkan sebuket bunga yang semerbak wanginya begitu menguar di sekitar. Aku tersenyum canggung dan juga deg-degan kembali menyerang perasaanku.

"Romeo?"

Orion masih mengulas senyum rekah, lalu ia membuka suara. "Juliet, kita bisa hidup berdua hingga hari tua, mengarungi waktu penuh bahagia, berjalan saling menggenggam bila badai menerpa, bersatu dalam ikatan cinta yang abadi. Maka dari itu, will you marry me?"

Demi Romeo dan Juliet yang kisahnya abadi, akankah kisah mereka bisa menurun kepadaku? Untuk beberapa detik yang berjalan pelan, aku tak bisa bereaksi sedikit pun. Triple O em ji, Orion melamarku secepat ini?

Aku mengangguk perlahan, tak kuasa berpikir panjang. "Juliet mau, Romeo. Juliet mau menikah denganmu, Juliet mau mengarungi hari berdua hingga tua bersamamu." Dengan senang hati, aku menerima buket bunga yang sangat indah itu lalu mendekapnya dalam pelukan, mendekap erat penuh rasa cinta. Aku bisa melihat mata Orion berbinar-binar sebelum akhirnya perlahan ia mendekat ke arahku, hendak melayangkan sebuah kecupan manis di keningku. Oh Tuhan, benarkah ini? Sepertinya aku akan mati sekarang lantaran jantungku nyaris melorot ke perut. Aku akan mati di hadapan Romeoku.

Aku memejamkan mata rapat-rapat saat bibir Orion tinggal beberapa sentimeter dari keningku. Namun selang beberapa saat, tidak terjadi sesuatu seperti yang kubayangkan tersebut. Lagu terus berputar dan aku masih menunggu kecupan dari sudut bibir Orion alias Romeoku. Sepersekian detik, aku tercekat saat sebuah suara mengejutkanku, membuyarkan sebuah imajinasi yang baru saja terputar di otakku.

"Ayya...."

Triple O em ji, aku membuka mata pelan, mendapati tangan Orion yang sedang menepuk bahuku. Di sampingnya, Yudis menatapku dengan kening berkerut.

"Eh Romeo." Aku melepas kedua earphone dan cepat-cepat membenahi kuciran rambutku, takut berantakan atau menjadi awut-awutan. Kan tidak lucu seandainya bad looking di hadapan pacar yang sedang ada teman.

"Ro-Romeo? Siapa dia?" tanya Orion bingung. Kepalanya celingukan ke sekitar.

"Eh maksud gue Orion... nama lo kalau dipikir-pikir nggak beda jauh sama Romeo." Aku tersenyum kikuk, berusaha rileks.

Yudis tak kuasa menyemburkan tawa, geleng-geleng kepala, hingga memegangi perutnya. Ya Tuhan, apa baru saja ucapanku ada yang lucu? Atau ada yang salah?

"Ayya, itu jelas beda jauh." Orion tersenyum lebar, satu tangannya dimasukkan ke dalam saku celana. "Ah gue tahu, jangan-jangan lo lagi ngebayangin sesuatu ya?"

Tebakan dari Orion berhasil membuat rona merah di sekujur wajahku. Belum lagi Yudis ikut menimpali di sela-sela tawanya yang rada menyebalkan. "Sesuatu yang belum saatnya lo lakuin."

Orion jadi ikut tertawa, sementara Yudis tertawa lebih lebar lagi. Namun anehnya entah perasaanku saja atau apa, sepertinya tawa itu mengandung sebuah ejekan, sebuah penghinaan. Buru-buru saja aku membuang pikiran negatif tersebut, lagi pula tidak mungkin kan Orion mengejekku?

"Sori, Ay, bercanda doang," kata Yudis yang sudah berhasil meredakan tawanya.

"Iya, tahu kok," sahutku pelan.

