Nona Boss Zetta

Av Diahayu_Sn

54.5K 10.6K 5.5K

Seseorang pernah berjanji tidak akan meninggalkannya. Namun, ternyata janji itu hanya kebohongan indah semata... Mer

Prolog
1. Roses And The Sadness
2. Bad Boy to be a Sad Boy
3. Her Boyfriend?
4. Black Roses n Letters
5. First Day
6. Long Time No See
7. Meet Him
8. Can't Believe a Liar
9. Not Easy to Forget
10. Who Is She
11. De javu?
12. What Relationship?
13. Still With You
Visualisasi
15. Cool But Care
16. Love Never Lie
17. Killing Me
18. Still love her
19. What a Pitty

14. Good Night, Princess

2.1K 474 243
Av Diahayu_Sn

_Temui aku dalam mimpi, meskipun setelah terbangun nanti yang aku temui hanyalah kenyataan pahit yang selalu terulang kembali_

🌹

Zetta pergi melewati jalan belakang agar tidak diketahui penghuni lain selain Papa Marvel.

Dia cukup lega setelah melihat kondisi keluarga Alfa baik-baik saja meskipun Oma Elsa tengah terbaring lemah. Dan yang membuat Zetta penasaran, sejak kapan Alfa suka mimisan? Maksdunya... Tidak mungkin dia sedia tisu di sakunya kalau itu kebetulan. Pasti sebelum-sebelumnya juga memang mengalami.

Tapi, Zetta segera menepis semua pemikirannya tentang Alfa. Tak penting memikirkan orang yang telah mempermainkannya tiga tahun lalu. Sekarang dia punya Excel. Tidak ada alasan memikirkan laki-laki lain. Terkecuali Black Angel. Dia selalu punya tempat tersendiri di hati Zetta.

***

Malam itu, Zetta tidak pulang ke apartemen Alice. Dia memilih untuk mengunjungi rumah lamanya yang masih berstatus milik keluarganya.

Rumah dengan gaya kontenporer berdominasi warna putih itu sejenak membuat Zetta termenung. Banyak kenangan di rumah itu sejak kecil.

Kaki jenjangnya menapaki halaman rumah untuk menuju pintu utama. Tak ada yang berubah dari rumah itu, semua masih sama terkecuali suasanya.

Rumah itu masih sangat terawat karena ada beberapa asisten rumah tangga dan penjaga rumah yang ditugaskan untuk merawat rumah itu.

Ketika langkahnya sampai di kamar, Zetta duduk di tepian ranjang dengan pandangan tertuju pada jendela.

Dia teringat momen setiap sosok misterius dengan setelan serba hitan datang tiba-tiba dengan memanjat dinding rumahnya. Mengetuk jendela kamar untuk memanggilnya keluar. Tak pernah lupa untuk membawakannya mawar merah yang masih segar untuk dia simpan ke dalam sebuah kotak hitam.

"Black Angel... I miss you," lirih Zetta dengan air mata yang tiba-tiba menetes.

Dia ingin melupakan semua ingatan tentang Black Angel, tapi rasanya sulit. Laki-laki itu terlalu dalam terukir di hati Zetta. Sekalipun dia hanya orang asing yang datang seolah menjadi pahlawan padahal dialah penjahatnya.

Zetta mengambil bingkai foto dari dalam laci nakas yang sengaja dia tinggal. Foto itu adalah satu-satunya foto bersama Black Angel. Itu pun Zetta mengambil fotonya dengan diam-diam hingga hasilnya terlihat buram dan wajah keduanya tak nampak jelas.

Dia memeluk bingkai foto itu seraya membawanya terbaring di tempat tidur dengan posisi menyamping. Membiarkan dirinya terlelap memeluk Black Angel-nya.

"Temui aku dalam mimpi, Balck Angel... Meskipun setelah terbangun nanti yang aku temui hanyalah kenyataan pahit yang selalu terulang kembali."

Hingga tengah malam tiba, lampu Zetta otomatis memadam dan berganti lampu tidur. Tiba-tiba suara derap langkah kaki mulai mendekatinya.

Perlahan sebuah tangan kekar menarik selimut hingga menutup seluruh tubuh Zetta dan hanya menyisakan kepalanya.

Telapak tangan lebar itu juga menyingkirkan helaian rambut Zetta yang menggangu wajah cantiknya.

"Good night, Princess... Lupakan semua mimpi burukmu dan hiduplah bahagia," bisiknya seraya mengecup pelipis Zetta.

