Memilih Melepaskan

3K 231 22
                                    

Haiii...

Berhubung masih dalam suasana lebaran aku mau ngucapin selamat hari raya. Mohon maaf lahir batin. Semoga kita semua dalam kondisi sehat-sehat semua ya, teman-teman.

Oh ya, aku up date nih. Sila lanjut baca ya. Niatnya up date pas akhir ramadan kemarin. Apa boleh buat. Semua tinggal niat saja. Kenyataannya bisa update baru hari ini.

Sila dibaca. Semoga suka...

_____________

Matahari masih memancarkan sinarnya yang hangat saat Rania bersiap-siap pulang. Kepergian Nata ke luar kota dalam rangka meninjau lokasi rencana pembukaan cabang Sintesa Advertising bagai angin segar untuknya. Dia bisa pulang tepat waktu seperti karyawan lain. Bisa dengan santai berjalan ke halte tanpa takut ketinggalan bus. Dan sore ini dia bisa singgah ke pusat perbelanjaan untuk belanja kebutuhan rumah. Akhirnya, setelah selama menjadi pengangguran hidupnya bergantung penuh pada kemurahan hati Kalila, kali ini dia bisa mengangkat sedikit wajahnya karena sudah mampu bergantian dengan sahabatnya itu mengisi kulkas.

Senandung riang terdengar samar keluar dari bibir tipisnya. Ah, begini rasanya kantor tanpa bos resek yang suka sekali memanggil namanya untuk menyuruh ini-itu. Yang doyan banget menahannya pulang padahal semua karyawan sudah meninggalkan meja mereka masing-masing.

Dengan langkah mantap dan wajah ceria Rania meninggalkan meja kerjanya. Berdiri tegak di depan lift kemudian bergegas masuk begitu pintu besi itu terbuka dan menemukan Gwen sendiri di dalam sedang menatapnya. Sekilas dia melihat kilatan amarah mewarnai sorot mata tajamnya. Hanya sepersekian detik namun sukses membuat Rania menyesali keputusannya tetap memasuki lift padahal ada atasannya di dalam. Dengan langkah canggung dia menuju sudut ruangan dan berdiri menyandar di sana.

"Sudah mau pulang?" tanya Gwen. Rania yang sedang sibuk memperhatikan ujung sepatunya langsung mendongak dan cepat-cepat menjawab, "Iya, Mbak." Gwen-pun tak bertanya lagi. Tatapannya lurus ke depan dengan wajah tegang dan rahang mengeras. Hampir tiga bulan menjadi karyawan Sintesa Advertising belum pernah Rania melihat atasannya bersikap seperti itu.

Ya, elah. Ini lift kok lambat banget sih, Rania mengeluh dalam hati. Sumpah enggak nyaman banget melihat aura tegang sang bos hari ini. Ck, sial. Ketidak hadiran Nata ternyata tidak lantas membuatnya bisa tenang. Hembusan napas penuh syukur keluar begitu saja saat lift berhenti di lobi. "Saya duluan, Mbak," ucapnya sopan lalu melangkah pergi.

"Rania!"

Langkah Rania terhenti. "Mampus," ucapnya dalam hati melihat Gwen menghampirinya. "Iya, Mbak."

"Kamu buru-buru?" tanya Gwen begitu berada di hadapan Rania.

"Enggak, Mbak. Cuma mau mampir ke Brastagi Supermarket sebentar."

"Kalau begitu temani saya ngopi di kafe depan sebentar. Nanti saya antar sampai Brastagi.

Rania menatap Gwen. Setelah menimbang sejenak akhirnya dia mengangguk dan mengikuti perempuan tinggi itu.

Gwen memilih meja di dekat jendela berbingkai kaca yang menghadap taman mini yang tertata rapi di samping kafe. "Saya dan Nata berteman sejak SMA." Gwen memulai pembicaraan begitu pelayan yang mengantar kopi pesanan mereka pergi. "Hanya saja setelah lulus kami enggak pernah ketemu lagi. Saya melanjutkan pendidikan ke Pulau Jawa sementara Nata memilih tetap di Sumatera." Gwen mengangkat cangkir menyesapnya sambil menatap Rania. "Kami bertemu lagi lima tahun yang lalu. Pertemuan yang menjadi awal berdirinya Sintesa Advertising."

"Nata selalu mengatakan ingin memiliki perusahaan sendiri. Binar mata penuh tekad setiap kali membicarakan impiannya membuat saya membujuk Papa untuk menyuntikkan dana. Tidak mudah meminta Papa menanamkan modal. Beliau akhirnya setuju saat saya berjanji akan ambil bagian di Sintesa Advertising. Hal paling kuhindari tetapi paling diinginkan Papa."

Rania menatap Gwen. "Paling dihindari, maksudnya... Mbak tidak suka menggeluti dunia bisnis, gitu?" tanyanya. Kalau benar Gwen tidak suka dunia penuh pertaruhan itu, artinya bukan dia saja yang tidak suka, bukan?

Gwen melambaikan tangan di depan wajahnya. "Lebih tepatnya belum mau."

Oh, belum mau ternyata, batin Rania mendengar penjelasan Gwen. Kirain enggak mau batin Rania lesu karena kehilangan satu lagi orang yang tidak menyukai dunia bisnis.

"Terus kenapa Mbak Gwen mau masuk Sintesa Advertising?" tanya Rania. Sumpah, dia penasaran betul. Karena selama bekerja di sana tidak ada indikasi kalau Gwen malas-malasan. Dia kelihatan selalu penuh semangat.

