TUJUH BELAS

153 22 0
                                    

"Aaaw," rintih Lukman saat merebahkan tubuhnya. Sejak bangun tidur tadi pagi perut sebelah kanannya sakit dan ketika dipegang semakin nyeri. Karena penasaran Lukman membuka kaosnya dan menemukan lebam kebiruan yang kontras dengan kulit putihnya

Astaga! Lukman mengusap wajahnya. Dia tidak menyangka lemparan botol air minum yang diterima perutnya kemarin bisa menimbulkan lebam seperti ini. Lukman menekan-nekan pelan luka itu dengan handuk hangat, berharap sakitnya berkurang. Pikiran Lukman tiba-tiba ditarik ke belakang, sesaat sebelum nyeri diperutnya timbul.

Lukman meradang karena Asha kembali mengusirnya, marah-marah dan berteriak, "TAS GUE." Daripada menjawab pertanyaan Lukman yang sarat nada khawatir.

"Muntah-muntah abis makan, lo bulimia atau ... hamil?"

Rangakian kata itu keluar begitu saja tanpa bisa ditahan saat melihat Asha sangat mengkwatirkan tas itu, mengecek setiap sudutnya. Seolah-olah benda pink itu adalah pusat dunia Asha. Jika rusak sedikit saja bisa kiamat. Karena kesal Lukman memalingkan pandangan ke arah lain ketika Asha memejamkan matanya dengan rasa lega yang tercetak jelas di wajahnya yang pucat.

Tiba-tiba saja Lukman merasa sakit di tulang rusuknya lalu botol air mineral yang masih penuh berguling ke pangkuannya. Lukman meringis pelan, tangannya meraba bagian tubuhnya yang nyeri. Rasanya seperti diberi surprise tonjokan oleh petinju profesional tanpa persiapan. Rasa sakit dan kagetnya berlipat ganda.

Lukman tidak menyangka Asha masih memiliki kekuatan untuk melempar botol air minum kemarin sampai meninggalkan jejak kebiruan di tubuhnya. Setelah kekagetannya menghilang, niat awal Lukman untuk memarahi Asha menghilang, seperti api yang disiram air ketika melihat air mata berkumpul di sudut mata Asha.

Saat itu lah Lukman sadar jika kalimatnya keterlaluan, dia baru mengenal Asha satu minggu, tapi sudah menuduhnya dengan berbagai hal buruk. Selain itu hal yang membuat hati Lukman terasa berat adalah karena dia belum sempat mengucapkan maaf. Suasana canggung yang menyergap mereka setelah Asha melempar botol air mineral serta kedatangan Tedi.

Satu hal lagi yang membuat Lukman semakin merasa bersalah adalah ketika Asha mengatakan kepada Tedi jika matanya memerah karena kelilipan debu. Lukman tidak menyangka gadis itu menutupi kejadian kemarin seluruhnya, itu artinya secara tidak langsung Asha melindungi dirinya dari Tedi. Mengingat Tedi yang begitu menyayangi Asha bisa saja Lukman mendapat tonjokan kedua bahkan ketiga jika gadis itu mengadu.

Lukman meraih ponselnya lalu mencari nama Asha dari daftar telepon dan melakukan panggilan. Dia harus segera meminta maaf jika tidak tidurnya tidak akan pulas seperti semalam.

Tuuut ... tuuut ... tuuut

"Di-reject." Kerutan timbul di dahi Lukman ketika mendengar teleponnya diputus. "Oke sekali lagi."

"Halo."

Akhirnya diangkat juga, tapi kerutan di dahi Lukman semakin dalam ketika mendegar suara pria yang menjawab teleponnya, kemudian Lukman melihat layar ponselnya untuk memastikan jika nama Asha yang tadi dia tekan. Bener kok, si Asha yang gue telepon.

"Halo." Lukman menjawab dengan ragu. "Apa ada Asha?"

"Hei, Man. Ini Tedi. Asha lagi enggak bisa diganggu. Entar gue suruh dia telepon balik lo."

***

Tedi maju selangkah demi selangkah saat antrian pembeli pecel di depannya berkurang. Sudah lama Tedi tidak makan di sini. Terakhir kali makan di sini sekitar lima tahun lalu saat dia belajar di Pare, dengan alasan nostalgia dan ingin mengenalkan Asha pada makanan favoritnya selama di Pare Tedi memaksa Asha untuk makan nasi pecel sebagai menu makan malam hari ini.

Trouble in Paredise [Completed)Where stories live. Discover now