"Oh iya Ay, gue nyamperin lo ke sini sebenernya mau bilang kalau siang ini lo pulang duluan aja ya, gue masih ada rundingan sama anak-anak. Biasalah, ngebahas futsal. Lo nggak apa-apa, kan?" pungkas Orion, menatapku penuh harap.

Aku segera mengangguk mantap. "Iya, Yon, nggak apa-apa kok, kebetulan gue juga ada urusan sih, ehm...." Aku menggigit bibir saat melihat Orion mengerutkan kening. "... tadi Miko pengen ngajak gue ketemuan, jadi sekarang dia lagi nunggu di Taman Saloka."

"Miko?" Orion masih mengernyit.

"Oh... itu loh Yon cowok yang ketemu kita malam itu di Sky Kafe," sahut Yudis yang ternyata masih ingat. "Cowok tajir tapi cupunya kebangetan."

"Ah iya, iya, ingat gue sekarang." Orion mengangguk-angguk. "Mau ngapain dia ketemu sama lo, betewe?"

Rasanya senang banget saat mengetahui ada nada cemburu dari mulut Orion yang terdengar di telingaku dengan cukup jelas. Triple O em ji, Orion cemburu!

Aku memalingkan wajah untuk menutupi seringaian, lantas menjawab, "Nggak tahu sih, tapi gue hanya merasa dia lagi butuh seorang teman."

"Ya udah kalau gitu. Nanti gue susul lo deh ke sana," kata Orion sembari menghelakan napasnya.

"Tapi ngomong-ngomong, nanti jualan roti bakarnya jadi kan?" tanyaku kemudian, saat mengingat ajakan Orion tadi pagi untuk menemaninya jualan perdana roti bakar.

"Ya makanya nanti gue bakal susulin lo, karena habis itu kita langsung mulai jualan di sekitar terminal. Gimana?"

Aku mengangkat ibu jari penuh rasa antusias. "Oke."

"Nanti juga bakal ada gue sama Agil kok," ujar Yudis yang segera diangguki oleh Orion.

Triple O em ji, ada Yudis dan Agil juga? Mau ngapain sih mereka? Itu artinya aku dan Orion tidak bisa berduaan dong? Tapi ya sudahlah toh mereka juga cukup asik kok anaknya.

"Ya udah kalau gitu, kita mau balik lagi ke kelas. Lo hati-hati ya ke tamannya, kalau ada apa-apa langsung kabarin gue aja," kata Orion sebelum berbalik arah, tak menunggu reaksi dariku terlebih dahulu.

"Bye, Ayya, sampai ketemu lagi." Yudis melambai, mengikuti Orion yang sudah melangkah dengan santai.

Aku membalas lambaian itu dengan singkat, lantas memasang kembali earphone ke lubang telinga sebelum berjalan seorang diri menuju pintu gerbang sembari bersenandung pelan.

"And i said, Romeo take me somewhere we can be alone....." Aku menghentikan langkah, lalu mengganti play musik yang masih lagu Taylor Swift itu menjadi lagu milik Rich Brian. Setelah lagu terputar, aku kembali melanjutkan langkah memasuki area luar sekolah, menuju halte untuk menunggu Mbak Jenny yang akan mengantarku ke Taman Saloka. Saat di trotoar, tiba-tiba saja secara tak sadar aku menghentikan langkah.

"Tunggu deh tunggu, kayaknya mulai nanti malam, gue harus lepas poster Rich Brian di kamar gue. Triple O em ji, meski gue ngefans banget sama dia, gue harus rela ngebuang fotonya demi menghilangkan bayang-bayang Pak Arnold." Aku bermonolog, tak memedulikan beberapa pasang mata yang mengarah kepadaku dengan tatapan bertanya sekaligus ngeri.

"Duh... kenapa sih Pak Arnold harus mirip sama dia? Oke, oke, Ayya, pokoknya lo harus bertekad move on dari dia, kan sekarang lo punya Orion yang jauh lebih segalanya dibanding Pak Arnold." Aku mengangguk-angguk penuh tekad, sebelum kembali melanjutkan langkah. "Sip, pokoknya gue harus lepas foto-foto Rich Brian."

