42. Perasaan Yang Tulus

Začať od začiatku
                                    

"Gue makanan, siapa sama gue?" Aji merebut kertas yang ada di tangan Nina kemudian mengangkatnya.

"Lo sama gue aja," jawab Nina merebut kembali kertasnya. "Prima sama Esa nggak pa-pa kan kalau belanja sabun?"

"Belanja apa aja nggak masalah," ujar Esa meletakkan tangannya di pundak Prima dengan santainya.

"Oke kalau gitu," kata Prima mengangguk.

Keempat manusia itu berpisah menuju ke tempat tujuannya masing-masing. Esa mengambil trolley kemudian berjalan di belakang Prima yang sibuk membaca catatan belanja di tangannya.

Langkah Prima terhenti saat melihat Aji dan Nina melintas keluar dari salah satu lorong. Bukannya kenapa-napa, tapi Nina masuk ke dalam trolley lalu Aji mendorongnya sambil lari-larian.

"Mau?" suara Esa membuat Prima menoleh ke belakang. "Sini naik, ntar kita balapan sama mereka."

"Kagak!" tolak Prima kontan.

"Soalnya lo mupeng banget."

"Mupeng apaan! Udah ayo cepetan biar cepet pulang."

"Iya iya."

Prima berjalan menuju ke rak sabun diikuti Esa di belakangnya yang sedang melihat-lihat ke sekitar.

Prima sibuk memerhatikan sabun cuci baju dan pelembutnya, sampai-sampai tidak sadar Esa sudah berada tepat di sampingnya dengan pandangan penuh arti. Memanjakan matanya dengan memandangi pahatan Tuhan yang menurutnya sempurna. Cantik apa adanya.

Tangan Prima meraih dua sabun cuci baju refill serta pelembutnya kemudian berbalik. Gadis itu langsung tercekat mendapati jaraknya dan Esa sangat dekat.

"Minggir," kata Prima mendorong pemuda itu menyingkir dari hadapannya.

"Galak amat sih," gumam Esa menghela napas. "Nyesel gue ngomong sama lo waktu itu. Sikap lo jadi berubah kayak gini ke gue," lanjutnya merasa protes.

Prima terdiam beberapa saat memegangi pinggiran trolley. "Lo ngerasa gue berubah sama lo?"

Esa mengangguk membenarkan.

"Yaudah maaf," ucap Prima.

Prima sadar diri kalau sikapnya berubah ke Esa setelah pernyataan mendadak malam itu. Itu semua karena Prima merasa canggung berhadapan dengan cowok itu. Ia merasa tidak menyangka sekaligus merasa bersalah setelah mendengarnya. Karena Prima tidak bisa membalas perasaan cowok itu.

Selama belanja bersama, Prima mencoba mengembalikan hubungan mereka berdua seperti sebelumnya walau masih terkesan kaku.

Setelah semua barang di daftar sudah masuk ke trolley, mereka bergegas mencari Aji dan Nina ke bagian rak makanan. Dua anak manusia itu ketemu di depan freezer es krim.

Aji sedang merengek pada Nina meminta beli es krim menggunakan uang kas. Namun sepertinya Nina tidak mengizinkan hingga bocah itu terus merayu. Karena kesal, Nina langsung mengapit Aji dengan lengannya lalu menjitaku kepala cowok itu. Nina sudah turun dari trolley ngomong-ngomong.

Esa membalikkan badan Prima tiba-tiba. "Jangan dilihat kalau cuma nambahin sakit hati."

Prima mengerjapkan matanya dengan ekspresi polos dan bingung yang bercampur menjadi satu.

"Tampang lo itu ketara banget tau nggak," kata Esa mengusap puncak kepala gadis di depannya sambil tersenyum.

Gimana ya, Esa merasa sakit hati karena tahu perasaannya sudah pasti tidak terbalas. Tapi dia tidak rela melihat perempuan kesayangannya sakit hati karena orang lain.

"Udah yuk." Esa membalikkan tubuh Prima setelah yakin keadaan sudah aman.

Prima menahan bagian belakang jaket yang dikenakan Esa. "Gue pengin ngomong sama lo."