"Please, don't go, Black Angel.... " Zetta mengigau dengan lenguhan pelan hingga membuat sosok itu seketika menjauhkan dirinya.

Paginya, Zetta mulai membuka mata dan mendapati tubuhnya telah berselimut. "Kok pakai selimut? Perasaan semalem gue mager deh mau narik selimut," gumamnya.

Zetta tersenyum melihat bingkai foto yang terlepas dari pelukannya semalam.

"Pasti kamu kan yang selimutin? Aku nggak tahu kamu udah jadi hantu apa masih jadi manusia misterius kayak dulu. Tapi, aku percaya kalau kamu masih selalu lindungi aku."

Alih-alih curiga dengan orang lain, Zetta justru mengajak bingkai foto itu untuk berbicara.

"Udah, ah mandi dulu. Kan mau liburan sama kanebo kering gue."

Setelah membersihkan diri dan mengganti pakaian dengan pakaian lamanya yang ada di dalam lemari. Kaos putih polos dengan jaket denim dan celana jeans hitam. Dia juga memakai topi baseball hitam di kepala.

***

"Dari mana aja, Zetta?"

Zetta terperanjat ketika sampai di lobi apartemen Alice dan mendengar suara Excel tiba-tiba menginterogasinya. Laki-laki itu awalnya hanya duduk di sofa seraya memainkan ponselnya dan bersuara ketika Zetta nyaris memasuki lift.

Zetta mematung seketika dan perlahan memutar badannya untuk menghadap Excel. Matanya menyipit menatap Excel dengan kesal.

"Kepo banget jadi orang!" protes Zetta.

Sementara Excel langsung bangkit dari duduknya dan menghampiri gadis itu. "Wajar gue kepo. Kan lo pacar gue." Laki-laki itu menarik Zetta untuk memasuki lift bersamanya.

Zetta melirik lengan jaketnya yang ditarik seperti membawa kucing.

"Ih, posesif banget sih lo jdi cowok!" Sekali lagi Zetta mengajukan protes pada Excel seraya melepaskan tangan laki-laki itu dari lengan jaketnya.

Sikap Zetta yang seenaknya sendiri itu membuat Excel geram. Dia justru merangkul Zetta dengan tangan kanannya hingga kepala gadis itu menempel di dadanya dan tubuhnya tak bisa bergerak. "Kalau nggak diposesifin gini, lo itu nggak tahu diri! Lo nggak nyadar status lo itu pacar gue!"

"Aaarghh! Lepasin, Cel! Gue teriak nih!"

"Teriak aja. Emangnya gue ngapain lo?"

Dari banyaknya manusia yang dikenal Zetta, hanya Excel yang bisa menandingi julidnya.

"Haaah... Capek, bestie... diposesifin ayang." Sadar Excel itu menyebalkan, Zetta justru semakin menyandarkan kepalanya di dada Excel dan memeluk pinggang laki-laki itu.

Tingkah Zetta membuat Excel diam-diam menahan tawanya. Kenapa Zetta selalu bisa menunjukkan banyak sisi padanya?

Jika Zetta tahu isi hati Excel, pasti dia akan menjawab. "Sebenarnya gue banyak orang." Kadang manja, kadang cuek, kadang cerewet, kadang barbar dan yang paling sering randoomnya.

Tak lama lift mereka terbuka di lorong menuju apartemen Alice, mereka keluar dengan Zetta yang masih bergelayut manja pada Excel.

"Lepasin dulu, Ta... Lo nggak malu dilihat temen-temen lo?" ucap Excel dengan mengusap kepala Zetta yang tertutupi topi. Tadi Zetta minta dilepas nggak mau, giliran dipeluk suruh lepas. Aneh juga si Excel.

"Aah... Mager mau lepasin."

Ceklek!

"Ya ampun, Zetta... Dari mana aja sih lo?"

Belum juga Excel sempat menekan bel apartemen Alice, Jezlyn lebih dulu membuka pintunya dan melihat Zetta memeluk pinggang Excel.

Penampakan itu juga dilihat oleh Alice dan Lucia yang sibuk mengemasi barang-barang. Alice sedikit melunturkan senyumnya ketika melihat Zetta dan Excel sedekat itu. Tapi, tak betahan lama, Alice segera mengubah raut wajahnya kembali.

Sementara Lucia, pemegang kartu as teman-temannya, melihat perubahan raut wajah Alice dengan senyum jail. "Hihihi... Kalau perang seru, nih... Sayang banget Alice kealusan jadi orang," batin Lucia.

