Almost Paradise [COMPLETED]

By IronHeights

14.9K 2.9K 357

[PROSES PENERBITAN. PART MASIH LENGKAP] Lita terlalu sering menonton drama Korea. Hingga ia ingin menciptakan... More

SATU
DUA
TIGA
EMPAT
LIMA
ENAM
TUJUH
DELAPAN
SEMBILAN
SEBELAS
DUA BELAS
TIGA BELAS
EMPAT BELAS
LIMA BELAS
ENAM BELAS
TRAILER
TUJUH BELAS
DELAPAN BELAS
SEMBILAN BELAS
DUA PULUH
DUA PULUH SATU
DUA PULUH DUA
DUA PULUH TIGA
DUA PULUH EMPAT
DUA PULUH LIMA
DUA PULUH ENAM
DUA PULUH TUJUH
DUA PULUH DELAPAN
DUA PULUH SEMBILAN
EXTRA PART - Before Daffa
GOOD NEWS!

SEPULUH

422 107 5
By IronHeights

"Makan yang banyak. Abisin." Kay menoleh sekilas, lalu kembali sibuk dengan ponselnya.

Lita memandangi punggung Kay yang berada di depannya. Di area kolam renang tadi jawaban 'saya laper' berujung ia ditarik paksa Kay ke kafetaria buat makan, beberapa siswa yang masih ada di sekolah melirik mereka sambil berbisik-bisik.

Lita baru mau menyuapkan sendok berisi nasi dan potongan ayam goreng ke mulutnya, Daffa datang menginterupsi. 

"Makannya dilanjutin di ruang musik. Ada yang harus diomongin." Daffa berisyarat mata dengan Kay dan mereka berjalan beriringan, diikuti Lita dibelakang membawa piring berisi makan siangnya hasil paksaan Kay.

Begitu masuk ke ruang musik yang sudah disulap seperti ruang rapat, ada meja persegi panjang di tengah kursi-kursi yang mengelilinginya. Kursi-kursi itu sudah diduduki Advin, Seran dan Fiksa. Mereka semua diam, hanya Fiksa yang tersenyum melihat Lita kikuk membawa makanannya dan duduk diantara Daffa dan Kay.

"Arcalita, makan siang, eh sorenya, bisa dilanjut disini."

Diperintah Daffa, Lita malah celingak-celinguk. Masa iya harus makan disini? Disamping Kay yang duduk tenang melipat kedua tangan di dadanya, di depannya ada Seran yang sedang menatapnya tajam, Fiksa yang duduk santai di sebelah Seran dan Advin sibuk dengan buku bacaan, entah apa itu.

"Kita mau bahas masalah Lita." Daffa to the point yang membuat Lita langsung keselek makanannya. Seran mendorong botol minum ke arah Lita dan langsung dihabiskan setengahnya.

"Saya nggak punya masalah, Kak," ucap Lita setelah melegakan tenggorokannya yang tadi kesumbat makanan.

"Oke, masalah kita." Daffa mengoreksi, tapi malah membuat Lita makin bingung.

"Maksudnya?" tanya Lita sambil mendorong piringnya yang masih terisi penuh makanan.

"Masalah beberapa hari lalu. Masalah Liona," ujar Fiksa.

"Ohh itu, saya minta maaf sama kakak semua. Saya berani sumpah nggak bermaksud ganggu Liona, saya cuma mau jenguk walaupun nggak kenal sama dia. Saya juga nggak bermaksud narik perhatian kakak semua dengan datengin Liona. Saya..."

"Bisa lupain kata-kata gue yang itu?" Kay bersuara dari sebelah Lita, matanya memancarkan rasa bersalah.

Lita mengarahkan matanya ke arah lain selain mata Kay yang membuatnya jadi salah tingkah, kemudian melanjutkan kata-katanya.

"Mungkin saya emang kampungan dan norak dengan sok baik mau ngasih kakak semua kue waktu itu. Mungkin saya emang kampungan dengan ngikutin semua ekskul yang kakak pimpin. Niat awal saya cuma mau lebih kenal kakak semua aja. Dan, saya juga rela dibilang kampungan dengan diem-diem ngikutin kalian dan saya tiba-tiba aja terdorong buat ketemu Liona, setelah dikasih tau penyebab dia dirawat disana sama suster. Saya emang kampungan..."

