Perasaan Dimas(2)

150 12 7
                                    

Hari keberangkatan Irene pun tiba. Pesawat yang Irene dan keluarganya tumpangi akan terbang jam 5 sore. Sejak pagi Irene sudah membawa barang bawaannya ke kediaman Dimas. Sesuai rencananya, hari ini dia akan menemani Dimas untuk bertemu Octa. Jadi dia akan bersama dengan Dimas hingga sore nanti. Dimas juga yang akan mengantarnya ke bandara. Sementara orang tuanya akan menyusul atau menunggu di bandara.

Jam menunjuk angka 1 saat Irene tengah bersiap untuk pergi makan siang. Tadi Irene sudah menyuruh Dimas untuk menanyakan dimana tempat Akbar makan siang. Irene bersyukur karena ternyata tempatnya tak jauh dari kedai kopi milik Irene. Dengan begitu, dia bisa mampir dulu ke kedainya sebelum akhirnya terbang ke Korea.

"Lo udah siapin kata-katanya?" tanya Irene yang tengah merias diri di cermin kamar Dimas.

Dimas mengalihkan perhatiannya dari ponsel. "Kata-kata buat apa?"

Irene berdecak. "Ya buat ngomong ke Octa lah."

Dimas menggaruk pelipisnya yang tak gatal. "Harus ya?"

Irene berbalik untuk melihat Dimas. "Terserah lo mau nyiapin atau gak, yang pasti gue gak mau kalo sampe lo ngomongnya ngadet-ngadet kayak kaset rusak nanti."

Dimas terkekeh. Sementara Irene memutar bola mata malas, lalu kembali bercermin. "Setau gue, Octa kalo ngomong asal nyablak dan gak terlalu suka basa-basi, jadi nanti lo ngomong to the point aja, jangan kebanyakan basa-basi."

Dimas hanya mengangguk, lalu kembali memainkan game cacingnya. Sekilas Dimas memang terlihat tenang, tapi tidak ada yang tahu kalau sejak tadi organ dalamnya, terutama jantung sudah berdebar tak karuan. Dia bahkan sampai merasa mulas karena debaran yang menggila itu.

"Ayo, Dim!" ajak Irene yang entah sejak kapan sudah keluar dari kamar Dimas.

Dimas pun bangkit dan menyimpan ponselnya ke saku celana. Dilihat pantulan dirinya dalam cermin. "Duh, ganteng banget gue," ujarnya.

"Dimas!"

Dimas lantas bergegas keluar dan menutup kamarnya begitu mendengar teriakan Irene. Semakin jauh dia melangkah, semakin berdebar pula jantungnya. Dia tak tahu bagaimana cara mengatasinya, pasalnya dia belum pernah merasakan sensasi ini sebelumnya, sekalipun bersama Irene.

Dimas mengecek bagasi mobilnya. "Barang-barang lo udah dimasukin semua kan?"

Irene ikut berdiri di samping Dimas, mengecek barang bawaannya. "Udah kok."

Dimas menutup pintu bagasinya, lalu masuk ke mobil. Irene segera menyusul dan mendudukkan diri di jok sebelah Dimas. Setelah keduanya memakai seatbelt, Dimas pun melajukan mobilnya keluar dari kawasan perumahan elitnya.

"Dim, lo setuju gak kalo gue netap di Korea?" tanya Irene.

Dimas menoleh sekilas. "Kalo emang keadannya harus begitu, ya gue mau gak mau harus setuju kan?"

Irene mengangguk pelan. "Lo beneran suka sama Octa, ya?"

Dimas mengernyit. "Ya beneran, masa iya gue ngeprank."

Irene kembali mengangguk. "Lo move on dari gue karena kita beda keyakinan?"

Dimas menoleh dengan kedua alis menyatu. "Kenapa tiba-tiba lo bahas ini?"

"Gapapa, cuma tanya," jawab Irene.

Dimas menghela napas. "Sebenernya lo kenapa? Jangan bikin gue gak tenang selama lo pergi."

Irene tersenyum kecil. "Gue gapapa, serius deh, cuma penasaran aja."

"Yakin?"

Irene mendengus. "Yakin, 100% yakin." Dimas tersenyum sambil mengacak puncak kepala Irene.

raShitWhere stories live. Discover now