Zetta bergegas melepas pelukannya dari Excel ketika sadar teman-temannya melihatnya dengan tak biasa. "Biasa... Punya cowok kalau nggak pulang ke rumah ya ngapain?"

Jezlyn, Lucia dan Alice melongo mendengar jawaban randoom Zetta. Excel yang sudah hatam tabiat Zetta hanya diam saja dan mengikuti Zetta masuk.

Zetta tidak bohong, kan... Dia semalam pulang ke rumahnya sendiri. Jadi, ya nggak ngapa-ngapain.

"Wah, parah lo, Cel temen gue lo ajakin yang iya iya! Gue aduin Papi Feral lo!" ancam Lucia yang hanya direspons putaran bola mata oleh Excel.

"Zetta, serius... Lo semalem kemana? Gue udah nyraiin lo ke minimarket, ke mall nggak ada. Hp lo juga nggak aktif. Lo kebiasaan banget sih bikin orang lain panik? Please lah, Zet... Jangan aneh-aneh. Nyokap-bokap lo udah nitipin lo ke kita."

"Tenang aja... Kalian nggak usah khawatirin Zetta. Gue bakal jagain dia."

Alice langsung diam ketika Excel bersuara. Dia kembali mengurusi barang-barangnya yang akan dia bawa ke puncak.

"Nah, tu... Dengerin ayang gue ngomong," timpal Zetta.

"Serah lo deh, Zett... Emang paling susah kalau ngomong sama orang yang lagi bucin."

Tak peduli dengan ucapan Lucia, Zetta segera memasuki kamarnya untuk mengemasi barang-barang yang dia perlukan untuk liburan. Sebenarnya kemarin dia ingin belanja keperluan lain, tapi berhubung Marvel mengajaknya ke rumah, Zetta meninggalkan belanjaannya di minimarket.

Tak perlu waktu lama, Zetta kembali keluar dengan menarik ranselnya yang tak terlalu besar. "Dah, ayo berangkat! Keburu siang, ntar panas! Gue sama Excel ya... Ntar kalian ngikutin dari belakang aja," ajak Zetta pada teman-temannya.

Kenapa tidak satu mobil saja? Mereka sudah merencanakan untuk membawa dua mobil karena Excel dan Zetta akan mengunjungi beberapa tempat rahasia yang tidak boleh teman-teman Zetta ketahui.

"Gue sama lo deh, Zet!" Lucia tiba-tiba menyahut.

"Heh! Nggak ada ya.. Gue mau berduaan sama cowo gue! Yang ada lo ganggu!"

Lucia berdecih mendengar penolakan dari Zetta. "Cih, berduaan paling juga diem-dieman. Love language kalian kan gitu... Kalau nggak debat ya diem-dieman. Nggak sweet banget. Mendingan ada gue, kalau Excel bosen sama lo kan bisa gantian sama gue."

Zetta langsung memelototkan mata pada Lucia. "Lo godain cowok gue, gue sate lo!" ancamnya.

Objek yang dijadikan rebutan hanya memutar mata melihat Zetta dan Lucia merebutkan dirinya.

"Guys... Sorry ya aku telat."

Zetta dan teman-temannya langsung melihat ke arah sumber suara. Grace tiba-tiba muncu di depan pintu dengan disusul Putra.

Sadar Zetta dan teman-temannya melihat dengan tatapan tak biasa, Grace langsung memasang wajah bersalah. "Sorry, aku bawa Putra. Dia nggak ngizinin aku pergi sendirian. Tapi, kalian tenang aja... Putra juga ngajak temen-temennya kok biar makin ramai. Nggak apa-apa, kan?"

Tak lama kemudian Marcel, Nichole, Dave dan Vano sampai di hadapan mereka.

"Hai, girls...."

"Hai, boys...."

Nichole lah yang pertama kali menyapa para gadis-gadis itu dan Lucia menjawabnya penuh antusias.

"Wih, Ayang Lucia semangat banget," sambung Vano dengan bangganya.

"Ayang ayang palalo peyang!" Dave yang merasa tersaingi langsung menjitak kepala Vano.

"Kenapa ada cewek itu? Bukannya kita pergi cuma berlima?" tanya Zetta dengan nada sinisnya.

Sebutan "Gadis itu" yang ditujukan untuk Grace, membuat Putra mengernyitkan kening. Sejak kapan Zetta sekasar itu pada perempuan lain? Yang dia tahu dulu, meskipun Zetta tidak memiliki teman perempuan, dia selalu bisa menghargai sesama kaumnya.

