bonchap : fatwa bunda

8.1K 1.2K 180
                                    

Penjabaran penuh dari mencekam dan ketegangan nampaknya tak bisa menjelaskan seberapa asingnya atmosfer yang melingkupi ruang. Ditambah senyapnya syahdu dampak tak adanya insan yang berniat membuka suara sedaritadi.

Hanya suara samar pembawa berita dari televisi yang menjadi pengiring keheningan pada ruang tamu megah kediaman keluarga Andika.

Dan dua tuan rumah itu tak segan secara gamblang menelisik tiap jengkal tubuh lawan bicara yang duduk di sofa seberang dengan pakaian sederhananya.

Risih, tentu. Tapi itu sama sekali tak menyurutkan tekadnya. Bahkan, goyah pun tidak.

"Permisi. Ini minumannya," interupsi bibi yang tiba dengan segelas sirup pada nampan.

"Terima kasih--"

"Harusnya bibi nggak menyediakan minum sebelum saya suruh." Suara anggun itu terdengar dingin dan mengancam, membuat bibi menunduk dalam. "Tapi karena terlanjur, ya sudah."

Setelah bibi mengucap maaf dan pamit undur diri, tak kunjung jua percakapan tercipta setelahnya. Hingga sang kepala keluarga menukas lugas.

"Saya menunggu Anda menyebutkan nominal sedaritadi." Menimpang sebelah kaki di atas lainnya dan menaut tangan, angkuh. "Nampaknya Anda mau berbasa-basi dulu, ya?"

Bersambut kening mengerut. "Nominal apa?"

"Bayaran atas jasa merawat Raanan selama dia melarikan diri, tentu. Memangnya, apa lagi? Lagipula... itu kan, tujuan Anda dan anak Anda datang ke sini?"

"Sekali lagi saya tegaskan." Bunda sempat menarik napas panjang guna meredam timbulnya bibit pitam. "Saya datang ke sini, ke kediaman keluarga Andika, bertamu sebagai ibunda Januar Nakhla Adinata selaku teman Kaili Raanan Andika untuk membahas perkara pola asuh kalian terhadapnya."

"Pola asuh? Tahu apa Anda tentang pola asuh anak? Anda psikolog? Atau dokter anak? Bukan, kan? Toh dari penampilan saja nggak mencermikan demikian." Mama mendengus remeh lantas mengibas tangan.

"Sudah, deh. Mending Anda pulang saja. Saya nggak ada waktu meladeni omong kosong dari ibu rumah tangga kampungan seperti Anda. Kalau malu menyebutkan nominal, Anda bisa berbicara pada Raanan. Biar dia yang menyampaikannya pada kami."

Memang pongah.

Teramat berakah.

Persis seperti yang diucap saban hari lalu oleh adiguna.

Mama sudah beranjak hendak berlalu saat suara Bunda menggema lantang dengan tak tahu takutnya ia seolah menantang.

Ambang teduh sudah melampaui peringgan, pejaka tuk hal mencokol di dada diutarakan.

"Anak itu!"

"Mau dituntut sesempurna apa lagi?"

"Mau disengsarakan sebagaimana lagi?"

"Mau direnggut bahagianya sejauh mana lagi?"

Dapat Bunda lihat punggung sempit berbalut kain mahal itu menegang spontan. Sekon demi sekon berlalu lambat tanpa adanya respon. Namun akhirnya ia berbalik walau dengan raut yang berkali lipat lebih dingin dari sebelumnya.

"Tahu apa Anda tentang kebahagiaan anak saya?" Desisan tak suka terdengar jelas di penghujung kalimat. "Anda hanya orang asing yang baru bertemu dengan Raanan."

"Ya, saya hanya orang asing. Belum lama mengenal anak manis tersebut. Tapi saya seorang ibu dari teman anak Anda. Saya yang mengurus Raanan selama ia pergi dari penjara berkedok rumah ini."

"Berani-beraninya Anda--" Si kunci marga ingin angkat suara, dengan urat menonjol di sisian lehernya. Untung sang istri pantas pangus menahan dengan tangan lentik, seolah menunggu lanjutan kalimat yang akan keluar dari ranum Bunda.

youth | nct dream ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang