Khawatir yang Menyiksa

2.6K 192 13
                                    

Menunggu dengan was-was itu sungguh menyebalkan dan tentu saja menyiksa. Duduk sebentar lalu berdiri lagi. Berjalan berputar-putar di ruangannya sendiri kemudian menoleh ke arah meja yang biasa ditempati Rania lewat jendela kaca yang pertisinya dia buka sedikit. Dan Nata sudah melakukan semua  sejak sampai ke kantor. Pukul delapan kurang sepuluh menit tetapi Rania belum juga muncul. Kenyataan yang sukses membuat Nata tak bisa duduk dengan tenang di kursinya yang nyaman untuk memulai pekerjaan.

Nata tahu, Rania bukan jenis perempuan yang akan berlama-lama membiarkan hatinya rusuh karena orang kain. Sewaktu kesal karena harus mengganti teh dengan kopi sampai beberapa kali, Rania hanya membutuhkan beberapa menit untuk mengembalikan semangatnya. Bahkan saat Nata masih menyodorkan  pekerjaan di penghujung waktu pulang, gadis itu cuma melotot ke arahnya kemudian menyumpahinya dengan suara yang sengaja dibuat keras agar sampai ke telinga Nata. Keesokan paginya, dia akan kembali muncul tepat waktu dengan semangat dan senyum ceria. Menyediakan teh sekaligus kopi dan kue dadar di meja. 

Dengan sabar dia  menuruti permintaan Nata untuk membaca ulang jadwalnya meskipun sudah mengirimnya lewat email. Melaksanakan apa saja pekerjaan yang dia perintahkan tanpa pernah mengeluh. Paling hanya memonyongkan mulut sambil mengentakkan kaki di belakang kalau Nata sudah mulai keterlaluan. Sebuah perlawanan kecil yang membuat Nata sibuk memikirkan perlakuan apa lagi yang akan diberikannya agar membuat gadis itu sedikit kesulitan keesokan harinya. Harus dia akui membuatnya alergi adalah perlawanan Rania paling ekstrim. Dan  berlutut juga adalah balasan paling mengejutkan, dan bisa dibilang paling kejam yang akhirnya dia lakukan untuk membalas Rania.

Efeknya juga sepertinya berbeda. Bukan perlawanan yang ditunjukkan dengan cara mengentakkan kaki atau menyumpahi seperti yang kerap dia lakukan. Bahkan tak ada perlawanan sama sekali. Hanya sebuah tatapan sekilas namun sukses menghantam hati Nata.

"Ah, Rania, kenapa sih kamu tidak berteriak atau memaki saja untuk melawanku seperti yang biasa kamu lakukan? Semuanya pasti terasa lebih mudah untuk kuhadapi," erang Nata frustrasi. Dia keluar dari ruangannya lalu duduk di kursi yang biasa ditempati Rania. Sedikit kasar dia bersandar ke sandaran kursi sambil menggeser layar ponsel mencari kontak perempuan itu. "Kamu dimana sih, Ra? Apa susahnya ngirim pesan kalau datang terlambat? Kebiasaan banget buat aku cemas," gerutunya lagi sambil menekan angka satu speed dial untuk Rania. Namun sebelum dering pertama selesai dengan kasar Nata menekan tombol merah, memutuskan sambungan lalu melemparkan ponselnya begitu saja ke atas meja.

Ingatan Rania menyelipkan uang ke telapak tangannya dan berkata dia boleh menggunakannya untuk modal pertama usaha kios stempel kecilnya sambil tersenyum penuh dukungan, kembali menyerbu. Nata memejamkan mata. Entah mengapa belakanngan ini kenangan itu yang kerap muncul di benak Nata, dan bukannya ingatan saat gadis itu menyakitinya.

Sebuah kenyataan yang membuat dia membenci dirinya sendiri karena pernah begitu mencintai dan akhirnya terluka begitu dalam akibat ucapan tak berperasaan gadis, yang selama ini dia jadikan sebagai pusat dunianya, sumber semangatnya. 