"Ah... Sorry, Zett... kita belum sempet ngasih tahu lo kalau ngajak Grace juga," terang Alice dengan nada berasalah.

Jezlyn yang peka dengan sikap Zetta lantas merangkul gadis itu. "Nggak apa-apa kan, Zett? Kita awalnya emang cuma mau berlima aja, tapi setelah kenal Grace kita inisiatif ngajaikin dia. Itung-itung nambah temen."

Sepertinya Zetta sangat kecewa dengan keputusan teman-temannya. "Kita janjian cuma berlima. Gue nggak suka ya ada orang yang seenaknya ngubah rencana tanpa ngasih tahu gue."

"Zett...." rengek Jezlyn dengan nada berasalahnya.

Zetta menganggukkan kepalanya dengan kecewa. "Oke, kalian boleh liburan sama 'dia', tapi gue nggak ikut."

Penolakan Zetta membuat Marcel geram. "Lo kenapa sih, Ta sekarang jadi kasar gini? Lo nggak mau liburan sama kita-kita? Apa karena sekarang lo pacaran sama cowok itu? Lo beda, Ta... Nggak kayak Zetta yang dulu gue kenal."

Zetta memelototkan mata ketika Marcel menunjuk Excel seolah menyalahkannya. "Nggak usah bawa-bawa, Excel! Dia nggak ada hubungannya sama keputusan gue." Gadis itu meremas tangan Excel dengan kuat. Dia benci situasi seperti itu.

"Ah, lo sekarang nggak asik, Ta...."

Putra yang melihat keanehan Zetta langsung menarik Marcel dan Nichole untuk mundur.

"Ta... Please... Kita semua pengen bareng-bareng lagi sama lo. Sekalipun di antara kita udah punya pasangan masing-masing, apa nggak bisa kita sama-sama walau cuma sebentar aja? Kita kangen sama lo, Ta..."

Zetta melihat tatapan Putra yang tulus. Tak pernah berubah sejak dulu. Laki-laki yang selalu membelanya di depan siapa pun, bahkan di depan guru ketika Zetta melakukan kesalahan.

Tapi, sekarang Excel lah yang paling tahu tentang Zetta. Dia beralih menggenggam tangan Zetta hingga tertupi telapak tangan lebarnya.

"Zetta... Lo nggak perlu kayak gitu. Gue ngizinin lo ketemu mereka kali ini. Siapa tahu ini pertemuan terakhir kalian," bisik Excel.

Zetta menatap Excel dengan tak percaya. "Tapi, Cel....."

"Zetta ikut, tapi dia satu mobil sama gue berdua," ucap Excel pada semua orang di dalam ruangan itu.

"Nggak! Gue nggak biarin Zetta berduaan sama lo! Biar dia satu mobil sama kita," tolak Marcel.

"Dih, apaan sih, Cel... Suka-suka gue dong... Excel cowok gue juga. Mau apa lo?"

Pertikaian Zetta dan Marcel membuat Putra harus pasang badan untuk melerai mereka. "Ssssttt... Udah lah, Cel... Biar Zetta sama pilihannya. Yang penting kita sampai sana bareng-bareng."

Akhirnya Marcel pun mendingin dan membiarkan Zetta kekuar bersama Excel terlebih dahulu.

"Yuk, Cel kita duluan," ajak Zetta seraya menarik tangan Excel.

Marcel mengacak-acak rambutnya sepeninggal Zetta dan Excel. "Aaarggh! Excel bangsat! Bisa-bisanya dia jauhin kita sama Zetta. Gue, gue yang nemenin sejak dia kecil, Put! Gue yang selalu ada saat Zetta lewatin masa traumanya! Zetta yang cuma mau main sama gue, bukan orang lain! Tapi, sekarang apa? Gue seolah nggak berarti lagi buat dia. Dia lebih milih cowok itu dari pada gue sahabatnya yang bertahun-tahun nunggu dia balik!"

Putra sangat mengerti perasaan Marcel. Zetta dan Marcel sudah bersahabat sejak kecil, wajar jika Marcel merasa sakit hati Zetta mengabaikannya. Meskipun dia sadar, pada akhirnya nanti mereka akan menemukan pasangan masing-masing.

Dengan lembut Putra mendudukan Marcel di sofa untuk menenangkannya sejenak. "Sabar, Cel... Lo jangan marah-marah gini. Pasti ada alsannya kenapa Zetta jauhin kita."

