57 // He Really Crazy

4K 302 33
                                    

❗❗❗ ⚠⚠⚠⚠⚠⚠⚠ ❗❗❗

🐁🐈

Ocha mengerjapkan matanya, berharap pandangannya tidak lagi mengabur. Setelah pandangannya kembali normal, Ocha dapat melihat kakinya terikat. Tidak hanya itu, ia merasakan kedua tangannya terikat di balik punggungnya.

Saat hendak membuka mulut, Ocha juga baru menyadari bahwa mulutnya tertutup rapat oleh selotip hitam. Ocha mendongak, lehernya terasa sangat pegal. Mungkin saat pingsan dan disekap dengan posisi duduk, dirinya terus menunduk.

Pemandangan sekitarnya gelap, ia tidak dapat menangkap apapun. Sunyi.

Ocha mengingat kembali kejadian penculikan saat dirinya pulang dari kedai angkringan seorang diri, seketika ruangan tiba-tiba menyala. Ocha dapat melihat sekitarnya. Ruangan bercat putih dan banyak tumpukan dus, tempat yang sangat asing untuk dirinya.

Tepukan tangan memecahkan keheningan di ruangan itu. Berarti ada orang selain Ocha di tempat itu juga. Mungkin dirinya bisa meminta pertolongan. Ocha secepat mungkin menoleh ke kiri dan kanan. Nihil. Dirinya tidak menemukan keberadaan orang lain.

Ocha bodoh, gimana kalau itu penjahatnya, batinnya seraya meringis.

"Hai, cantik."

Tubuh Ocha menegang, tengkuknya seketika merinding. Walau dirinya masih lemas, Ocha mengenali betul suara itu.

"Hmmphh."

"Ya betul, ini gue."

Sekarang Adrian menampakkan dirinya di depan Ocha.

"Hhmmphh."

Adrian sialan!

"Kaget ya liat gue?"

Ocha bergerak sekuat tenaga, berharap tali yang mengikat bagian tubuhnya terlepas.

"Biar bisa ngomong gue buka dulu ya." Adrian langsung menarik kasar selotip yang menutupi mulut Ocha.

"Argh! Sialan. Lo mau apa, hah?" tanya Ocha sekencang mungkin. Mengesampingkan rasa lelah pada tubuhnya.

"Lo tanya mau gue? Mau gue cuma satu." Adrian menyeringai. "Tubuh lo."

"Bajingan! Lepasin gue, bangsat!" Ocha terus bergerak. Padahal sangat berkemungkinan kecil jika talinya bisa lepas.

Adrian tertawa pelan, sarkas. "Jangan buang tenaga lo buat hal yang gak guna, Cha."

"Lepasin gue!"

"Gue bakal lepasin, setelah gue dapet apa yang gue mau."

"Sialan. Gak akan gue biarinin lo sentuh seinci pun tubuh gue."

Adrian tersenyum miring, lalu tangannya terulur memegang dagu Ocha agar mendongak menatapnya. Tangannya bergerak liar mengusap pipi cewek itu.

Ocha menggelengkan kepalanya, berusaha menyingkirkan tangan Adrian.

"Demi apapun gue gak sudi disentuh sama lo!"

Adrian terkekeh, mengangkat kedua tangannya seperti ditodong pistol. "Oke, oke." Lalu cowok itu mundur tiga langkah.

Ocha menatap nyalang ke arah Adrian, membuat cowok itu mengendikkan kedua bahunya tak acuh.

"Mau senolak apapun, lo gak akan bisa ngelawan."

"Lepasin atau gue teriak sekarang!" ancam Ocha tegas.

"Teriak aja, teriak sepuas lo." Adrian menantang, lalu tersenyum miring. "Karena teriak sampe suara lo abis sekalipun, gak bakal ada yang denger."

Ocha bergeming, mendengar penuturan Adrian yang sebenarnya tidak berguna.

"Just information, ruangan ini kedap suara."

Ocha melebarkan kedua matanya. Tamat sudah riwayat hidupnya.

Adrian menyandarkan tubuhnya pada tumpukan dus besar di belakangnya. Entah berisi apa sampai dus itu mampu menahan beban tubuh Adrian. Kemudian, kedua tangannya disilangkan di depan dada.

