Debar-debar Halus yang Menggelisahkan

2.3K 199 13
                                    

Setelah permintaan taksi online-nya diterima driver Rania berjalan ke bagian depan kantor. Berniat menunggu di pos jaga. Ia bisa menunggu sambil mengobrol bersama Bang Ipul dan Zulham. Dua petugas yang biasa berjaga di sana. Namun, belum sampai di pos, Pajero putih berhenti tepat di sampingnya. Langkahnya terhenti. Terpaku melihat Nata keluar dari mobil kemudian menghampirinya. "Naik, Ra," ucapnya begitu berada di hadapannya.

"Eh, enggak usah, Pak. Saya sudah pesan taksi, kok. Sebentar lagi juga datang," ucapnya. Ia mengabaikan Nata dan meneruskan langkah.

"Batalin saja taksinya. Udah malam. Enggak aman kamu pulang sendirian." Nata menyamakan langkah dan meraih pergelangan Rania.

"Biasanya juga saya pulangn malam-malam. Sendiri. Pernah juga loh semua karyawan sudah pulang baru saya dapat ijin pulang," sindir Rania tajam. "Besok paginya saya tetap muncul, kok, Pak. Menyediakan kopi dan kue dadar. Jadi, biarkan saya menunggu taksi saya di pos depan." Rania menarik lengannya dari pergelangan Nata.

Bukannya melepas, Nata semakin mempererat pegangannya. Amarah memang paling jitu menutup nurani seseorang. Termasuk dirinya. Saat melihat kesempatan membalas, buss tidak perlu berpikir dua kali, ia langsung melaksanakan keinginan yang selama ini terpendam. Sakitnya, saat kebenaran mengambil peran, amarah menguap berubah menjadi sesal. Rasa yang enggak kalah hebatnya menggerogoti perasaannya.

Kalau selama ini amarah membuatnya gelap mata dan satu-satunya keinginannya saat bertemu gadis itu adalah menyakitinya. Perasaan sesal lain lagi. Memastikan gadis itu baik-baik saja membuatnya memperhatikan gadis itu secara berlebihan. Salah satunya adalah memastikan ia selamat sampai kontrakan.

Tapi, Rania tetaplah Rania. Mana mau menurut begitu saja. Bahkan tanpa merasa harus berpikir dua kali ia langsung menolak tawaran laki-laki yang sekarang memegang lengannya. "Kamu enggak capek berdebat terus? Saya itu enggak mau sekretaris saya kenapa-kenapa. Saya ini atasan kamu dan ini perintah." Nata menatap Rania dengan tatapan memaksa. "Sekarang naik ke mobil. Saya antar kamu pulang."

Saya ini atasan kamu dan ini perintah! Ulang Rania dalam hati. Brengsek betul memang laki-laki satu ini. Selalu saja menggunakan kekuasaan untuk mengalahkannya. Enggak kreatif banget. Rania menarik napas lalu mengembuskannya dengan kasar. Kalau saja ia dalam mode melawan sudah ia hempaskan tangan yang sekarang sedang memegang lengannya kuat-kuat. Tapi, kondisinya saat ini tidak memungkin ia melakukannya. Lelah dan mengantuk membuat energi pembangkangnya seolah terserap semua. Lagian tidak ada gunanya juga melawan. Apalagi Nata dalam mode galak dan tidak ingin dibantah begitu, bisa-bisa sampai besok pagi ia enggak pulang-pulang. Dengan langkah malas-malasan Rania memutuskan mengikuti Nata yang berjalan di depan tanpa melepaskan tangannya.

Nata membuka pintu penumpang, mendorong lembut tubuh Rania masuk ke dalam mobil. Setelah memastikan Rania duduk manis di tempatnya, setengah berlari ia memutari mobil. Duduk di kursi pengemudi, mengarahkan pajero putihnya keluar dari halaman Sintesa Advertising.

Suara lembut musik dari audio dan suasan sejuk mobil ditambah lelah dan kantuk yang mendera membuat Rania langsung tertidur. Nata tersenyum melihat wajah tenang perempuan di sebelahnya. "Dasar keras kepala. Bagaimana aku bisa membiarkan kamu pulang sendiri. Baru beberapa menit saja sudah tertidur begini."

Sesekali sambil terus membawa mobilnya melaju melintasi jalanan, diliriknya Rania. Nata tersenyum mendengar dengkuran halus keluar dari mulut Rania yang terbuka sedikit. Saat mobil berhenti di lampu merah, disibaknya helai rambut yang menutupi kening gadis itu. Dengan gemas ia menekan kening Rania yang berkerut dalam. "Mikir apa sih kamu Ra sampai tidur saja keningmu berkerut kayak begini?" gumamnya. Saat tubuh Rania bergerak, cepat-cepat ia menarik telunjuknya. Gawat banget kalau sampai gadis itu memergokinya sedang menyentuhnya. Bisa-bisa pikiran yang tidak-tidak semakin menguasai kepalanya. Tawa kecil lolos melihat Rania hanya mengubah posisi tidurnya. Nata membuka jas lalu menyampirkannya di tubuh meringkuk Rania. Kemudian menjalankan mobilnya lagi begitu lampu berubah hijau.