"Elo masih marah ya? Sampe elo ingetin terus kata-kata gue kemarin?" Kay mengubah posisi duduknya jadi menyamping agar bisa melihat Lita dengan jelas.

"Dan saya nggak pernah ada niat buat jadi pacar salah satu diantara kalian." Lita menatap Seran sekilas yang masih duduk di depannya.

Lita bangun dari duduknya dan melangkah cepat ke sudut ruangan, disana ia menarik napas panjang dan menghelanya perlahan. Airmatanya jangan sampai keluar di depan mereka berlima lagi. Ia harus ingat akan janjinya pada Farla untuk menjadi perempuan yang kuat dan selalu tersenyum, memaafkan apapun kesalahan orang lain dan tidak cengeng.

"Maafin aku, Kak Farla..." bisik Lita pelan saat airmatanya tumpah mengingat segala kenangan akan Farla.

"Sejak kapan jadi cengeng? Seinget gue walaupun elo sering banget gue hukum ke luar ruangan, karena sering buat harmonisasi nada jadi berantakan, elo nggak pernah nangis. Malah maksa buat ikut nyanyi lagi." Advin meletakan saputangan di genggaman Lita.

"Makasih, Kak." Lita menghapus airmatanya dan membalas senyum Advin yang samar. Meskipun begitu Lita bisa menduga kalau sebenarnya Advin orang yang ramah, hanya pembawaannya saja yang memang lebih pendiam dari yang lain.

"Sebenernya, ada yang mau kita tanyain. Apa yang bikin elo pertama kali punya niat kasih kita kue waktu itu dan akhirnya ikut semua ekskul yang kita terlibat diantaranya." Fiksa buru-buru menambahkan ketika melihat Lita mau menjawab.  "Alasan jujur. Paling jujur."

"Emang penting ya?" tanya Lita setengah hati dengan suara yang sengau habis menangis.

"Penting." Akhirnya Seran mengeluarkan suara juga.

Lita kelihatan gelisah dan matanya melirik lima cowok di sekitarnya satu-satu. "Janji jangan ketawa," ucap Lita membuat mereka semua saling bertatap bingung.

"Janji nggak?"

"Iya, janji." Daffa mengacak rambut Lita gemas.

"Alasan paling jujur itu saya mau kenal lebih deket sama kakak semua, karena kakak-kakak tuh mirip geng cowok terkenal dan ganteng kayak di drama Korea favorit saya." Lita mengatakan itu dalam satu tarikan napas dan langsung menunduk malu.

Suasana kembali hening. Tidak ada yang berkomentar. Membuat Lita makin enggan melihat ekspresi apa yang ditampilkan lima orang cowok disamping kanan-kiri dan depannya.

"Kita ganteng?" Fiksa geli sendiri dengan pertanyaannya.

"Kita geng terkenal? Kayak geng mafia gitu maksudnya?" Daffa memiringkan kepalanya agar bisa melihat wajah Lita yang masih tertunduk.

"Drama Korea?" Advin mengerutkan kening.

"Ada alasan yang lebih konyol lagi?" Seran mengusap wajahnya seperti orang frustasi.

Lita memaksakan wajahnya yang masih tertunduk untuk menoleh ke arah Kay yang belum memberi komentar sebelah alis yang dinaikkan. Antara bingung atau tidak tahu harus komentar apa.

"Beneran itu alasannya?" Daffa masih belum percaya.

"Iya." Lita malas menjawab panjang lebar alasan konyolnya itu.

"Oke, oke. Tapi, gue masih belum nangkep kenapa juga lo harus repot-repot ikut lima ekskul sekaligus?" tanya Fiksa.