Tepat saat aku sampai di halte yang tidak terlalu ramai, langsung saja beberapa anak menatapku penuh ketidaksukaan, mereka segera menjauhiku seolah-olah aku adalah virus yang patut dihindari. Meskipun rasanya cukup sakit, tetapi aku berusaha cuek dengan semua itu. Aku memutuskan untuk berjalan ke arah terminal saja ketika sebuah klakson di seberang jalan mengejutkanku. Syukurlah, akhirnya Mbak Jenny sudah datang, menjadi penyelamatku dari orang-orang yang menyebalkan.

Sesampainya di Taman Saloka yang cukup padat orang lalu lalang, aku lekas turun dari boncengan Mbak Jenny seraya menyerahkan helm penumpang. Aku mengulas senyum tipis sebelum memberikan uang ongkos berikut tips yang sengaja kuberikan untuk Mbak Jenny yang selalu baik kepadaku. Buktinya dia selalu bersedia mengantar meski aku tidak order jasanya melalui aplikasi. Makanya, selama ini aku selalu dapat driver Mbak Jenny terus lantaran sudah memiliki kontak pribadinya, sehingga saat aku butuh tumpangan, tinggal chat saja.

"Wah ini nggak salah, Mbak? Uangnya kebanyakan." Mbak Jenny membuka kaca helm.

Aku menggelengkan kepala. "Udah nggak apa-apa, Mbak, anggap aja itu bonus buat Mbak Jenny."

Mbak Jenny tampak ragu sejenak namun akhirnya ia mengangguk pelan. Tangannya terulur dan memegang bahuku dengan lembut. "Terima kasih ya, Mbak. Saya yakin, orang sebaik Mbak Ayya ini suatu saat akan berjodoh dengan orang yang baik juga."

Aku terkesiap demi mendengar penuturannya, lalu detik berikutnya Mbak Jenny tertawa saat melihat wajahku yang sengaja ditekuk ini.

"Jangan dulu bahas jodoh ke aku deh, Mbak. Mentang-mentang Mbak Jenny sudah laku."

Ya, selama perjalanan menuju ke taman tadi, aku sempat bertanya mengenai status Mbak Jenny apakah sudah menikah atau belum, dan rupanya Mbak Jenny hanya menjawab bahwa dia sudah ada yang punya. Terdengar ambigu memang, tetapi aku berusaha untuk tidak kepo dan mengulik kehidupan pribadi Mbak Jenny lebih dalam sebelum dia bercerita dengan sendirinya—entah Mbak Jenny akan bercerita kepadaku atau tidak.

Mbak Jenny menghentikan tawa, menyisakan seringai khas di wajahnya. Lalu ia melepas helm hingga menampakan rambut hitam lurus yang dikucir satu. "Iya deh iya. Sekolah dulu yang rajin, banggain orang tua, biar nanti bisa kuliah, kerja kantoran, gajinya gede, nggak kayak saya, kerja narik penumpang yang susahnya minta ampun."

Ya Tuhan, mendadak mataku terasa kemasukan bawang. Tanpa berpikir apa pun lagi, aku segera memeluk Mbak Jenny dengan erat sembari menahan isak tangis. "Mbak Jenny jangan ngomong gitu dong. Kerjaan Mbak Jenny itu udah berjasa banget buat orang-orang kayak aku, Mbak. Mbak Jenny tetap semangat ya. Mbak Jenny itu luar biasa."

Mbak Jenny mengangguk, mengusap-usap punggungku. "Makasih ya, Ayya."

Aku tersenyum, melepaskan pelukan seraya mengusap sudut mata yang berair. Entah kenapa ada desiran halus tatkala Mbak Jenny menyebut langsung namaku tanpa embel-embel 'mbak', rasanya begitu nyaman bagai seorang kakak perempuan yang tak pernah kumiliki.