Marcel tertunduk dengan menutup wajahnya menggunakan telapak tangan. Teman-temannya yang lain hanya diam, sementara teman-teman perempuan Zetta terbelalak ketika tahu Zetta memiliki traumna. Sejak mereka saling mengenal, Zetta tak pernah menceritakannya. Pantas saja, Excel selalu membawa obat kemana-mana.

Perlahan Marcel kembali mengangkat wajahnya dan tanpa sengaja melihat wajah teman-teman Zetta yang terlihat kebingungan.

"Wait, Zetta punya trauma? Trauma apa?" tanya Jezlyn pada kelima teman laki-laki Zetta.

Tidak ada yang berani menjawab sampai akhirnya Marcel kembali berdiri. Dia lupa jika Zetta tidak pernah suka traumanya diketahui banyak orang.

"Em... Nggak usah dibahas lagi. Mendingan kita berangkat! Keburu siang ntar," ucap Marcel untuk mengalihkan pembicaraan.

"Marcel! Please... Tell me about Zetta!" Jezlyn yang tidak suka teman-temannya menutup diri padanya langsung menyerang Marcel dengan pertanyaan itu.

"Jez... Sorry, gue nggak bisa ngasih tahu kalian lebih lanjut lagi. Gue tahu kalian deket banget, tapi ada beberapa hal yang memang kalian nggak harus tahu satu sama lain."

"Tapi, ini masalah serius, Marcel! Gue nggak bisa nggak peduli sama Zetta. Gue nggak mau keteledoran kita yang nggak tahu apa-apa tentang Zetta menjadi bahaya buat dia."

Dengan keberanian penuh, Marcel langsung memeluk Jezlyn yang tengah panik memikirkan Zetta. "Tenang, Jez... Someday, lo bakal tahu. Tapi, bukan lewat gue. Sorry."

Akhirnya Jezlyn diam. Mau tak mau dia harus lebih bersabar menunggu Zetta menceritakan semuanya. Dia cukup tahu jika Marcel tak berani membongkar privasi Zetta.

"Anjir, Jezyn jauh bentaran sama cowoknya udah berani aja nempel-nempel sama cowok lain. Yang udah pro emang beda." Lucia yang selalu santai menghadapi situasi apapun justru berjulid ria dalam hati seraya terkikik.

Sementara itu, Zetta yang sudah pergi terlebih dulu, ternyata masih di depan apartemen Alice. Dia mendengar semuanya tentang kekecewaan Marcel padanya.

Gadis itu diam di rangkulan Excel mendengarkan semua ucapan Marcel dengan air mata yang tanpa sengaja jatuh di pipinya. Excel pun mengusap air matanya dengan lembut. "Gue nggak tahu, kenapa lo hobi banget nangis?"

Zetta seketika mendongak untuk menatap wajah Excel yang lebih tinggi darinya. "Gue sejahat itu ya, Cel?"

"Lo nggak jahat, Zetta... Suatu hari nanti, mereka bakal tahu."

"Tapi, gue nggak mau mereka tahu."

Excel menghela napasnya dengan pasrah. "Iya... Mereka nggak akan tahu kalau kita segera balik ke Jerman. Udah ya, Honey... Nangisnya ditunda dulu. Nanti kalau udah nyampe mobil bisa dilanjut lagi."

To be continue...

Merasa bersalah banget gantungin kalian. Tapi, seru juga wkwkwk

Mau up cepet, spam komen yg banyak ya... Kalau bisa part² sebelumnya juga dikomen

Boom vote juga lah! Jangan pelit²

Biar makin semangat buat update lagi. Syukur² mau share ke temen kalian.

Mau ganti visualisasi nih, ada saran ga?

Sampai sini dulu deh...

See you next part 💞

Love you guys...

Fortsätt läs

Du kommer också att gilla

3.2M 266K 62
⚠️ BL Karena saking nakal, urakan, bandel, susah diatur, bangornya Sepa Abimanyu, ngebuat emaknya udah gak tahan lagi. Akhirnya dia di masukin ke sek...
347K 42.6K 33
Cashel, pemuda manis yang tengah duduk di bangku kelas tiga SMA itu seringkali di sebut sebagai jenius gila. dengan ingatan fotografis dan IQ di atas...
867K 85.9K 48
"Jangan lupa Yunifer, saat ini di dalam perutmu sedang ada anakku, kau tak bisa lari ke mana-mana," ujar Alaric dengan ekspresi datarnya. * * * Pang...
1.3M 58.4K 42
Menjadi istri antagonis tidaklah buruk bukan? Namun apa jadinya jika ternyata tubuh yang ia tepati adalah seorang perusak hubungan rumah tangga sese...