"Abisnya saya penasaran. Kalo di drama Korea yang saya tonton geng cowoknya tuh punya anggota yang sikap dan sifatnya saling menyeimbangkan. Ada yang galak, judes, tapi pasti ada yang ramah, suka senyum. Sedangkan, kakak semua nggak pernah senyum. Makanya, waktu saya ngintip kalian ketawa di ruang musik, saya penasaran. Kalian bisa ketawa begitu, tapi kalo di depan orang-orang judes mulu."

"Kapan lo ngintipin kita?"

"Bukan ngintip." Lita meralat ucapannya sekaligus pertanyaan Advin. "Waktu Kak Advin nyuruh saya nyalin partitur-partitur lagu dari buku ke kertas HVS."

"Ohh, itu pas kita ngetawain video si Arcalita yang loncat dari ke kolam renang, terus mukanya ketampar air."

Lita melongo. Jadi waktu itu dia yang diketawain ngakak sama mereka berlima, bahkan Kay sampai jongkok-jongkok saking gelinya. Lita langsung menoleh dan di sebelahnya Kay menelungkupkan kepala di meja. Bahunya terguncang pelan. Kay sedang tertawa. Muka Lita panas dan merah seketika.

"Berarti bener waktu itu gue denger suara di luar."

"Tapi, pas gue periksa kok nggak ada siapa-siapa?" Ucapan Advin sebelumnya langsung ditanggapi pertanyaan oleh Fiksa.

"Dia keburu kabur dan ngumpet. Elo sampe nabrak papan buletin, 'kan?" kata-kata telak dari Seran dengan nada datar, tapi bisa dilihat dengan jelas senyum di bibirnya berusaha tidak mengeluarkan tawa seperti Kay yang masih terus menelungkupkan kepalanya, ditambah ucapan Seran tadi membuat guncangan bahunya bertambah cepat.

"Kakak liat saya nabrak papan buletin?" Lita mengabaikan tangannya yang pengen banget mendorong Kay agar dia berhenti tertawa tanpa suara.

Seran hanya mengangkat bahu dan mencetak senyum puas di bibirnya yang biasa mengeluarkan kata-kata nyelekit.

"Pertama ketampar air, kedua nabrak papan buletin. Hobi ngelukain diri sendiri, ya?" Kembali Daffa tertawa sambil tangannya diletakkan di puncak kepala Lita.

Perlakuan Daffa yang satu itu lagi-lagi membuat Lita deg-degan tidak karuan dan untuk mengalihkan rasa itu Lita berdiri dari duduknya. "Lanjutin deh ketawanya. Saya mau pulang, udah sore, Kak."

"Sori, sori. Jangan ngambek. Duduk lagi, ya?" Kay menyambar tangan Lita dan menahannya sambil tersenyum.

"Mau tau kisah Liona yang jelas dan lengkap?" Kay menatap Lita teduh.

Tawarannya mengenai kisah Liona membuat tegap badan Lita, ia tegang. Memang ia sangat penasaran bagaimana kisah Liona yang sebenarnya dan bagaimana itu semua berhubungan dengan kelima cowok ini.

Advin menutup buku yang sedang dibacanya dan bercerita dari awal. Bagaimana mereka berlima langsung jadi bahan pembicaraan dan populer saat pertama kali masuk Garuda Bangsa. Dari kelas sepuluh hingga kelas dua belas menyukai mereka, dan bukan hal yang mengherankan banyak titipan salam serta hadiah-hadiah kecil dari murid-murid perempuan hampir seantero Garuda Bangsa, kecuali Liona. 

Liona gadis biasa, namun berparas cantik dan pendiam. Yang membuat Liona beruntung dan banyak mau bertukar posisi dengannya adalah ia sekelas dengan Kay, Seran, Advin, Fiksa dan Daffa. Sikapnya yang biasa saja justru membuat lima cowok itu bisa dekat dengan Liona. Bagi mereka menyenangkan bisa dekat dengan Liona yang tidak harus menatap mereka dengan mata berbinar dan tatapan memuja. Liona tertawa seadanya melihat tingkah konyol Daffa, candaan Fiksa, bukan jenis tertawa yang dibuat-buat untuk menarik perhatian. Liona yang selalu melerai Kay dan Seran apabila meributkan siapa diantara mereka yang paling jago main PS. Liona yang paling mengerti Advin tentang hobinya dengan musik dan buku. Hal-hal seperti itu justru membuat banyak pihak tidak suka dan iri pada Liona.