Nata selalu memutar ulang kata-kata pedas yang diucapkan Rania saat mendepaknya lima tahun yang lalu. Nata membenci Rania. Meskipun entah mengapa, sekarang saat perempuan itu berada di sekitarnya, perasaan itu perlahan mulai menipis. Seperti saat ini, alih-alih merasa menang karena berhasil membuat Rania berlutut di hadapannya, yang ada perasaan cemas yang semakin menjadi-jadi melihat Rania tak juga muncul di ruangannya.

Dan Nata membenci kenyataan itu. Sangat-sangat membencinya.

"Kamu dimana, Rania?" tanpa sadar Nata telah menghubungi gadis itu dan terperanjat sendiri menyadari apa yang telah dia lakukan. Sungguh, dia tak pernah bermaksud peduli pada gadis yang telah melukai hatinya. Bahkan keputusan menerima si brengsek itu bekerja di perusahaannya semata-mata untuk membalas sakit hatinya, bukan?

"Saya di sini, di depan Bapak," jawab Rania masih dengan ponsel berada di telinganya, membuat Nata yang sedang membelakangi meja sontak memutar kursinya. Menatap Rania dengan ekspresi serba salah. Salah tingkah. Antara malu karena ketahuan menunggu dan bersyukur kini perempuan paling dipikirkannya saat ini muncul di hadapannya sekaligus kesal karena membiarkannya menunggu dengan cemas. 

Demi menutupi perasaan-perasaan yang sedang berkecamuk , cepat-cepat Nata berdiri dari tempat duduknya, dengan garang ditatapnya gadis yang juga sedang menatapnya itu.

"Kamu...!" teriaknya sambil berkacak pinggang. Namun, Nata tak jadi melanjutkan ucapannya saat melihat pemandangan di depannya. Perempuan yang biasanya selalu bersemangat pagi ini tampak begitu berbeda. Seperti... kehilangan tenaga. Lemah dan tak berdaya. Sesuatu yang membuat Nata, meskipun tak menyukainya, semakin membuatnya merasa bersalah.

"Maaf, saya terlambat." Rania menatap Nata tanpa emosi. Wajahnya tampak pucat dengan sorot mata yang redup. "Beri saya waktu sepuluh menit, kue dadar dan kopi akan segera tersedia di meja Bapak. Setelah itu saya siap menerima hukuman karena terlambat." Rania meletakkan tas di meja, sebelum berjalan ke arah pantry dia berucap. "Tapi, tolong jangan pecat saya setidaknya sampai waktu magang saya selesai." Rania pergi meninggalkan Nata dengan langkah lemah dengan bahunya yang merosot turun.

Pemandangan itu, entah kenapa, membuat Nata ingin mengejar lalu meraih tubuh itu lalu memeluknya erat. Atau, setidaknya, menggenggam tangannya sambil meyakinkan semua akan baik-baik saja. Seperti yang kerap dilakukan gadis itu kepadanya, dulu.

Tapi, Nata tidak mengejar Rania. Dia memilih masuk ke ruangannya menyambar kunci mobil di meja, meninggalkan Rania yang kebingungan karena tak menemukan sang Bos saat kembali membawa nampan berisi kopi dan sepiring kue dadar.


Hai, Gaes...

Selamat berhari Minggu ya. Eh, biasanya kalian ngapain sih pas waktu libur begini? Kalau aku biasanya bersih-bersih rumah dari pagi atau nemenin Pak Su ngontel (Lebih seringnya sih aku minta bonceng). Ya, aku males banget mengayuh sepeda apalagi rutenya jauh banget.

Tapi pagi ini aku nggak ikut ngontel. Mau cepat-cepat beres-beres rumah. Ada satu film bagus yang mau kuselesaikan siang nanti. Film yang kutemukan pas iseng milih-milih lagu untuk menemaniku menyelesaikan bab ini. 


Balas Dendam Mantan PacarWhere stories live. Discover now