25. Berteman Luka

11K 1K 12
                                    

'luka itu sudah menjadi teman  seorang wanita, perihal mengeluh itu tergantung orangnya'
~Aisyah~

Aisyah terus mengusap lembut tangan Rahma, tangan yang lemah dan dingin itu.

Idris masuk ke ruangan, lalu menghempaskan tubuhnya di sofa dekat jendela sambil memejamkan mata. Aisyah hanya meliriknya sekilas kemudian kembali fokus pada wanita yang tengah terbaring di sana.
"Tidak terluka kah dirimu saat mengetahui kenyataan ini?" Suara Idris muncul di antara keheningan ruangan.

"Luka sudah menjadi teman seorang wanita, perihal mengeluh itu tergantung orangnya. Ais sudah tau hubungan mereka jauh sebelum GusAl meminang. Namun, Ais selalu menunggu waktu di mana dia berani berkata jujur mengenai masa lalunya. Tak pernah sekalipun Ais mengusiknya dengan menyebut nama Mbak Rahma meskipun lisan ingin, biarlah hatinya terbuka dan dengan sendirinya mengungkapkan apa yang menjadi kesalahannya di masa lalu." Jawaban Aisyah semakin mengundang pertanyaan di otak Gus Idris.

"Bagaimana bisa?" Idris semakin tertarik dengan cerita Aisyah, dia menegakkan tubuhnya untuk fokus.

"Ais pernah menjadi santriwati di pesantren Al Anwar putri, meski hanya setahun. Tapi, dari sanalah Ais menjadi tau bahwa tak selamanya pria atau wanita yang memiliki gelar Neng atau Gus berperilaku baik, karena mereka juga manusia biasa yang memiliki nafsu dan syahwat."
Mengalirlah kisah masa lalu itu dari bibir Aisyah.

"Pernah suatu ketika Ais nggak sengaja melihat Neng Rahma, wanita yang selalu dianggap sempurna di mata santri bertemu dengan pria yang kuyakini bukan muhrimnya hanya berdua saja, meskipun itu di tempat terbuka, tapi sepi. Ais pikir 'mungkin mereka ada kepentingan' tapi, hari hari berikutnya, Ais masih sering menemukan mereka berdua meski tidak berturut-turut. Semakin hari Ais semakin yakin kalau mereka memang telah melanggar aturan pesantren, entah apa hubungan mereka Ais kurang paham. Tapi, bukankah hal seperti itu memang sudah menjadi larangan agama? Sejak saat itu, pandangan Ais terhadap keluarga Kiai tak selalu benar. Hingga Abi meminta Ais pindah ke pesantren Al Baqarah."

"Dan, kamu tak berusaha untuk melaporkan perilaku buruk mereka?"

"Apa hak Aisyah? Ais hanya santri baru, sedangkan yang bersalah saat itu adalah putri Kiai Ais sendiri. Ais merasa tak berakhlak jika melaporkan mereka, orang yang seharusnya Ais hormati selaku putri dari Kiai Ais sendiri."

"Setelah mengetahui keburukan Ibrahim, kenapa kamu masih menerimanya? Tidakkah seharusnya kamu mencari seseorang yang masih suci hatinya, yang menjaga hati hanya untuk orang yang kelak menjadi mahramnya?"

Aisyah justru tersenyum mendengar pertanyaan Idris,
"itulah Qodarullah, Ais juga tak mengerti bagaimana saat itu mengucap kata 'iya' sebagai jawaban. Tapi, satu yang menjadi alasan untuk Ais menerima pinangannya."

"Alasan apa?" Idris semakin fokus  menghadap Aisyah, meski perempuan itu sedari tadi hanya bercerita dengan wajah yang tertunduk.

"3 bulan sejak Ais lulus dari pesantren sebelum GusAl dan Abah Utsman datang, setiap malam Ais bermimpi, seorang laki-laki tanpa wajah selalu memanggilku dengan sebutan gadis Al Mulk.  Mimpi singkat yang berbeda-beda. Namun bermakna sama, membuat Ais yakin bahwa itu adalah petunjuk."

~~~~~~~

Aisyah menyelusuri rumah sakit, mencari titik keberadaan suaminya.
Tak kunjung menemukan, perempuan itu akhirnya duduk di salah satu bangku pengunjung di lorong yang lumayan sepi karena hari mulai gelap.
Entah bagaimana, tapi tubuhnya terasa lelah sekali saat itu, dia pejamkan matanya untuk sesaat.

"Sayang?" Suara itu mengundang Aisyah membuka matanya, dipandangnya pria itu dengan senyuman tulus di bibirnya.

"Mas Ibra darimana?"

Lantunan Kalam Aisyah ✓ [TERBIT]Where stories live. Discover now