Mulai dari teman sesama kelas sepuluh yang mengerjainya, membuat basah kursi Liona. Pura-pura tidak sengaja menumpahkan makan siang Liona, jika tidak sedang bersama lima sahabatnya itu.

Dan yang terburuk berasal dari senior cewek kelas dua belas. Melihat Liona makin dekat dengan idola-idola mereka bahkan sampai diantar jemput saat sekolah, membuat para senior berang. Liona dikunci dalam toilet, dibongkar isi lokernya, hingga yang paling fatal adalah Liona hampir kehilangan kesuciannya oleh suruhan para seniornya. Untungnya ada orang sekitar yang mendengar teriakannya dan langsung menolong.

Mendengar cerita itu Lita tidak bisa menahan airmatanya. Ternyata Liona memiliki kejadian yang hampir sama mengerikan dengan almarhum kakaknya. Hanya saja Liona memiliki keberuntungan ada yang mendengar teriakannya, berbeda dengan Farla yang rintihannya tidak didengar siapapun.

Kejadian yang menimpa Liona membuat Kay, Seran, Advin, Fiksa dan Daffa melakukan suatu tindakan dengan mengambil keputusan bersama yaitu tidak ada keistimewaan perlakuan untuk siapa pun. Memutuskan mengubur diri mereka yang suka tersenyum, bersikap ramah pada setiap orang, karena seorang saja ada yang merasa tidak adil, maka akibatnya akan ada korban seperti Liona lagi.

Oleh karena itu, di sekolah selama hampir dua tahun ini mereka berlima menyembunyikan tawanya, senyumnya, keramahannya, dan kebaikannya. Mereka bisa menjadi diri sendiri hanya ketika saat di rumah atau tidak sedang di lingkungan sekolah.

"Kenapa mereka jahat banget hanya karena kalian memilih bersahabat sama Liona?" Lita menangis sesegukan, menutup wajahnya.

Mereka berlima saling bertukar pandang dan tanpa intruksi siapapun semuanya merapat mengelilingi Lita yang masih menutup wajah agar tangisnya tidak terlihat, meskipun suara tangisnya terdengar jelas.

"Kita udah nggak mikirin itu lagi, yang penting mereka semua udah dapet hukumannya." Seran duduk disamping Kay. "Setelah kebongkar, mereka semua langsung di drop out dari sekolah."

"Arcalita, udahan nangisnya dong." Daffa berdecak bukan karena kesal, tapi karena tangisan Lita terdengar begitu pilu. Seolah-olah ia yang ada di posisi Liona.

"Andai Kak Farla seberuntung Liona, andai teriakannya didengar orang lain. Andai kejadian itu bukan di gudang sekolah dan malam hari. Pasti Kak Farla..." Tangis Lita makin pecah membayangkan teriakan dan rintihan kakak kesayangannya itu meminta tolong. Membayangkan keceriaan kakaknya digantikan wajah pucat dan tatapan kosong. Membayangkan suara ceria kakaknya menawarkan es krim digantikan oleh sosok kakaknya yang terbujur kaku tanpa bisa bersuara lagi selamanya.

"Pasti mereka udah dapet hukuman yang pantas kan, Lita." Kay tidak kuasa untuk tidak merengkuh Lita ke pelukannya. Sekedar menenangkan sosok yang biasa pantang menyerah ini menjadi rapuh mengingat kejadian yang menimpa kakaknya.

Dalam lingkaran tangan Kay yang memeluknya Lita menggeleng pelan membuat Kay jadi mengendurkan tangannya dan semua yang ada disitu saling menatap bingung.

Dengan suara terbata-bata dan tangis yang masih bersisa Lita kembali memutar memori pahit keluarganya. Keluarga Lita yang biasa-biasa saja tidak bisa melawan kekuatan status sosial dari si pelaku yang tidak lain adalah anak dari ketua yayasan tempat Farla sekolah. Tidak bisa menuntut, malah Farla yang disalahkan kenapa saat jam sekolah usai masih berada di sekolah.

