41 // Bandul Cincin

3.4K 370 19
                                    

Maaf up nya ngaret..
Sedikit cerita, outline dan beberapa next part cerita MwE yg udh aku tulis di note semuanya ke hapus. Jadi kemarin2 mood buat nulis cerita ini juga ikutan lenyap ehehe.
.
Makasih yang udah nunggu cerita ini UP dan makasih supportnya! Ilyguys.
.
VOTE dan KOMEN yaaa!!
.
Semoga suka part ini <3
.
HAPPY READING!💞

🐁🐈

Dua hari tidak masuk sekolah akibat Rangga yang demam. Akhirnya mereka berdua kembali bersekolah, tentunya dengan berangkat bareng. Suasana sekolah SMA Cluster masih sepi walau dua puluh menit lagi bel masuk akan berbunyi.

Ocha dan Rangga berjalan berdampingan di koridor sekolah. Rangga tetap bersikap biasa saja seperti tidak ada kejadian yang terjadi antara mereka berdua. Sedangkan Ocha, ia merasa lebih canggung. Entah kenapa permintaan Rangga dua hari lalu sangat mengusik dirinya sendiri.

Ocha tidak menjawab permintaan Rangga yang terdengar konyol itu. Tapi Rangga dengan lancangnya mengeklaim bahwa Ocha memberinya kesempatan kedua. Ocha dilema. Apa akan baik-baik saja, kalau dirinya membiarkan Rangga kembali menerobos dan menempatkan nama cowok itu dihatinya.

Ocha tidak bisa munafik pada dirinya sendiri. Walau sikap luarnya seolah menolak keras kehadiran Rangga, entah kenapa hatinya meminta sedikit lebih egois untuk tetap membiarkan cowok itu kembali. Kembali untuk memperbaiki semuanya dan bersikap layaknya mereka yang dulu—saling perhatian.

"Hai, Kak!" sapa seorang cewek berbando hijau, yang menghancurkan semua pertimbangan di benak Ocha.

Ocha melirik Rangga yang tersenyum manis membalas sapaan Gladis. Membuatnya langsung merutuk cowok itu dalam hati.

"Aku mau kasih undangan ini." Gladis menyodorkan sebuah undangan putih dengan sentuhan tulisan berwarna gold membuat undangan tersebut terlihat mewah.

"Wah, birthday party!" Rangga menerima undangan tersebut dengan antusias.

Gladis tersenyum semringah, karena mendapat respon seperti itu dari Rangga. "Kak Rangga termasuk orang yang paling aku tunggu."

Rangga hanya mengangguk-angguk bangga, merasa ketampanannya makin hakiki. Terbukti dari tingkah Gladis yang begitu terpana pada dirinya. Rangga merasa cowok paling beruntung, beruntung dapat memikat banyak hati wanita. Tapi entah kenapa, hatinya malah menyasar ke Ocha—cewek yang galaknya minta ampun.

"Oh iya, ini undangan buat Kak Ocha." Cewek berambut panjang itu kembali menyerahkan sebuah undangan yang sama pada Ocha, tak luput senyum manis ia tampilkan. "Dateng ya!"

Ocha tersenyum samar, sangat malas menjawab ocehan adik kelasnya.

"Kalau gitu aku mau balik lagi ke kelas." Gladis melambaikan tangannya singkat, yang sudah jelas hanya ditunjukkan untuk Rangga.

Rangga mengangguk singkat. Lalu tersenyum jail pada Ocha. "Susah ya emang, kalau jadi orang tampan rupawan dan rajin menabung. Banyak yang naksir."

"Dih pede banget lo!" sahut Ocha malas.

"Gimana gak mau pede, kalau itu kenyataannya."

Ocha berdecih. "Cuma Gladis aja sampe dibanggakan."

Rangga menggeleng geli, merasa lucu dengan tingkah istri satu-satunya itu. "Yang secara terang-terangan sih emang cuma Gladis. Tapi yang diem-diem? Lo tau sendiri 'kan."

Ocha mendecak, lalu memutar bola mata malas. Tidak bisa membantah ke-pede-an Rangga karena kenyatannya memang seperti itu. Rangga si cowok super menyebalkan begitu di idam-idamkan banyak wanita yang seluruhnya anak SMA Cluster.

"Jadi, gak apa kalau gue deket sama Gladis?" tanya Rangga.

Ocha berdeham panjang, matanya bergerak liar karena bingung menyusun kata untuk menjawab pertanyaan Rangga. Menyusun kata yang pas dengan perasaannya sekarang.

"Gue gak peduli."