Esa menoleh dengan senyum tenang. "Pulang dari sini ya," jawabnya dengan begitu lembut.

Seketika Prima merasa bodoh.

Bagaimana bisa dia mengabaikan lelaki sebaik dan selembut Esa untuk seseorang yang tidak pernah sadar akan perasaannya?

**

"Lo berdua duluan deh," kata Esa setelah membantu memasukkan belanjaan ke bagasi mobil.

"Kenapa?" tanya Nina yang sudah membuka pintu penumpang depan.

"Gue sama Prima ada urusan dulu di sekitar sini," kata Esa menggerakkan dagu pada Prima yang didukung dengan anggukan dari cewek itu. "Nanti kita berdua balik naik angkot atau naik taksi. Gampanglah."

"Yaa udah kalau gitu." Aji menutup pintu bagasi lumayan keras. "Hati-hati, jangan pulang malem-malem lo."

"Sip." Esa mengacungkan jempolnya.

Esa dan Prima tetap berdriri di sana sampai mobil yang dikendarai oleh dua teman kosnya itu pergi meninggalkan halaman parkir. Setelah itu mereka berdua jalan kaki keluar dari sana.

Langit Jakarta sedang mendung dan udara dinginnya sangat mendukung untuk dua anak manusia itu pulang jalan kaki. Namun sebelumnya mereka mampir ke masjid sekitar sana untuk menjalankan sholat Maghrib terlebih dahulu.

Usai sholat, mereka berdua lanjut jalan ke rumah. Kebetulan jarak antara supermarket ke rumah tidak jauh sehingga mereka masih sanggup menempuhnya dengan jalan kaki.

"Dari kapan lo tau gue suka sama Pamungkas?" tanya Prima memecahkan keheningan.

"Sejak kita pergi bareng-bareng ke Ancol sebelum Aryan masuk ke kos," jawab Esa melepaskan jaketnya lalu diberikan pada perempuan di sampingnya.

"Thanks," ucap Prima tanpa penolakan bergegas memakai jaket tersebut. "Berarti udah lama banget dong lo taunya."

Esa mengangguk mengiyakan. "Mungkin lo naksirnya lebih lama dari itu."

Prima memilih tidak menjawab. Apa yang dikatakan oleh Esa memang benar. Sudah cukup lama Prima menyukai Aji. Lebih tepatnya saat mereka berdua mengikuti pelatihan sebelum masuk ke organisasi BEM universitas.

Kegiatan semacam itu memang rawan menimbulkan perasaan lebih, tapi Prima tidak pernah menyangka jika perasaannya akan bertahan selama ini. Kemungkinan besar karena mereka tinggal di satu atap yang sama dan hampir setiap hari saling tatap muka, ditambah dia mengetahui kurang dan lebihnya Aji.

Prima memilih menyembunyikan perasaannya karena dia tahu Aji memiliki pacar dan merasa dirinya tidak memiliki kesempatan.

"Apa sih, Pim, yang bikin lo suka sama dia?"

"Mm... apa ya. Gue juga nggak tau."

Esa lagi-lagi tersenyum kecut. "Berarti perasaan lo bener-bener tulus. Lo bahkan nggak tau apa yang bisa bikin lo tertarik sama dia."

Prima menoleh dengan tatapan iba sekaligus merasa bersalah. Secara tidak langsung dirinya telah menyakiti perasaan Esa. Entah sudah berapa lama pemuda ini memendam perasaan semacam itu padanya, yang pasti dia menahan rasa sakit karena mengetahui orang yang dicintai malah mencintai orang lain.

Tragis.

Esa menarik Prima sampai berhadapan dengannya. Memandang gadis itu tepat di mata dan tersenyum tulus.

"Siapapun orang yang dapetin lo nanti, dia harus punya rasa sayang yang lebih gede daripada gue."

Terima kasih sudah meninggalkan jejak ke cerita ini

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Terima kasih sudah meninggalkan jejak ke cerita ini.

Muchlove

Sidoarjo, 13 Desember 2020

-Icha-

Perfect HousematesWhere stories live. Discover now