Padahal Lita ingat betul ketika kakaknya menelepon untuk bilang ke mama kalau ia akan pulang telat, karena katanya ada urusan organisasi bersama para senior. Lita masih sangat ingat pula saat papanya hilang kendali dan hampir memukul kepala sekolah, kalau saja mama tidak mencegah dan Farla yang histeris.

"Brengsek. Gue mau tau sekolah macam apa sih disana?" Advin yang biasanya lebih bisa mengendalikan kata-katanya terlihat geram.

Lita menghapus sisa-sisa airmatanya dan menggeleng pelan. "Saya sekeluarga udah maafin mereka semua. Kak Farla pasti nggak tenang di alam sana kalau keluarganya masih punya dendam di sini." Lita memaksakan senyum.

"Keluarga lo baik banget." Fiksa mengulurkan ujung telunjuknya menghapus setitik airmata yang ada di ujung mata Lita.

Lagi-lagi Lita menggeleng lemah. "Kakak semua harus tau, sehari sebelum Kak Farla meninggal dia bilang, 'apapun kesalahan orang lain harus bisa dimaafkan, seberat apapun itu. Karena dengan memaafkan hati kita pasti tenang.'"

Lita menarik napas panjang sebelum melanjutkan. "Padahal saya tau banget Kak Farla lagi dalam kondisi stress dan trauma berat saat itu. Terbukti waktu saya nganterin sarapan ke kamar besok paginya dan Kak Farla..." Lita tidak sanggup menyelesaikan kalimatnya, dirinya sebisa mungkin tidak mengeluarkan airmatanya.

"Arcalita, manajer futsal yang suka bengong, jangan nangis lagi ya. Farla pasti ikut sedih kalo lo nangis." Daffa mengacak-acak rambut Lita dan mengusap bahunya.

"Lo harus kuat buat adik lo juga, Lit." Fiksa berada di depan Lita mengenggam erat tangan adik kelasnya itu, seperti sedang mentransfer kekuatan untuknya.

"Lita, gue minta maaf buat kata-kata gue waktu di rumah sakit." Wajah serius Seran sudah berubah menjadi wajah penuh rasa bersalah.

Lita tersenyum dan mengangguk. "Kok jadi pada mellow begini sih?"

Lita tertawa pelan melihat wajah-wajah yang biasanya galak jadi kayak pangeran-pangeran negeri dongeng yang sedih kehilangan putri pujaannya.

"Saya boleh ikutan kalo kakak semua jenguk Liona lagi?"

"Jangan langsung sok akrab gitu deh," celetuk Seran namun langsung disambung dengan senyum. "Boleh kok."

"Wah, Kak Seran bisa senyum!" Lita menunjuk Seran yang baru saja tersenyum.

"Eh, iya, iya, sejak kapan Seran jadi gampang senyum?" Fiksa matanya menyipit dan menahan senyum.

"Vin, coba cek diantara koleksi buku lo mungkin Seran kena penyakit apa gitu." Daffa menepuk punggung Advin.

"Nggak perlu buku. Gue tau jawabannya. Yang bisa buat Seran senyum tuh selain kita, Liona, adik-adiknya, adalah..."

"Pada berisik amat sih!" Seran melempar buku Advin tepat ke punggung si empunya buku.

Lita tertawa pelan melihat empat cowok disekitarnya terlihat 'normal' tanpa harus pura-pura menjadi Lima Gunung Es lagi.

Sebentar, ini yang lagi bercanda baru empat orang, satu lagi?

Lagi-lagi Kay kembali menelungkupkan kepala ke meja panjang di depannya. Bahunya berguncang cepat dan di tangan kirinya ada ponsel Daffa yang dibiarkan sedang memutar video. Lita sudah bisa menebak apa yang membuat Kay tertawa seperti itu lagi. Video dari ruangan CCTV di area kolam renang baru saja kembali ditonton Kay dan membuatnya tertawa sendiri.