"Gue mungkin udah jadi cowok terbodoh karena begitu tergila sama cewek sampe segininya." Adrian terus menatap lurus ke arah Ocha, kali ini tanpa ekspresi. "Tapi lo tau ada orang yang lebih bodoh dari ini?"

Ocha bergeming, sangat enggan untuk menjawab.

"Ocha Calista, cewek yang pernah ditinggalin pas lagi sayang-sayangnya. Tapi dengan bodohnya, dia memilih untuk masuk ke dalam lubang yang sama."

"Tau apa lo tentang hidup gue, hah?"

"Gue tau banyak."

Ocha was-was. Takut jika Adrian juga tahu akan statusnya dengan Rangga yang bahkan lebih dari sekadar pacaran.

"Oh, ya?" Ocha tertawa sumbang.

Adrian bersikap congkak. "Dan lebih bodohnya, sekarang dia lagi ngarep ada pahlawan yang bakal selametin dirinya dari sini."

"Just information, itu bukan cuma ngarep. Tapi gue yakin kalau Rangga bakal ke sini!" balas Ocha tegas. Walau sebenarnya sangat berkebalikan dengan hatinya yang cemas, memikirkan akankah Rangga bisa menyelamatkannya?

"Well ... lo udah berani nyebut namanya di depan gue."

"Siapa lo, huh?" balas Ocha sarkas.

"Gue ingetin, pacar lo tuh lagi asik sama mantannya. Jadi, mending lo seneng-seneng di sini sama gue."

"Cih, gak sudi!"

"Ini balasan karena lo udah hancurin kebahagiaan adik kecil kesayangan gue."

Ocha mengernyit.

"Lo rebut Rangga dari Gladis. Dan sekarang? Liat. Rangga bakal direbut balik sama cewek lain dari lo," kata Adrian menusuk.

"Tolong bilangin sama adik kecil kesayangan lo itu, dia yang duluan rebut Rangga dari gue!" sahut Ocha tak terima.

"Ya ... ya ... ya." Adrian mengibaskan tangannya tak peduli. "Gak usah ngebahas cowok gak berguna itu."

"Jaga omongan lo," sanggah Ocha.

"Kenapa harus marah gitu, hm? Buktinya, dia gak ada ke sini buat selamatin lo. Itu artinya dia emang gak berguna." Adrian merogoh saku celana belakang miliknya.

Gunting hitam sudah berada di tangan cowok itu. "Tau gunanya gunting buat apa?" tanyanya sambil tersenyum tengil.

Ocha bergeming, mengatur degup jantungnya yang berpacu lebih cepat. Aura menyeramkan keluar dari wajah Adrian, yang mengartikan bahwa cowok itu tidak sedang bermain-main. Dan gunting—benda yang dapat merobek sesuatu, termasuk pakaian.

"Buat gunting baju lo yang indah itu."

Glek. Ocha menelan salivanya susah payah. Selama seumur hidupnya, baru kali ini ia mengalami ketakutan luar biasa. Keringat pun mulai bercucuran. Bibir bawahnya ia gigit untuk menghilangi rasa takut—yang sialnya tidak dapat disembunyikan. Ocha menggeleng kuat-kuat, berharap Adrian menghentikan aksi gilanya.

Cowok itu mendekat lalu membungkuk, menyamakan tingginya dengan Ocha yang masih dalam posisi duduk. Hanya berjarak sejengkal. Ocha memalingkan wajahnya cepat, sangat tidak sudi berhadapan dengan cowok berengsek seperti Adrian.

Kemudian cowok itu berlutut dengan satu kaki. Langsung menarik ujung baju bagian depan yang dikenakan Ocha dengan tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya mengarahkan gunting hendak merobek.

"Lo jangan gila!" Ocha bergerak sekuat tenaga, kembali berharap tali yang mengikat dirinya dapat lepas. Tapi hasilnya tetap nihil.

Ocha menahan agar dirinya tidak menangis. Kedua bahunya langsung merosot saat Adrian benar-benar melakukan tindakan gilanya. Menggunting perlahan bajunya seraya tersenyum tanpa dosa.

Ocha memejamkan kedua matanya, menahan rasa sesak di dada—yang bagaikan dihujani benda tumpul. Dan berharap segera terbangun dari mimpi buruknya.

🐁🐈

Bekasi, 03Des20.

Married with Enemy [TERBIT]Where stories live. Discover now