Nata menghentikan mobilnya di depan gang menuju rumah Rania. Tidak tega membangunkan gadis yang masih terlelap itu, ia keluar dari mobil. Pelan-pelan mengubah jok yang diduduki Rania lebih landai. Yakin posisi perempuan itu lebih nyaman, Nata kembali. Ia menatap Rania yang tertidur. Suasana sepi dan sejuk membuat kantuk mulai menyergap. Nata tertidur dengan posisi kepala menyandar di setir dan wajah menghadap Rania.

Rania terbangun dari tidurnya dan hal pertama ditemuinya ketika membuka mata adalah Nata yang sedang tertidur dengan posisi kepala terletak di setir. Pukul sebelas malam. Dan ia masih berada di mobil Pak Bos entah sudah berapa lama. Ditatapnya laki-laki yang masih terpejam itu. "Rencana apa lagi yang sedang kamu mainkan, Nat. Belum cukupkah perlakuanmu selama ini?" tanyanya sedih. Andai bisa ia ingin menikmati pekerjaan dengan tenang. Tidak terganggu dengan persiapan-persiapan menghadapi serangan mengejutkan dari si bos. Tapi, diam saja tanpa melakukan perlawanan kok rasanya enggak rela juga. Meski hanya pegawai magang, ia juga ingin menunjukkan kepada Nata kalau ia bukan perempuan lemah yang diam saja diperlakukan semana-mena.

"Pak," panggilnya sambil menggunjang bahu Nata pelan. "Bangun."

Nata membuka mata. Menatap Rania yang juga sedang menatapnya. "Kamu sudah bangun?" tanyanya sambil mengangkat wajahnya dari setir. Diusapnya wajah dan rambut ikalnya dengan kedua tangannya. "Sudah lama?" tanyanya lagi.

Rania memperhatikan warna merah di pipi Nata karena terlalu lama terletak di setir. "Barusan, kok. Kenapa enggak bangunin saya tadi?" tanya Rania penuh rasa bersalah. Ia benar-benar merasa tidak enak membuat Nata menunggu. "Bapakkan jadi kemalaman."

"Tidurmu lelap banget. Mana tega saya bangunin." Nata mengusap wajahnya lagi.

Ucapan Nata membuat Rania semakin merasa tidak enak. Bingung tidak tahu mau mengatakan apa lagi. Ia mengangsurkan jas yang tadi menutupi tubuhnya. Dibukanya pintu lalu keluar dari mobil. Namun, sebelum turun ia berbalik dan menoleh ke arah laki-laki yang juga membuka pintunya. "Bapak mau kemana?" tanya Rania keheranan.

"Ngantar kamu," ucap Nata lalu turun. Setelah menutup pintu kembali ia berjalan mengitari mobil. Rania yang tahu gelagat Nata, cepat-cepat keluar dari mobil. Memaksa mengantar pulang. Tidak dibangunkan padahal mereka sudah sampai. Dan sekarang mau mengantarnya sampai depan kontrakan? Bukan Nata banget, deh. Yah, meskipun harus ia akui, Nata yang dulu selalu memastikan dirinya sampai ke kos-kosannya dengan selamat tanpa kurang satu apapun. Tapi, ini kan yang berada di dekatnya adalah Nata yang sekarang. Nata yang ingin sekali membalaskan rasa sakit hatinya.

"Eh, enggak usah, Pak. Sampai sini saja," tolak Rania.

"Gang itu gelap, Ra."

"Gelap?" Rania menatap gang di depannya. Ada lampu lampu-lampu teras menerangi sepanjang gang. Meski agak temaram karena lampu yang dipasang masing-masing pengisi kontrakan berdaya kecil, tapi tetap saja enggak gelap-gelap benget.

"Bahaya kamu jalan sendiri."

Lebih bahaya kalau kita jalan berdua, Pak. Apalagi grup ibu-ibu rumpi plus ratu kepo masih ngumpul di salah satu teras rumah mereka, bisa gawat. Apalagi sampai ke telinga Bu Mimin, habis lah ia ditanya-tanya terus.

"Saya lewat gang itu sudah ratusan kali, Pak. Enggak pernah terjadi apa-apa," ucap Rania berusaha meyakinkan.

"Ra." Nata mendekat. Ekspresi cemas tergambar jelas di wajahnya.

"Please, sampai sini saja." Rania memohon. Ia manusia biasa. Perempuan yang meskipun usianya sudah 27 tahun, tetap saja, tatapan cemas dan penuh perhatian dari sosok yang pernah menjadi bagian dari masa lalunya itu menimbulkan debar-debar halus di dadanya. "Terima kasih sudah maksa ngantar."

Nata menarik napas lalu menghembuskannya perlahan. Rania sudah berbalik. Meninggalkannya dengan perasannya nelangsa. "Ra," panggilnya lagi. Menghentikan langkah gadis itu.

"Selamat malam, Ra. Tidur yang nyenyak. Mimpi yang indah. Dan besok bangun dengan bahagia."

Rania membeku. Ucapan itu... kata-kata pengantar tidur yang selalu diucapkan Nata untuknya dulu. Diucapkan secara langsung saat mengantarnya ke kos-kosan. Kadang-kadang lewat telepon atau pesan whatsap saat mereka tidak bertemu.

Rania mengerjab. Berusaha menghalau air yang tiba-tiba memaksa turun dari kedua matanya. Tanpa berbalik apalagi membalas ucapan Nata , ia meneruskan langkahnya. 


Up Date. Semoga bisa menemani weekend terakhir di bulan Oktober 2021 ini. 

Balas Dendam Mantan PacarUnde poveștirile trăiesc. Descoperă acum