Bodoh, Ocha!

Ocha merutuk dirinya sendiri, padahal dirinya berusaha untuk mencari kata yang pas. Tapi entah kenapa tiga kata itu langsung terlontar begitu saja.

"Seriously?" Rangga menaikkan kedua alisnya, merasa ada yang ganjal atas jawaban Ocha.

Ocha bergeming.

"Oke, diam berarti iya. Iya dengan kata lain, lo ngebolehin gue untuk deket sama Gladis." Rangga mengedipkan sebelah matanya.

"Terserah."

Mereka berdua sampai di kelas yang sudah terisi oleh sebagian murid. Ocha dan Rangga menempati bangku masing-masing yang bersampingan.

"Gak masuk sekolah dua hari, tiba-tiba sekarang dateng bareng," celetuk Awil yang sedang duduk di atas meja.

"Tau nih kompak banget," timpal Pahlevi meledek.

"Diem lo berdua!" ketus Ocha.

"Marah-marah mulu ih atut," balas Pahlevi kembali.

"Ocha 'kan rutinitasnya begitu. Kalau gak marah, ya marah-marah." Awil langsung terbahak.

"Sialan."

Rangga langsung melotot ke arah Ocha. Cewek itu selalu berkata kasar, dan Rangga harus bisa buat Ocha menjadi cewek bertutur lembut. Sedangkan yang mendapat pelototan hanya menjulurkan lidahnya.

"Ih lo berdua kenapa sih?" Meyka yang sedari tadi memperhatikan keduanya langsung menyeletuk. "Aneh banget."

Tidak menghiraukan Meyka, Cara malah ingin bertanya hal yang penting. Menagih janji Ocha yang katanya akan memberi tahu alasan mengapa ia tak masuk sekolah. "Lo kenapa dua hari lalu gak masuk sekolah?"

"Itu—"

"Jangan bilang Abang lo honeymoon lagi," kata Pahlevi memotong ucapan Ocha.

"Pah, diem!" kata Cara galak.

"Iya, Mah," sahut Pahlevi nurut.

"Gue—anu, sakit." Ocha menyahut cepat walau sempat ragu.

"Katanya lo gak sakit, gimana sih?" tanya Cara heran.

"Ya gue sengaja aja bohong, biar kalian gak usah repot-repot jenguk."

"Ih, padahal 'kan gue suka kalau ke rumah lo. Abis banyak makanan. Terus gue kangen juga sama keponakan lo." Meyka berkata sambil memanyunkan bibirnya.

Ocha mengibaskan tangannya bebas di udara. "Lain waktu juga bisa."

"Oh iya, kalian pada di undang?" tanya Cara sambil menunjukkan undangan pemberian adik kelasnya.

Mereka semua mengangguk, terkecuali Ocha yang hanya mengedikkan bahu tak acuh.

Tak dirasa, bel masuk pun berbunyi. Guru mata pelajaran pertama memasuki kelas. Semua murid mulai fokus.

Seketika Ocha merasakan ada sesuatu yang mendarat di kedua pahanya. Ia menoleh ke arah Rangga yang sedang mengedipkan sebelah matanya. Lalu menoleh ke kanan untuk memastikan Meyka, sahabatnya itu tengah fokus menatap guru di depan, tapi Ocha berani taruh bahwa pikiran Meyka sedang berkelana entah ke mana.

Dan Cara yang duduk di belakangnya, pasti sangat fokus pada guru sehingga mungkin tidak menyadari bahwa Rangga tadi melempar sesuatu ke arahnya.

Setelah merasa cukup aman, Ocha membuka kertas yang sudah diremas hingga membentuk sebuah bulatan. Di dalamnya terdapat sebuah kalung dengan bandul—cincin? Cincin yang baru Ocha miliki setelah sah menjadi istri Rangga. Dan cincin yang tak lagi Ocha pakai jika di sekolah. Jadi, apa maksud Rangga?

Dipake kalungnya, biar kapelan.

Ocha mengernyit heran saat membaca tulisan di kertas yang tak lagi rapi, lalu kembali menoleh ke arah Rangga. Cowok itu tersenyum sambil menujukkan kalung di lehernya, dan juga langsung mengeluarkan bandul cincin yang tersembunyi dibalik seragam sekolahnya.

Ocha dengan cepat membuang muka, lalu seulas senyum tak dapat ia tahan lagi. Perlakuan kecil Rangga kali ini, menimbulkan euforia dalam hatinya.

🐁🐈

Bekasi, 05Okt20.

Married with Enemy [TERBIT]Where stories live. Discover now