"Saya pulang ya, Kak."

"Eh, bentar, sori. Abis lucu videonya." Kay kembali menahan Lita, tapi masih ada sisa-sisa tawa di bibirnya.

"Iya, lucu," kata Lita keki. "Saya harus pulang sekarang, Kak. Nanti dimarahin kalo telat pulang."

"Pulangnya kita anter aja, Lit," usul Fiksa.

"Makasih, Kak. Rumah saya deket kok." Lita melongok ke bawah kursi yang didudukinya. "Duh, tas masih ada di kolam renang."

Lita pun langsung berlari ke area kolam renang. Namun, sebelum ia benar-benar keluar dari ruang musik Lita sempat berkata kepada lima seniornya. "Kalo boleh saya saran, sebaiknya kakak-kakak semua nggak usah jadi orang lain lagi. Saya berani jamin nggak akan ada Liona-Liona lainnya. Kejadian itu udah dua tahun lalu, kan? Sekarang waktunya kakak jadi diri sendiri lagi di depan orang lain."

Sudah hampir jam enam sore, area sekolah pun sudah mulai sepi. Hanya ada beberapa murid baru selesai ekskul yang masih berkeliaran, termasuk di area kolam renang. Lita sempat berpapasan dengan teman-teman satu ekskulnya yang sepertinya baru selesai berlatih. Lita jadi ingat kalau mereka baru selesai renang, berarti teman-teman seanggotanya itu berlatih sendiri, karena Fiksa dari tadi berada di ruang musik dengannya dan yang lain.

Lita langsung mengambil tas yang tergeletak di pinggir kursi panjang dan kembali menuju keluar, namun saat tangannya hendak mendorong pintu, pintu itu tidak terbuka. Lita mendorong lebih kuat, namun tetap tidak terbuka. Lita memandang pintu di depannya yang tadi ketika ia masuk tidak terkunci. Tanpa berpikir panjang lagi, Lita hendak mendobrak pintu itu dengan segenap kekuatannya.

Satu, dua, tiga...

"Eh, eh, aduh duh....." Pintu itu terbuka sendiri membuat Lita yang sudah siap mendobrak jadi terperosok ke depan.

"Loh, Lita, lo ngapain sih?" Fiksa yang ternyata barusan membuka pintu heran melihat Lita tahu-tahu berlari seperti hendak menabrak pintu dan sekarang sedang berusaha bangun dari jatuh.

"Itu Kak, tadi pintunya..." Lita mengusap-usap dengkulnya yang ngilu terbentur lantai sambil menunjuk pintu disamping Fiksa yang tadi susah dibuka.

"Kenapa pintunya?" Fiksa memerhatikan pintu di sampingnya

"Ng, nggak apa-apa, Kak. Cuma macet tadi kayaknya pintunya."

"Masa sih?" Fiksa menggerak-gerakkan pintu itu, tapi tidak ada yang aneh.

"Yaudah deh, Kak. Saya duluan pulang."


"

Yakin nggak mau dianter?"

"Makasih, Kak. Lain kali aja." Lita tersenyum lebar sambil melirik pintu yang tadi ia yakin banget susah dibuka.

***

Continue Reading

You'll Also Like

240K 15.1K 54
END Ziya si tukang stalker sekaligus Mak comblang kena karma Omayyygattttt !!!! Dunia Percomblangan dalam bahaya dan semua itu karna Ketua Osis palin...
891K 87.8K 49
"Jangan lupa Yunifer, saat ini di dalam perutmu sedang ada anakku, kau tak bisa lari ke mana-mana," ujar Alaric dengan ekspresi datarnya. * * * Pang...
356 50 11
|I SEQUEL OF JUST D [WHO ARE YOU?] I| [HARAP FOLLOW SEBELUM MEMBACA, TERIMAKASIH] Warning! 18+ Murder scene, strong language, (no sex scene) Harap bi...
653K 160K 71
*new version Salah Kode! Niat hati ingin clubbing untuk menghilangkan patah hati setelah tau mantan pacarnya sudah memiliki kekasih baru, Zahera Syan...