TUJUH

283 55 2
                                    

***

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

***

"Man." Rohman merasa ganjil memanggil temannya dengan nama panggilan yang sama dengan dirinya. "Lo masih kesel sama Asha. Kasian tahu cewek cantik gitu lo omelin."


"Lagian juga-" Rohman menghentikan pembicaaraan sejenak demi menghisap kretek yang terselip di bibirnya.

Lukman terdiam, jika dipikirkan lebih lanjut yang dikatakan Rohman ada benarnya. Seharusnya Lukman tidak marah ke Asha karena sejak awal dia tahu Rohman yang meletakkan kopi di pintu kamar. Tempat kosong di sebelah Lukman pada awalnya adalah milik Rohman, hanya saja saat Asha tiba Rohman sedang ke kamar mandi sehingga Asha yang melihat tempat kosong itu langsung menempatinya. Lukman tidak menyangka Asha duduk di sebelahnya dan tidak sempat mencegah gadis itu karena dia sibuk berbalas pesan dengan sahabatnya.

Lagipula kopi yang menyiram pantatnya sudah hangat, bukan kopi yang baru di seduh air panas sehingga dia tidak perlu di rawat di rumah sakit seperti salah satu artis ibukota. Lukman merasa dirinya berlebihan dan sudah sepantasnya meminta maaf karena hal ini.

Hal yang mengganjal di hati Lukman sampai saat ini adalah malu, karena hal ini juga dia masih mendiamkan Asha. Siapa sih yang tidak malu celananya basah karena kopi di depan tutor dan teman yang baru ditemuinya? Tapi ... jika dipikirkan lagi Lukman sudah melampiaskan kekesalannya pada Asha padahal, kan, seharusnya dia marah ke Rohman.

"Gue udah gak marah."

"Lo mungkin udah gak marah, tapi sikap lo yang ngejauhin dia jelas banget, Man. Apalagi kita satu kelompok."

Kalo untuk akrab gue gak jamin, kata Lukman dalam hati.

"Gue minta besok jangan begitu lagi. Enggak  seru."

"Gue usahain."

Sejujurnya Lukman sedikit takut pada Asha. Sejak ketemu cewek ini di teras masjid entah kenapa Lukman jadi sering kesel dan ngedumel walaupun dia tidak mengutarakannya secara langsung. Menjauhi Asha adalah salah satu cara supaya Lukman tidak mudah terpancing dan tetap mengontrol dirinya. Entah kenapa setiap kali berhadapan dengan Asha Lukman selalu tidak ingin kalah padahal selama ini dia adalah tipe cowok yang tidak suka konfrontasi.

Lukman mengingat kembali percakapannya dengan Rohman saat berjalan kembali ke camp setelah makan malam. Dan sekarang dia menjadi merasa bersalah. Lukman menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Bingung sendiri dengan perbuatannya. Dia tidak menyangka bisa melakukannya pada Asha. Sebelumnya Lukman tidak pernah seperti ini.

Lebih baik sekarang dia mengahapal vocab dan idiom hari ini supaya ngelotok di luar kepala dan besok minta maaf ke Asha.

Sebelum mulai menghapal Lukman membuka aplikasi pesan di ponselnya dan terkejut melihat seratus pesan di grup kelasnya. Biasanya grup itu sepi karena mereka lebih sering bercengkrama secara langsung saat bertemu di kelas, setelah di luar kelas mereka lebih memilih bersosialisasi dengan teman satu camp sambil mengasah kemampuan speaking.

Trouble in Paredise [Completed)Where stories live. Discover now