"Mbak Jenny mulai sekarang nggak usah manggil aku 'mbak' lagi ya. Kayak barusan lebih enak didengar kok," kataku sambil menyedot ingus yang nyaris keluar.

Mbak Jenny tak langsung menjawab, hanya tersenyum sekilas. "Oke, gimana kalau saya manggilnya 'sis'?"

Aku melotot mendengar itu. "Ih jangan 'sis' juga sih, mbak, emangnya aku penjual online shop?"

"Ya sudah deh, Ayya doang ya manggilnya."
Mbak Jenny mengangguk-angguk, kembali mengenakan helmnya, hendak menarik penumpang kembali.

"Sip!" Kedua ibu jariku terangkat seraya mengulum senyum lebar.

"Udah gih sana cari teman kamu, nanti telat, lagi," lanjut Mbak Jenny saat melihatku yang hanya bergeming saja di hadapannya.

"Hati-hati, Mbak Jenny." Aku melambaikan tangan saat motor yang dikendarainya mulai berbalik arah.

Sembari berjalan mencari Miko, aku membuka botol minuman rasa jeruk lalu menenggaknya untuk menghilangkan rasa dahaga yang mendera. Setelah memasukkan botol ke dalam tas, aku melihat sosok Miko yang begitu mudah terbaca di keramaian. Cowok itu tengah duduk di bangku taman seorang diri, dekat pohon beringin besar yang rimbun. Posisinya yang membelakangiku membuat langkahku terasa ringan menuju ke arahnya. Tepat ketika aku berdiri di belakangnya, kedua tanganku menutup mata Miko untuk memberikan efek kejutan.

"Hayoo tebak siapa?" kataku dengan nada ceria. Sesaat, tak ada reaksi dari cowok ini. Triple O em ji, apa jangan-jangan aku salah orang? Jantungku mencelus memikirkan kemungkinan buruk itu. Dengan perlahan, aku melepaskan kedua tangan. Begitu kepala cowok itu menoleh, rasanya lega saat tahu bahwa dia memanglah Miko.

"Ayya, gue kira lo siapa?" Miko terkekeh pelan, melepas ranselnya dan diletakkan di pangkuannya. Aku berjalan memutar dan mengambil duduk di sebelahnya.

"Tadinya mau ala-ala surprise gitu. Tapi lonya malah diam aja." Aku pura-pura memberengut.

"Sebenernya gue yang mau ngasih surprise buat lo."

Demi bulan bintang yang kurindukan ketika siang, perkataan Miko barusan memang langsung mengejutkan. Aku menatap Miko yang kini berpenampilan mengenakan jaket parasut yang menutupi seragam sekolahnya. Dengan tatapan bertanya, aku bersuara. "Surprise? Dengan lo ngomong gitu aja udah jadi surprise buat gue, Mik."

"Lo nggak apa-apa, kan? Maksud gue, lo nggak mikir macem-macem dengan semua ini?"

Tidak, aku hanya merasa semua ini terlalu cepat. I mean, aku dan Miko bahkan baru hitungan hari saling kenal, tapi sikap Miko begitu perhatian dan baik terhadapku. Apakah Miko ada motif tertentu? Aku menggeleng kuat-kuat mengenyahkan pikiran buruk tersebut.

Miko tampak menghela napas lega setelah aku menggelengkan kepala. Lantas cowok berkacamata itu segera membuka ranselnya dan mengeluarkan sebuah bingkisan berbentuk kotak. Aku mengernyit bingung sebelum Miko membuka plastik bingkisan dan memperlihatkan sebuah kardus sepatu. Diulurkannya kotak sepatu itu ke arahku.

"Apa ini, Mik?"

"Buka aja."

Detik selanjutnya, aku menuruti perintah Miko. Mataku serasa mau copot begitu membuka isinya yang ternyata memang sebuah sepatu. Tanganku refleks memegang dada saat melihat sneakers incaranku tempo hari yang sudah berada di tangan Arraja.

"Sneakers? Gimana bisa lo dapatin ini, Mik?" Aku menatap Miko dengan mata berkaca-kaca. "Anyway, i-ini buat gue?"

"Iya itu buat lo, Ayya. Jadi kemarin gue ikut Papa gue ke mall buat nemuin rekan bisnis Papa, terus pas gue jalan-jalan ke toko sepatu, nggak sengaja ngelihat sepatu itu. Terus otomatis gue jadi ingat lo," jelas Miko tanpa menatapku.

"Mik, ini pasti-"."

"Tenang aja, nomornya, sesuai ukuran sepatu lo kok. Nomor 37."

"Makasih banget udah nemuin ini buat gue. Berapa harga aslinya? Nanti gue ganti uangnya." Aku mencari label harga, namun tampaknya Miko sudah sengaja melepasnya.

Miko menggeleng cepat. "Kan gue udah bilang itu buat lo, nggak perlu bayar, gue ikhlas."

Aku tak bisa menahan air mata. Miko tersenyum tipis, lalu tanpa kuminta tangannya mengambil sepatu tersebut dan segera dimasukkan ke dalam tasku.

"Makasih, Mik. Tapi lo tahu, ini sepatu sama persis dengan yang diambil Arraja di Pasar Malam."

Miko tertawa pelan. "Tunggu dulu, gue baru ingat, berarti lo sama Arraja punya ukuran sepatu yang sama dong?"

Aku mengedikkan bahu. "Mana gue tahu, mungkin aja sama sih. Tapi bodo amat ah."

"Waktu di Pasar Malam, lo yakin yang dibeli Arraja nomornya sesuai ukuran lo? Sampai-sampai kalian harus rebutan. Padahal, belum tentu kan ukuran sepatu itu pas di kaki lo?"

Aku berusaha mengingat-ingat, tapi rupanya waktu itu aku tak memperhatikan nomor sepatunya. "Iya juga sih. Gue nggak tahu dan nggak mikir sampai situ ya? Dasar gue cewek bodoh."

"Nggak harus bodohin diri sendiri juga. Ya meskipun kecil kemungkinan, ukuran sepatu kalian memang sama, atau beda satu nomor doang."

"Tapi, diluar masalah ukuran, sepatu yang lo beli ini motif dan warnanya persis banget, Mik, sama yang di Pasar Malam. Gue jadi ngeri harus kembaran sama Arraja."

"Gue yakin sih bakal jadi keributan di antara kalian. Ya saran gue, lo pakai sepatu ini di saat dia lagi nggak pakai."

Aku tak peduli lagi nantinya seperti apa, toh sudah biasa aku dan Arraja berseteru dari hal kecil maupun besar. Saat ini aku benar-benar merasa perlu mengucapkan beribu terima kasih untuk Miko, sahabatku.

"Ayya!" Aku mendongak ke sumber suara dan mendapati Orion berdiri di depanku. Seketika itu juga, aku dan Miko segera berdiri.

...

Bersambung...

30 Maret 2021

Terima kasih, enjoy reading & keep support me.

#Ayya #Arnold #Arraja #Orion #Cherry #Decha #Heksa #Ravenza #Erin #Vinny #Bryan #Darwin #Bayu #Sefrila #Yudis #Miko #Agil #Jenny

Okumaya devam et

Bunları da Beğeneceksin

5.8K 858 21
Obsession menceritakan seseorang yang memiliki keinginan terhadap sesuatu. Ia akan melakukan berbagai macam cara untuk mendapatkan apa yang diinginka...
7M 295K 59
On Going Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan yang tak s...
5.1K 502 15
[COMPLETED] #7 in indofanfic (8 Juli 2018) #2 in osamu (22 Juli 2018) #3 dazaixreader (29 Agustus 2018) wait, what-- #6 in xoc (15 September 2018) Ce...
3.7K 133 36
"Dulu aku ingin menjadi seseorang yang spesial dalam hidupmu, tetapi saat aku tahu kamu menjauhiku aku hanya ingin menjadi temanmu.." ~Dita Ra...