Okana Ice Cream

180 15 13
                                    

Sore ini langit terlihat lebih gelap dari biasanya. Angin pun berhembus lebih kuat. Sepertinya akan ada hujan angin.

Dimas mengemudikan mobilnya sambil sesekali melantunkan lirik lagu milik Justin Timberlake yang mengalun di radio.

Nothin' I can see but you when you dance, dance, dance

Feel a good, good creepin' up on you

So just dance, dance, dance, come on

All those things I shouldn't do

But you dance, dance, dance

And ain't nobody leavin' soon, so keep dancin'

I can't stop the feelin'

So just dance, dance, dance

I can't stop the feelin'

So just dance, dance, dance, come on

Dimas terus mengikuti liriknya hingga getaran ponsel menghentikannya.

"Kenapa Ren?"

"..."

"Gue jalan sekarang, jangan kemana-mana! Di situ aja! Kalo sebelum gue sampe udah hujan, jangan hujan-hujanan!"

Tut tut.

Dimas tersenyum kecil saat Irene memutuskan sambungan teleponnya. Perempuan itu memang kerap kali memutuskan teleponnya lebih dulu tanpa menjawab ucapan Dimas. Tapi bukan suatu masalah besar bagi Dimas, menurut Dimas itu adalah ciri khas Irene yang bagaimanapun dia tak bisa memaksa untuk merubah kebiasaannya itu.

Dimas memutar balikkan mobilnya. Tadi dia baru pulang dari tempat prakteknya, dan memang lokasi Irene tak searah dengan jalan pulang ke rumahnya.

Sudah lama dekat dengan Irene sepertinya membuat Dimas merasa Irene adalah tanggung jawabnya. Irene memiliki kedai kopi yang berada lumayan jauh dari tempat praktek Dimas ataupun rumahnya, tapi tetap saja hampir setiap hari Dimas akan menjemput Irene jika dia ingin pulang atau mampir ke mall dulu untuk belanja atau sekedar jalan-jalan saja.

Kedekatan mereka yang sudah terjalin sejak SMA itu membuat orang-orang berpikir kalau mereka memiliki hubungan yang spesial. Namun tiap kali ditanya mengenai hubungannya, Dimas atau Irene pasti hanya menjawab 'kepo'. Maka dari itu hingga kini yang tahu status hubungan mereka hanya mereka sendiri dan Tuhannya.

Tak lebih dari tigapuluh menit, Dimas tiba di kedai milik Irene. Setelah memarkirkan mobilnya, Dimas langsung memasuki kedai. Para pegawai di sana tersenyum dengan kepala yang sedikit menunduk saat melihat Dimas datang. Itu sudah menjadi kebiasaan para pegawai di sana, tak jarang juga ada yang dengan sangat baik hati menyambut Dimas dari depan pintu hingga mengantarnya ke ruangan Irene. Mereka melakukan itu karena dipikirnya Dimas memang ada hubungan dengan Irene dan juga Dimas memang hampir setiap hari datang ke kedai itu untuk sekedar bertemu Irene. Tingkah pegawai-pegawai Irene itu kadang membuat Dimas merasa dia seperti presiden yang tengah melakukan kunjungan.

"Tumben di sini?" tanya Dimas yang baru tiba dan duduk di hadapan Irene.

"Bosen di ruangan, jadinya nunggu di sini aja, ternyata di sini pemandangannya nyegerin banget, gue baru sadar pegawai gue banyak yang ganteng," jawab Irene diakhiri tawa kecilnya.

Irene memang biasanya akan menghabiskan waktunya di ruangan pribadinya. Hanya sesekali saja dia keluar dan melihat keadaan kedainya yang semakin hari semakin ramai. Dan hari ini Irene menunggu Dimas di tempat yang biasa ditempati para pelanggannya.

"Lo kan bisa liat muka gue aja, gantengnya pegawai lo itu cuma secuil dari gantengnya gue, kalo kegantengan mereka dikumpulin jadi satu juga belom bisa memenuhi kadar kegantengan gue," ujar Dimas membuat Irene tertawa.

raShitWhere stories live. Discover now