"Nata," jawab Gwen tegas. "Dan aku tidak menyesalinya." Senyum bahagia menghiasi wajah mulus itu. "Nata, dia masih seperti pemuda yang kukenal belasan tahun yang lalu. Laki-laki yang kukenal tidak akan menyia-nyiakan sebuah kesempatan dan pengorbanan seseorang."

Mendengar kalimat terakhir yang diucapkan Gwen, Rania melemparkan tatapannya keluar lewat jendela. Nata yang kukenal pernah dengan teganya menyia-nyiakan kesempatan yang ada di depan matanya dan menyia-nyiakankan pengorbanan seseorang, batin Rania sedih. Bahkan dia membuat seseorang terusir dari keluarganya dan tidak pernah bisa mengunjungi makam ayahnya selama betahun-tahun.

"Nata memang luar bisa." Ucapan Gwen membuat Rania mengembalikan fokusnya ke arah gadis di depannya. Dia mengangkat cangkirnya lalu menyesapnya sambil mengalihkan tatapannya dari Gwen yang juga sedang menatapnya lekat-lekat.

"Dalam hitungan tahun berhasil membuktikan kalau dia memang berbakat dalam dunia bisnis. Tangan dinginnya mampu membawa Sintesa Advertising seperti yang kamu lihat saat ini. Tetapi kamu tahu sendirikan, Rania, tangan dingin dan kerja keras saja tidak pernah cukup. Butuh dukungan finansial dan perempuan yang tepat untuk mendampinginya mempertahankan apa yang sudah diperolehnya saat ini."

Rania yang semula menunduk akhirnya mendongak mendengar kata-kata yang diucapkan Gwen. Lalu tertegun. Karena tatapan yang semula hanya menatapnya lekat-lekat sekarang menatapnya dengan tatapan menantang.

"Kamu setujukan kan Rania? Kalau Nata itu harus didampingi perempuan yang tepat untuk memajukan Sintesa Advertising?" Pertanyaan itu entah kenapa terdengar dingin dan penuh peringatan. Seolah memberitahu Rania bahwa hanya Gwen-lah yang pantas menjadi pendamping Nata. Bukan dirinya atau perempuan biasa-biasa manapun.

Terserahlah batin Rania mencoba menepis perasaan tidak nyaman yang kini menguasai perasaannya. Terserah siapa pun yang mendampingi Nata, dia tidak peduli. Tapi, benarkah dia tidak peduli Atau pura-pura tidak peduli. Kalau tidak lagi peduli kenapa ada perasaan nyeri menusuk-nusuk hatinya mendengar kata-kata Gwen?

Rania mengangguk. Menyetujui pernyataan Gwen. Lagian apalagi yang bisa dia lakukan selain setuju? Semua yang diucapkan Gwen benar adanya. Pendamping Nata itu ya memang harus seperti gadis di depannya. Pintar, cantik, terutama anak orang kaya. Ya, dengan orang kaya,  yangdengan  uang yang dimilikinya dengan mudah mampu mewujudkan impian Nata. Bukan seperti dirinya. Gadis biasa-biasa saja yang menginginkan laki-laki biasa dengan pekerjaan yang biasa-biasa juga. Pikiran-pikiran yang berkelebat membuat Rania merasa sia-sia. 

Rania melompat turun dari bus yang ditumpanginya. Dengan langkah perlahan sambil mengayun-ayunkan tas dia berjalan menyusuri lorong sempit menuju kontrakan. Langkahnya berhenti saat mendengar teriakan anak-anak yang sedang bermain bola di sisi kosong pemakaman umum. Bayangan Nata bermain bersama anak-anak gang kos-kosannya dulu melintas. Sementara Rania dengan sabar menunggu sambil makan rujak Bang di bangku kayu setengah lapuk dan mengkhawatirkan. Sesekali dia ikut berteriak dan melompat melihat saat  bola menembus salah satu gawang darurat dari kayu bulat kecil hasil buatan anak-anak. Sederhana. Ya, dulu mereka selalu melewati hari-hari dengan begitu sederhana. Sesuatu yang Rania impikan saat mereka manikah tapi tidak dengan Nata.

Impian Nata memiliki perusahaan besar dengan cabang di berbagai daerah. Menjadi pebisnis hebat dengan kemampuan finansial luar biasa mapan. Sementara Rania, impiannya sederhana saja. Hidup bersama Nata tanpa perlu khawatir bakalan mengalami kebangkrutan. Mereka memang berbeda. Seharusnya dia menyadari itu sejak Nata menolak datang ke tempat tes masuk ASN sehingga tidak perlu menyimpan-nyimpan harapan yang membuatnya rela melakukan apa pun demi laki-laki itu. Yang membuatnya harus kehilangan segalanya. Termasuk keluarganya.

Rania mendongak. Memperhatikan serombongan burung yang terbang menuju peraduan. Sudah saatnya melepaskan. Melepaskan kenangan dan impian bersama mereka. Nanti, saat Nata kembali dia tidak akan lagi membalas perbuatan mengesalkan laki-laki itu. Dia akan menyelesaikan semua pekerjaan yang dibebankan kepadanya dengan baik. Dan meninggalkan Sintesa Advertising begitu masa magangnya selesai. 

Balas Dendam Mantan PacarWhere stories live. Discover now