"Eh, ada Oma ... kok Oma di sini? Ngapain? Jakarta panas, mending Oma balik lagi ke Bandung," usul Rangga, berjalan menghampiri wanita tua yang disapa Oma barusan.

"Kamu ini, duduk!" perintahnya tegas.

Rangga mencium punggung tangan Oma terlebih dahulu, kemudian duduk di sofa sebelah.

"Ada apa ini?" tanya Rangga sambil mengusap tengkuknya karena merasakan hawa tidak enak.

"Mana istri kamu itu?" tanyanya to the point.

"Istri apa?" tanya Rangga balik, pura-pura tidak mengerti.

"Jangan banyak alasan, Oma sudah tau dari Ringgo."

"Ringgo—"

"Rangga," tegur Lova, karena cowok itu tidak memakai embel-embel yang sopan.

"Iya, iya ... maksudnya bang Ringgo. Dia otaknya geser, Oma. Jadi gak usah didengerin." Rangga menengok ke kanan menatap Lova seakan meminta penjelasan.

"Tadi abang kamu keceplosan," bisik Lova.

"Punya abang satu, nyusahinnya minta ampun," gerutu Rangga.

"Kamu menghamili anak gadis orang?" tanya Oma Elen, kemudian menggelengkan kepalanya tak habis pikir.

"Bukan gitu kejadiannya, Oma." Lova berusaha membela putra keduanya, bagaimana pun juga ini bukan salah Rangga.

"Kamu diam saja, Oma mau minta penjelasan langsung dari cucu Oma yang bandel ini," sergah Elen, membuat Lova seketika memilih untuk bungkam.

"Rangga abis liburan ke puncak, terus baliknya nyasar, akhirnya kepergok warga. Udah gitu." Rangga tidak menceritakan semua, terutama tentang masalah kondom ulah Pahlevi.

"Gimana ceritanya sampai warga itu mau nikahin kamu sama gadis yang bahkan Oma aja belum kenal bobot, bibit, bebetnya?" tanya Elen tak terima jika Rangga menikah diusia muda.

"Emang peraturan di desanya, Oma," jawab Rangga malas. "Lagian, Oma gak perlu ribet untuk ngurusin pasangan hidup Rangga."

Elen menghela napas sejenak. "Oma cuma mau yang terbaik untuk cucu Oma," belanya.

"Ocha udah jadi pasangan hidup terbaik buat Rangga." Rangga bangun dari duduknya, kemudian menyalami tangan Lova dan Elen.

"Mau ke mana kamu?" tanya Elen.

"Mau pulang ke rumah Rangga." Rangga mengucap salam, lalu berjalan keluar.

"Heran sama si mami, tahan aja punya mertua kayak gitu. Untung mertua gue gak cerewet kayak Oma. Kalau iya, dapet wejangan terus gue tiap jam," cerocos Rangga kemudian duduk di atas motornya.

"Rangga!"

Rangga mengumpat dalam hati saat mendengar panggilan yang berasal dari suara Elen. Lalu Rangga menoleh ke arah pintu masuk dan mendapati Elen tengah menatap garang ke arahnya. Rangga menyengir.

"Coba ulangi omongan kamu barusan," titahnya.

"Oma cantik!" teriak Rangga dari atas motornya. Lalu buru-buru memakai helm.

Setelah menstarter motornya, Rangga sempatkan untuk melambaikan tangan. "Dadah, Oma. Sampai ketemu di tahun depan!"

Flashback finished.

Rangga mendengus setelah menceritakan tentang pertemuannya dengan oma Elen. "Gak terima gue dibilang pernikahan ini ada karena gue hamilin lo."

"Bakal gue buktiin ke oma, kalau lo sebenernya gak ham—" Rangga menghentikan ucapannya, lalu mengerutkan kening menatap Ocha. Pasalnya, cewek itu hanya bergeming.

"Cha," panggil Rangga. "Ocha!"

"Eh iya, kenapa?"

"Lo yang kenapa?" Rangga menyahut. "Dengerin gue cerita gak sih?"

"Iya, iya, gue denger."

"Denger tapi bengong begitu."

"Gue ke kamar dulu." Ocha kemudian pergi, meninggalkan Rangga dengan tampang cengonya.

"Aneh, harusnya gue yang bete. Kenapa jadi dia yang muram begitu abis denger cerita gue, heran." Rangga kemudian berjalan ke ruang makan. "Udahlah, mending gue makan. Denger wejangan Oma gak bikin perut gue kenyang."

Di sisi lain, Ocha sedang berdiri di balkon kamar. Termenung memikirkan perkataan Rangga barusan. Ocha bertekad bulat merahasiakan tentang kehamilannya untuk sekarang ini. Semua adalah akibat dari sikapnya yang terlalu gegabah, dan Ocha menyesali kejadian malam itu.

🐁🐈

Bekasi, 09Des20.

Married with Enemy [TERBIT]Where stories live. Discover now