"Terimakasih tumpangannya." August melepas sabuk pengaman, memungut kaleng soda yang telah kosong lalu melompat turun.

Sebelum melangkah pergi, laki-laki itu menyandarkan diri pada pintu mobil. "Apapun itu, aku akan ikut. Asal bukan nyawa taruhannya." Setelah suaranya sampai ujung kalimat, dia berbalik dengan lambaian tangan.

"Kupastikan semuanya baik-baik saja," seru Alpha dari dalam mobil berharap August masih bisa mendengarnya meski telah ditelan pagar tinggi.

Alpha melajukan mobilnya kembali, netranya melirik jam digital yang tertanam sempurna di dashboard. Pukul dua dini hari. Terlalu jauh dan memakan waktu satu setengah jam jika dia harus pulang ke rumah pribadinya.

Laki-laki itu memiliki banyak tempat tinggal jika berniat untuk menghitungnya satu per satu. Terhitung mulai dari villa di lereng gunung, kemudian hotel langganan menginapnya yang ada belasan, lalu rumah pribadi dan satu flat. Tentu saja, Alpha harus punya banyak tempat bersembunyi, itu sudah bagian dari hidupnya. Rumah pribadinya adalah privasi penting baginya. Tidak ada yang tahu di mana, kecuali August.










           
Pukul enam fajar. Freya menghentikan mobilnya di kompleks perumahan padat penduduk. Sekali lagi gadis itu memeriksa alamat yang tertera di ponselnya. Apakah Jackson menulis alamatnya dengan benar?

Wanita itu memilih turun. Segera udara dingin pagi hari menyergap tubuhnya. Kedua tangannya refleks mengusap kedua bahunya dan menggesekkan kedua telapak tangannya. Padahal ini baru masih disebut musim panas tapi angin dingin sudah bertiup. Akhir-akhir ini cuaca memang tidak bisa di prediksi. Beberapa pohon di ruas jalan juga sudah ada yang tampak kecoklatan dan gugur.

Di hadapannya ada sebuah rumah besar tiga lantai. Bangunan ini nampak tua meski terlihat bersih. Ada banyak balkon dengan jendela yang dibiarkan terbuka, digunakan sebagai jemuran dan taman bunga sederhana. Rumah ini memiliki halaman lumayan luas di sisi samping dan berpagar tanaman perdu yang dipangkas rapi.

Sejenak Freya berdiri lama di ambang pagar pintu masuk setinggi pinggangnya. Pandangannya masih fokus membaca alamat rumah yang tertulis di kotak surat, memastikan jika memang benar ini lokasi yang dia cari.

Tungkainya ditarik untuk maju, melewati dua anak tangga untuk sampai di depan pintu. Sebelum tangannya menekan bel, pandangannya jatuh pada halaman samping.

"Sudah pasti disana," gumamnya pada diri sendiri sambil memutar tungkainya pindah haluan.

Benar saja. Orang yang dia cari sedang bergelantungan di besi ayunan rusak yang masih tampak kokoh. Biar Freya tebak, dilihat dari keringatnya yang sudah membanjiri seluruh tubuh tanpa kaos itu pasti sudah nyaris satu jam lamanya. Freya tidak segera menyapa, wanita itu memilih untuk menyandarkan diri pada tiang jemuran.

Pikirannya sibuk. Kenapa dulu dia bisa mengenal laki-laki itu? Laki-laki tampan, Freya akui itu untuk sampai kapanpun. Tampan yang bisa memikat hati siapapun dalam sekali jumpa. Jangan lupakan tubuhnya yang sempurna, yang sekarang sedang ditatap Freya lamat. Mungkin jika Freya adalah wanita normal di luar sana, dia sudah menghambur dan memeluk tubuh atletis itu, menyeka peluhnya, dan terus menciumi setiap inci wajah laki-laki yang masih sibuk berolahraga dan membelakanginya.

Sepertinya laki-laki itu menyadari keberadaan orang lain selain dirinya disini. Dia melompat turun dan berbalik. Sepersekian detik terkejut namun segera memasang wajah datar. "Aku tidak terkejut kau menemukanku disini."

Freya menggeleng, jelas-jelas dia terkejut. "Kau terkejut, Alpha. Tapi aku lebih terkejut karena kau tinggal di tempat kumuh seperti ini."

Alpha mengedikkan kedua bahunya. Wajahnya penuh keringat sebesar biji jagung, turun hingga ke leher dan dadanya. Tapi pandangan Freya tidak ke situ, matanya menatap bekas luka gores yang telah menutup sempurna. Tahu mengapa dirinya dipandang seperti itu lantas Alpha ikut menunduk kearah perutnya tempat dimana luka gores itu berada.

FLY BY NIGHT; ENCOUNTER [On Going]Where stories live. Discover now