SEMBILAN

220 52 3
                                    

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***


"Hape lo bunyi, Kak."

"Hape gue di mobil." Tedi bisa menebak akal bulus Asha yang malas mengangkat telepon saat sedang asik menikmati krengsengan.

"Pacar lo telepon ke hape gue karena hape Kakak gak diangkat." Asha kembali berdalih.

"Untung gue sayang sama lo, Ashaaa." Tedi menyebut nama Asha dengan geram, meskipun begitu Tedi meraih ponsel Asha. "Eh! Juragan telepon." Tedi buru-buru menyerahkan ponsel itu kembali ke Asha ketika melihat nama si penelepon.

Asha meraihnya dengan tangan kiri lalu menjawab, "Halo, Pap," sapa Asha dengan antusias setelah mengubah panggilan suara ke video karena repot jika menempelkan telepon ke telinga saat sedang makan lalu Asha menyangga teleponnya dengan gelas jus. Cukup lama Asha berbicara dengan papanya bahkan Tedi sempat menghentikan makan malamnya sebentar. Dia berdiri di samping Asha untuk menyapa pamannya lalu kembali ke tempat duduknya di seberang Asha.

"Untung lo jawab teleponnya kalo gak lo gak bisa shopping lagi."

"Kan, masih ada lo. Gue tau lah berapa gaji lo." Asha menyeringai puas karena berhasil membungkam mulut Tedi.

Seingat Lukman saat itu wajah Asha tampak ceria seperti biasa, tapi setelah dia dan teman-temannya pamit lebih dulu raut wajah Asha berubah. Dia tidak lagi menutupi wajah sedihnya pada Tedi. Hanya pada Tedi karena sepeninggal mereka meja sempat kosong selama beberapa menit.

Sebelum mengayuh sepedanya Lukman menoleh ke arah Asha sekali lagi, saat itu terlihat Tedi sedang menenangkan Asha dengan menepuk-nepuk pelan kepalanya. Setidaknya itu lah kesimpulan yang ada di kepala Lukman setelah melihat kejadian semalam. Dan saat bertemu lagi dengan Asha di kelas tadi pagi dia biasa saja. Tidak ada jejak kesedihan di wajahnya.

Lukman baru tahu jika ada wanita yang bisa mengubah mimik dan suasana hatinya dengan cepat. Berbeda dengan adiknya dan Sekar yang suka murung dan menunjukkan wajah lesu saat memiliki masalah. Seolah-olah masalah mereka adalah akhir dari dunia.

"Man."

"Iya." Rohman dan Lukman menjawab serentak. Panggilan Asha membuyarkan lamunan Lukman tentang wajah sedih Asha semalam.

Kenapa gue jadi mikirin dia lagi? Lukman heran dengan dirinya sendiri.

Asha berdecak kesal lalu berkata, "I am going to call you Luke from now on."

"No," balas Lukman tak suka.

"Yes. End of." Asha menegaskan. Untuk hal ini dia tidak ingin dibantah. Berulang kali dia dan teman sekelasnya harus mengoreksi saat memanggil Lukman dan Rohman dengan panggilan Man. "Not you, but him." Kalimat tersebut sering terdengar di kelas, dan pemilik panggilan itu sendiri sering salah tingkah saat mendengarnya.

"Just agree with her Luke. I'm tired when they call us Man, which Man that they call?" sahut Rohman.

"Honestly i feel rejected when i hear not you." Rohman menunjuk dirinya sendiri. "But him." Lalu Rohman menunjuk Lukman dengan dramatis. Bergaul dengan Asha membangkitkan sisi lebay dirinya.

Trouble in Paredise [Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang