31. (No Title)

18.9K 1.8K 86
                                    

Awalnya mata perempuan itu hanya berkaca-kaca, namun air itu akhirnya membuat bendungan yang terus jatuh dan mengalir ke pipinya ditambah hidung yang memerah.

Cepat-cepat ia menghapus air mata itu sebersih mungkin saat sudah sampai di rumah. Felix dan Lira melenggang masuk ke kamar dan sama-sama menjatuhkan badan mereka ke kasur dengan kekuatan yang berebeda.
"Masih jam 3 Ra, tidur dulu bentar." Felix menepuk-menepuk tempat di sampingnya dan langsung memejamkan matanya perlahan.

Lira bergeming, masih duduk di ujung kasur membelakangi Felix. Sikap laki-laki itu yang seperti biasa saja membuatnya semakin ingin marah. Felix seperti masa bodoh dengan kesalahan yang ia juga lakukan. Meskipun biang masalah itu bukan mereka tapi nyatanya merekalah yang melakukannya 'kan. Katakan Lira egois karena ingin Felix ikut merasakan kembali kesedihannya, tapi perempuan itu pikir bahwa itu wajar. Bahkan wajib.

Kemarahan itu membuat kelenjar air matanya memeproduksi lebih banyak lagi air mata hingga masuk ke lubang kecil menyalurkan ke hidungnya. Dengan hati-hati dari ujung matanya, Lira melihat Felix dengan mata yang terpejam.

"Kenapa?" Tanya Felix, matanya masih terpejam.

Sungguh, Felix semakin terlihat tidak tau diri di mata Lira. "Kamu... kamu gak mau kuliah kaya mereka!?" Akhirnya Lira meluapkan amarahnya. "Gak, kamu emang gak suka sekolah apa lagi kuliah, tapi aku maunya kuliah!" Lanjutnya.

Felix yang sejak tadi diteriakinya hanya bisa diam, jujur dia terkejut melihat Lira yang akhirnya berani meneriakinya, saat itu jugalah ia merasakan lagi sakit di dadanya akibat Lira setelah sekian lama. Setelah itu, wajah Felix berubah datar, matanya menajam dan jelas terlihat bahwa ia sedang menggertakkan giginya.

"Apa lagi? Puasin teriaknya sini." Ucap Felix dingin.

"Po-pokoknya aku mau kuliah juga!"

Sekali lagi Felix masih tidak percaya, kemana Lira yang takut padanya, perempuan itu antara berani atau hanya mengutarakan keinginanya.

"Kamu gak iri sama sahabatmu? Mereka bebas, bisa kuliah." Lanjut Lira sambil terisak.

"Kamu kira aku gak iri sama mereka?" Ucap Felix sambil menghembuskan napasnya kasar. "Sebelum semua ini  aku sudah les sana sini supaya bisa  masuk di Melbourne!" Felix ikut meninggikan suaranya.

Sepersekon kemudian laki-laki itu kembali membaringkan badannya, mengusap wajahnya kasar dan menutupnya dengan sebelah tangannya.

Setelah itu tidak ada lagi teriakan, sambil terisak Lira pelan-pelan membaringkan tubuhnya membelakangi Felix.

Setiap perempuan itu berpikir Felix salah dan berani mengungkapkan amarahnya, Lira pasti menyesal. Dan selalu begitu. Sekali lagi, selalu saja Felix memberitahu kebenaran yang malah membuat Lira merasa tidak pantas dan malu untuk bertingkah semenyedikan ini.

Jujur, kali ini ia tidak menangis akibat iri pada teman sebaya yang bisa kuliah apalagi Sonya, tapi menangisi usaha Felix yang sia-sia.

Sejak laki-laki itu mengerti dengan rasa malu diusianya yang ke-10, Felix tidak pernah memberitahu kepada siapapun apa yang dimimpikannya karena ia malu jika mimpinya itu tidak akan tercapai. Felix pertama kali berani bermimpi tinggi sejak menginjakkan kaki di kampus Melbourn satu tahun yang lalu saat keluarganya pergi berlibur ke Australia, waktu itu dengan serius dia bilang pada ayah dan bunda ingin melanjutkan kuliah di kampus itu.

Sepulang dari liburan, Felix kembali masuk sekolah, dan satu bulan kemudian ia serius mengikuti les privat secara langsung dan online untuk persiapannya masuk University of Melbourne itu. Orang-orang mulai mengatainya ambis, pasalnya ia sudah memulai lebih awal. Namun Felix masa bodoh.

Teen Unplanned PregnancyWhere stories live. Discover now